Share

Bab 1. Siuman

"Udah selesai, Indah? Nanti, pulangnya kita jalan, yuk!"

Mendengar ucapan temannya, Indah yang sedang mengerjakan sesuatu menegakkan kepala sambil mengerutkan dahi. "Kamu lupa kalau kita harus lembur, Si?"

"Ck! Aku lupa kalau harus lembur," keluh Rosi.

Indah menggeleng kecil mendengar penuturan teman kantornya yang pelupa itu.

"Dulu, kita jarang lembur. Tapi, setelah perusahaan dipegang Pak Zulfi, semua jadi kacau! Kita dipaksa lembur dengan upah yang enggak sesuai. Keluar pun, harus bayar penalti dengan jumlah yang enggak wajar,” gerutu Rosi, “Pak Bara kapan siuman, sih? Pertolongan pertamanya gak telat, kan?"

Deg!

 

Indah sontak teringat dengan kecelakaan bosnya satu bulan lalu. Bayangan wajah Bara yang berlumuran darah kembali membuat perasaan Indah tidak tenang. Seandainya, dia dapat memberikan pertolongan lebih cepat, apakah Bara dapat lebih cepat pulih?

 

“Dah? Indah?!” panggil Rosi yang menyadari temannya itu tampak terdiam.

"E–eh? Ada apa? Sorry gak denger, Si." Indah menyahut gugup.

“Itu, loh. Pak Bara kapan sadar, ya?” gerutu temannya, “Rasanya, pengen  keluar aja kalau enggak butuh."

“Hahaha, iya." Indah tertawa garing mendengar ucapan Rosi, “Semoga Pak Bara lekas pulih, ya.”

"Hemm, aku harap begitu."

Indah tersenyum simpul untuk menutupi perasannya yang gamang. Pernyataan temannya itu menghantui Indah. Kembali ia berandai bisa lebih cepat menolong Bara, apakah situasi ini tidak akan terjadi?

Diam-diam tangan Indah tampak mengepal–khawatir.

"Ini kenapa pada kumpul begini? Rosi, ayo kembali ke meja kerja kamu!"

Sebuah teguran dari Ibu Nani, selaku kepala divisi administrasi membuat Rosi ngacir ke mejanya. Sementara pikiran Indah tentang Bara membuyar. Meski begitu, ia tetap merasa khawatir.

******

 

"Bara!"

 

Teriakan panik memenuhi ruangan VVIP rumah sakit  begitu Dona melihat pergerakan tangan sang putra. Segera, Dona menekan tombol yang ada di sisi brankar untuk memanggil dokter. Sambil menunggu, perasaan gamang memenuhi wanita paruh baya itu.

 

"Bara, ayo bangun, Nak!" lirih Dona berkali-kali berharap putranya dapat mendengar. Air mata mulai menggenang memikirkan putranya yang tak kunjung sadar. Dona bahkan terus menerus memencet tombol darurat.

 

Seiringan dengan itu, perlahan, kelopak mata Bara bergerak seirama. Hingga akhirnya, benar-benar terbuka dengan sempurna. Dona yang sadar kejadian itu terkesiap, sontak ia mencium tangan Bara beberapa kali.

"Bara, akhirnya kamu bangun."

Semua terjadi begitu cepat setelahnya. Dokter yang dipanggil tampak berlari menuju ruangan–membuat Dona mau tidak mau harus menyingkir agar dokter dapat memeriksa keadaan Bara. Cukup lama menunggu, akhirnya dokter tersebut selesai juga.

"Bagaimana, Dok?" tanya Dona dengan perasaan cemas juga penuh harap.

"Mohon maaf, Bu. Seperti yang Anda tahu, pasien mengalami benturan yang cukup keras. Dan hal itu membuat pasien mengalami hilang ingatan sesuai dengan analisis kami sebelumnya."

"Apa?!" Dona menatap dokter di hadapannya dengan tatapan tidak percaya.

 

"Untuk amnesia apa yang dialami pasien, kami akan melakukan pemeriksaan lebih mendetail."

Tubuh Dona langsung lemas seketika. Bagaimana bisa, anaknya mengalami amnesia? Sungguh, Dona belum bisa menerima kenyataan tersebut.

Perlahan kaki yang terasa lemas itu melangkah menghampiri Bara yang menatapnya dengan sorot mata kosong. Meski rapuh, Dona tetap berusaha tersenyum di depan Bara.

 

"Bara," panggilnya saat ia sudah berdiri di samping brankar.

"Bara?" Bara mengulangi ucapan Dona.

"Hemm, nama kamu Bara. Bara Chandra, dan aku adalah Mama kamu."

"Mama?" ucap Bara kembali mengulangi ucapan Dona.

Dona mengangguk. “Benar. Kamu anakku," ujar Dona mencoba memberi pengertian kepada Bara yang benar-benar melupakannya

Meski perih ketika anaknya tidak mengingat dirinya, Dona berusaha tegar. Setidaknya, dia bersyukur karena Bara masih selamat dari maut.

Penuturan Dona sontak membuat Bara pusing dan menghela nafas panjang. Dia berusaha mengingat tentang dirinya, tetapi nihil. Bara sama sekali tidak mengingat apa pun.

Hal itu pun tak lepas dari pengawasan Dona. “Bara?”

"Maaf, Ma. Aku benar-benar tidak mengingat apa pun."

Dona mengangguk paham. "Tidak apa-apa. Jangan dipaksakan, kamu baru saja sadar dari koma."

"Eemm, karena sudah sadar. Bolehkah aku pulang?"

Dona menggeleng. "Kita tunggu Dokter periksa kondisimu dulu, ya?"

 

Bara seketika mendengus kesal. Ia tidak nyaman berada di rumah sakit. Bau-bau alkohol, obat, dan antiseptik begitu mengganggunya. 

"Sabar. Kita akan pulang setelah memastikan kondisimu baik-baik saja.” Dona mencoba memberi pengertian.

“Hmmm,” gumam Bara pelan. Namun, pikirannya melayang jauh.

Ketika ia mencoba mengingat kembali, hanya suara perempuan yang tidak ia kenal terus memenuhi pikirannya. 'Pak! Jangan tidur. Usahakan tetap bangun!'

"Siapa dia?" gumam Bara lirih. Sayang, semakin dia berusaha mengingat, kepalanya semakin sakit. "Arrgh!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status