Keduanya memang dijodohkan, tetapi Andini tak menyangka jika Devan justru jatuh cinta dan berakhir mengejar gadis lain. Di sisi lain, Devan begitu dibutakan sang 'gadis impian', hingga akhirnya dia merasa kehilangan kala Andini menjauh. Lantas, bagaimana kisah keduanya? Apakah akan bersama atau pada akhirnya berpisah?
View More"Nyonya!" seru kepala pelayan. "Ada sesuatu ingin kami sampaikan!"
Andini melihat ke arah Bu Dewi, kepala pelayan yang sudah puluhan tahun menemaninya. Ia menjadi penasaran hal apa yang ingin di sampaikannya."Ada apa, Bu Dewi?" tanya Andini."Anu... Nyonya!" ucapnya ragu. "Tuan pulang membawa seorang wanita." Andini terkejut, ada rasa tidak nyaman yang ia rasa di dalam hatinya."Wanita?!""Iya, Nyonya!""Siapa wanita itu?""Saya tidak tau, Nyonya! Kata Tuan dia tidak sengaja menabrak wanita itu saat di jalan. Karena lukanya tidak terlalu parah, Tuan memutuskan untuk membawanya ke rumah ini!""Apakah Bu Dewi yakin bahwa itu hanya wanita yang tak sengaja ia tabrak?""Kalau dilihat dari interaksi keduanya terlihat seperti sepasang kekasih, Nyonya! Apakah Nyonya ingin saya mencari tahu tentang wanita itu?"Brakk.....Tiba-tiba pintu dibuka dengan sangat keras. Andini sampai terkejut dibuatnya."Lia! Apa yang kamu lakukan membuka pintu kamar Nyonya seperti itu? Di mana sopan santunmu?" tegur Bu Dewi, sang kepala pelayan."Hah.. hah.., maaf, Bu Dewi, Nyonya!" Nafas Lia tersenggal-senggal. "Tuan, Nyonya!" Lia masih kesulitan mengatur nafasnya."Iya, kenapa dengan, Tuan?" tanya Andini."Atur dulu nafasmu, Lia! Baru kamu lanjutkan bicaranya," ucap Bu Dewi."Huh... Huhh...," Setelah nafasnya teratur, Lia kembali melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong."Tuan tengah membawa seorang wanita muda ke rumah kedua."Andini heran dengan perlakuan suaminya itu. Pasalnya, kalau hanya sekedar wanita yang tak sengaja ia tabrak tak mungkin diperlakukan sampai seperti ini. Apalagi rumah itu diperuntukkan untuk para kolega bisnis mereka yang ingin menginap."Tuan sampai membawa wanita itu ke sana?" Raut wajah Andini tidak ada keterkejutan tapi di dalam hatinya ada perasaan tidak nyaman mendengar berita itu."Wajarkah memperlakukan wanita yang hanya tidak sengaja ia tabrak seperti itu?" Andini memandang ke arah Bu Dewi seperti meminta pendapat."Nyonya sudah tau berita tentang wanita itu?" Lia bertanya."Iya," jawab Andini. Wajahnya terlihat murung.Melihat wajah majikan sekaligus sahabatnya itu murung, Lia mendekat untuk menghiburnya dan memberikan kekuatan."Mungkin saja Tuan hanya bersikap baik kepada wanita itu karena rasa bersalah, Nyonya.""Bagaimana rupa wanita itu, Lia?""ini pendapat jujur saya, Nyonya! Walau wanita itu terlihat kampungan, wajahnya lumayan cantik. Tapi, tentu tak ada yang dapat menandingi kecantikan Nyonya!"Bu Dewi mengusap bahu Andini. "Apa Nyonya ingin kami menyelidiki siapa wanita itu?" tanyanya."Tak perlu sampai seperti itu. Nanti biar saya saja yang menanyakannya secara langsung."Bu Dewi merasa sedih melihat Andini. Wanita itu menganggap Andini seperti anaknya sendiri. Ia selalu berada di samping Andini sedari kecil.Ia menyodorkan secangkir teh hangat beraroma melati kepada Andini. "Nyonya minum 'lah ini, mungkin bisa membuat perasaan Nyonya menjadi lebih baik.""Terimakasih, Bu!" Andini tersenyum dipaksakan."Kalau masih belum baikan, ungkapkan 'lah perasaan yang membuat Nyonya tak nyaman. Siapa tahu itu bisa lebih membuat perasaan Nyonya menjadi tenang.""Sebenarnya, saya sudah menduga bahwa kejadian seperti ini akan terjadi. Cepat atau lambat. Ibu saya pernah berkata kalau suatu hari nanti, saat Mas Devan memiliki wanita lain bersikaplah seperti biasa, karena ini sudah menjadi hal lumrah di dalam keluarga kita. Apalagi keluarga ini menginginkan penerus. Walaupun Mas Devan banyak memiliki wanita lain tapi percayalah hanya saya istri sahnya, Mas Devan. Wanita simpanannya tak akan bisa menuntut apa-apa!"Bu Dewi dan Lia mendengarkan."Pernikahan kami di dasari atas perjodohan dan mungkin saja kami tidak saling mencintai, tapi kenapa di hati saya merasa kosong?" ungkapnya."Apakah kalau saya yang membawa pria lain, Mas Devan akan terganggu? Apakah dia merasakan apa yang tengah saya rasakan ini?""Tenang 'lah, Nyonya! Itu mungkin hanya perasaan terbiasa, sebab selama ini, Tuan tidak pernah berdekatan dengan wanita selain Nyonya.""Mungkin saja begitu!" Andini terlihat lesu.Bu Dewi dan Lia, pun saling berpandangan.****Malam pun tiba. Kini Devan dan Andini tengah duduk berdua di meja makan. Dengan berbagai macam hidangan mewah yang berada di atas meja, mereka makan bersama.Ya, di rumah yang sebesar dan semewah itu mereka hanya berdua, setelah para pelayan menyiapkan makan atau apapun keperluan majikan mereka, mereka akan pergi ke rumah husus yang di peruntukkan untuk para pelayan yang bekerja di rumah itu."Aku dengar Mas membawa seorang perempuan ke rumah kedua?""Darimana kau mendengar berita itu?" tanya Devan tak suka."Tidak penting aku tau darimana berita itu? Yang penting sekarang adalah jawabanmu? Apa benar kau membawa seorang perempuan ke rumah kedua?""Iya! Benar," jawabnya santai."Siapa wanita itu?""Dia hanya seorang wanita yang tidak sengaja aku tabrak. Apa jawabanku sudah jelas bagimu?" Dengan nada sedikit membentak Devan menjawab."Apakah perlu sampai begitu kau memperlakukannya? Kenapa tidak kau antar dia ke rumah sakit dan membiayai pengobatannya? Bukannya malah kau bawa ke sini dan membawanya ke rumah kedua!""Aku kasihan dengannya. Sudah 'lah! Kamu kenapa sih? Tak biasanya memperdulikan hal sepele begini.""Dengan jawabanmu yang seperti itu, itu artinya kau seperti ingin mengatakan 'jangan campuri urusanku yang satu ini," batin Andini." Sudahlah, kau membuat selera makanku hilang." Devan berdiri dari duduknya dan meninggalkan Andini sendirian di meja makan.Semenjak Devan membawa wanita itu ke kediaman mereka, ia menjadi lebih emosi kepada Andini.******Keesokan harinya.....Saat Lia, sang pelayan pribadi menyiapkan keperluan Andini untuk bekerja, ia mengajak Andini mengobrol perihal wanita itu karena sejak tadi Andini terlihat bengong."Sudah kuduga, pasti ada yang tidak beres terjadi semalam," batinnya."Nyonya," panggilnya hati-hati. "Apa yang Tuan katakan?""Tak ada, Lia!""Kalau tidak ada, tak mungkin Nyonya menjadi murung seperti ini," ucapnya lembut."Tak ada apa-apa, Lia! Tuan cuma bilang..!" ucapan Andini terputus. Ia ragu mengatakannya."Tidak apa-apa, Nyonya! Katakan saja kepada saya apa yang dikatakan Tuan, dan Apa tanggapan Tuan saat Nyonya bertanya tentang wanita itu?""Tuan menjawab ia hanya kasihan dengan wanita itu. Tak ada hubungan apa-apa antara mereka. Ia hanya merasa harus bertanggung jawab saja kepadanya. Dan Tuan mempertanyakan kenapa saya menjadi mengurusi hal sekecil ini. Tuan marah saat saya membahas hal itu.""Apa?" Lia terlihat geram. "Itulah yang dikatakan para lelaki ketika ketahuan berselingkuh, Nyonya. Dari artikel yang saya baca, para lelaki yang ketahuan berselingkuh, mereka pasti mengatakan hal itu untuk menutupi kelakuannya.""Persis sekali 'kan? Saat ketahuan berselingkuh, mereka akan membentak dan memutar kata-kata. Seolah kita terlalu mengatur mereka," ucapnya terlihat kesal, sampai-sampai wajahnya merah menahan emosi."Kalau memang tak ada hubungan apa-apa, kenapa marah saat ditanya?"Tookkk... tookk... tookkk...Bersambung....."Silvi! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" "Apa itu, Tuan? Silvi jadi penasaran," ujarnya dengan nada yang dibuat manja. "Apa... Apa kamu bersedia untuk menjadi Nyonya utama di rumah ini?" Silvi terkejut. Pertanyaan Devan membuatnya tercengang. "Apa Tuan serius? Atau pertanyaan Tuan ini hanya ingin mengetes saya saja?" Silvi ragu sebab di awal pertanyaan, Devan seperti ragu saat mengatakannya. "Tidak! Saya serius. Apa kamu mau?" Silvi menunduk. Dia ragu ingin menjawab apa. "Semua wanita, siapa pun itu. Pasti tak akan menolak untuk menjadi pendamping Tuan Devan dan menjadi Nyonya utama. Saya pun begitu, tetapi... Apa Tuan yakin untuk menjadikan saya Nyonya utama?" lirih Silvi. Lain di mulut, lain di hati. Itulah yang saat ini Silvi katakan. Dia berusaha menarik ulur agar bisa memastikan kalau pertanyaan Devan benar-benar serius memintanya untuk menjadi Nyonya utama. Devan gemas. Dia takut kalau Silvi menolak, terpaksa dia harus mencari wanita lain lagi untuk
Devan diam tak berkutik. Dia tak bisa membela Silvi sama saat seperti mamanya memojokkan Silvi waktu itu. "Ingat, Devan! Kamu tau 'kan peraturan mutlak di rumah ini? Anak dari hasil hubungan gelap maupun anak dari istri kedua tidak akan bisa menjadi penerus. Hanya anak dari istri sah dan pertama saja yang bisa diangkat menjadi penerus keluarga." Nenek Grace menekankan. "Benar, Devan! Meski wanita itu sudah kamu nikahi secara sah sekalipun, anak yang ada di dalam kandungannya tidak bisa menjadi penerus. Apalagi wanita itu hanya kamu nikahi secara siri." Kakek Devan ikut menimpali. "Segeralah lakukan pemeriksaan dan fokus untuk memberikan keluarga ini seorang penerus. Kami berharap banyak padamu." Setelah mengatakan itu, Tuan Bill dan Nyonya Grace pergi begitu saja. Devan terduduk. Tenaganya seakan terkuras habis dengan kedatangan mendadak nenek dan kakeknya. Erick menghampiri Devan yang shock. "Tuan Muda tidak apa-apa?" "Tak apa. Aku hanya shock dengan kedatangan merek
Silvi yang terbawa emosi, menampar wajah Rania dengan keras. Hingga meninggalkan bekas merah di pipinya. "Kauuu!" desis Rania. Dia mengangkat tangan ingin membalas tamparan Silvi, namun dengan cepat Rania berhasil mengendalikan emosinya. "Sifat burukmu itu memang tidak bisa diperbaiki. Baru menjadi 'mainan baru' Tuan Devan saja, sudah berani bersikap kurang ajar! Ternyata bukan hanya sifatmu saja yang jelek, kau juga wanita murahan.""Dasar Kau memang wanita rendahan!" Rania pun berlalu meninggalkan Silvi. Tangan Silvi gemetaran setelah menampar pipi Rania. Dia begitu ketakutan. "Bagaimana ini? Apa yang akan dilakukan Tuan Radit kepadaku?" Saking takutnya, tanpa sadar dia menggigit kuku jarinya. Keesokan harinya Tuan Radit kembali mendatangi Silvi setelah mendapat laporan dari anaknya kalau wanita itu menamparnya. "Apa yang kau lakukan kepada anakku, Rania?" Wajahnya terlihat sangat marah. "Itu salah anakmu sendiri. Kenapa dia tak bisa menjaga mulutnya." Silvi berkata dengan ra
"Tuan Radit kembali menemui Nona Silvi, Nyonya!" ujar pengawal Andini. "Dia menemuinya lagi?""Iya!""Apa yang sedang mereka lakukan, ya? Semenjak kejadian itu mereka menjadi sering bertemu. Apa Tuan Radit sedang mengancamnya?" pikir Andini. "Baiklah! Terimakasih. Kau boleh pergi."Setelah pengawal itu pergi, Bu Dewi berkata, "Apa besok karena Nyonya ingin berbicara secara pribadi dengan Nona Rania?""Wanita itu memanggil Tuan Radit pasti ingin menyuruh Nona Rania diam. Dasar wanita licik!" sambung Lia geram. "Yang aku inginkan bukan itu." Andini tersenyum. "Pancingan ku berhasil. Kalau sampai wanita itu takut seperti ini, pasti ada yang dia sembunyikan. Tapi... Apa ya?" pikir Andini. "Kalau bukan untuk mengorek informasi dari Nona Rania. Apa yang membuat Nyonya mewawancarai Nona Rania secara khusus?" Lia heran karena tidak biasanya Nyonya Mudanya ini berbuat begitu. "Seperti ini saja sudah cukup bagiku. Menekannya seperti ini." Bu Dewi dan Lia saling pandang mereka tidak menger
"Saat itu aku sangat ketakutan. Berbeda denganmu, kau tidak akan kehilangan apa-apa.""Heh! Kau memang lelaki egois.""Aku..." Pria itu tak dapat membalas. "Aku tidak ingin membahas masa lalu. Kalau begitu sekarang kau mengerti dengan posisiku 'kan, Dilan? Karena saat itu kau juga merasakannya." Silvi memandang sinis kepada mantan majikannya ini, anak Tuan Radit. "Kau bisa membuatku kehilangan segalanya sekarang. Jadi, berpura-puralah tidak mengenaliku dan urus adikmu yang tidak tau sopan santun itu," ujarnya tegas. Silvi berlalu meninggalkan Dilan seorang diri. "Sekarang aku bukan wanita yang lemah. Aku bahkan bisa berkata tegas kepada seseorang yang dulunya majikanku," ujarnya dalam hati sembari menyeringai. Silvi berjalan angkuh, mengangkat wajahnya. Selayaknya seorang Nyonya.Dilan memandang sendu dengan kepergian Silvi. Tak ada lagi sikap polos dan lembut dari diri wanita itu. ****Keesokan harinya Silvi mengajak Rafael bertemu. "Ada apa Nona mengajak saya bertemu?" Rafael
Devan mengepalkan tangannya, kesal. "Kau terlalu menganggap harga dirimu terlalu tinggi hingga enggan untuk mengakui kesalahan.""Seorang pemimpin perusahaan sepertiku harus mengganggap dirinya tinggi, tetapi bukan berarti aku bisa seenaknya menuduh orang tanpa bukti. Hanya menyimpulkan berdasarkan kejanggalan dan prasangka." Andini menjawab dengan tenang dan datar. Andini berusaha tidak menghiraukan Devan, namun pria itu terus saja mengganggunya. "Kalau aku sudah bilang menyelidiki tapi tidak mendatangimu untuk meminta maaf, itu berarti aku tidak menemukan kalau anggota keluargaku pelakunya." Andini meninggalkan Devan yang masih kesal. Dia memutuskan untuk bersantai sejenak di taman bagian samping yang tak biasa dilalui oleh orang. Berdebat dengan Devan membuat moodnya menjadi semakin jelek. "Hah! Aku tak tau apa yang ada di pikirannya sehingga senang sekali mengaitkan apapun yang terjadi kepada wanita itu denganku." Andini bergumam dengan menghela nafas berat. Devan yang kesal
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments