"Sebagian dari kesempurnaan di dunia adalah memiliki keluarga yang bahagia,"— Bianca Lazuardi.
***"Aileen Andita! Apa yang kamu lakukan disini?"Daren tiba-tiba muncul di depan Aileen dan Aira. Wajahnya merah dengan napas yang terengah-engah, menatap Aileen tajam."Daren?"Aileen berpaling untuk melihat orang disampingnya yang ternyata mengenal dokter muda itu, Daren Hermawan."Aileen!" panggil Daren.Aileen mengalihkan pandangannya kembali menatap sang dokter. "Oh, aku hanya mencari angin," kilahnya."Ayo masuk." Daren melepas jas dokter yang dikenakan lalu menyampirkannya ke bahu Aileen. "Apa yang dilakukan pasien di tempat sedingin ini," omelnya."Dan lagi, tanganmu belum boleh digerakkan. Kamu mau tanganmu cacat?" Daren menggiring Aileen menuju lift. Meninggalkan Aira yang tersenyum menatap keduanya."Selamat malam, Aileen," ucap Aira sambil melambai pada Aileen yang sempat meliriknya sebelum pintu lift tertutup."Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?" Ulang Daren begitu keduanya tiba di ruang rawat."Aku hanya keluar sebentar untuk menghirup udara segar."Aileen naik ke atas ranjang, memijit pelipisnya yang di tempel plaster luka. Kepalanya mendadak pusing karena terus mendengar pertanyaan yang sama."Akh." keluhnya pelan saat jarum infus kembali menusuk lengannya.Daren melirik singkat tanpa berniat menghentikan gerakannya memasang selang infus di lengan Aileen. "Besok pagi, kamu harus ke bagian saraf untuk mengecek luka di tanganmu," ujarnya.Dia menarik naik selimut hingga menutupi tubuh Aileen dan hanya menyisakan kepalanya. "Jangan berpikir untuk kabur lagi," tegas Daren.Aileen memutar bola matanya, jengah. Karena sepanjang perjalanan Daren terus mengomelinya. Tapi, Aileen baru menyadari satu hal setelah akal sehatnya kembali, dokter muda itu sangat tampan."Oh ya, tadi ada seorang pemuda mencari mu.""Siapa?"Daren mengangkat bahu. "Katanya, dia mencari kakaknya.""Denis?" gumam Aileen tidak yakin. "Buat apa dia ke sini?"Aileen menyibak selimut lalu bangkit dari ranjang. Tapi Daren cepat menahan langkahnya."Istirahatlah. Aku akan memberi tahunya kalau kamu sudah ditemukan dan sedang beristirahat," pungkas Daren."Tapi, aku harus menemuinya."Daren melirik arloji di lengan kanannya. "Sudah terlalu malam untuk menerima kunjungan. Kamu bisa membuat pasien lain terganggu.""Besok pagi, adikmu bisa kembali setelah kunjungan dokter," putus Daren. Memaksa Aileen masuk ke balik selimut."Selamat malam."***Daren keluar dari bangsal Melati, menuju ruang operasional dimana pemuda bernama Denis menunggunya, sementara Daren dan para petugas rumah sakit mencari keberadaan Aileen."Dokter Daren," sapa salah satu petugas begitu Daren masuk."Maaf, Pak. Saya mau bertemu pemuda tadi.""Oh, dia disana dok."Daren mengangguk paham dan menghampiri pemuda yang tengah duduk di sudut ruangan, menekuk tubuhnya hingga menyentuh lutut yang dinaikkan ke bibir kursi."Hai," sapa Daren. "Namamu, Denis?"Denis mengangkat kepalanya dan mengangguk kecil."Aileen sudah ditemukan dan dia sekarang sedang beristirahat."Wajah Denis kembali bersemangat. "Apa dia baik-baik saja?" Tanyanya cepat.Daren mengangguk. "Berapa umurmu?""Dua puluh dua tahun.""Baiklah. Bisa kita bicara? Ada yang harus saya diskusikan dengan wali pasien."Denis mengikuti Daren ke ruang prakteknya."Ada apa, dok? Apa yang terjadi pada kakak saya?""Duduklah."Daren duduk dibalik meja kerjanya lalu mempersilahkan pemuda itu duduk dihadapannya."Denis, apa saudari Aileen menceritakan alasannya mencoba bunuh diri?"Denis menggeleng. "Tidak. Kak Ai tidak pernah membicarakan apapun pada kami. Tapi aku tahu alasannya," sesalnya."Berarti anda tahu tentang kanker perut yang diidap pasien Aileen?" Tanya Daren hati-hati."Kanker?"Alis Daren saling bertaut begitu melihat reaksi kaget di wajah Denis. "Anda, tidak tahu?"Denis menggeleng cepat. "Tidak, Dok. Saya pikir Kak Ai mencoba bunuh diri karena Ibu."Daren mendesah dalam. 'Ternyata wanita itu punya banyak alasan untuk bunuh diri,' batinnya."Apa penyakit Kak Ai berbahaya, dok?""Apa dia bisa disembuhkan?" Buru Denis cemas."Ya. Meskipun dari pemeriksaan menunjukkan hasil kanker perut stadium dua, tapi pasien harus segera melakukan pengobatan dan kemoterapi untuk mencegah penyebaran sel kanker lebih cepat," jelas Daren."Apa ini penyebab Kak Ai mencoba bunuh diri?" gumam Denis sedih.Daren menatapnya kasihan. "Denis, sekarang lebih baik kita fokus dengan pengobatan Aileen.""Apa yang harus saya lakukan, dok?""Saran saya, jauhkan pasien dari stres berlebih karena tekanan yang berat bisa membuat mentalnya lemah sehingga mudah melakukan hal-hal berbahaya."Denis mengangguk pelan meskipun hatinya tidak mampu untuk berjanji.***"Hai."Aira tersenyum manis sambil melambaikan tangan begitu melihat Aileen membuka mata. Sesaat ia mengagumi iris berwarna kelabu dengan bulu mata lentik dan panjang yang menutupinya."Jangan mengganggunya," hardik Mardiana."Kenapa kalian para hantu sangat suka mengganggunya." Mardiana mengibaskan tangannya, mencegah Aira mendekati ranjang."Ini semua gara-gara kamu, Rachel." Tudingnya pada gadis yang duduk di pojok ruangan dengan wajah cemberut."Kenapa ada hantu teriak hantu," gumam Rachel bersungut-sungut. Sedari tadi dia terus mendengarkan omelan Mardiana yang menuduhnya sebagai penyebar gosip.Melihat perdebatan Mardiana dan Rachel, Aira mengulum senyum geli di bibirnya lalu beralih pada Aileen yang masih memijat pelipisnya."Apa kamu merasa lebih baik?"Aileen mendesah pelan. "Pergilah, kalian tidak akan mendapatkan apapun dari ku.""Anak ini selalu saja mengusir orang lain. Padahal aku belum mengatakan apapun," keluh Rachel.Aileen meliriknya. "Apa yang kamu inginkan?" tanyanya seolah memancing antusias Rachel."Aku mau kamu memberikanku-""Tidak!" Potong Aileen. "Aku tidak akan membeli atau melakukan apapun untuk kalian," tegasnya.Rachel berdecak kesal. "Lalu kenapa bertanya?!" Lirihnya.Aileen menggosok perutnya, ia menekan turun rasa mual yang tiba-tiba dirasakannya. Namun gerakan aneh dari seseorang yang berdiri di samping ranjang mengusik rasa penasarannya."Apa yang kamu lakukan?" Alihnya pada Aira yang sedari tadi mengayunkan tangan untuk menyentuh kaki Aileen tapi sia-sia karena tangannya hanya menembus ruang kosong."Berhenti melakukan hal bodoh.""Ta-tapi semalam, aku bisa menyentuhmu," ucap Aira sedih.Dia hanya ingin memastikan dengan menyentuh benda apapun disekitarnya tapi setelah insiden semalam tidak ada yang berubah. Aira tetap hanya menyentuh udara hampa."Itu hanya, UKH!" Aileen menarik lepas jarum infus di lengannya hingga darah berceceran di atas seprai putih, dia berlalu cepat ke kamar kecil."UKH!" Cairan asam bergerak naik hingga kerongkongan. Membuat Aileen memuntahkan apapun yang masih tersisa di dalam perutnya."Kamu kenapa?" Tanya Aira panik.Dia dan dua wanita lainnya menatap Aileen kasihan. Ini kedua kalinya mereka melihat Aileen memuntahkan makanannya.Aileen berkumur di wastafel lalu tertatih menunju ranjangnya lagi."Kamu baik-baik saja, Nak? Perlu aku panggilkan suster?" Tanya laki-laki paruh baya yang menjaga istrinya di ranjang sebelah.Aileen menggeleng pelan lalu naik ke ranjang. Merebahkan tubuh dan menutupi wajahnya dengan lengan. Dia tahu apa yang sedang terjadi pada tubuhnya. Apa yang dilihatnya dahulu saat merawat Ayah, seolah terjadi padanya sekarang.Airmata Aileen mengalir dari sela lengan, membasahi bantalnya. Ketiga sosok yang berdiri disamping ranjang hanya dapat menatapnya kasihan.***"Untunglah, sayatan pisaunya tidak sampai melukai urat nadi. Tapi kamu tetap harus berhati-hati. Jangan mengangkat barang berat dan memaksakan diri," pesan dokter."Syukurlah, Kak."Aileen melirik Denis disampingnya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang membuat adik tirinya itu muncul di ruang rawatnya sepuluh menit yang lalu. Dan sekarang, dia mengikuti bahkan mengantar Aileen untuk melakukan kontrol di ruangan Ortopedi untuk memastikan kondisi tangannya."Anda wali pasien?" tanya dokter.Denis mengangguk cepat. "Iya, dok.""Tolong diperhatikan kondisi pasien, termasuk asupan nutrisinya. Dari rekam medis yang saya terima, pasien mengidap Malagizi atau yang lebih kita kenal dengan kurang gizi. Untuk mempercepat penyembuhan ada baiknya pasien istirahat dengan cukup dan makan makanan bergizi." Pesan dokter dan menyerahkan berkas rekam medis pada wali pasien.Denis melirik Aileen kasihan. Dia ingin menangis bila mengingat apa yang sekarang dialami Kakaknya. Selama ini wanita itu mati-matian mencari uang tapi Bapak dan Ibu selalu datang merampas uangnya setiap bulan."Kak, mulai hari ini kamu lebih baik fokus dengan pengobatan mu. Kamu tidak perlu memikirkan apapun, aku akan bekerja. Jadi kamu tidak perlu memikirkan tentang uang," ujar Denis yakin. Ia mendorong kursi roda dengan keyakinan besar."Jangan bicara yang aneh-aneh. Sebentar lagi kamu harus fokus dengan skripsi. Lebih baik pakai semangat mu itu untuk menyelesaikan kuliah secepat mungkin," tandas Aileen."Aku mungkin tidak akan bertahan selama itu," lirihnya.*****Aira menatap wajah Bagas dari kejauhan. Pagi ini dia dikejutkan oleh kabar bahwa suaminya telah sadar. Aira sangat senang, langkahnya cepat menyusuri lorong rumah sakit untuk bisa melihat wajah yang dirindukannya. Namun kebahagiaan hanya sesaat karena wajah itu tak lagi sama. Tatapan hangat yang biasanya terpancar dari binar matanya berubah kosong dan dingin, tidak bersemangat. 'Hidup seolah mati, bagai cangkang tak bertuan.'Selama dua puluh menit berlalu, pria itu hanya menatap pemandangan dari balik jendela lantai dua. Tanpa ada yang tahu, apa dan dimana tatapannya berlabuh. Bagas tidak menyentuh makanan atau minum setetes pun. Bahkan hingga saat ini, dia hanya mengucapkan satu kata dari bibirnya yaitu Aira—nama istrinya."Bagas, apa yang sedang kamu pikirkan?" batin Aira lirih."Bagas." Seorang wanita melewati tubuh Aira, langkahnya mengayun indah menghampiri ranjang dimana Bagas duduk.Bagas meliriknya sekilas lalu kembali melempar pandangan keluar jendela."Bagas, kamu harus ma
Denis mendesah dalam begitu melihat deretan angka di lembar tagihan rumah sakit. 'Lima belas juta? Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebesar itu?' lirihnya dalam hati.Bahkan, beberapa hari ini dia dan keluarganya bersembunyi dari para preman yang datang untuk menagih sisa utang Bapak dan Ibu."Apa itu?"Denis segera melipat kertas di tangannya dan menyembunyikan di balik saku jaket."Oh, nggak Kak. Cuma selebaran," kilahnya gugup.Aileen menatap tajam lalu kembali duduk di ranjangnya. "Berikan," ucap Aileen sambil mengulurkan tangannya ke arah Denis. "Tagihan rumah sakit 'kan?"Denis menatap sendu lalu mengangguk. Dia menyerahkan tagihan yang baru diterimanya dari pihak administrasi rumah sakit."Kakak tenang saja. Aku akan segera mencari pinjaman untuk membayar tagihan.""Bagaimana cara mu membayar? Kamu sudah sering melihat para preman itu menagih utang 'kan? Mereka kejam.""Lebih baik kamu pulang dan belajar. Tidak perlu datang malam ini. Aku sudah terbiasa sendiri," usir Aileen
Aileen menyusuri lorong panjang rumah sakit. Karena kejadian siang tadi, ia enggan untuk kembali ke kamar. Pikiran dan hatinya butuh sedikit ruang dari segala pertanyaan orang-orang di sekitarnya. "Kamu mau kemana, Ai?Aileen melirik sosok yang mensejajarkan langkahnya. "Jalan-jalan," sahutnya datar.Mardiana, wanita tua itu selalu datang menemui Aileen setiap kali punya waktu luang. Sebagai ketua perwakilan para penghuni kasat mata di rumah sakit ini, wanita itu tampak sangat sibuk menyusuri setiap sudut rumah sakit untuk mendengar keluhan kaumnya."Kamu baik-baik saja?""Ini bukan hal baru 'kan?" Aileen membalas pertanyaan dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa.Mardiana mengeratkan bibirnya untuk tidak bertanya hal yang sama lagi. Sepanjang perjalanannya mengenal Aileen, bocah itu tidak suka orang-orang mengasihani takdir hidupnya."Apa yang dilakukannya disana?" Tanya Aileen. Dia menunjuk Aira yang berdiri di depan pintu ruang rawat VIP."Oh, itu ruangan suami
"Ba—Bagas mau lompat dari atap," ucap Aira terbata."Apa?""Ai, kumohon. Tolong Bagas." Ulang Aira, jatuh berlutut di depan ranjang Aileen, memohon pertolongannya."Bangunlah." Paksa Aileen."Kak Ai, kenapa? Kakak ngomong sama siapa sih?"Aileen mengabaikan rasa penasaran Denis yang terus mencercanya dengan pertanyaan. Dia turun dari ranjang dan berlari keluar. Melihat itu, Aira dan Denis segera menyusulnya.'Kumohon, kumohon!' batin Aileen. Ia terus merapal doa yang sama di setiap langkah besarnya. "Hei, berhenti!" Teriaknya begitu pintu lift terbuka. "Jangan melakukan hal bodoh!"Semilir angin mengaburkan pandangan Aileen. Samar-samar terlihat tubuh kurus seorang pria berpakaian seragam pasien rumah sakit, merentangkan tangannya, berdiri di balik pagar pembatas gedung. Aileen menyibak rambutnya yang menghalangi pandangan. Sesaat ia dapat melihat refleksi dirinya saat melakukan hal yang sama."Siapa kamu?""A-aku?" Aileen menggaruk kepalanya, bingung. "A-aku, namaku Aileen."Bagas me
"Kenapa kamu tidak hati-hati? Sebelum menolong orang lain, pikirkan dirimu sendiri dulu."Aileen mengerutkan keningnya hingga berlapis-lapis. Telinganya lelah mendengar rentetan omelan Daren yang di mulai sejak satu jam yang lalu. Pria itu terus mengingatkan tentang kondisi tangannya sambil menjahit serta membalut ulang perban."Berhentilah mengomel. Kalau di hitung, omelan mu sama panjangnya dengan perban ini," keluh Aileen. Dia menunjuk tangannya yang di bebat dengan sangat rapat."Lagipula, jika aku sibuk memikirkan diriku sendiri, kapan aku menolong pria bodoh itu?" bantah Aileen tapi dia buru-buru menutup mulutnya karena Daren mendelik tajam."Oke, aku salah." Aku-nya menyerah."Ke depannya kamu harus lebih berhati-hati," ucap Daren lebih tenang. Ia merapikan peralatan yang digunakannya untuk menjahit ulang luka Aileen lalu meletakkannya kembali ke tempat semula."Kamu mengenal, Kak Bagas?""Kak Bagas? Kalian dekat?" Balas Aileen.Daren mengangguk kecil. "Dia sepupuku," jelasny
"Pak?"Bagas membalikkan badannya begitu mendengar suara Gio—asisten pribadinya. "Kamu menemukan wanita itu?"Pria yang mengenakan jas hitam dengan dasi berwarna senada, menyerahkan sebuah amplop kepada Bagas. "Ini semua informasi tentang wanita bernama Aileen Andita."Bagas mengangguk puas. Membuka amplop coklat itu dan mengeluarkan lembaran kertas berisi informasi pribadi Aileen. Perempuan yang tiba-tiba menghilang setelah mengatakan omong kosong."Kanker perut stadium dua?" Bagas melirik asistennya. "Kamu yakin?""Ya, Pak. Saya sudah mengonfirmasikan data ini dengan rekam medis di rumah sakit."Bagas kembali membaca baris demi baris riwayat hidup Aileen. Keningnya mengerut semakin dalam. 'Di sepanjang hidupnya, perempuan ini membawa nasib buruk bersamanya,' pikir Bagas."Siapkan mobil, Gio. Kita harus segera bertemu dengannya," perintah Bagas pada asistennya yang disambut oleh anggukan cepat."Bagas, apa yang akan kamu lakukan?" Tak jauh dari sana, Aira berdiri menatap suaminya d
"Ai, aku tahu kamu orang yang ketus dan dingin, tapi aku nggak nyangka hati kamu sekeras ini.""Padahal kamu tahu, saat ini Bagas rapuh. Dia butuh pertolongan kamu. Paling tidak, kamu bisa menyemangatinya, menghiburnya."Aileen mengalihkan pandangannya dari bayangan samar yang berdiri di balik tubuhnya.[BRUK ...]"Ai!"Aira menyongsong tubuh Aileen yang luruh ke lantai. "Ai, kamu kenapa?" Buru Aira. Ia melihat Aileen menekan perutnya sambil meringis kesakitan. "Sakit banget ya?"Akh." Rintih Aileen. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, berharap rasa sakit ini segera berlalu. "Apa yang harus aku lakukan?"Aileen melambaikan tangannya lalu menepuk lantai. Meminta Aira untuk tenang. Saat ini ia butuh ketenangan untuk dapat meredam gelombang rasa sakit yang tiba-tiba menyerang seluruh tubuhnya."Aira, ma-maaf," ucap Aileen terbata. "Nggak Ai. Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tahu, ini juga berat untukmu."Airmata Aira tak terbendung. Ia mengguncang tubuh Aileen, berharap dapat menyentuhn
"Kak Ai, darimana kita bisa mendapatkan uang besok untuk membayar mereka?" Cicit Denis.Aileen menatap Denis sesaat sebelum melempar pandangannya ke luar jendela.'Paman Barito, hanya dia satu-satunya harapan terakhir,' batin Aileen."Denis, bisa antar aku ke suatu tempat?""Mau kemana, Kak?""Nanti juga kamu tahu," ucap Aileen datar.***[Tok ... Tok ...]Pintu terbuka, seorang wanita keluar dari rumah tipe sederhana. Wanita itu terkejut begitu melihat Aileen berdiri di depan rumahnya."Ai?"Aileen tersenyum tipis. "Apa kabar, Tante Mira?" Sapa nya sambil mencium tangan wanita paruh baya itu."Baik, Nak. Kamu apa kabar?""Baik Tante."Mira melirik pemuda yang berdiri di belakang keponakannya. "Siapa? Pacar?""Denis," sahut Aileen sambil meringis lucu.Mira terkekeh. "Udah gede ya?""Ayo masuk, Nak Denis," ajak Mira. "Duh, terakhir kali Tante liat kamu masih merangkak."Denis tersipu malu-malu."Denis, ini istri dari Paman Barito. Kakak Ayahku," jelas Aileen."Ayo duduk, Nak. Pamanmu s