Share

Chapter 4 - Hari Yang Indah

Aileen membuka matanya perlahan. Cahaya temaram yang masuk dari balik jendela kaca menunjukkan bila hari telah berganti malam. Aileen mengedarkan pandangannya, meneliti ruangan dimana dia berbaring.

'Di mana aku?' batinnya penasaran. 'Apa aku sudah meninggal?'

Begitu aroma alkohol menyengat, menyergap hidungnya, Aileen segera tahu, dimana ia saat ini.

"Ah, aku benci rumah sakit," gumamnya.

Aileen berusaha mengangkat tangan kirinya, beberapa detik kemudian dia meringis kesakitan. Aileen melirik perban yang dibebatkan di pergelangan tangan kirinya. Ingatannya kembali mengulang perbuatan nekad yang dilakukannya. Dengan bertumpu pada tangan lainnya, Aileen berhasil duduk. Perlahan dengan hati-hati dia menarik jarum infus di lengannya.

"Akh." rintihnya begitu jarum tipis itu tercabut.

Darah mulai merembes tapi Aileen segera menekannya untuk menghentikan cairan merah itu terus keluar lebih banyak. Aileen menekuk tangannya yang sakit, mengaitkannya pada tangan lain. Ia turun dari ranjang dan melangkah pelan agar tidak menimbulkan bunyi yang dapat menganggu pasien lain.

"Oh, kamu sudah sadar? Mau kemana?" Sapa penghuni ranjang yang berjarak dua blok dari ranjang Aileen.

Aileen tersenyum tipis. "Iya Bu. Mau cari angin sebentar."

Wanita itu mengangguk paham dan kembali tidur.

Aileen menyeret langkah beratnya menyusuri lorong rumah sakit. Sesekali ia berhenti dan menundukkan wajahnya lebih dalam saat berpapasan dengan para suster yang berjaga. Di dalam lift, Aileen menekan tombol paling atas, menuju atap gedung.

Tekadnya untuk mengakhiri hidup yang malang ini telah mencapai puncak. Aileen tidak mampu lagi bertahan, ia lelah. Rasa takut Aileen akan kerasnya dunia lebih besar daripada keinginannya untuk hidup. Begitu pintu lift terbuka, hembusan angin malam yang dingin segera menyambutnya.

"Hari yang indah untuk mati," gumam Aileen dalam hati saat melihat hamparan bintang bersinar terang di langit.

Aileen menaiki bangku panjang lalu mengangkat kakinya untuk berdiri di tembok pembatas bangunan. Ia mengulas senyum miris bersamaan dengan airmata yang luruh di pipinya.

"Selamat tinggal dunia."

***

"Di mana dia?" Gumam wanita cantik mengenakan dress selutut dengan motif bunga Peony, sedari tadi dia berkeliling untuk mencari wanita hebat yang seharian ini menjadi pusat perhatian seluruh penghuni rumah sakit.

"Apa sudah keluar dari rumah sakit?"

Langkah wanita berambut panjang terhenti, matanya terpaku pada seorang wanita muda yang menyeret langkahnya tertatih menuju pintu lift. Bukan wajahnya yang menarik perhatian tapi cahaya yang menyelubungi tubuhnya, bagai permata berpendar tertimpa cahaya senja. Sangat menyilaukan tapi memberikan perasaan hangat dan nyaman.

Wanita cantik itu bergerak spontan, mengikuti langkah wanita bercahaya yang mengenakan pakaian rumah sakit. Keduanya memasuki lift dalam diam. Wanita cantik melirik ke samping, dimana wanita bercahaya berdiri. Dia mengernyit bingung karena wanita disampingnya tidak menunjukkan respon yang berarti.

"Sepertinya mereka bohong. Wanita ini tidak bisa melihat apapun," keluhnya dalam hati.

Pintu lift terbuka. Wanita bercahaya keluar lebih dulu. Dia menengadah menatap langit. "Hari yang indah untuk mati." Gumamnya dengan raut sedih.

"Apa yang akan dia lakukan?" Wanita cantik bingung dengan apa yang dilakukan wanita bercahaya. Wanita itu menaiki bangku dan berdiri diatas pagar pembatas gedung.

"Bunuh diri?" tebaknya ragu.

***

"Maaf, saya mau menjenguk pasien bernama Aileen Andita," ujar Denis. Ia berhasil memaksa sepeda motornya hingga kecepatan maksimal dan tiba di rumah sakit hanya dalam waktu lima belas menit.

"Pasien bernama Aileen Andita sudah dipindahkan ke ruang rawat 304 bangsal Melati," sahut suster yang berjaga di ruang UGD.

"Oh, terima kasih."

Denis segera menuju gedung ruang rawat yang pintu masuknya bersebelahan dengan ruang UGD. Langkahnya mengayuh cepat, setengah berlari.

Meski hubungannya dengan Aileen tidak terbilang dekat tapi Denis menyayangi kakak tirinya itu. Denis banyak mendengar dan melihat sendiri kisah hidup Aileen yang menyedihkan dan itu semua disebabkan oleh Ibu.

Namun, Denis tidak bisa berbuat banyak. Bagaimanapun, sulit baginya untuk membenci Ibu kandungnya. Wanita yang telah melahirkan dan merawatnya dengan baik di tengah kesulitan ekonomi.

Denis berdiri di depan ruang 304 bangsal Melati. Kakinya sulit digerakkan seolah terpaku dalam. Hatinya tengah bersiap menghadapi ekspresi dingin dan suara ketus Aileen saat melihatnya. Tapi Denis tidak ingin pergi, sisi hatinya yang lain mengkhawatirkan kondisi kakaknya.

Tangan Denis meraih pegangan pintu dan berjalan ke ujung ruangan di mana ranjang Aileen berada. Dahinya mengerut bingung, karena menemukan tirai yang tersingkap dan ranjang kosong. Denis beralih ke kamar kecil, memikirkan kemungkinan Aileen berada disana tapi ruangan itu kosong.

"Ke mana perginya?" gumamnya bingung.

Sekelebat pikiran buruk menelusup ke benak Denis. "Jangan-jangan ..."

Denis berlari keluar menuju meja para suster. "Suster, kakak saya tidak ada di ruangan," serunya panik.

"Mungkin di kamar kecil," sahut salah satu suster yang berjaga.

"Tidak, dia tidak ada disana."

Para suster saling bertukar pandangan.

"Siapa nama pasien?" tanya salah satu suster.

"Aileen Andita."

Wajah para suster seketika pucat. "Pasien yang masuk melalui UGD percobaan karena bunuh diri?" Tebak suster.

Denis mengangguk cepat.

"Ada apa ribut-ribut?"

"Dokter Daren, pasien menghilang," sahut suster panik.

"Apa?" Dahi Daren mengerut. "Lalu apa yang kalian lakukan disini? Cepat cari!" Sentak Daren marah.

Para suster segera bergerak untuk memanggil petugas untuk membantu proses pencarian.

"Bolehkah saya ikut?"

"Siapa?" Alih Daren pada Denis.

"Saya adik pasien, Aileen Andita."

"Kamu tunggu di ruang operasional aja," perintah Daren.

"Tapi-" Denis mencoba protes, dia ingin ikut mencari kakaknya.

"Tenang saja. Kami akan segera menemukan pasien." Daren menepuk bahu pemuda itu untuk menenangkannya. "Lebih baik kamu menunggu di sini, ada kemungkinan Aileen kembali, harus ada orang yang menemaninya sampai kami kembali."

Denis mengangguk enggan.

***

"Hari yang indah untuk mati."

Aileen memaksa sebait senyum getir. Menertawakan hidupnya yang singkat dan menyedihkan.

"Berhenti!"

Sesosok bayangan bergerak cepat, bagai kilat menyambar tangan Aileen. Menarik tubuhnya kembali, jatuh di atas lantai atap rumah sakit.

"A-aku," ucap bayangan yang ternyata adalah wanita cantik terbata sambil menatap kedua tangannya yang baru saja berhasil menyentuh tangan Aileen.

"Aku bisa menyentuhmu." Dia beralih pada Aileen yang masih meringis kesakitan.

Aileen menggosok lengannya yang mengeluarkan darah karena tergores semen kasar saat jatuh dengan posisi tidak nyaman.

"Apa yang kamu lakukan?!" teriak Aileen berang.

Kening wanita cantik berkedut tidak senang. "Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang kamu lakukan disana?" tunjuk nya ke pembatas gedung.

Aileen bergerak perlahan, beranjak dari lantai dingin dan duduk di bangku. "Kenapa susah sekali untuk mati," keluhnya lelah.

"Kenapa kamu mau mati?" Tanya wanita cantik. Dia melempar tubuhnya disamping Aileen. Lama menunggu tapi Aileen tidak meresponnya.

"Kamu nggak pura-pura tidak melihat atau mendengar ku lagi 'kan?" Geram wanita cantik. Dia menyipitkan matanya, menatap Aileen tajam.

Aileen mendesah pelan. "Pergi," usir nya tanpa mengalihkan perhatian dari bintang yang bersinar paling terang di langit malam ini.

"Syukurlah," desah wanita cantik lega. "Kamu tidak sebodoh itu," sindirnya.

Aileen berpaling. Terpancing oleh sindiran wanita disampingnya. "Hei! Apa yang kamu inginkan? Berhenti menggangguku."

"Jangan memanggilku seperti itu. Aku punya nama," protes wanita cantik. "Aira, namaku Aira."

Aileen mendengus malas. "Terserah."

"Siapa namamu?"

"Aileen," sahut Aileen ketus.

Aira tersenyum senang. Meski nada suara Aileen ketus, paling tidak wanita itu tidak mengusirnya lagi. Aira bergeser lebih dekat.

"Bolehkah aku memanggilmu, Ai?"

Aileen tak menggubris. Ia kembali menatap langit, menenangkan hatinya. Meski telah membulatkan tekad untuk melompat, jantung Aileen tetap berdetak cepat, tubuhnya gemetar, rasa takut tiba-tiba menyerang hatinya saat angin menggoyang tubuhnya hingga nyaris kehilangan keseimbangan.

"Ai, kenapa kamu mau bunuh diri?"

"Bukan urusanmu."

Aira mengeram gemas tapi ia segera menghela nafas untuk menurunkan emosinya. "Apa kamu patah hati?"

"Alasan ku mati tidak se-konyol itu."

Aira mengangguk membenarkan. "Lalu? Kamu di kejar utang? Atau kamu putus asa karena mengidap penyakit kronis?" Buru nya.

Aileen terkekeh pelan. Tebakan wanita disampingnya seratus persen benar.

"Mungkin."

"Apa ada orang yang memberi tahu mu?" Aira mengerutkan dahinya. "Kamu aneh," lanjutnya.

Aileen kembali terkekeh. "Tidak. Mereka memanggilku gila," balasnya dengan nada riang.

"Berhenti bercanda—"

"Aileen Andita!"

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status