"Udah selesai, Indah? Nanti, pulangnya kita jalan, yuk!"
Mendengar ucapan temannya, Indah yang sedang mengerjakan sesuatu menegakkan kepala sambil mengerutkan dahi. "Kamu lupa kalau kita harus lembur, Si?""Ck! Aku lupa kalau harus lembur," keluh Rosi.Indah menggeleng kecil mendengar penuturan teman kantornya yang pelupa itu."Dulu, kita jarang lembur. Tapi, setelah perusahaan dipegang Pak Zulfi, semua jadi kacau! Kita dipaksa lembur dengan upah yang enggak sesuai. Keluar pun, harus bayar penalti dengan jumlah yang enggak wajar,” gerutu Rosi, “Pak Bara kapan siuman, sih? Pertolongan pertamanya gak telat, kan?"Deg! Indah sontak teringat dengan kecelakaan bosnya satu bulan lalu. Bayangan wajah Bara yang berlumuran darah kembali membuat perasaan Indah tidak tenang. Seandainya, dia dapat memberikan pertolongan lebih cepat, apakah Bara dapat lebih cepat pulih? “Dah? Indah?!” panggil Rosi yang menyadari temannya itu tampak terdiam."E–eh? Ada apa? Sorry gak denger, Si." Indah menyahut gugup.“Itu, loh. Pak Bara kapan sadar, ya?” gerutu temannya, “Rasanya, pengen keluar aja kalau enggak butuh."“Hahaha, iya." Indah tertawa garing mendengar ucapan Rosi, “Semoga Pak Bara lekas pulih, ya.”"Hemm, aku harap begitu."Indah tersenyum simpul untuk menutupi perasannya yang gamang. Pernyataan temannya itu menghantui Indah. Kembali ia berandai bisa lebih cepat menolong Bara, apakah situasi ini tidak akan terjadi?Diam-diam tangan Indah tampak mengepal–khawatir."Ini kenapa pada kumpul begini? Rosi, ayo kembali ke meja kerja kamu!"Sebuah teguran dari Ibu Nani, selaku kepala divisi administrasi membuat Rosi ngacir ke mejanya. Sementara pikiran Indah tentang Bara membuyar. Meski begitu, ia tetap merasa khawatir.****** "Bara!" Teriakan panik memenuhi ruangan VVIP rumah sakit begitu Dona melihat pergerakan tangan sang putra. Segera, Dona menekan tombol yang ada di sisi brankar untuk memanggil dokter. Sambil menunggu, perasaan gamang memenuhi wanita paruh baya itu. "Bara, ayo bangun, Nak!" lirih Dona berkali-kali berharap putranya dapat mendengar. Air mata mulai menggenang memikirkan putranya yang tak kunjung sadar. Dona bahkan terus menerus memencet tombol darurat. Seiringan dengan itu, perlahan, kelopak mata Bara bergerak seirama. Hingga akhirnya, benar-benar terbuka dengan sempurna. Dona yang sadar kejadian itu terkesiap, sontak ia mencium tangan Bara beberapa kali."Bara, akhirnya kamu bangun."Semua terjadi begitu cepat setelahnya. Dokter yang dipanggil tampak berlari menuju ruangan–membuat Dona mau tidak mau harus menyingkir agar dokter dapat memeriksa keadaan Bara. Cukup lama menunggu, akhirnya dokter tersebut selesai juga."Bagaimana, Dok?" tanya Dona dengan perasaan cemas juga penuh harap."Mohon maaf, Bu. Seperti yang Anda tahu, pasien mengalami benturan yang cukup keras. Dan hal itu membuat pasien mengalami hilang ingatan sesuai dengan analisis kami sebelumnya.""Apa?!" Dona menatap dokter di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. "Untuk amnesia apa yang dialami pasien, kami akan melakukan pemeriksaan lebih mendetail."Tubuh Dona langsung lemas seketika. Bagaimana bisa, anaknya mengalami amnesia? Sungguh, Dona belum bisa menerima kenyataan tersebut.Perlahan kaki yang terasa lemas itu melangkah menghampiri Bara yang menatapnya dengan sorot mata kosong. Meski rapuh, Dona tetap berusaha tersenyum di depan Bara. "Bara," panggilnya saat ia sudah berdiri di samping brankar."Bara?" Bara mengulangi ucapan Dona."Hemm, nama kamu Bara. Bara Chandra, dan aku adalah Mama kamu.""Mama?" ucap Bara kembali mengulangi ucapan Dona.Dona mengangguk. “Benar. Kamu anakku," ujar Dona mencoba memberi pengertian kepada Bara yang benar-benar melupakannyaMeski perih ketika anaknya tidak mengingat dirinya, Dona berusaha tegar. Setidaknya, dia bersyukur karena Bara masih selamat dari maut.Penuturan Dona sontak membuat Bara pusing dan menghela nafas panjang. Dia berusaha mengingat tentang dirinya, tetapi nihil. Bara sama sekali tidak mengingat apa pun.Hal itu pun tak lepas dari pengawasan Dona. “Bara?”"Maaf, Ma. Aku benar-benar tidak mengingat apa pun."Dona mengangguk paham. "Tidak apa-apa. Jangan dipaksakan, kamu baru saja sadar dari koma.""Eemm, karena sudah sadar. Bolehkah aku pulang?"Dona menggeleng. "Kita tunggu Dokter periksa kondisimu dulu, ya?" Bara seketika mendengus kesal. Ia tidak nyaman berada di rumah sakit. Bau-bau alkohol, obat, dan antiseptik begitu mengganggunya. "Sabar. Kita akan pulang setelah memastikan kondisimu baik-baik saja.” Dona mencoba memberi pengertian.“Hmmm,” gumam Bara pelan. Namun, pikirannya melayang jauh.Ketika ia mencoba mengingat kembali, hanya suara perempuan yang tidak ia kenal terus memenuhi pikirannya. 'Pak! Jangan tidur. Usahakan tetap bangun!'
"Siapa dia?" gumam Bara lirih. Sayang, semakin dia berusaha mengingat, kepalanya semakin sakit. "Arrgh!"
"Arrgh!" ringis Bara sambil memegang kepalanya. Sudah seminggu setelah Bara bangun dari komanya. Selama itu pula, ia melakukan serangkaian pemeriksaan di rumah sakit.Amnesia pasca trauma. Jenis amnesia yang disimpulkan tim dokter yang menangani Bara. Menurut mereka, ini terjadi pada pasien yang mengalami cedera kepala parah. Meski demikian, ini hanya bersifat sementara dan bantuan keluarga dapat membantu proses pemulihan ingatan."Ada apa, Bar?" Dona terlihat khawatir saat melihat anaknya yang meringis kesakitan."Kepalaku sakit.""Kamu pasti memaksakan lagi," keluh Dona dengan helaan napas berat. "Jangan terlalu memaksa diri. Biarkan ingatan itu kembali dengan alami."Bara memang sedang berkeliling rumah mewah–kediaman dirinya bersama kedua orang tuanya. Hanya saja, pria tersebut memang berusaha keras mengingat kenangan yang ada di sana. Namun, bukan ingatan yang ia dapat, melainkan nyeri pada kepalanya."Aku ingin kembali mengingat semuanya.""Papa paham, tapi jangan dipaksakan,"
"Ck!"Bara tampak murung setelah penyambutan tadi. Dia merasa bingung dengan reaksi para karyawannya. Namun, Bara memendamnya sendiri. Kini, bahkan Bara sudah dengan santai berkeliling perusahaan diarahkan oleh sang Papa. Roki memang ingin sang anak mengenal struktur perusahaan secara nyata. Tidak seperti sebelumnya yang hanya lewat tulisan dan gambar, Roki juga berharap dengan berkeliling perusahaan membuat percahan memori Bara kembali.Bruk! Tanpa sengaja Bara menabrak seorang karyawan yang sedang memegang setumpuk kertas karena pria itu memperhatikan banyak hal dan tidak fokus ke depan. Sontak, hal itu membuat kertas-kertas yang dipegang karyawan itu berhamburan.Segera, Bara berjongkok untuk memunguti kertas yang berserakan. Melihat itu, Zulfi pun ikut berjongkok untuk membantu atasannya. Begitu juga dengan karyawan yang ditubruk oleh Bara."Saya minta maaf karena sudah membuat kekacauan seperti ini." Bara berkata sambil memberikan kertas-kertas yang sudah dikumpulkan kepada ka
“Indah.” Bara terus mengulang nama itu sambil melihat ke arah Indah dengan berbinar. "Jadi, apa yang membuat kamu beranggapan jika Indah adalah penyelamat hidupmu, Nak?" tanya Dona lebih lembut.Setelah bersitegang karena Bara yang tidak mau melepaskan tangan Indah tadi, pria itu akhirnya dengan berat hati melepaskan saat Indah yang memintanya. Kini, mereka tengah duduk di sofa dengan saling berhadapan."Ayo Bara, jawab." Dona kembali berkata ketika Bara hanya diam saja.Bara melihat sekilas ke arah Indah lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Karena dia yang menolongku saat kecelakaan itu." Sontak jawaban Bara membuat semua orang yang tengah duduk itu menatap Bara dengan tidak percaya. Mereka tidak menyangka jika Bara bisa tahu kalau Indahlah yang menolongnya. Namun, bagaimana bisa pria tersebut mengetahuinya? "Ka-kamu, bagaimana bisa mengetahuinya?" "Aku mengenal suaranya.”"Jadi, saat itu kamu dalam keadaan sadar?" tanya Dona."Aku enggak tahu, karena yang aku ingat han
Meski memikirkan bahwa pengirim pesan tersebut adalah Bara, tetapi tangan Indah segera bergerak untuk melihat foto profil dari nomor tersebut. Dia ingin memastikannya lagi. Namun, betapa kagetnya, ia saat gambar Bara terpampang jelas di sana. "Ja-jadi, ini nomor Pak Bara?" gumam Indah lirih.Meski pelan, ternyata Rosi yang memang mejanya berdekatan dengan Indah, dapat mendengar gumaman Indah barusan. "Kamu SMS-an sama Pak Bara, Indah?" pekik Rosi dengan keras.Sontak semua orang yang sejak tadi memperhatikan Indah pun menatapnya menjadi penuh selidik. Bagaimana tidak? Kejadian Bara yang tanpa sengaja menabrak Indah sudah menyebar luas di kalangan para pegawai.Bahkan, selentingan gosip yang tidak benar sudah sampai di telinga semua orang. Lalu, sekarang mereka mengetahui jika Indah berkirim pesan dengan Bara. Bukankah itu terlalu mencurigakan? "Ini ... aku—""--Indah dipindahkan tugaskan jadi sekretaris pribadi Pak Bara," potong Kepala Administrasi sebelum Indah selesai berbicara.
Ucapan Bara membuat Indah terdiam dan heran. Ia merasa tidak percaya jika pria yang ada di hadapannya bisa mengatakan hal itu tanpa beban. Apa ia pikir pernikahan itu hanya main-main? "Kenapa diam aja? Kamu mau enggak?" Bara tampaknya tidak sabar ingin tahu jawaban lndah.Indah mengerjap beberapa kali saat Bara menatapnya penuh harap. Ia merasa bingung harus menjawab apa. "Saya tidak ...." Belum selesai Indah menyelesaikan kalimatnya, Bara sudah lebih dulu menyela dengan menarik tangan Indah. Langkahnya sangat lebar dan cepat. Sehingga Indah hampir terseret andai tidak bisa menyeimbangkan."Ma! Pa!" Bara memanggil kedua orang tuanya begitu masuk ke dalam rumah. Memang jarak antara gerbang dan rumah cukup jauh. Hal itu dikarenakan halaman yang begitu luas. Dona dan Roki yang berada di kamar pun segera keluar ketika mendengar Bara yang memanggil mereka. "Ada apa, Bar?" tanya Roki dengan napas yang terengah-engah–khawatir sang putra kembali terkena musibah."Aku mau menikah dengan I
Dona dan Roki hanya bisa mendesah lirih ketika Bara mengatakan kalau dirinya tidak ingat dengan siapa yang sudah melakukan kejahatan tersebut. Ya, meski mereka kecewa, tetapi mereka paham kalau Bara tidak mungkin mengingat dengan mudah."Jadi bagaimana? Kamu belum menjawab pertanyaanku." Bara menatap Indah dengan penuh harap.Mendapatkan tatapan seperti itu, Indah ikut mendesah. Pada akhirnya ia pun menjawab dengan jujur meski rasanya berat. "Saya belum menikah, Pak." Terang saja Bara senang mendengar itu. Ia bahkan dengan refleks memeluk Indah. "Aku senang, itu artinya kita bisa menikah." Tubuh Indah menegang. Perlakuan Bara yang tiba-tiba membuat Indah tidak nyaman. Menyadari itu, Dona pun meminta Bara untuk melepaskan pelukannya."Bara, bukankah udah Mama katakan untuk tidak berbuat seenaknya kepada Indah?" Teguran Dona membuat Bara melepaskan pelukannya dengan berat. Ada rasa nyaman saat memeluk Indah. "Aku selalu tidak bisa mengontrol diri saat bersamamu, Penyelamat hidup." "
Tiba di kantor, semua orang yang berada di loby langsung tertuju pada Bara dan Indah. Jelas hal itu karena gosip tentang Indah yang berkirim pesan dengan Bara sudah menyebar luas. Ditambah dengan sekarang, mereka berangkat ke kantor bersama. Jelas perbincangan itu semakin senter terdengar."Kata Papa jangan dengarkan mereka yang sedang membicarakan kita," bisik Bara ketika mereka sedang berdiri di depan lift. Indah hanya mampu menunduk. Tidak mengindahkan ucapan Bara barusan. "Kenapa diam?" Dengan pelan Indah menggeleng. Bara mendesah pelan, lalu tiba-tiba ia menarik dagu Indah agar kepalanya tegak. "Jangan menunduk terus, nanti leher kamu sakit." Jelas tindakan Bara di depan umum membuat kasak-kusuk semakin menjadi. Mereka tidak mengira jika Bara bisa melakukannya secara terang-terangan. Tidak jauh berbeda dengan perasaan Indah sekarang. "P-pak, mohon maaf. Jangan seperti ini," pinta Indah sambil menepis tangan Bara dari dagunya."Kenapa?" Belum sempat menjawab, pintu lift
Indah mengerjap beberapa kali--bahkan sendok yang sedang dipegangnya hampir jatuh saat melihat Bara sudah berdiri di hadapannya. "Kenapa diam?" tanya Bara karena Indah tidak juga berdiri, padahal ia sudah mengulurkan tangan. Tersadar saat kakinya ditendang Rosi dari bawah meja, Indah tersenyum canggung. "Maksud Bapak, apa?" "Ck! Kamu udah janji enggak akan ninggalin aku. Tapi malah makan di sini sama teman kamu." "Ini 'kan jam makan siang, Pak!" "Harusnya kamu makan sama aku!" Tanpa ada yang mengira, Bara malah menarik satu kursi lalu duduk di samping Indah. "Aku makan di sini." Zulfi yang sejak tadi berdiri di belakang Bara mengangguk. "Kalau begitu saya pesankan dulu, Tuan." "Hemm." Karena tidak mau menganggu, Rosi yang sejak tadi diam memilih berdiri. Ia mengambil kotak makan yang masih tersisa banyak. "Aku duluan, Indah." Indah menatap Rosi penuh harap agar Rosi mau tetap tinggal. Namun, tatapan itu Rosi abaikan. Bagaimanapun Rosi masih membutuhakan perkerjaan, ia tid