Share

Chapter 3 - Cahaya Keemasan

Aileen menyeret langkahnya tertatih menyusuri trotoar di sepanjang jalan. Ia tak tahu kemana arah akan membawanya, bahkan dia juga tidak mengukur berapa jarak yang telah ditempuhnya semenjak keluar dari rumah sakit.

Pikiran Aileen kosong, hanya kata-kata dokter yang terus berputar layaknya rollercoaster. Membuatnya mual dan ingin muntah.

"Aileen Andita, anda mengidap kanker perut stadium dua. Tidak terlalu buruk tapi juga tidak baik. Stadium berapapun akan berbahaya bila anda tidak segera menjalani pengobatan dan terapi," jelas sang dokter.

Aileen tak banyak bereaksi. Dia tahu seperti apa hidup seorang penyintas kanker perut. Dia melihat dengan kedua matanya, bagaimana Ayah bertarung melawan ganasnya kanker perut yang menggerogoti tubuhnya. Hari demi hari yang dilalui Ayah penuh dengan rintih kesakitan, hingga pada akhirnya dia harus menyerah dan meninggal di meja operasi.

'Ayah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aileen takut,' lirih Aileen dalam hati.

***

"Ah, akhirnya kamu pulang juga."

Aileen menatap sepasang suami istri yang menyambutnya dengan tatapan kesal.

"Kemana saja sih? Bapak nyariin kamu ke kantor tapi mereka bilang kamu udah nggak kerja."

Aileen melirik tajam pria yang berdiri tidak jauh dari posisinya.

"Apa lagi?" tanyanya ketus.

"Oh, Bapak mau mengajak kamu berbisnis."

Aileen terkekeh sinis. "Hah, bisnis?"

"Ya. Jadi teman Bapakmu punya—"

"Cukup," potong Aileen dengan suara bergetar.

"Tapi, Ai—"

"CUKUP!"

Nani dan Bono tersentak kaget karena Aileen tiba-tiba berteriak histeris.

"Aku bilang cukup. Jangan menganggu aku lagi. Sampai kapan kalian akan menganggu hidupku?" Sentak Aileen. Kali ini ia benar-benar tidak sanggup lagi terbebani oleh masalah yang dibawa oleh Ibu dan Ayah tirinya.

"Sampai kapan? Apa Ibu akan berhenti kalau aku mati?"

Nani mundur beberapa langkah. Takut dengan sikap yang ditunjukkan Aileen. Selama ini, semarah apapun gadis itu, dia hanya akan bersikap dingin dan ketus tapi tidak pernah berteriak kasar apalagi sampai bertingkah seperti orang gila.

"Ka-kamu kenapa?"

"Ibu mau aku mati 'kan?" Aileen berlari ke dalam rumah dan kembali dengan membawa pisau dapur ditangannya.

"Ai-Aileen ..." Nina memeluk lengan Bono. Ia takut pada putrinya yang bertingkah seperti kerasukan setan.

"Hei, jangan main-main dengan benda tajam," hardik Bono.

Aileen tertawa panjang dan melengking. "Main-main?"

"Kalian mengambil uang kematian dan rumah yang ditinggalkan Ayah untuk ku. Gaji bulanan dan pesangon. Bahkan sekarang kalian mau menghisap darahku juga?" tudingnya.

"Ai, tenanglah. Buang pisau itu, kita bicara baik-baik," sela Nina terbata.

"Tidak! Tidak ada yang harus kita bicarakan. Semuanya sudah selesai, kalian berhasil mengambil semuanya."

Dengan gerakan cepat Aileen mengiris pergelangan tangannya. Darah memercik keluar dari balik nadi yang terkoyak.

"Hahaha." Ia tertawa pilu. Menertawakan takdir dan nasib hidupnya yang berakhir dengan cara yang begitu tragis.

***

"Wow, sudah lama aku tidak melihat gadis ini," seru wanita muda berwajah blasteran, keturunan campuran Indonesia—Belanda. Dia memajukan wajahnya lebih dekat untuk memastikan wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit adalah orang yang dikenalnya.

"Aku lupa. Siapa namanya?"

"Ai, Aileen. Kita biasa memanggilnya bocah gila," sahut wanita paruh baya yang duduk di sudut ruangan. Tangannya sibuk memutar dua sumpit, memintal gulungan benang menjadi sebuah syal.

"Ya, ya. Bocah gila." Wanita blasteran yang dipanggil dengan sebutan Rachel itu mengangguk cepat. "Ah, lihat, Bu Mar! Dia sadar."

Mardiana segera meletakkan sulamannya dan mendekati ranjang. "Aileen," panggilnya.

Aileen mengerang pelan. Ia mencoba mengangkat tangannya, tapi gagal. Rasa sakit yang menyengat segera menyerang lengannya.

"Jangan mengangkat tanganmu. Itu sudah tak berguna," ejek Rachel.

"Kamu sangat bodoh, mengapa memotong tangan? Itu menyakitkan! Masih banyak cara mati yang lebih mudah. Kenapa kamu tidak melompat dari gedung tinggi-"

"Hush!" Mardiana mendelik kesal, meminta Rachel segera menghentikan ocehannya. "Kamu membuatnya kesakitan."

"Hmm, akh." erang Aileen lebih keras. "Sakit," rintihnya dengan suara serak.

"Bagaimana ini? Dia kesakitan. Sepertinya efek obat bius sudah habis. Cepat panggilkan dokter dan suster."

Rachel melongo, bingung dengan perintah Mardiana. 'Bagaimana cara ku memanggil mereka?' pikirnya.

"Eh, itu dokter!" Seru Rachel senang begitu rombongan dokter bersama dua suster menghambur masuk dan langsung menuju ranjang Aileen.

"Suntikan satu dosis Lidocaine." Perintah sang dokter. Aileen berangsur tenang begitu suster selesai menyuntikan cairan berwarna keruh ke dalam botol infus.

"Syukurlah," desah Mardiana lega.

"Pantau terus kondisinya." Perintah sang dokter. "Oh ya, mana keluarganya?"

Suster menggelengkan kepala. "Setelah saya meminta mereka ke kasir untuk membayar biaya administrasi, mereka tidak terlihat lagi."

Dokter mendesah pelan, menatap wanita yang terbaring di ranjang dengan tatapan kasihan. "Ya sudah, kabari saya saat pasien sadar," pamitnya.

"Bukan hanya wajahnya yang tampan tapi hatinya juga baik. Calon suami idaman." Puji Rachel. Matanya tak lepas dari pintu meski sang dokter dan suster tak lagi terlihat.

"Kasihan kamu, Nak. Apa lagi yang dilakukan wanita itu padamu?" Mardiana menepuk pelan punggung tangan Aileen.

***

"Bu, kenapa?" tanya Denis.

Denis memperhatikan gerak gerik Ibunya yang terus bergerak dengan wajah gelisah. Dia menepuk pelan lengan Ibunya.

"Ibu lagi mikirin apa sih? Dari tadi Denis panggil tapi Ibu kayak nggak fokus."

Nani menatap Denis ragu. "Den."

"Kenapa, Bu?"

"I-itu," Nani ragu untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia takut Denis akan membencinya. "Ai-Aileen."

Denis mengerutkan keningnya mendengar nama saudara tirinya. "Ada apa dengan, Kak Ai? Ibu kesana lagi?"

"Ba-bapak mu maksa Ibu kesana," ucap Nani terbata. Dia tahu putranya akan marah bila tahu apa yang terjadi pada Aileen. Denis melarang Nani untuk menemui Aileen untuk alasan apapun.

"Bu, Kak Ai kenapa?" Buru Denis tak sabar. "Bapak mukul, Kak Ai?" Tanyanya panik tapi tak lama dia kembali berpikir.

'Tidak Mungkin, Bapak takut pada Kak Ai. Setelah kejadian mengerikan dimana Kak Ai menghantam kepala Bapak dengan batu bata, lima tahun yang lalu.'

"Bu, Kak Ai kenapa?" Buru Denis.

"Ai, mencoba bunuh diri," cicit Nani takut.

"Apa?!" Denis terkejut. Dia meraih kedua bahu Ibunya, mengguncangnya cepat. "Ibu, jangan bercanda. Kenapa Kak Ai bunuh diri. Apa lagi yang Ibu lakukan?"

Nani menggeleng kuat. "Ibu hanya memintanya untuk berinvestasi pada bisnis Bapak mu, tapi dia mengamuk dan mengiris tangannya," aku-nya.

Denis meremas rambutnya geram. "Di mana? Di mana Kak Ai?"

"Rumah Sakit Setia Budi."

Denis segera meraih jaket dan kunci sepeda motornya. Sebelum keluar dari pintu, pemuda itu berbalik menatap Ibunya. "Aku tidak akan memaafkan Ibu bila terjadi sesuatu pada Kak Ai."

***

Siluet keemasan dari cahaya senja yang mengintip dari balik sela gorden membiaskan tanpa hambatan ke dalam ruangan. Jeruji yang terpasang di jendela membuat cahaya yang masuk membentuk bayangan bergaris, menambah efek dramatis.

Wanita cantik duduk membelakangi jendela. Matanya menatap lurus wajah suaminya yang masih terbalut perban dan menggunakan masker yang terhubung pada tabung oksigen dan CPAP—alat berbentuk kotak yang memantau kondisi pasien.

Hatinya meringis pilu. "Sampai kapan kamu tidur, Sayang? Aku kangen," lirihnya sambil menggenggam erat tangan pria yang sangat dicintainya.

***

"Hei, kalian tahu? Ada pasien yang bisa melihat kita."

Mardiana melirik Rachel tajam, mengirimkan pertanyaan bernada ancaman, 'pasti kamu yang menyebarkan gosip.'

Rachel melempar pandangannya ke arah lain, berusaha menghindari Mardiana.

"Apa dia mau membantu kita?" tanya salah satu pria yang menyeruak dengan penuh semangat dari balik kerumunan.

Rachel menggeleng cepat, menanggapi beberapa pertanyaan dari kaum tak kasat mata. "Tidak akan. Bocah gila itu sangat dingin dan keras kepala."

"Ah, padahal aku ingin meminta pertolongannya."

"Di mana dia?" tanya suara lainnya, yang kali ini terdengar asing.

Mardiana dan Rachel melirik si anak baru.

"Oh, dia di ruang-"

"Apa yang kamu inginkan?" Potong Mardiana sebelum Rachel sempat menyebutkan nama ruangan dimana Aileen di rawat.

"Tidak. Hanya ingin bicara."

"Tidak ada yang boleh mendekatinya. Dia harus banyak istirahat untuk memulihkan kesehatannya," tegas Mardiana.

Orang-orang yang berkumpul tidak membantah perintah Mardiana, karena wanita tua itu adalah orang yang paling lama berada di rumah sakit ini sekaligus pemimpin diantara mereka.

"Bubar," seru Mardiana membuat kerumunan itu seketika kocar-kacir menghilang bahkan beberapa dari mereka menembus lapisan dinding.

"Rachel, jangan menyebarkan berita apapun tentang Aileen. Gadis itu tengah terluka dan sakit, dia butuh istirahat," tegas Mardiana.

Rachel mengangguk pasrah dan menyeret langkahnya keluar dari ruangan.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status