"Arrgh!" ringis Bara sambil memegang kepalanya.
Sudah seminggu setelah Bara bangun dari komanya. Selama itu pula, ia melakukan serangkaian pemeriksaan di rumah sakit.Amnesia pasca trauma. Jenis amnesia yang disimpulkan tim dokter yang menangani Bara. Menurut mereka, ini terjadi pada pasien yang mengalami cedera kepala parah. Meski demikian, ini hanya bersifat sementara dan bantuan keluarga dapat membantu proses pemulihan ingatan."Ada apa, Bar?" Dona terlihat khawatir saat melihat anaknya yang meringis kesakitan."Kepalaku sakit.""Kamu pasti memaksakan lagi," keluh Dona dengan helaan napas berat. "Jangan terlalu memaksa diri. Biarkan ingatan itu kembali dengan alami."Bara memang sedang berkeliling rumah mewah–kediaman dirinya bersama kedua orang tuanya. Hanya saja, pria tersebut memang berusaha keras mengingat kenangan yang ada di sana. Namun, bukan ingatan yang ia dapat, melainkan nyeri pada kepalanya."Aku ingin kembali mengingat semuanya.""Papa paham, tapi jangan dipaksakan," sahut Roki–sang ayah–mendadak.Pria itu memang hanya diam saja sejak tadi. Meski sebenarnya Roki juga khawatir dengan keadaan putranya, tetapi ia memasang wajah tegar untuk menguatkan sang istri. Padahal, pria tua Itulah yang selalu pasang badan membantu perusahaan milik Bara yang mengalami berbagai masalah selama sang anak setia dengan tidur panjangnya."Baik, Pa," balas Bara dengan patuh.Melihat keheningan di antara keduanya, Dona lantas berpikir cepat. "Ya udah, ayo kita masuk! Mama akan tunjukan kamar kamu." Perlahan, Bara mengikuti langkah Dona untuk masuk ke dalam rumah. Banyak hal pula yang diceritakan sang Ibu, termasuk para pekerja setia mereka selama ini.Setibanya di kamar, langkah kaki Bara berhenti. Pandangannya jatuh pada bingkai foto di mana ada dia dan seorang wanita yang tampak mesra."Itu aku 'kan, Ma?""Iya, Bara.""Lalu, perempuan itu siapa?"Dona tampak ragu, tetapi dia segera menjawab sang putra, "Dia Mawar, tunangan kamu." Deg! Entah mengapa, tubuh Bara terasa kaku mendengar jawaban Dona. Meski begitu, tidak ada getaran di hati saat ia melihat perempuan bernama Mawar itu. Padahal, perempuan yang ada dalam bingkai begitu anggun. Justru, suara perempuan yang tak dikenalnya malah membuat jantungnya bergetar. Seketika, kepala Bara kembali terasa sakit. "Lalu, di mana tunanganku sekarang, Ma?"Dona tampak terdiam, seperti memikirkan jawaban yang tepat untuk sang putra. Entah bagaimana menjawabnya.Tunangan Bara itu bahkan tak pernah mengunjungi anaknya yang koma. Perempuan itu seolah hilang ditelan bumi. Cukup lama, hingga membuat Bara tampak penasaran. "Ma? Aku ingin menemuinya."Seketika Dona mendesah lirih. "Sudahlah, Bara. Jangan membahas terus mantanmu, lebih baik fokus pada kesembuhan saja." "Tapi, bisa saja kalau aku bertemu dengan Mawar, aku akan mengingat kembali semuanya." Dona menghela nafas panjang, "Itu benar, tapi mama pun tidak tahu keberadaan Mawar sekarang.”Kedua alis Bara langsung mengerut saat mendengar jawaban Dona. "Apa karena keadaanku yang sekarang membuat Mawar tidak ingin bertemu denganku?" Tatapan tajam langsung dilayangkan Dona pada putranya. "Kamu ini ngomong apa? Lebih baik, kamu bersiap untuk kembali ke perusahaanmu. Siapa tahu, kamu bisa mengingat kenangan jika kamu kembali beraktivitas seperti biasa.""Perusahaan?""Benar, perusahaan milikmu. Sudah saatnya kamu kembali bekerja lagi," ujar Roki secara tiba-tiba.Sontak Bara dan Dona langsung menoleh ke arah sumber suara. Mata Bara bahkan melebar kala mendengar ucapan Roki. Ia merasa belum siap kembali ke perusahaan dengan keadaannya yang sekarang. Bara merasa butuh waktu untuk mempelajari semuanya kembali.Hanya saja, ucapan dokter yang mengatakan bahwa kemampuan Bara tak hilang, membuat Roki percaya jika anaknya bisa kembali menjalankan perusahaan seperti dulu.“Jangan khawatir. Untuk masalah pekerjaan, ada Zulfi yang akan membimbing kamu," tambah Roki."Zulfi? Apa dia dulu asisten pribadiku?" Bara seketika menebak dan langsung dibenarkan oleh Roki."Iya, jadi kamu enggak usah khawatirkan hal itu."Bara mendesah lirih–merasa mendapatkan beban berat. Menjalankan perusahaan dengan kondisinya saat ini, sungguh membuat Bara dalam dilema sekarang."Ayolah, ini yang terbaik! Perusahaanmu sudah lama kau tinggal dan mengalami kerugian cukup banyak. Papa hanya bisa membantu sedikit. Kamu enggak mau perusahaan yang kamu bangun dengan kerja keras hancur seketika, kan?" Roki masih mencoba membujuk.Terdiam beberapa saat, Bara mengetuk dagunya dengan jari. Seolah sedang memikirkan sesuatu, hingga akhirnya ia mengangguk ragu.Riko dan Dona tersenyum lebar saat melihat Bara yang menyetujui. Refleks tangan Riko bergerak untuk menepuk pundak lebar anaknya. "Papa yakin, kamu bisa melakukannya.""Semoga saja."*****Seperti ucapan dokter, Bara memang masih memiliki kemampuan dalam mengelola perusahaan. Terbukti, dia mampu mempelajari keadaan perusahaan dalam waktu singkat dan menemukan berbagai solusi yang bisa digunakan.Kini, dengan diantar oleh Roki dan Dona, Bara pun tiba di perusahaan. Zulfi adalah yang pertama menyambut Bara turun dari mobil. Pria dengan kacamata yang menempel pada pangkal hidungnya itu menunduk hormat kepada bosnya."Selamat datang kembali, Tuan."Bara yang diperlakukan seperti itu jelas sedikit risih. Meski begitu, ia tetap memperlihatkan wibawanya sebagai atasan."Terima kasih," ucapnya tegas.Namun, Bara tidak menyadari ucapan sederhananya pada diri Zulfi. Asistennya itu bahkan langsung menegakkan kepalanya–menatap tidak percaya pada sosok yang ada di hadapannya. Bagaimana bisa Bara yang angkuh, kini malah mengucapkan terima kasih hanya karena sambutan? Padahal dulu …."Ada apa dengan wajahmu?"Pertanyaan Bara sontak membuat Zulfi merasa canggung. Pria itu lantas berdehem pelan sebelum menjawab sang tuan, "Tidak ada apa-apa, Tuan. Kalau begitu, mari saya antarkan ke ruangan Anda."Zulfi memberikan ruang untuk Bara berjalan masuk ke dalam lobi. Sontak, para karyawan yang melihat bosnya kembali pun segera memberikan hormat. Bahkan, bisik-bisik mereka menggelitik Indera pendengaran Bara."Pa, mereka membicarakanku?" bisik Bara kepada Roki yang ada di sampingnya."Iya, dan kamu biarkan saja. Karena kamu harus membiasakan diri untuk hal itu."Bara pun mengangguk dan mengabaikan itu semua sesuai saran Papanya. Membiarkan para pegawai menatap Bara dengan kekaguman."Selamat datang kembali, Tuan." Suara para petinggi perusahaan laksana paduan suara menyambut Bara yang tiba di ruangannya. Mereka memberi hormat pada CEO mereka yang sempat merenggang nyawa dan kini kembali lagi dengan sehat. Beberapa melirik Bara dengan takut–menantikan sikap angkuh sang bos yang selalu merasa mereka tak becus."Terima kasih."Ucapan Bara sontak membuat para pertinggi bereaksi hampir sama dengan Zulfi tadi. Menyadari itu, Bara merasa tidak suka. Kali ini, dia bahkan menunjukkannya dengan jelas di wajah tampannya."Kenapa kalian hanya diam saja?""Ck!"Bara tampak murung setelah penyambutan tadi. Dia merasa bingung dengan reaksi para karyawannya. Namun, Bara memendamnya sendiri. Kini, bahkan Bara sudah dengan santai berkeliling perusahaan diarahkan oleh sang Papa. Roki memang ingin sang anak mengenal struktur perusahaan secara nyata. Tidak seperti sebelumnya yang hanya lewat tulisan dan gambar, Roki juga berharap dengan berkeliling perusahaan membuat percahan memori Bara kembali.Bruk! Tanpa sengaja Bara menabrak seorang karyawan yang sedang memegang setumpuk kertas karena pria itu memperhatikan banyak hal dan tidak fokus ke depan. Sontak, hal itu membuat kertas-kertas yang dipegang karyawan itu berhamburan.Segera, Bara berjongkok untuk memunguti kertas yang berserakan. Melihat itu, Zulfi pun ikut berjongkok untuk membantu atasannya. Begitu juga dengan karyawan yang ditubruk oleh Bara."Saya minta maaf karena sudah membuat kekacauan seperti ini." Bara berkata sambil memberikan kertas-kertas yang sudah dikumpulkan kepada ka
“Indah.” Bara terus mengulang nama itu sambil melihat ke arah Indah dengan berbinar. "Jadi, apa yang membuat kamu beranggapan jika Indah adalah penyelamat hidupmu, Nak?" tanya Dona lebih lembut.Setelah bersitegang karena Bara yang tidak mau melepaskan tangan Indah tadi, pria itu akhirnya dengan berat hati melepaskan saat Indah yang memintanya. Kini, mereka tengah duduk di sofa dengan saling berhadapan."Ayo Bara, jawab." Dona kembali berkata ketika Bara hanya diam saja.Bara melihat sekilas ke arah Indah lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Karena dia yang menolongku saat kecelakaan itu." Sontak jawaban Bara membuat semua orang yang tengah duduk itu menatap Bara dengan tidak percaya. Mereka tidak menyangka jika Bara bisa tahu kalau Indahlah yang menolongnya. Namun, bagaimana bisa pria tersebut mengetahuinya? "Ka-kamu, bagaimana bisa mengetahuinya?" "Aku mengenal suaranya.”"Jadi, saat itu kamu dalam keadaan sadar?" tanya Dona."Aku enggak tahu, karena yang aku ingat han
Meski memikirkan bahwa pengirim pesan tersebut adalah Bara, tetapi tangan Indah segera bergerak untuk melihat foto profil dari nomor tersebut. Dia ingin memastikannya lagi. Namun, betapa kagetnya, ia saat gambar Bara terpampang jelas di sana. "Ja-jadi, ini nomor Pak Bara?" gumam Indah lirih.Meski pelan, ternyata Rosi yang memang mejanya berdekatan dengan Indah, dapat mendengar gumaman Indah barusan. "Kamu SMS-an sama Pak Bara, Indah?" pekik Rosi dengan keras.Sontak semua orang yang sejak tadi memperhatikan Indah pun menatapnya menjadi penuh selidik. Bagaimana tidak? Kejadian Bara yang tanpa sengaja menabrak Indah sudah menyebar luas di kalangan para pegawai.Bahkan, selentingan gosip yang tidak benar sudah sampai di telinga semua orang. Lalu, sekarang mereka mengetahui jika Indah berkirim pesan dengan Bara. Bukankah itu terlalu mencurigakan? "Ini ... aku—""--Indah dipindahkan tugaskan jadi sekretaris pribadi Pak Bara," potong Kepala Administrasi sebelum Indah selesai berbicara.
Ucapan Bara membuat Indah terdiam dan heran. Ia merasa tidak percaya jika pria yang ada di hadapannya bisa mengatakan hal itu tanpa beban. Apa ia pikir pernikahan itu hanya main-main? "Kenapa diam aja? Kamu mau enggak?" Bara tampaknya tidak sabar ingin tahu jawaban lndah.Indah mengerjap beberapa kali saat Bara menatapnya penuh harap. Ia merasa bingung harus menjawab apa. "Saya tidak ...." Belum selesai Indah menyelesaikan kalimatnya, Bara sudah lebih dulu menyela dengan menarik tangan Indah. Langkahnya sangat lebar dan cepat. Sehingga Indah hampir terseret andai tidak bisa menyeimbangkan."Ma! Pa!" Bara memanggil kedua orang tuanya begitu masuk ke dalam rumah. Memang jarak antara gerbang dan rumah cukup jauh. Hal itu dikarenakan halaman yang begitu luas. Dona dan Roki yang berada di kamar pun segera keluar ketika mendengar Bara yang memanggil mereka. "Ada apa, Bar?" tanya Roki dengan napas yang terengah-engah–khawatir sang putra kembali terkena musibah."Aku mau menikah dengan I
Dona dan Roki hanya bisa mendesah lirih ketika Bara mengatakan kalau dirinya tidak ingat dengan siapa yang sudah melakukan kejahatan tersebut. Ya, meski mereka kecewa, tetapi mereka paham kalau Bara tidak mungkin mengingat dengan mudah."Jadi bagaimana? Kamu belum menjawab pertanyaanku." Bara menatap Indah dengan penuh harap.Mendapatkan tatapan seperti itu, Indah ikut mendesah. Pada akhirnya ia pun menjawab dengan jujur meski rasanya berat. "Saya belum menikah, Pak." Terang saja Bara senang mendengar itu. Ia bahkan dengan refleks memeluk Indah. "Aku senang, itu artinya kita bisa menikah." Tubuh Indah menegang. Perlakuan Bara yang tiba-tiba membuat Indah tidak nyaman. Menyadari itu, Dona pun meminta Bara untuk melepaskan pelukannya."Bara, bukankah udah Mama katakan untuk tidak berbuat seenaknya kepada Indah?" Teguran Dona membuat Bara melepaskan pelukannya dengan berat. Ada rasa nyaman saat memeluk Indah. "Aku selalu tidak bisa mengontrol diri saat bersamamu, Penyelamat hidup." "
Tiba di kantor, semua orang yang berada di loby langsung tertuju pada Bara dan Indah. Jelas hal itu karena gosip tentang Indah yang berkirim pesan dengan Bara sudah menyebar luas. Ditambah dengan sekarang, mereka berangkat ke kantor bersama. Jelas perbincangan itu semakin senter terdengar."Kata Papa jangan dengarkan mereka yang sedang membicarakan kita," bisik Bara ketika mereka sedang berdiri di depan lift. Indah hanya mampu menunduk. Tidak mengindahkan ucapan Bara barusan. "Kenapa diam?" Dengan pelan Indah menggeleng. Bara mendesah pelan, lalu tiba-tiba ia menarik dagu Indah agar kepalanya tegak. "Jangan menunduk terus, nanti leher kamu sakit." Jelas tindakan Bara di depan umum membuat kasak-kusuk semakin menjadi. Mereka tidak mengira jika Bara bisa melakukannya secara terang-terangan. Tidak jauh berbeda dengan perasaan Indah sekarang. "P-pak, mohon maaf. Jangan seperti ini," pinta Indah sambil menepis tangan Bara dari dagunya."Kenapa?" Belum sempat menjawab, pintu lift
Indah mengerjap beberapa kali--bahkan sendok yang sedang dipegangnya hampir jatuh saat melihat Bara sudah berdiri di hadapannya. "Kenapa diam?" tanya Bara karena Indah tidak juga berdiri, padahal ia sudah mengulurkan tangan. Tersadar saat kakinya ditendang Rosi dari bawah meja, Indah tersenyum canggung. "Maksud Bapak, apa?" "Ck! Kamu udah janji enggak akan ninggalin aku. Tapi malah makan di sini sama teman kamu." "Ini 'kan jam makan siang, Pak!" "Harusnya kamu makan sama aku!" Tanpa ada yang mengira, Bara malah menarik satu kursi lalu duduk di samping Indah. "Aku makan di sini." Zulfi yang sejak tadi berdiri di belakang Bara mengangguk. "Kalau begitu saya pesankan dulu, Tuan." "Hemm." Karena tidak mau menganggu, Rosi yang sejak tadi diam memilih berdiri. Ia mengambil kotak makan yang masih tersisa banyak. "Aku duluan, Indah." Indah menatap Rosi penuh harap agar Rosi mau tetap tinggal. Namun, tatapan itu Rosi abaikan. Bagaimanapun Rosi masih membutuhakan perkerjaan, ia tid
Indah mengabaikan pertanyaan Bara. Perempuan itu terus melangkah meninggalkan kantin.Tidak tinggal diam, Bara mengejar Indah. "Indah, jangan tinggalin aku!" Terus melangkah, Indah masuk ke dalam lift yang kebetulan tengah terbuka. Segera Bara mengulurkan tangannya ketika pintu lift akan tertutup dengan sempurna. "Indah," lirih Bara dengan napas yang terengah-engah karena mengejar Indah. Bara menatap Indah yang memalingkan wajah. Pria itu mendesah lalu memilih diam. Sepertinya Bara mengerti jika Indah tidak nyaman dengan sikapnya yang berlebihan. Tiba di lantai 12--tempat ruangan Bara berada, Indah melangkah menuju mejanya. Baru saja Indah akan duduk, tiba-tiba lengannya ditarik Bara. "Ikut aku!" Indah yang tidak siap sedikit terhuyung, sehingga tidak bisa melawan ketika Bara terus menarik menuju ruangannya. "Pak! Sakit," lirih Indah ketika pintu ruangan Bara sudah ditutup. Sontak Bara melepaskan cekalannya. Bara melihat pergelangan Indah yang merah akibat cekalannya yang terl