Juan merasa malas pulang dan ingin menginap di pabrik saja malam ini. Tetapi banyak panggilan yang dibuat pada nomor adiknya, tidak diangkat. Padahal belum juga pukul sepuluh. Meski sudah tidur, setidaknya suara dering nya didengar. Niat hati ingin berkabar pun dia urungkan. Sedang apa adiknya dengan berperut buncit? Perasaan kuat yang tidak enak membuat Juan memilih bergegas pulang. Lagipula dirinya belum makan sejak siang tadi. Kedatangan para tuan tanah menemui ke pabrik membuatnya jadi kurang fokus. Hingga plan dan pekerjaan hari ini masih banyak terbengkalai. Rumah besar milik keluarga masih terang benderang dengan para pekerja pemilih kopi di halaman. Bapaknya tampak tertidur dengan menyandar di kursi bambu kecintaannya. Tertidur mengamati pekerjanya. Juan berjalan cepat. Tidak peduli dan enggan untuk menyapa atau sekadar memberi senyum. Langkahnya cepat dengan pandangan jatuh ke tanah dan ke lantai untuk segera memasuki rumahnya. Berniat menemui Yunita untuk ingin tahu
Meski malam masih muda dan pukul sembilan saja belum, rasanya sungguh mengantuk. Setelah dipijat dengan lulur yang nyaman, timbul rasa lunglai yang perlu diistirahatkan. Kesegaran itu akan didapat setelah cukup tidur malam. “Yun, makan dulu, Mama sudah siapkan,” tegur ibunya saat Yunita melintas di ruang makan untuk mengambil botol minum. Dia baru mengambil charger dari ruang televisi. “Aku sudah kenyang, Ma. Tadi dapat makan dari ho …,” jawab Yunita yang di putusnya cepat. “Ngomong kok nggak dilanjut, dari ho… apa, Yun?” tanya ibunya sambil menarikkan satu kursi dan satu kursi lagi. Dia lalu duduk menunggu Yunita bersamanya. “Diajak makan Pak Azlan di hotel tempat mengukur baju pengantin maksudku, Ma.” Yunita dengan cepat bisa meralat nya. “Yah, Mama jadi sendiri makan ….” Bu Agus mengeluh. Lalu mengambil centong dan mengambil nasi untuk ditampung di piringnya. Melihat itu, Yunita jadi iba. Dia kesampingkan rasa mengantuk yang luar biasa untuk menemani ibunya makan mala
Orang-orang di teras semua terlihat tegang. Memandang pada satu orang yang setakat ini masih bungkam. Meski Juan sudah melarang dan keberatan menjual, tetapi semua keputusan di tangan bapaknya. “Aku sudah tua, tidak produktif, dan kesehatan juga tidak bagus. Untuk merawat masa tuaku, butuh biaya besar. Bukan aku saja, tetapi istriku juga dengan keadaan tidak berbeda denganku. Aku sarankan buat kalian berdua, Juan dan Yunita, sebaiknya dijual saja tanah yang tidak terpakai itu. Bukankah terbengkalai? Anggap saja jikan papa sedang memerlukan dana besar. Kalian coba saja pikirlah.” Pak Agus bicara perlahan. Suaranya sudah jelas dan mudah dimengerti. Hanya kadang terengah dan seperti susah untuk bernapas lega. Bu Agus bahkan hanya bungkam, merasa sudah tidak berambisi untuk berbicara harta. Asal anak-anak bersikap baik dan semua kebutuhan tercukupi, dirinya akan berdoa serta terus bersyukur sepanjang hari. Pasrah, dijual silakan, dimiliki selamanya juga tidak melarang. “Aku masih s
Ucapan tajam Anthony yang mengejutkan membuat Intan a sedih dan ingin menangis. Merasa jika Daehan sangat jahat sebab sudah sengaja membuangnya ke daerah luar kota yang jauh. Merasa diri hanya sendiri tanpa ada yang berpihak. Tanpa teman dekat dengan orang tua bertempat tinggal jauh di Jakarta. Seperti sebatang kara dan merana sendirian rasanya. Intana sempat menangis diam-diam. “Jadwal menginapmu di mana, Intana? di daerah sini apa di hotel tadi?” tegur Anthony. Mereka sebentar lagi sampai di rumah Yunita. Hanya dua km saja. “Gak tau aku! Daehan sudah bilang jika Agung yang akan atur! Tapi sebenarnya terserah aku juga, kan?” jawab Intana tidak bersemangat. "Seharusnya kamu ingin tahu dan bertanya," gumam Anthony. “Lalu, apa schedule kamu hari ini?” tanya Anthony dengan pelan. Berusaha tidak membuat Intana tertekan lagi. Wajah cantiknya muram dan tiba-tiba berubah pendiam. Pasti sudah tersinggung! “Ngambil video-video dan foto-foto di lokasi.” Intana menyahut enggan. S
Yunita merasa sangat kesal dengan Intana. Bisa-bisanya mencela tanpa sadar diri pada masa lalunya yang bagaimana. Dikira Yunita sama sekali tidak tahu apa-apa. Dasar! wanita takabur! “Kudengar, kamu pernah mengalami sepertiku! Jadi sangat paham seluk beluk yang aku tanggung!” Yunita tidak mengingkari tuduhan Intana akan kehamilannya. Namun, tidak kuat lagi menahan ucapan tajam Intana. Sebenarnya iba untuk mengusik masa kelam wanita itu. Apa daya, Intana tidak tahu diri! Intana diam-diam tersentak. Menatap Anthony yang berdiri diam di dalam lift dan menatapnya tajam. Oh, si mafia itu pasti yang membocorkan masa lalunya pada Yunita. Saudara macam apaan…?! Sebab sindiran Yunita pun tidak salah, Intana merasa lebih baik bungkam dulu. Ia mengeluarkan ponsel dan pura-pura sibuk dengan benda itu. Tidak ingin memancing mulut Yunita untuk kembali mencelanya. Ternyata ucapan calon istri Anthony, bisa tidak enak juga didengarnya! “Mana Agung Intana, kamu suka sekali membuat sopir Dae
Meski jika berjauhan terasa berharap, tetapi bukan seperti ini yang diinginkan. Menyewa kamar hotel untuk bebas bermesraan, bukan seperti ini yang Yunita inginkan! Harusnya cukup jalan-jalan santai, saling bicara, atau berkuliner dengan hati gembira tanpa dinodai dengan dosa lagi. Tetapi Anthony selalu seperti ini, menyewa kamar untuk memaksakan suatu inginnya. Meski setelah kehamilannya, sikap lelaki itu masih bisa terkendali. “Pak Azlan cukup! Sabarlah hingga menikah.” Yunita coba menunjukkan harga dirinya. Namun, Anthony tidak menjauh. “Sedikit, Yunita ….” bisik Anthony tidak peduli. Merasa hanya perlu menyalurkan sedikit energi hasratnya pada objek dan subjek yang baginya sudah tepat. Jika tidak pada calon istri sendiri, pada siapa lagi? Tidak ada …. “Hukh ….” Tiba-tiba mulut Yunita bersuara dari dalam. Tanpa diminta, Anthony segera melepaskan pagutan. Bibir yang jadi sumber suara itu dijauhkannya. “Ada apa, Yunita?” tanya Anthony khawatir meski menduga jika Yunita