Kanya menyimpan tanda tanya besar di kepalanya karena saat ini tiga teman Aline sedang memindainya dari puncak kepala hingga ujung kaki dengan tatapan menilai.
“Cantik banget pembantu lo, Lin, hati-hati, ntar Raven bisa kepincut.” Salah satu dari teman Aline berbicara dengan berbisik tapi suaranya terdengar oleh Kanya. Hanya saja Kanya tidak tahu apa yang mereka bisikkan.Aline tertawa pelan. “Serius lo mau ngebandingin gue sama tuh babu? Lo nggak lagi ngelindur kan? Ya cantikan gue ke mana-mana lah.”
Lalu keempatnya tertawa bersama. Sedangkan Kanya berdiri beberapa langkah di sebelah Aline dengan kikuk. Cukup lama ia menjadi kambing congek sedangkan Aline sibuk dengan teman-temannya. Kanya merasa tidak enak hati karena sesekali Aline dan teman-temannya melirik ke arahnya sambil berbisik-bisik dan tertawa.
Apa ada yang aneh denganku? Apa bajuku terbalik? Kanya meneliti diri sendiri dan mendapati tidak ada yang menggelikan. Tapi kenapa mereka terus tertawa?
Apa mereka sedang membicarakan Kanya? Tapi memangnya siapa Kanya yang akan menjadi tema obrolan? Bahkan mereka tidak saling mengenal. Kanya mencoba untuk berpikir positif. Paling Aline dan teman-temannya sedang membicarakan sesuatu yang lucu.
Teman-teman Aline akhirnya pergi. Dan itu artinya Kanya memiliki kesempatan untuk bertanya pada Aline.
"Boleh saya tahu kenapa tadi menyebut saya sebagai pembantu pada teman-temanmu?"
Aline melengkungkan bibir dengan lebar dan mulai menjelaskan. "Kanya sayang, kamu jangan tersinggung. Aku bilang seperti tadi agar mereka tidak curiga. Nggak mungkin aku kasih tahu kalau kamu juga istri Raven. Aku juga nggak mungkin mengatakan kalau kamu temanku. Mereka tahu siapa saja teman-temanku."
Setelahnya Aline mengajak Kanya belanja seperti niat mereka tadi.
“Silakan dipilih, Kanya, kalau ada yang kamu suka langsung ambil saja.”Kanya memandang bingung pada hamparan pakaian yang tampak sangat indah di matanya. Meski Aline sudah menyuruh tapi Kanya tetap merasa sungkan.
“Ayo, Kanya, kok malah bengong? Kamu suka yang mana? Tenang saja, aku yang bayar semua.” Aline menegur Kanya yang mematung di tempatnya.
Kanya suka semuanya. Hanya saja ia merasa sungkan. Aline terlalu baik padanya.
“Kalau kamu bingung aku yang bantu pilih ya?” Aline menawarkan diri.
“Boleh.” Kanya menerima. Selera perempuan cantik sekelas Aline pasti bagus. Lihat saja pakaian mahal yang tampak elegan membalut tubuhnya.
Aline memilihkan busana bergaya retro untuk Kanya. Setelah membayar di kasir, ia membawa Kanya ke ruang ganti.
“Kanya, pakai baju ini sekarang. Kamu harus pintar berdandan agar Raven semakin sayang.” Aline tersenyum menggoda Kanya yang membuat perempuan polos itu menunduk malu.Kanya melakukan apa yang Aline katakan, lalu memandang refleksi dirinya di kaca. Ini bukanlah dirinya. Kanya terlihat aneh dengan celana cutbray garis-garis hitam putih plus kemeja kuning polkadot serta stiletto coklat yang juga Aline belikan.
“Kanya, sudah?”
Aline masuk ke ruang ganti. Ia menatap Kanya dari atas hingga bawah sambil menyembunyikan seringai di balik senyum simpul.
“Aline, saya lucu ya? Saya tidak nyaman pakai pakaian dan sepatu ini. Rasanya aneh,” ungkap Kanya.
“Oh, sama sekali nggak. Kamu cantik. Ini namanya gaya klasik. Santai saja ya, kamu harus percaya diri.”
Walaupun merasa bimbang tapi Kanya mengangguk pelan dan bersikap seperti yang Aline katakan. Termasuk saat sepanjang jalan orang-orang memerhatikan dan menahan senyum menyaksikan penampilannya. Aline yang berjalan di sebelah Kanya menyembunyikan tawa di balik telapak tangan. Penampilan Kanya benar-benar mengocok perutnya. Ia puas karena sudah berhasil mengerjai Kanya. Aline tidak menyangka jika Kanya akan sepolos ini.“Awww!” Kanya menjerit tertahan saat ujung stilettonya tersandung di eskalator. Kanya saat tersiksa dengan semua ini. Tapi Aline bilang ini namanya fashion, dan Kanya harus bisa mengikuti perkembangan zaman.
Sementara di sebelah Kanya Aline menahan tawanya sambil berpikir apalagi yang harus ia lakukan untuk mengerjai perempuan itu.
“Kanya, kamu ada alergi makanan?” tanya Aline di sela-sela langkah.
“Ada. Saya alergi udang. Kalau makan itu badan saya langsung gatal dan merah-merah.” Kanya menjelaskan dengan detail.
Aline manggut-manggut sambil merekam di benaknya keterangan Kanya. Sepertinya ia sudah menemukan ide baru untuk mengerjai Kanya. Aline kemudian memandang Kanya dengan lekat. “Oh iya, Kanya, rambutmu sudah terlalu panjang dan ujungnya bercabang, gimana kalau dipotong sedikit?” Aline memegang ujung rambut Kanya.Awalnya Kanya keberatan. Ia tidak pernah memangkas rambut sepunggungnya. Namun Aline dengan teorinya berhasil meluluhkan Kanya.
Dan inilah Kanya dua jam kemudian. Rambut panjangnya berganti dengan rambut bob pendek yang dihiasi poni lurus dan berbaris di bagian dahi.“Apa aku kelihatan aneh, Lin?” Kanya merasa tidak percaya diri dengan gaya rambutnya yang baru. Tadi Aline yang memilihkan model rambut itu dan mengatakan bahwa Raven menyukainya. Dan dengan polosnya Kanya menyetujui. Jauh di dalam hati Kanya juga ingin membuat Raven senang. Jika ia melakukan hal-hal yang disukai itu artinya sama dengan menyenangkan pria itu. Begitu kan?
“Aneh gimana? Kamu cantik, Kanya. Raven pasti tambah suka sama kamu,“ jawab Aline membungkam mulut Kanya. “Sekarang kita makan ya, kamu pasti sudah lapar.”
Kanya menurut ketika Aline membawa ke restoran dan memesankan tomyam untuknya. Saat itulah ia sadar jika itu adalah olahan udang.
“Aline, maaf, tapi saya tidak bisa makan udang.”“Astaga! Aku lupa.” Aline pura-pura terkejut. “Duh, gimana ya, masalahnya di restoran ini hanya menjual seafood. Dimakan saja ya! Lagian sudah dibayar, mana harganya mahal. Kalau cuma satu kali aku pikir nggak apa-apa, alergimu nggak akan kambuh.”
Atas dasar tidak enak karena Aline menyebut harga makanan mereka mahal, Kanya terpaksa menyantapnya. Tomyam itu sangat lezat begitu menyentuh lidahnya. Membuat Kanya tidak ragu untuk terus menjejalkan ke mulutnya. Namun beberapa menit kemudian tubuhnya mulai merespon. Kanya merasa gatal dan sibuk menggaruk di sana sini.
“Kanya, kamu nggak apa-apa?” Aline tidak menyangka jika reaksinya akan secepat itu. Ia tertawa di dalam hati melihat kulit Kanya bengkak dan memerah. Kanya tampak menderita sambil terus menggaruk bagian tubuhnya.
“Aline, tolong bawa saya ke rumah sakit,” pinta Kanya penuh harap. Ia tidak lagi mampu membendung rasa gatal di sekujur tubuhnya yang disertai perasaan ingin muntah.
“Duh, di sini mana ada rumah sakit. Lagian makanan aku belum habis.” Aline menjawab ringan tanpa rasa bersalah sama sekali kemudian mengunyah makanannya.
Kanya menatap ke sekeliling dengan gusar sambil terus menggaruk-garuk. Siapa tahu ada yang bisa membantu. Pandangannya mulai nanar lalu muntah berkali-kali. Hingga akhirnya semua menjadi gelap.
Beberapa jam kemudian saat membuka mata Kanya berada di ruangan serba putih dan sedang berbaring sendiri di ranjang. Tak jauh dari tempatnya ada Raven dan Aline.
“Aku sudah bilang jangan makan tomyam, tapi dia ngotot, dia marah sama aku. Aku udah kasih tahu baik-baik tapi dia nggak mau dengar. Ternyata dia nggak sebaik yang kita pikir, Rav. Dia ngelawan aku. Tadi dia minta belanja baju banyak banget, udah gitu coba deh kamu lihat, mana gayanya kayak tahun 70-an. Aku tuh malu, Rav. Orang-orang ketawa ngeliat dia. Dia juga minta potong rambut, katanya rambutnya rontok dan bercabang. Waktu aku tinggal ke toilet tahu-tahu potongannya kayak gitu.” Aline berbisik pelan pada Raven dengan memutarbalikkan semua fakta. Ia ingin Kanya tampak buruk di mata suaminya.
Raven diam saja. Tapi matanya terfokus pada Kanya yang baru saja sadarkan diri.
Raven memandang Kanya dengan tatapan yang tidak bisa Kanya artikan maknanya. Tapi, melihat dinginnya wajah Raven Kanya mendadak takut. Apa pria itu akan marah padanya?
Saat lelaki itu berjalan menghampiri, perasaan takut itu kian mendera. Namun diluar dugaan, Raven tidak marah. Ia mengusap kepala Kanya dengan lembut.
“Potongan rambut kamu bagus, kamu jadi terlihat semakin muda.”
Aline nyaris tak percaya mendengar Raven mengucapkannya. Alih-alih akan menertawakan Kanya, pria itu malah memujinya, yang membuat Aline cemburu cenderung iri. Padahal tadi ia bermaksud membuat Kanya terlihat buruk di mata Raven.
“Masih merasa gatal?” tanya Raven lagi menunjukkan perhatian.
“Sudah agak berkurang,” jawab Kanya pelan.
Setelah membelai kepala Kanya, Raven memeriksa bagian lain dari tubuh perempuan itu. Ia mengamati leher, bagian dada, perut, tangan, kaki, hingga punggung Kanya, demi memastikan keadaannya sudah mulai membaik.
Setelah puas meneliti setiap bagian tubuh Kanya, Raven kembali mengajak Kanya bicara. “Lain kali, kamu jangan melawan sama Aline. Kamu dengarkan semua yang dia katakan. Karena saya atau apapun Aline yang berbicara artinya sama saja.”
“Baik.” Kanya menjawab patuh.
“Saya tidak mau kejadian ini terulang lagi. Kamu harus jaga kesehatan sebaik mungkin karena itu yang paling penting. Sekarang ayo kita pulang.” Raven membantu Kanya bangun dari tempat tidur kemudian menggandeng di sisinya.
Aline melihat pemandangan itu dengan muak. Tapi ia terlalu piawai menyembunyikannya.
“Lin, aku pulang ke rumah Kanya. Malam ini aku menginap di sana,” kata Raven memberitahu.
“Silakan, Rav, selamat menikmati masa-masa pengantin baru.” Aline merekahkan senyum palsu yang membuat percaya semua orang bahwa ia juga bahagia.
***
Raven termangu sekian lama sambil memandang nanar cincin yang diberikan Kanya langsung ke telapak tangannya.“Nggak bisa begitu, Nya. Kamu nggak bisa membatalkan pernikahan kita hanya karena Qiandra terbukti sebagai anak Davva. Kita sudah merencanakan semua ini dengan matang. Undangan sudah dicetak, gedung sudah di-booking, belum lagi yang lainnya,” tukas Raven tidak terima. Ini bukan hanya semata-mata perihal persiapan pernikahan, melainkan tentang perasaannya pada Kanya. Ia tidak rela melepas Kanya justru setelah perempuan itu berada di genggamannya.“Rav, mengertilah, aku nggak bisa,” jawab Kanya putus asa. Entah bagaimana lagi caranya menjelaskan pada Raven bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.“Kamu minta aku untuk mengerti kamu, tapi apa kamu mengerti aku? Alasan kamu nggak jelas. Kenapa baru sekarang kamu bilang nggak bisa menikah denganku? Kenapa bukan dari sebelum-sebelumnya? Kenapa setelah kedatangan Davva? Semua ini terlalu lucu untuk disebut hany
Waktu saat ini menunjukkan pukul satu malam waktu Indonesia bagian barat, tapi tidak sepicing pun Kanya mampu memejamkan matanya. Adegan demi adegan tadi siang terus membayang. Saat ia bertemu dengan Davva, bicara berdua dari hati ke hati, serta mengungkapkan langsung kegalauannya pada laki-laki itu. Dan Davva dengan begitu bijak menjawab saat Kanya menanyakan apa ia harus memikirkan lagi hubungannya dengan Raven.“Aku rasa aku butuh waktu untuk mengkaji ulang hubungan dengan Raven. Aku nggak mau gagal lagi seperti dulu. Menurut kamu gimana kalau misalnya aku menunda atau membatalkan pernikahan itu?”Davva terlihat kaget mendengar pertanyaan Kanya. Ia memindai raut Kanya dengan seksama demi meyakinkan jika Kanya sungguh-sungguh bertanya padanya. Dan hasilnya adalah Davva melihat keraguan yang begitu kentara di wajah Kanya.“Aku bingung, aku nggak mau gagal lagi.” Kanya mengucapkannya sekali lagi sambil menatap Davva dengan intens.“Follow your heart, Nya. Ikuti apa kata hatimu. Dan ja
Kanya tersentak ketika mendengar ketukan di depan pintu. Pasti itu Raven yang datang, pikirnya. Beberapa hari ini memang tidak bertemu dengan laki-laki itu. Bukan karena mereka ada masalah, tapi karena Kanya sedang butuh waktu untuk sendiri.Mengayunkan langkah ke depan, Kanya membuka pintu. Tubuhnya membeku seketika begitu mengetahui siapa yang saat ini berdiri tegak di hadapannya. Bukan Raven seperti yang tadi menjadi dugaannya, tapi ...“Dav ...”Davva membalas gumaman Kanya dengan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.“Aku baru tahu semuanya dari Raven. Aku minta maaf karena waktu itu ninggalin kamu. Aku nggak tahu kalau kamu hamil anak kita,” bisik Davva pelan penuh penyesalan.“Kamu nggak salah, Dav, aku yang salah. Aku pikir Qiandra anak Raven,” isak Kanya dalam dekapan laki-laki itu.Kenyataan bahwa Qiandra adalah darah daging Davva membuat Kanya begitu terpukul. Beberapa hari ini ia merenungi diri dan menyesali betapa bodoh dirinya yang tidak tahu mengenai hal tersebut.
Davva menegakkan duduknya lalu memfokuskan pendengarannya pada Raven yang menelepon dari benua yang berbeda dengannya.“Sorry, Rav, ini kita lagi membicarakan siapa? Baby girl apa maksudnya?” Davva ingin Raven memperjelas maksud ucapannya. Apa mungkin Raven salah orang? “Ini aku Davva. Kamu yakin yang mau ditelepon Davva aku? Atau mungkin Davva yang lain tapi salah dial?”“Aku nggak salah orang. Hanya ada satu Davva yang berhubungan dengan hidupku dan Kanya, yaitu kamu," tegas Raven.Perasaaan Davva semakin tegang mendengarnya, apalagi mendengar nada serius dari nada suara Raven.“Jadi maksudnya baby girl apa? Kenapa kasih selamat sama aku?” tanya Davva tidak mengerti. Justru seharusnya Davvalah yang menyampaikan ucapan tersebut pada Raven karena dialah yang berada di posisi itu.“Aku tahu semua ini nggak akan cukup kalau hanya disampaikan melalui telepon. Ceritanya panjang. Tapi aku harus bilang sekarang kalau Qiandra adalah anak kandung kamu, Dav. Dia bukan darah dagingku. Hasil tes
Kanya mengajak Raven keluar dari ruangan dokter. Mereka tidak mungkin berdebat apalagi sampai bertengkar di sana.“Jawab pertanyaanku, Nya, siapa bapak anak itu?” Raven kembali mendesak setelah mereka tiba di luar.Kanya menggelengkan kepala. Bukan karena tidak tahu, tapi juga akibat syok mendapati kenyataan yang tidak disangka-sangka.“Jadi kamu nggak tahu siapa bapak anak itu? Memangnya berapa banyak lelaki yang meniduri kamu, Nya?” Kanya membuat Raven hampir saja terpancing emosi.“Jangan pernah menuduhkku sembarangan, Rav! Aku bukan perempuan murahan yang akan tidur dengan laki-laki sembarangan! Aku masih punya harga diri,” bantah Kanya membela diri.“Tapi hasil tes itu nggak mungkin berbohong, Kanya!” ucap Raven gregetan. “Ini rumah sakit internasional, tenaga medis di sini juga profesional. Mereka nggak akan mungkin salah menentukan hasil tes. Jangan kamu pikir mamaku yang mengacaukan agar hasilnya berbeda. Ini kehidupan nyata, Kanya, bukan adegan sinetron!”Suara tinggi Raven m
“Kanya, aku rasa sudah saatnya kita lakukan tes DNA. Aku nggak mau menunggu lagi. Aku nggak bisa melihat kamu mengurus anak-anak kita sendiri.”Kanya menolehkan kepalanya kala mendengar ucapan Raven.Hari ini baby Qiandra berumur satu bulan. Kanya sudah sejak lama pulang dari rumah sakit. Kondisinya pasca persalinan juga sangat baik.Setelah saat itu Raven datang ke rumah sakit, Davva pergi tiba-tiba. Padahal Raven ingin mengucapkan terima kasih padanya.“Siang ini aku harus pulang ke NY, Nya.” Itu alasan Davva saat Kanya menelepon menanyakan keberadaannya.“Tapi kenapa kamu pergi nggak bilang aku dulu?”“Maaf banget ya, Nya, aku ada panggilan mendadak dan nggak sempat bilang ke kamu.”Setelah hari itu Kanya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Davva. Davva sibuk dengan pekerjaannya, Kanya juga sedang menikmati hari-harinya memiliki buah hati yang baru.“Kanya! Gimana?” tegur Raven meminta jawaban lantaran Kanya tidak menjawab.“Harus banget ya tes DNA itu?” Kanya masih merasa keber