Sayup adzan subuh terdengar bersahut-sahutan dari kejauhan. Bahkan suara adzan di Masjid Besar kota pun terdengar juga di perkebunan. Penduduk yang jarang dan tidak ada kebisingan kendaraan di sepanjang perkebunan, membuat udara jadi penghantar bunyi yang terbaik subuh itu. Amira terbangun oleh alarm yang hampir kadaluarsa dari masa aktifnya berdering. Tidak berbunyi bising sebab ditindih sendiri oleh tubuh yang berpindah posisi saat tidur. Ponsel yang semula aman diletak jauh pada tepi ranjang di dinding, telah bergeser ke tengah sebab polahnya yang ugal-ugalan saat tidur. Degh Amira sungguh terkejut, menyadari lampu telah Mati dengan suasana temaram. Membawa jantung yang sedang berdetak kencang, dia bangun dan meninggalkan ranjang untuk menekan tombol listrik di dekat pintu masuk kamar agar terang semula. "Bukankah semalam tidak aku matikan?" Amira bertanya-tanya sambil berjalan. Namun…. “Whaaaa!” Rasa jantung seperti sedang meledak sebab terkejut. Sosok hitam besar yang
Mushola yang lengang tanpa satu pun orang di sana dan baru saja dia kunjungi sudah ditinggalnya. Setelah usaha menenangkan diri dengan munajat panjangnya, semakin yakin akan keputusan untuk memilih Amira saja sebagai perempuan yang akan dinikahi. Bukan Yunita yang diam-diam nasih memberi lampu hijau, bukan Mila yang seorang bidan desa, bukan juga Inara yang pegawai koperasi di desa, bukan pula Rina-guru Sekolah Dasar di desa-janda kembang ditinggal mati dan sedang mencari pendamping hidup baru, atau nama-nama lain yang direkomendasikan keluarga padanya. Tetapi yang terus berkelebat kuat di kepala hanya Amira dan tidak satu pun nama lain! Kini Dimas mantap melangkah menuju lift untuk kembali ke rooftop. Berbekal sebuah kunci lagi, yang diberikan resepsionis memang berjumlah dua biji, dia ingin berbicara dengan Amira. Dimas sudah berniat tidak mengetuk pintu sebab semakin banyak orang di rooftop menuju tengah malam. Tidak ingin menimbulkan spekulasi di kepala mereka yang meliha
Dimas menahan napas setelah berbicara. Seperti jadi sesak melihat Amira yang terkejut. Matanya yang bulat kian lebar dan itu pasti lupa berkedip. Mulutnya perlahan membuka tetapi kembali menutup. Seperti ingin berbicara tetapi tidak bisa. “Bagaimana, kamu bersedia kan, Amira?” tanya Dinas setelah terlalu lama menunggu respon Amira. Sangat paham jika ini sangatlah mengejutkan. Jangankan Amira, dirinya saja seperti sedang bermimpi telah mengatakan juga akhirnya. Dari tadi ingin bilang tetapi maju mundur. Takut juga jika si gadis sampai kena serangan jantung. Bersyukur tidak membawa dampak buruk apa-apa pada Amira. “Kenapa, Amira? Apa kamu keberatan?” tanya Dimas mendesak. Merasa resah seketika. Gadis itu sedang menggelengkan kepalanya berulang kali. “Aku tidak mau!” sahut Amira tiba-tiba. Suara meningginya tak kalah mengejutkan bagi Dimas. Tidak menduga jawaban gadis itu adalah penolakan. Pasti sedang bercanda, kan? "Apa Amira? Coba ulangi." Dimas bicara tegas yang lembut serta me
Bintang bertabur di angkasa yang membuat malam jadi cerah. Tetapi tidak dengan perasaan dan isi kepala Dimas yang penuh serabut dan beban. Meski raut dan bicara terlihat baik-baik saja, dalam hati sedang menyimpan sejuta gundah. “Masuklah, Amira!” tegur Dimas yang sudah di depan pintu. Wajah gadis itu terlihat indah saat mendongak fi angkasa. Amira berpaling dari langit, sebab masih saja merasa kesal, hati tidak ingin bersuara. Dimas yang sedang membuka pintu dan masih memegangi agar terus membuka. Amira dengan cepat menyelip untuk melewatinya. Kemudian berbalik dan mengambil daun pintu guna ditutup. Tetapi, Dimas terus memegangi hingga daun pintu terasa berat dan tidak bisa ditutupnya. Amira coba menarik kencang, Dimas juga kian kuat menahan. Sama sekali tidak dipahami kenapa tiba-tiba lelaki itu berkelakuan konyol dan kekanakan. Parah lagi gadis itu meladeni, mereka saling tahan dan dorong daun pintu dengan lama. Hingga napas Amira terengah sendiri sebab lelah. “Aku ingin
Sebetulnya sudah terasa pegal untuk terus menunggu di teras paviliun. Berjalan-jalan di sekitaran, di gazebo, di atas kolam dan sedikit jauh yang masih terjangkau pandangan dari paviliun pun sudah. Tetapi Dimas belum juga keluar. Amira ber selonjor pasrah di gazebo. Sedikit remang yang rebah pun sah-sah saja. Rasanya sungguh penasaran dengan kondisi ibunya. Bukan sekadar sebagai ibunya Dimas, ibunya itu calon mertuanya kan? Ha ha ha mengaku-ngaku! Berani-beraninya! Lancang sekali. Amira tertawa kecil dengan khayalan konyolnya sambil menutupi mulut sendiri. “Tak masalah berkhayal kan? Ingin sangatlah tinggal kat Indonesia …,” gumam Amira yang kini tersenyum lebar sendirian. Kemudian buru-buru ber-istighfar menyadari pikiran jauhnya. Seperti sedang menari-nari di atas derita sakit orang. Oh, bukan sakit orang… sakita calon ibu mertua kan? Amira buru-buru menutup mulut yang kembali tersenyum. Merasa halunya semakin tak terkendali, memalukan! Clark! Dia, lelaki yang sedang
Dimas telah kembali kembali ke meja makan. Tetapi Amira tidak ada. Namun, seluruh masakan sudah dikemas dalam dua kotak makan. Apa dia tidak makan di sini? Apa akan dibawa pulang ke hotelnya? Ribet sekali gadis itu, kenapa tidak pesan saja…. Tak Tak Tak Tak Tak Tak Dimas segera menoleh pada sumber suara langkah kaki. Mengira itu pasti Amira. Memanglah benar, tetapi…. “Aku sudah siap!” ucap Amira keras dan tegas. Dimas berkerut dahi. Amira sudah bergamis rapi dan berkerudung. Mengenakan sandal semi sepatu dengan hak tinggi. Masih berwajah polos tanpa make up. Namun, cantik sekali! “Mau ke mana kamu, Amira?” tanya Dimas. Gadis itu juga membawa satu paper bag besar di tangannya. Mungkin saja akan balik kucing ke hotelnya. ... “Aku mau ikut, ikut Mas Dimas pulang kampung. Kan gak ada yang marah lagi sekarang. Sudah batal nikah, kan?” Amira bicara dengan tegas dan percaya diri. Padahal dalam hati juga merasa takut. Andai Dimas mengumpati aksi nekatnya. “Ikut? Tetapi aku tida