Share

Bab 2, Mengunjungi Orang Tua

"Ada apa?” tanya Dika singkat.

Tasya yang tengah melamun itu dikejutkan dengan kehadiran pria yang satu kamar dengannya itu sudah berada di hadapannya, Dika menatap Tasya yang juga sedang menatapnya dengan setengah terkejut.

“Emmm... Mas, aku bawakan makanan untuk kamu, kamu belum makan, kan,” Tasya menyodorkan makanan yang ia bawa.

“Tidak perlu, kau makan saja sendiri nanti.” Tolak Dika.

Langkah kakinya meninggalkan kamar hotel, dan juga Tasya yang hanya bisa terdiam seorang diri. Perasaannya saat itu bercampur aduk, antara sedih dan kecewa, ketika mendapatkan reaksi sedingin itu dari pria yang menikahinya.

Di sebuah jalan raya yang cukup lengang, Dika mengemudikan kendaraan nya dengan kecepatan tinggi, sesekali Dika memukul bagian setir sambil terus menatap lurus, sebuah pesan singkat yang dikirim kan Zahra terngiang di kepalanya lagi.

Dika menghentikan mobilnya seketika, lalu ia berteriak sekencang mungkin tanpa ada satu orang pun yang mendengarnya. Ia juga memukul-mukul bagian setir beberapa kali untuk melampiaskan kemarahannya.

Dika membuka ponsel lalu melihat kembali foto kebersamaan Zahra bersama dengan Cahyo, di hari pernikahan kemarin Zahra pamit akan pergi bersama Cahyo dan memilih pria itu daripada Dika Mahendra. Seorang putra tunggal pebisnis sukses di kotanya.

“Kenapa Zahra, kenapa kau lakukan ini padaku, apa salahku!”

Dika murka dan sangat marah, karena wanita yang ia pikir akan melengkapi hidupnya justru sama sekali tidak memilihnya, bahkan justru ingin membuat keluarganya malu dengan cara pergi di hari pernikahannya. Hingga akhirnya kini ia terjebak dengan pernikahan bersama wanita yang tidak ia kenali.

Dering ponsel menyadarkan Dika, ia mengatur nafasnya kembali dan mengangkat telpon dari seseorang.

“Halo Tuan, nona Zahra memang benar-benar sudah pergi ke luar negeri, dan dia akan menikah dengan pak Cahyo hari ini juga,”

Sebuah kabar terdengar dari seseorang kepercayaan Dika, yang ia perintahkan untuk mencari tahu tentang kekasihnya itu sejak semalam.

Tak menjawab apa pun, Dika langsung mematikan ponselnya lalu melemparkan ponsel itu ke bagian belakang, Dika mengemudikan kembali mobilnya lalu berhenti di sebuah tempat untuk menenangkan diri.

Sore harinya, Tasya menanti kedatangan Dika dengan rasa cemas. Sejak pagi suaminya pergi tak kunjung kembali, Tasya meraih ponselnya, ia mencoba untuk menghubungi Dika melalui telepon, namun Dika sama sekali tak menjawab.

“Mas, kamu di mana si, kenapa kamu belum pulang-pulang.”

Tasya bergeming, menatap arah pintu kamar hotel berharap bahwa pintu itu akan segera di buka, tak lama kemudian pintu pun dibuka oleh Dika sesuai dengan harapan Tasya. Tasya tersenyum menyapa Dika.

“Mas, kamu ke mana saja, kenapa pulang sangat sore sekali, kamu sudah makan?” tanya Tasya.

“Jangan pedulikan aku, aku tahu kalau kau menikah denganku karena kau membutuhkan uang kan! Jadi fokus saja dengan uang yang akan kau dapatkan dari orang tuaku,” celetuk Dika menolak diberikan perhatian dari istrinya.

“Mas, apa yang kau katakan itu mungkin memang benar. Tapi aku melakukan ini karena aku ingin menyelamatkan ibuku di rumah sakit, aku mohon, tolong jangan anggap aku matre atau wanita yang tergila-gila dengan harta orang tuamu,” seru Tasya mencoba untuk berinteraksi dengan pria dingin di hadapannya tersebut.

Dika terduduk di ujung ranjang, memendam kemarahan dan kekecewaan yang ia rasakan, begitu juga dengan Tasya yang memutuskan untuk duduk di sofa, perasaan hancur antara mereka berdua pun terlihat sangat jelas. Mereka sama-sama tidak mengharapkan hal ini terjadi.

Tasya menangis sesenggukan, ia juga kecewa dengan nasibnya kala itu, namun tidak ada yang dapat Tasya lakukan selain menerima permohonan orang tua Dika, karena di balik pengorbanannya itu ada seseorang yang dijamin oleh mereka atas biaya yang tidak dapat ia pikul seorang diri.

“Aku hanya memiliki ibu Mas, dan ibuku sekarang ada di rumah sakit, jika memang ini takdirku, maka aku akan menerimanya, tapi jika memang kau tidak menginginkan aku sebagai istri penggantimu, silakan kau melakukan apa saja, aku pasrah.”

Tasya bangkit dari tempat duduknya, lalu memilih keluar dari kamar hotel itu dengan perasaan hancur.

Saat itu Tasya memilih pergi ke area bibir pantai, kebetulan hotel yang dipilih oleh Dika dekat dengan pantai, langkah kaki Tasya terus berjalan tanpa arah, mendekap hangat tubuh nya yang tersapu oleh sepoi angin yang cukup kencang.

Ia terhenti dan berdiri mematung menatap gelapnya lautan, sama gelapnya dengan hati yang saat ini ia rasakan, tiba-tiba sebuah jas menyelimuti bagian pundaknya, Tasya pun terkejut dan ia tersadar bahwa di sampingnya sudah ada Dika, pria yang sempat marah padanya beberapa saat lalu.

“Sedang apa?” tanya Dika tanpa menatap wajah wanita di sampingnya.

“Memandangi laut.” jawab Tasya yang langsung menyeka air matanya.

“Sekarang lebih baik kita kembali ke hotel, tidak baik berada di luar malam-malam seperti ini, besok pagi orang tuaku meminta kita ke rumahnya, aku tidak mau sampai terlambat.” Cetus Dika melangkahkan kakinya lebih dulu.

Tasya menghela nafas panjang, lalu langkahnya mengikuti Dika. Meskipun pria itu sangat bersikap dingin dan tidak mudah ditebak, namun Tasya tetap berusaha menghormatinya sebagai suami.

Keesokan harinya Tasya dan Dika sudah tiba di depan rumah megah milik Tuan Arkana Mahendra Jaya, dan Nyonya Riri Mahendra Jaya. Tasya terkesiap ketika melihat bentuk rumah bak istana itu, rumah yang didominasi warna putih dan abu membuatnya tidak bisa berkedip.

Apalagi saat ia mengarahkan pandangan pada gerbang yang dijaga oleh beberapa bodyguard gagah dengan seragam berwarna hitam, pantas saja mereka menjamin pengobatan ibunya jika bersedia menutup malu dengan cara menikahi putranya.

“Kenapa berdiri di situ saja?” tanya Dika menyadari bahwa Tasya sedang melamun.

“Eemm, i-iya Mas,” ucap Tasya yang langsung menyusul suaminya.

Di dalam sana, sudah ada kedua orang tua Dika yang menunggu dengan sabar, senyuman mereka pun terlihat jelas menyapa mereka ketika mereka sudah berada di ambang pintu.

“Halo Dika, halo menantuku sayang,”

Riri tersenyum menyapa putra dan menantunya itu.

“Halo Ma, Pa,”

Tasya menyodorkan tangan lalu mencium punggung tangan kedua mertuanya dengan hormat.

“Duduk lah, kita sarapan pagi bersama.”

Ajak Riri yang langsung mengarahkan mereka ke meja makan. Tasya tidak dapat menolak, ia duduk di samping Dika yang masih begitu dingin padanya, saat itu salah satu pelayan hendak mengambilkan nasi dan lauk di piring Dika, namun hal tersebut ditolak oleh Riri.

“Bi, tugas mu sudah selesai sejak Tuan Dika menikah dengan gadis cantik di sampingnya, sekarang tugas mu telah digantikan oleh Nona Tasya,” ucap Riri mengarahkan pandangannya pada Tasya.

“B_baik Ma.” Singkat Tasya mengerti.

Tasya dengan kaku berusaha melayani suaminya, ia mengambilkan makanan dan duduk di samping Dika kembali, suasana itu sangat canggung, duduk bersama keluarga baru membuat Tasya tegang dan bingung, lantaran Dika menolak Tasya mengambilkan makanan.

“Tidak usah, biar aku sendiri saja.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status