Share

Bab 8 - Hamil

"Bagaimana, Dok, keadaan Silvi?" tanya Devan kepada dokter pribadi keluarganya.

Setelah kejadian ambruk tadi, kedua orang tua Devan membiarkan anaknya membawa Silvi ke tempat tidur.

"Tidak terjadi hal yang serius, Tuan Muda! Dia hanya kecapekan. Dan saya menyarankan, sebaiknya bawa dia periksa kedokter kandungan. Sepertinya dia hamil."

Semua orang yang berada di sana tercengang. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter.

"Apaa, Dok? Hamil?" Devan, mama dan juga papanya berkata bersamaan.

Andini juga berada di sana. Mendengar kata hamil membuat hati Andini terasa nyeri. Jujur, meski pernikahan mereka karena bisnis. Namun, tak dipungkiri bahwa Andini sebenarnya juga menginginkan hal yang semua wanita bisa rasakan.

Berbeda dengan Devan yang tersenyum semringah. Kedua orang tua Devan hanya terlihat bingung.

Memiliki cucu dari Devan adalah impian mereka. Terlebih Devan adalah anak mereka satu-satunya yang akan mewarisi perusahaan yang mereka bangun dari dulu, tentu harus memiliki keturunan untuk menurunkan usaha mereka ini. Tapi, mereka bingung harus senang apa cemas. Mereka sudah lama menantikan cucu dan ini adalah darah daging Devan sendiri. Yang berarti ada harapan memiliki seorang penerus. Tetapi mereka juga bingung anak dari hasil perselingkuhan dan bukan dari kalangan mereka tidak akan bisa menjadi pewaris. Itu sudah menjadi tradisi di keluarga mereka.

"Papa dan Mama lihat 'kan? Silvi sudah memberikan Devan keturunan seperti yang selama ini kalian impikan," ucap Devan dengan mata yang berkaca-kaca karena saking bahagianya.

Mama dan Papanya Devan sedikit ragu. Mereka kembali bertanya kepada dokter untuk memastikan karena mereka tak ingin mempunyai cucu dari seorang wanita kalangan bawah meski wajahnya cantik.

"Dokter yakin kalau wanita ini hamil?" tanya mamanya Devan.

"Saya tidak bisa memastikan, tapi kalau dilihat dari kondisinya sepertinya iya, Nyonya Marissa."

"Kalau anda ingin memastikan sebaiknya periksakan saja Nona ini ke dokter spesialis kandungan, Nyonya! Karena saya tidak ahli di bidang itu," jelas dokter muda itu dengan wajah tersenyum.

Andini hanya diam menyimak. Kalau sudah seperti ini dia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya satu hal yang dia yakini bahwa sebanyak apapun wanita simpanan suaminya, hanya dia satu-satunya istri yang diakui oleh keluarga.

"Eh...!" Silvi tersadar. Dia merintih pelan. "Mas...!" ucapnya pelan.

Dokter pribadi keluarga mereka pun terkejut dengan ucapan Silvi.

Nyonya Besar dan Tuan Besar tidak menyukai panggilan Silvi kepada Devan. Mereka menganggap tak pantas seorang wanita kalangan bawah memanggil Tuan Muda mereka dengan sebutan seperti itu.

"Hati-hati, Sayang!" Devan berkata mesra kepada Silvi. Dia terlihat ingin membuat Andini cemburu.

Hati Andini mencelos mendengarnya. Namun, dia berusaha terlihat tetap tenang. Memandang dengan wajah yang datar.

"Mas, aku kenapa? Perutku rasanya sakit sekali!" lirihnya dengan nada yang manja.

"Kamu istirahat dulu! Tadi kamu pingsan. Dan dokter baru saja memeriksamu!" balas Devan lembut.

"Aku kenapa memangnya?" Silvi merasa di atas angin karena Devan begitu lembut kepada dirinya di depan wanita yang masih sah menjadi istrinya. Bahkan kedua orang tua Devan yang terlihat keras tadi tak melarang.

"Kata dokter kamu hamil!"

"Hah? Hamil? Benarkah?" Silvi seakan tidak percaya. Raut wajahnya terlihat senang sekaligus takut. Tetapi dia berusaha menyembunyikan sebelum ada yang menyadarinya.

Andini memperhatikan raut wajah gundik suaminya itu. Dia merasa heran kenapa Silvi terlihat takut. "Apa dia takut kalau Nyonya dan Tuan Besar menyuruhnya menggugurkan bayi itu kemudian mengusirnya?" pikir Andini.

"Iya! Hamil! Akhirnya anak yang selama ini aku dan keluargaku impikan akan segera hadir!" ucap Devan senang.

"Kalau begitu saya pamit dulu, Tuan Muda! Nyonya Andini!" pamit lelaki muda itu.

Andini menjawab dengan anggukan.

"Pelayan!" panggil Andini. "Tolong antarkan Dokter Wisnu ke depan!" pintanya.

"Baik, Nyonya!" jawab pelayan itu dengan sopan dan menundukkan kepala. "Mari, Pak Dokter!"

Dokter Wisnu mengangguk kemudian keluar dari kamar itu.

"Beneran aku hamil, Mas?" Silvi mencoba bertanya lagi.

"Iya! Kamu hamil anak kita! Nanti kita akan periksa ke dokter kandungan."

Mendengar Devan mengakui anaknya, Silvi merasa lega.

"Jangan usir aku ya, Mas? Aku dan anak aku akan tinggal di mana kalau kamu mengusir aku!" ujarnya memelas meminta di kasihani.

"Tidak ada yang akan mengusir kamu! Kamu sedang hamil anak aku, tidak akan ada satu orang pun yang berani mengusir kamu." Devan melemparkan pandangan kepada kedua orang tuanya dan juga Andini.

"Kalau kamu tidak ingin di usir dari sini! Perbaiki etika dan cara bicara kamu!" ketus Nyonya Marissa.

"Panggil Devan dengan sebutan Tuan Muda! Seperti yang Andini lakukan," lanjutnya lagi.

"Dan satu lagi. Kalau setelah periksa ternyata kamu tidak hamil, secepatnya kamu angkat kaki dari rumah ini."

Setelah memberikan peringatan, Tuan dan Nyonya besar pergi meninggalkan rumah anaknya itu.

"Besok kita akan periksa. Sekarang kamu istirahat saja di sini."

"Baik, Tuan Muda!"

Devan tersenyum mendengar jawaban Silvi.

Saat Devan ingin beranjak dari duduknya, tiba-tiba Silvi mengatakan sesuatu yang membuat Devan terdiam.

"Tuan tidur di sini menemani saya 'kan?"

Andini yang tadinya ingin keluar dan hampir sampai di depan pintu, terdiam sejenak.

"Maaf, Silvi! Meskipun kamu hamil anak saya! Kita tetap tidak bisa tidur bersama."

"Kenapa? Apa ada yang salah kalau kita tidur bersama? Saya 'kan sedang mengandung anak Tuan! lagi pula Nyonya Muda Andini tidak keberatan, bukan?"

Andini menghela nafas perlahan, Silvi seakan menampakkan kemesraan mereka secara terang-terangan dan berlebihan. Merasa akan ada adegan di luar batas, Andini segera pergi dari kamar itu.

"Meski Nyonya Andini tidak keberatan. Tetap saja, saya hanya boleh tidur bersama istri sah di kamar di dalam rumah utama."

"Tapi saya 'kan sedang mengandung? Harusnya Tuan lebih memilih menemani saya. Nyonya Andini 'kan tidak hamil jadi tidak perlu ditemani," protes Silvi.

"Nanti... Setelah kita resmi menikah. Akan aku pilihkan pelayan pribadi untukmu, agar bisa menemani kamu setiap saat di kehamilan ini," usul Devan.

"Sekarang kamu ditemani oleh pelayan dulu! Saya ingin kembali ke rumah utama untuk menyelesaikan pekerjaan," lanjutnya.

"Jangan ke mana-mana! Kamu tunggu saja di sini," titah Devan.

"Um-uh!" Silvi mengerucutkan bibirnya.

"Dia manis sekali!" batin Devan.

Devan melangkahkan kakinya keluar dan menutup pintunya.

"Ish! Gagal deh berduaan sama Mas Devan!" gumam Silvi.

Silvi memandang langit-langit kamar untuk beberapa saat, kemudian bergumam, "Apakah aku bisa menjadi istri Mas Devan seutuhnya?" ujarnya pesimis.

"Ah, aku kenapa sih? Aku bisa. Aku pasti bisa menjadi menantu satu-satunya di rumah ini," ujarnya bersemangat.

"Kalau aku bisa menjadi menantu di rumah ini, aku tidak akan lagi merasakan hidup susah. Terkurung di dalam kamar kontrakan yang sempit. Pertama, aku harus bisa meluluhkan hati kedua orang tua itu."

Tok.. tok.. tok...

Sedang asyik-asyiknya menyusun strategi. Tiba-tiba di depan pintu kamar Silvii ada yang mengetok.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status