Share

Bab 9 - Berangan

"Saya pelayan yang akan menemani Nona!" ucap pelayan di balik pintu.

"Masuk saja!" balas Silvi.

"Baik, Nona!"

"Kira-kira dia dengar tidak ya, apa yang aku katakan tadi?" batin Silvi.

KRIETT...

Si pelayan masuk dengan membawa senampan makanan.

"Ini kudapan untuk memulihkan tenaga Nona!" ucap si pelayan ramah.

"Terimakasih!" Silvi membalas sama ramahnya.

"Silahkan dimakan Nona! Tuan Muda ingin anda memakan semua makanan ini."

Mata Silvi berbinar melihat makanan enak yang selama ini tidak pernah ia rasakan.

"Apa boleh saya habiskan?" Silvi menelan salivanya.

"Tentu, Nona!"

Silvi segera melahap makanan yang ada di atas nampan itu dengan cepat. Wajahnya pun sampai belepotan karenanya.

"Wajahnya sih, cantik tapi makannya kok, serem banget ya? Kayak anak kecil. Apa orang hamil makannya seperti ini, ya?" batin si pelayan.

"Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Silvia merasa risih diperhatikan begitu oleh pelayan.

"Ah, maaf, Nona! Saya hanya terpesona melihat wajah Nona! Sangat cantik dan imut," puji si pelayan.

Senyum Silvi merekah ketika mendengar pujian si pelayan. "Benarkah?"

"Iya, Nona! Wajah anda sangat imut saat makan dengan lahap tadi. Saya jadi suka memandangnya."

"Benarkan? Wajahku ini memang cantik. Jangankan pria, wanita saja terpesona melihat kecantikanku! Tak heran pria seperti Mas Devan sangat menginginkan diriku," ucap Silvi di dalam hati memuji dirinya sendiri.

Silvi senyam-senyum sendiri. Pelayan itu merasa lega setelah melihat suasana hati Silvi sudah membaik.

"Hah... Selamat! Untung aku bisa menjawab tanpa rasa gugup sehingga terlihat meyakinkan, kalau tidak bisa habis aku," gumamnya dalam hati.

"Apa Nona memerlukan yang lain?" tanyanya dengan sopan.

"Bawakan aku segelas jus mangga!"

"Baik, Nona! Tunggu sebentar, saya akan mengantarkannya kemari." Si pelayan menunduk dan perlahan berjalan mundur meninggalkan kamar Silvi.

"Haaah... Enaknya! Apalagi kalau aku bisa menjadi istri Mas Devan. Bukan hanya makanan enak yang akan aku dapatkan. Bisa saja perhiasan, pakaian yang bagus dan dikelilingi pelayan yang siap melaksanakan apapun perintahku."

"Enak sekali rasanya kalau aku bisa memiliki semua kemewahan dan kenikmatan ini," gumamnya.

Silvi menerawang kembali ke masa waktu dirinya masih kecil dan sebelum bertemu dengan Devan.

Silvi mungil yang malang. Dia tidak tahu siapa orang tuanya. Sejak kecil dirinya tinggal di panti asuhan. Wajahnya yang cantik dibanding anak seusianya membuat orang yang melihatnya selalu berniat melec*hkan dirinya.

Silvi kecil tidak tau apa yang sedang orang-orang dewasa itu lakukan terhadap dirinya. Ia diminta diam saja dan selalu menurut meski dirinya merasa risih dengan perlakuan itu.

Hingga lama-kelamaan. Lambat laun, Silvi mengerti semua itu. Ia memberanikan diri untuk pergi dari tempat yang sudah memberikan kenangan buruk untuknya.

Karena sudah menginjak usia dewasa, orang-orang panti mengizinkan dia untuk pergi dari sana. Di dunia luar yang tak kalah kejamnya ini. Silvi berusaha menghidupi dirinya sendiri. Berbekal menjadi seorang pembantu di sebuah rumah orang kaya di luar kota jauh dari panti asuhan tempat dirinya menghabiskan masa kecil dulu.

Tok.. Tok.. Tok...

Lamunan Silvi buyar ketika si pelayan kembali mengetuk pintu.

"Saya masuk, Nona!" ucap si pelayan. Meski status sosial Silvi lebih rendah dibandingkan pelayan itu, dia harus tetap bersikap sopan.

"Ini jus mangga yang Nona minta." Si pelayan meletakkan segelas jus mangga spesial di atas nakas samping tempat tidur Silvi.

Tanpa mengucap terimakasih, Silvi meneguk jus mangga itu.

"Ahhh..!" Silvi mendesah kenikmatan, bagai orang yang tidak pernah merasakan minuman seperti ini sebelumnya.

Si pelayan meneguk ludah saat melihat tingkah Silvi yang begitu urakan. Tidakk ada jaim-jaimnya sama sekali.

"Kenapa? Kamu mau juga?" tanya Silvi. Dia menyodorkan gelas jus yang sudah habis setengah kepada si pelayan.

"Tidak, Nona! Terimakasih. Saya sudah minum tadi di dapur," tolaknya halus.

"Hah! Menjadi pelayan di sini saja sudah bisa merasakan makanan dan minuman enak seperti ini setiap hari. Aku jadi makin semangat untuk bisa tinggal di tempat ini, setelah berhasil merebut hati Mas Devan. Aku akan mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan yang menyedihkan," batin Silvi.

****

Semua pelayan membicarakan tentang kehamilan Silvi. Perbincangan itu menjadi topik utama.

"Kau sudah tau tentang hal yang terjadi tadi malam?" Salah satu pelayan di rumah kedua membuka obrolan.

"Tau! Tentang Nyonya dan Tuan Besar marah itu 'kan?" sahut pelayan di rumah utama.

"Bukan! Ada yang lebih heboh dari pada itu!"

"Apa?" Pelayan di rumah pertama yang tidak tau apa-apa penasaran tentang hal yang tidak mereka ketahui.

"Wanita yang dibawa oleh Tuan Muda itu sedang hamil!" ungkapnya.

Semua pelayan di rumah utama tercengang, sebagian dari mereka ada yang tidak percaya.

"Yang benar?"

"Iya! Saya mendengarnya langsung."

"Kalian tau apa yang lebih mengagetkan lagi? Ternyata anak itu adalah anak Tuan Muda!" sambungnya lagi.

"Hah? Benarkah? Kalau wanita itu mengandung anak Tuan Muda, apakah nanti Tuan Muda akan menikahinya?"

"Entahlah! Sepertinya begitu kalau Nyonya Muda Andini tidak bisa memberikan keturunan. Sebab malam tadi saya melihat Nyonya dan Tuan Besar seakan luluh setelah mengetahui bahwa wanita itu hamil dan Tuan Muda mengakuinya."

"Kasihan sekali Nyonya Andini. Apa Nyonya, baik-baik saja?" tanya pelayan di rumah utama. Mereka benar-benar khawatir dengan keadaan nyonya mereka. Mereka seakan merasakan sakitnya.

"Nyonya Andini tidak bereaksi apa pun. Beliau tidak terkejut ataupun marah. Sepertinya beliau sudah tau akan seperti ini kejadiannya."

"Saya tidak bisa membayangkan kalau seandainya berada di posisi Nyonya Andini!" ucap mereka prihatin.

"Iya! Kalau saya mendengar hal seperti itu dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sudah pasti habis itu suami saya amuk."

"Ternyata tidak enak juga ya, menjadi orang kaya! Dari materi kita memang tidak pernah kekurangan. Tetapi harus siap menerima kalau pasangan mendua."

"Itulah! Namanya manusia punya masalah mereka masing-masing. Mau yang miskin, kaya, punya jabatan atau rakyat jelata seperti kita semuanya sama punya masalah."

"Iya, benar!" Mereka manggut-manggut.

Setelah mendengar gosip para pelayan secara sembunyi-sembunyi. Lia yang kemarin tidak berada di tempat kejadian setelah Silvi pingsan dan dibawa ke rumah kedua, langsung berniat menanyakan langsung kepada Andini.

Tak lupa dia membawakan makanan untuk majikannya itu.

Tok.. Tok...

"Saya masuk, Nyonya!" pinta Lia sopan.

Lia meletakkan senampan cemilan dan minuman ke atas meja di ruang kerja majikannya.

"Nyonya! Saya ingin bertanya!"

"Iya, Lia! Katakan, apa yang ingin kamu tanyakan." Andini masih fokus dengan laptopnya.

"Apa... Benar... Wanita yang dibawa oleh Tuan Devan itu sedang hamil?" Lia bertanya setengah takut. Dia takut kalau pertanyaannya membuat Andini sedih.

"Hah...!" Andini menarik nafas panjang. Dia menghentikan aktivitasnya.

"Jadi... Kamu sudah tau?"

"Berarti benar kalau anak itu adalah anak Tuan Devan?"

"Saya tidak tau! Tapi kalau melihat dari respon Tuan Muda, sepertinya iya!"

Andini menjawab sesantai mungkin. Jelas sekali, dia sudah lelah dengan drama sang suami.

Di sisi lain, wajah Lia merah padam. Dia terlihat sangat marah. "Yang benar saja! Dia harus diberi perhitungan." 

***

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status