Dira mendengkus sambil membalas tatapan Maura tak kalah tajam.“Kenapa harus berbagi? Kamu tidak ingin memiliki dia seutuhnya?”Bukannya marah mendengar ucapan Maura, Dira malah berkata seperti itu. Perlahan Maura mengubah posisi tubuhnya seperti awal. Sementara Dira hanya bergeming di tempatnya.“Jadi kamu pada akhirnya menyerah dan memberikan dia padaku?”Dira terdiam sesaat, menelan ludah beberapa kali sambil menatap Maura dengan saksama.“Ya … tentu saja.”Wajah Maura tampak berseri-seri mendengar jawaban Dira. Tidak disangka adik tirinya begitu mudah dilumpuhkan. Hanya karena beberapa kali intimidasi saja sudah membuat Dira menyerah.Padahal awalnya Maura menduga Dira lebih sulit dikalahkan daripada Disa, tapi dugaannya salah. Senyuman terukir indah di wajah Maura. Ia merasa kerja kerasnya tidak sia-sia.Namun, tiba-tiba Dira kembali bersuara.“Itu akan terjadi, jika
“Firman, bisa jemput aku satu jam lagi?”Alif langsung menghubungi Firman usai melihat berita di medsos. Tempo hari kedua orang tuanya sudah memberi tahu mengenai hal ini. Hanya saja Alif belum sempat menyelesaikannya.“Baik, Pak.”Alif langsung mengakhiri panggilan begitu Firman menjawab. Mobilnya sedang masuk bengkel usai tabrakan kemarin, itu sebabnya ia meminta Firman menjemputnya.“Kamu sudah bangun, Mas?”Suara Dira tiba-tiba menyeruak dari arah brankar. Wanita cantik berambut coklat itu menyipitkan mata melihat Alif.Tampangnya berantakan, rambut acak-acakan, belum lagi banyak tanda kepemilikan di leher peninggalan Alif.Alif tersenyum, berjalan menghampirinya.“Iya, aku mau ke kantor bentar. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan.”Dira hanya mengangguk mendengar penjelasan Alif, kemudian dia sudah berjalan ke kamar mandi. Alif hanya diam memperhatikan hingga pintu k
Alif menoleh. Telinganya tidak tuli dan ia bisa mendengar dengan jelas apa yang baru tercetus dari bibir Fabian.Mertuanya itu sedang menyesali sesuatu yang berhubungan dengan panggilan. Memangnya panggilan apa yang dimaksud? Apa panggilan itu berhubungan dengan kecelakaan yang dialami Dira dan Luna? Atau ada hal lain yang tidak ia ketahui?Alif tidak berani bertanya. Ini sudah di luar ranahnya. Ia juga tidak mau mengungkit semua yang berlalu. Toh, sekarang ia sudah belajar menerima semuanya dan mulai membuka hatinya untuk Dira.“Lif!!” Panggilan Widuri membuyarkan lamunan Alif.Alif mendongak menatap wajah teduh sang Bunda yang berdiri di depannya.“Ada apa, Bunda?”“Ayah dan Bunda mau pulang dulu, ya? Gak papa kan kamu menunggu di sini sendirian?”Alif mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Bunda.” Kemudian Alif melirik Fabian yang duduk di sampingnya.“Om Fabian juga kalau ma
“Alif, bagaimana keadaan Dira?”Alif sangat terkejut saat tiba-tiba Fabian sudah berdiri di depannya. Tadi Emran memang menghubungi Fabian mengenai kecelakaan yang menimpanya.“Eng … dokter masih memeriksanya, Om.”Fabian mengangguk sambil melihat ke arah pintu. Ada Emran yang berdiri di sampingnya mencoba menenangkan.“Dira baik-baik saja, kok. Dokter hanya ingin memastikan keadaannya, Fabian.”Fabian kembali menganggukkan kepala, tapi di wajahnya masih menyimpan kegelisahan.“Saya minta maaf, Om. Saya yang bersalah dalam hal ini. Saya tidak berhati-hati saat mengemudi tadi.”Alif kembali bersuara dan langsung meminta maaf ke Fabian. Fabian terdiam, menatap pria tampan yang menjadi menantunya kemudian menggeleng perlahan.“Iya, Lif. Om yakin kamu juga tidak mau hal seperti ini menimpamu.”Alif mengangguk lesu dan entah mengapa ia jadi teringat pembicaraa
“Engrk … .”Sebuah gerakan dibarengi suara berasal dari Dira. Widuri yang berjaga di sampingnya langsung menoleh dan mengelus lengan Dira dengan lembut.Perlahan Dira membuka mata. Ia mengerjap beberapa kali sambil mengedarkan pandangannya. Sebuah wajah nan teduh dengan senyum yang hangat menyapa Dira.“Bunda … .”Widuri tersenyum sambil mengangguk. “Syukurlah, akhirnya kamu siuman, Dira.”Dira terdiam, dadanya naik turun mengatur udara dengan tenang. Namun, Widuri melihat Dira sedang mengedarkan pandangannya menyapu isi ruangan seolah sedang mencari seseorang.“Mas Alif mana, Bunda?”“Alif sedang keluar sebentar,” jawab Widuri.Di kamar itu hanya ada Widuri dan Dira. Emran baru saja keluar untuk menerima panggilan telepon dari Fabian. Sepertinya Fabian baru tahu jika putrinya mengalami kecelakaan.“Mas Alif gak kenapa-napa kan, Bunda?”
“MAS!! Bangun!!!” seru Dira.Ia berkata sambil berurai air mata. Tangannya gemeteran saat menepuk bahu Alif. Ia takut apa yang pernah ia alami kembali terulang.Wajah Dira semakin pucat apalagi saat tahu Alif tidak bereaksi terhadap panggilan dan tepukannya.“MAS ALIF!! Bangun!!!”Napas Dira tersenggal. Ia merasakan udara semakin menipis. Ia mati-matian berusaha menghalau semua ketakutannya, traumanya. Ia tidak mau hal yang sama menimpa mamanya akan menimpa Alif juga.Perlahan ada gerakan dari Alif. Dira melebarkan matanya sambil melepas seat belt. Ia mendekat ke Alif dan melihat pria itu mengangkat kepalanya. Alif merasa pusing usai mengendalikan perputaran mobil tadi.Untung saja ia bisa mencari celah untuk keluar dari sana meski pada akhirnya harus menabrakkan mobilnya ke pohon.“Aku baik-baik saja, Dira,” jawab Alif.Dira hanya diam, menatap Alif tanpa ekspresi. Namun, yang pasti Alif mel