Alif menoleh. Telinganya tidak tuli dan ia bisa mendengar dengan jelas apa yang baru tercetus dari bibir Fabian.Mertuanya itu sedang menyesali sesuatu yang berhubungan dengan panggilan. Memangnya panggilan apa yang dimaksud? Apa panggilan itu berhubungan dengan kecelakaan yang dialami Dira dan Luna? Atau ada hal lain yang tidak ia ketahui?Alif tidak berani bertanya. Ini sudah di luar ranahnya. Ia juga tidak mau mengungkit semua yang berlalu. Toh, sekarang ia sudah belajar menerima semuanya dan mulai membuka hatinya untuk Dira.“Lif!!” Panggilan Widuri membuyarkan lamunan Alif.Alif mendongak menatap wajah teduh sang Bunda yang berdiri di depannya.“Ada apa, Bunda?”“Ayah dan Bunda mau pulang dulu, ya? Gak papa kan kamu menunggu di sini sendirian?”Alif mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Bunda.” Kemudian Alif melirik Fabian yang duduk di sampingnya.“Om Fabian juga kalau ma
“Alif, bagaimana keadaan Dira?”Alif sangat terkejut saat tiba-tiba Fabian sudah berdiri di depannya. Tadi Emran memang menghubungi Fabian mengenai kecelakaan yang menimpanya.“Eng … dokter masih memeriksanya, Om.”Fabian mengangguk sambil melihat ke arah pintu. Ada Emran yang berdiri di sampingnya mencoba menenangkan.“Dira baik-baik saja, kok. Dokter hanya ingin memastikan keadaannya, Fabian.”Fabian kembali menganggukkan kepala, tapi di wajahnya masih menyimpan kegelisahan.“Saya minta maaf, Om. Saya yang bersalah dalam hal ini. Saya tidak berhati-hati saat mengemudi tadi.”Alif kembali bersuara dan langsung meminta maaf ke Fabian. Fabian terdiam, menatap pria tampan yang menjadi menantunya kemudian menggeleng perlahan.“Iya, Lif. Om yakin kamu juga tidak mau hal seperti ini menimpamu.”Alif mengangguk lesu dan entah mengapa ia jadi teringat pembicaraa
“Engrk … .”Sebuah gerakan dibarengi suara berasal dari Dira. Widuri yang berjaga di sampingnya langsung menoleh dan mengelus lengan Dira dengan lembut.Perlahan Dira membuka mata. Ia mengerjap beberapa kali sambil mengedarkan pandangannya. Sebuah wajah nan teduh dengan senyum yang hangat menyapa Dira.“Bunda … .”Widuri tersenyum sambil mengangguk. “Syukurlah, akhirnya kamu siuman, Dira.”Dira terdiam, dadanya naik turun mengatur udara dengan tenang. Namun, Widuri melihat Dira sedang mengedarkan pandangannya menyapu isi ruangan seolah sedang mencari seseorang.“Mas Alif mana, Bunda?”“Alif sedang keluar sebentar,” jawab Widuri.Di kamar itu hanya ada Widuri dan Dira. Emran baru saja keluar untuk menerima panggilan telepon dari Fabian. Sepertinya Fabian baru tahu jika putrinya mengalami kecelakaan.“Mas Alif gak kenapa-napa kan, Bunda?”
“MAS!! Bangun!!!” seru Dira.Ia berkata sambil berurai air mata. Tangannya gemeteran saat menepuk bahu Alif. Ia takut apa yang pernah ia alami kembali terulang.Wajah Dira semakin pucat apalagi saat tahu Alif tidak bereaksi terhadap panggilan dan tepukannya.“MAS ALIF!! Bangun!!!”Napas Dira tersenggal. Ia merasakan udara semakin menipis. Ia mati-matian berusaha menghalau semua ketakutannya, traumanya. Ia tidak mau hal yang sama menimpa mamanya akan menimpa Alif juga.Perlahan ada gerakan dari Alif. Dira melebarkan matanya sambil melepas seat belt. Ia mendekat ke Alif dan melihat pria itu mengangkat kepalanya. Alif merasa pusing usai mengendalikan perputaran mobil tadi.Untung saja ia bisa mencari celah untuk keluar dari sana meski pada akhirnya harus menabrakkan mobilnya ke pohon.“Aku baik-baik saja, Dira,” jawab Alif.Dira hanya diam, menatap Alif tanpa ekspresi. Namun, yang pasti Alif mel
Tidak ada jawaban keluar dari bibir Alif. Ia tidak menyalahkan pertanyaan Rendy. Sebelumnya ia memang membenci Dira dan beranggapan Dira yang membunuh Disa. Namun, seiring berjalannya waktu Alif sadar jika dugaannya salah.“Maaf, Lif. Aku hanya sekedar bertanya. Kalau tidak mau jawab pun gak masalah.”Alif tersenyum sambil mengangguk. Sayangnya mereka tidak saling bertemu muka saat ini. Alif yakin Rendy pasti tidak akan berani bertanya jika melihat ekspresi wajahnya tadi.“Sudahlah, lakukan saja yang aku minta.”“Baik. Secepatnya aku akan memberi kabar.”Alif mengangguk kemudian sudah mengakhiri panggilannya. Ia terdiam sambil melamun menatap ponsel di tangannya.“Aku harap kamu tidak ada hubungannya dengan kematian Disa. Tolong jangan membuatku membencimu lagi, Dira.”Pukul empat sore, saat Alif masuk ke ruangan Dira. Ia sudah tidak melihat Fabian ada di sana. Usai melakukan panggilan d
Dira tercengang kaget mendengar ucapan Fabian. Dira tidak menduga akan mendengar hal seperti ini. Kemudian tanpa diminta Dira ingat saat di awal nikah jika Alif menuduhnya sebagai pembunuh Disa. Apa mungkin Fabian juga akan menuduhnya seperti itu?“Dira … Papa yakin ada orang yang tidak senang dengan keluarga kita.”Suara Fabian kembali terdengar dan mengusik lamunan Dira.“Apa maksud Papa? Memangnya siapa yang tidak suka?”“Entahlah, Dira. Papa … Papa hanya punya firasat kalau ada yang ingin membuat keluarga kita berantakan.”“Pertama kepergian mamamu yang mendadak dan kini kepergian Disa yang menyisakan tanya.”Dira membisu, menundukkan kepala. Tanpa diminta kenangan sedih yang selama ini ia coba lupakan terputar di otaknya. Kecelakaan itu, mobil yang berputar dengan cepat, mamanya kehilangan kendali hingga akhirnya mobil keluar jalur dan menabrak pohon dengan keras.Napa