Share

Part 6, Pindah Rumah

"Silahkan duduk, Ma," ucap Tasya mempersilahkan duduk mama mertuanya.

"Terima kasih Tasya. Oh ya, kamu ke sini sendirian?" tanya mama Riri.

"I-iya Ma," lirih Tasya menjawab.

"Kamu yang sabar ya sayang, mungkin Dika masih membutuhkan banyak waktu untuk menerima semua kenyataan ini." mama Riri menggenggam pergelangan tangan Tasya.

Tasya melempar senyum, memperlihatkan bahwa ia baik-baik saja. Mendengar itu membuat mama Riri sedikit lega, Tasya pamit hendak pergi ke toilet dan menitipkan ibunya pada mama Riri yang masih ada di sana.

Saat itu mama Riri mendekati ranjang tempat di mana bu Nirma istirahat, mama Riri menelaah wajah bu Nirma yang tidak lagi terpasang sebuah alat.

"Ibu ini.... Seperti....?"

Belum sempat menebak, pintu tersebut kembali di buka. Tasya sudah berdiri di samping kiri ibunya, bersebrangan dengan mama Riri yang masih mengamati bu Nirma.

"Kenapa Ma, apa ibu sudah siuman?" tanya Tasya bingung dengan tatapannya pada sang ibu.

"Belum Tasya. Oh ya, kalau boleh Mama tahu, sebelumnya kamu tinggal di mana," mama Riri membalas tatapan Tasya padanya.

"Kami tinggal di kampung Pakuan Ratu Ma, aku dibesarkan di sana. Setelah ayah meninggal, ibu mengajak ku merantau ke kota Jakarta ini, tapi semenjak ibu sakit, aku yang yang harus menggantikan posisi ibu memenuhi kebutuhan kami sehari-hari." jelas Tasya.

Mama Riri terenyuh ketika mendengar penjelasan Tasya, rupanya ia benar. Bahwa wanita yang saat ini sedang terbaring di hadapannya, adalah teman lama yang tidak pernah bertemu setelah mereka berkeluarga.

Mama Riri menjelaskan semuanya pada Tasya, dan setelah ia tahu, Tasya pun percaya bahwa di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Ia juga tidak menyangka jika ternyata mama mertuanya dan ibu kandungnya dulu adalah teman di usia muda.

"Mama tidak menyangka Tasya, jika ternyata kedua anak-anak kami saat ini adalah sepasang suami istri, Mama jadi tidak sabar menanti ibumu sadar," ucap mama Riri melempar senyum haru.

"Ya Ma, apa yang Mama harapkan sama seperti yang aku inginkan, semoga saja ibu bisa segera sadar." jawab Tasya.

Tring... Tring...

Sebuah telpon masuk, menyadarkan Dika yang saat itu sedang menikmati sunset di sore hari, ia duduk sendirian di dekat bibir pantai. Menikmati sepoi angin yang menenangkan, harus terganggu lantaran mama Riri terus saja menelponnya.

"Halo ma," lirih Dika.

"Dika, kamu itu ke mana saja si? Istri kamu sudah dari tadi di rumah sakit, tapi kamu nggak nongol-nongol, apa kamu tidak kasihan melihat Tasya wara wiri dalam keadaan hati yang tidak tenang," omel mama Riri memecah gendang telinga.

"Maaf Ma, aku sedang sibuk," ucap Dika singkat.

"Sibuk? Memangnya kamu sibuk ngapain Dika, pokoknya mama nggak mau tahu, sekarang juga kamu harus ke sini, temani Tasya!" tegas mama Riri tanpa mau mendengar alasan Dika.

Dika menyingkirkan ponsel itu dari telinganya, dengan hembusan nafas berat Dika harus pergi meninggalkan tempat itu menuju rumah sakit, saat tiba di lokasi, Tasya terkejut lantaran Dika saat ini sudah berada di ambang pintu.

"Mas, aku seneng karena kamu akhirnya datang," ucap Tasya menyapa suaminya.

"Jangan terlalu senang, karena kedatangan ku ke sini karena mama, bukan karena keinginan hatiku sendiri." celetuk Dika.

Tasya terdiam, senyumnya kian menghilang setelah mendengar ucapan dari Dika. Ia kembali duduk di kursi yang ada di samping ranjang tempat tidur ibu Nirma, sementara Dika sendiri memilih duduk di sofa yang tersedia.

Saat malam tiba, Tasya akhirnya pamit pada ibunya, meskipun ibunya belum sadarkan diri, namun Tasya sangat rajin mengajaknya berkomunikasi, ia hendak mengajak Dika pulang kembali ke hotel, lantaran tidak tega melihat Dika yang sepertinya tidak nyaman di sana. Saat itu Dika pergi lebih dulu setelah Tasya berpamitan, ia lebih memilih untuk menunggu di parkiran.

"Kau duduk di kursi belakang saja," celetuk Dika saat Tasya hendak membuka pintu bagian depan.

"I-iya Mas." jawab Tasya patuh.

Di sepanjang perjalanan, Dika sama sekali tidak mempertanyakan apapun pada Tasya, terkait ibu mertuanya yang baru saja melakukan tindakan operasi, hal itu membuat Tasya sangat kikuk jika ia harus memulai obrolan terlebih dahulu.

Tak lama kemudian Tasya pun merasa sangat lapar, lantaran sejak siang tadi ia belum sempat makan, Tasya pun berinisiatif untuk mengajak suaminya itu makan terlebih dahulu.

"Mas, kita makan dulu yuk, aku laper nih," ajak Tasya sambil meremas perutnya yang kempis.

"Aku tidak lapar." celetuk Dika sangat dingin.

Dika terus saja melajukan kendaraanya tanpa menghiraukan Tasya yang kelaparan. Hingga akhirnya mereka tiba di hotel, karena waktu sudah cukup malam, akhirnya Tasya harus menerima jika ia akan tidur dalam keadaan perut yang terasa sangat lapar.

***

Ting...

"Dika, kamu ke rumah Mama ya, hari ini rumah kamu sudah jadi, kamu dan Tasya akan tinggal di sana bersama, jangan lupa ya."

Pesan singkat itu dibaca oleh Dika setelah ia selesai mandi, saat itu ia melihat Tasya sedang berdiri di balkon dengan tatapan lurus menembus gedung-gedung pencakar langit yang terlihat sangat dekat.

"Mama meminta kita untuk datang ke sana, bersiap-siap lah," ucap Dika begitu cetus.

Menyadari bahwa suami kulkas tujuh pintunya itu sedang berbicara padanya, bergegas Tasya kembali dan menyiapkan apa yang akan ia bawa.

Lima belas menit kemudian, mereka pun akhirnya tiba di sebuah bangunan minimalis yang cukup luas, rumah ber-dominasi warna hitam dan abu sesuai dengan yang diinginkan oleh Dika itu, akhirnya resmi ditempati.

Mama Riri tidak bisa datang untuk menemani mereka pindah ke rumah baru, lantaran tiba-tiba ia mendapatkan kabar bahwa ia harus meeting penting bersama kliennya di luar.

Dika membuka pintu tersebut lebar-lebar, dan menarik kopernya sendiri diikuti oleh Tasya dari belakang, Dika berhenti pada salah satu kamar yang ada di lantai bawah.

"Ini kamar mu," ucap Dika.

"Kamar ku? Apa maksud mu kita akan tinggal seatap tapi tidak sekamar?" tanya Tasya memastikan.

"Ya, itu benar," singkat Dika menjawab.

"Mas, tapi kita sudah sah menjadi suami istri, apa salahnya jika kita tinggal satu atap dan satu kamar?" protes Tasya tidak mengerti dengan jalan pikiran Dika.

"Itu sudah menjadi keputusan ku, jadi kau tidak perlu membantah nya dengan alasan apapun, atau kalau kau ingin untuk tidur di mana saja, aku tidak peduli." jawab Dika dengan singkat.

Dika mengangkat koper hitamnya, lalui ia memutuskan untuk menaiki anak tangga lalu berhenti di sebuah salah satu kamar. Tasya mengibas air matanya asal-asalan, lalu ia membuka pintu kamarnya.

Sebenarnya penderitaan Tasya belum di mulai, namun entah mengapa saat Dika memperlakukan dirinya seperti itu, air matanya tumpah ruah seakan merasa benar-benar tidak dianggap sebagai seorang istri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status