“Najwa!” suara Sarah membuat Najwa tersadar dari lamunan kala gadis berambut coklat itu memanggil namanya di ambang pintu masuk café tempat mereka membuat janji. Najwa membalas lambaian tangannya dan tersenyum manis ke arahnya yang berjalan ke arah Najwa duduk. “Udah lama?” tanyanya seraya meletakkan tas di atas meja dekat jendela. Sarah pelupa, apapun bisa tertinggal jika barang-barangnya tak ada di dalam jangkauan matanya. Jadi di manapun ia berada, barang-barang penting yang selalu ia bawa kemana-mana seperti tas, dompet dan ponsel harus ada dalam jangkauan matanya.
Sarah adalah sahabat baik Najwa. Sejak duduk di kelas sebelas SMA, mereka berteman baik sampai sekarang. Meski dulu sempat berpisah karena mereka tak kuliah di tempat yang sama, tapi mereka tetap menjalin hubungan baik. Sering kali keluar bersama. Bersama Sarah pula, Najwa berani membuka toko kue atas bakatnya, Sarah yang terus menyemangatinya, membantunya berusaha di bidang marketing dengan mempromosikan kue Sarah ke teman-teman kantornya. Sarah adalah staff akuntansi dari perusahaan investasi yang besar.
“Baru aja nyampek,” jawab Najwa.
“Tumben banget nieh kamu ngajakin keluar, emang mas Hamish masih di luar kota?” tanya Sarah pada Najwa.
“Mau pesan apa, Rah?” alih-alih menjawab pertanyaan sahabatnya, Najwa malah melontarkan pertanyaan padanya.
“Hmm, aku udah makan, gimana kalau orange juice saja?” tanyanya dan Najwa mengangguk. Najwa mengangkat tangannya cukup tinggi untuk memanggil pelayan agar datang menghampirinya. Pelayan datang dan Najwa memesan satu orange juice untuk Sarah dan beberapa camilan untuk mereka mengobrol.
“Kamu gak sibuk, kan?” tanya Najwa dan Sarah menggeleng.
“Bos lagi ke luar negeri, makanya aku bisa on time pulang kerja,” jawab Sarah, “mau ngomong apa?” tanya Sarah. Najwa bingung harus bicara dari mana dulu, tentu saja ia mendatangi Sarah karena ia tak tahu harus kemana lagi pergi untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapinya. Sarah adalah satu-satunya teman yang ia percaya setelah kematian bibinya. Paman Najwa masih hidup di kampung, tapi mana bisa ia bercerita pada pamannya soal Hamish? Bisa-bisa nyawa Hamish melayang juga. Pamannya terkenal keras dan tegas, dan yang paling utama, pamannya menyayangi Najwa. Orang lain tak boleh melukai Najwa.
“Aku butuh saran, Rah,” kata Najwa.
“Mau buka cabang toko kue di mana lagi?” tanya Sarah dan Najwa menggeleng.
“Bukan toko kue. Kamu tahu kan omsetku terus turun, gak mungkin aku buka lagi,” kata Najwa.
“Omsetmu yang terus turun kan yang ada di sebelah rumahmu, kalau yang di Surabaya kan enggak,” kata Sarah. Benar kata Sarah, omset toko kue Najwa terus turun yang ada di sebelah rumahnya tapi cabang yang di Surabaya tidak, itu kenapa kekurangan bahan pokok, kerugian serta gaji pegawai Najwa yang di toko dekat rumahnya bisa ditutupi dengan hasil dari omset yang ada di Surabaya.
“Iya, tapi kamu kan tahu, agar toko yang di sini bisa terus jalan, aku tambal sulam dari toko yang di Surabaya,” kata Najwa pada Sarah. Sarah mengangguk.
“Jadi, masalahmu apa? jika bukan toko, terus apa? momongan?” tanya Sarah, “itu hak mutlak sang pencipta, aku gak bisa kasih saran untukmu berpisah dari mas Hamish, dia akan paham kalau kamu tak punya hak soal itu,” kata Sarah dan Najwa kembali menggeleng.
“Lalu apa, Najwa?” Sarah terlihat mulai gemas.
“Mas Hamish,-”
“Mas Hamish rugi dari proyeknya?” tebaknya tak sabar dan Najwa kembali menggeleng. Ketika ia akan melayangkan protes karena Najwa terkesan mengulur-ngulur waktu, pelayan datang membawa pesanan mereka dan meletakkannya di atas meja. Sarah menyeruput orange juice miliknya yang terdengar nikmat.
“Mas Hamish selingkuh, Ra,”
“Byurr!” Sarah menyemburkan minuman di mulutnya ke wajah Najwa. Saking kagetnya mendengar apa yang disampaikan oleh Najwa, Sarah sampai refleks melakukan hal itu. Semua orang yang di café menatap ke arah mereka dengan heran dan kaget, tapi tidak dengan para pelayan di sana. Bagi mereka hal itu adalah pemandangan umum. Bahkan ada yang lebih parah dari hanya menyemburkan minuman saja.
“Kamu bilang apa, Wa?” tanya Sarah. Najwa menunduk, ia memilin ujung bajunya dari tadi. Ia bingung.
“Aku bilang kalau mas Hamish ketahuan selingkuh, Ra,” kata Najwa pada Sarah.
“Gak mungkin,” kata Sarah seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Bayangan Hamish yang soleh dan baik itu membuat Sarah menolak apa yang baru saja dikatakan oleh Najwa. Air mata Najwa berjatuhan, membuat Sarah tertegun.
“Kenyataannya memang seperti itu, Ra,” jawab Najwa.
“Apa kamu sudah selidiki?” tanya Sarah.
“Aku gak menyelidikinya,” kata Najwa.
“Jadi, kamu hanya dengar gossip murahan?” tanya Sarah dan Najwa menggeleng.
“Aku tahu sendiri,” kata Najwa.
“Gimana ceritanya?” tanya Sarah tak sabar.
“Mas Hamish kemarin kecelakaan, Ra,”
“Astaghfirulloh, terus kondisinya sekarang gimana?” tanya Sarah cemas, Najwa menggeleng lemah.
“Masih di ruang ICU,” kata Najwa, “dia mengalami kecelakaan di tol bersama istri mudanya yang sedang hamil,” kata Najwa.
“Apa?” pekik Sarah keras dan tak percaya. Najwa terlihat berusaha bersabar, meski mengatakannya kepada Sarah membutuhkan kemantapan hati. Membeberkan aib suami sendiri kepada orang lain bukanlah hobinya, tapi ia butuh saran dari orang lain, permintaan ibu mertuanya yang tak masuk akal itu membuat otak Najwa penuh.
“Gila!” akhirnya Sarah mengumpat juga. “Terus gimana sekarang? Berarti madumu kecelakaan juga? Anaknya?” tanya Sarah bingung.
“Dokter memintaku menandatangani surat operasi section Caesar dan aku menandatanganinya,”
“Kenapa gak dibiarkan mati saja?!” tanya Sarah gemas, kemarahan di matanya terlihat berapi-api.
“Bagaimana aku bisa melakukan itu, Sarah?” tanya Najwa, “dia sedang mengandung,” katanya lagi. Najwa tak tahan lagi, air mata yang sedari tadi ia bendung, keluar juga. Sakit hatinya tak akan pernah sembuh, ia tahu hal itu. Yang tidak ia ketahui adalah bagaimana caranya ia melewati ini semua?
“Dasar Hamish gila!” Sarah benar-benar kesal, bahkan ia tak menyebut nama lelaki itu dengan ‘mas’ lagi. Napasnya naik turun dan ia membiarkan Najwa menangis sampai perempuan itu merasa puas. Berulang kali Sarah menghembuskan napasnya dengan kesal. Bagi Sarah, Najwa sudah menjadi sahabat sekaligus saudara, saat dulu ia tak memiliki keberanian diri karena dibully oleh teman-teman SMAnya, Najwa menolongnya dan mengembali kepercayaan dirinya serta keberaniannya. Dan Sarah tahu betul, pengkhianatan Hamish pada Najwa pasti berdampak besar pada mental Najwa.
“Kamu pasti akan menceraikan Hamish, kan?” tanya Sarah setelah Najwa sudah lebih tenang dan menghapus air matanya.
“Itu masalahku, Rsh,” kata Najwa. Matanya kembali berkaca-kaca.
“Jangan bilang kamu akan rela dimadu?” tanya Sarah. Najwa diam, “are you lost your mind?” tanya Sarah tak percaya yang seolah-olah paham apa yang menjadi keputusan Najwa.
“Aku, ibu …”
“Ibu mertuamu?”
“Kamu tahu kan kalau ibu sakit-sakitan,” kata Najwa pada Sarah.
“Tapi ini bukan kesalahanmu, Najwa! Kamu harus berpisah dari Hamish, sekali pria berselingkuh, dia akan berselingkuh lagi dan lagi,” kata Sarah.
“Perempuan yang menjadi selingkuhan mas Hamish itu adalah mantan kekasihnya,”
“Apa?” pekik Sarah lagi. “Aisyah? Aisyah yang selalu kamu ceritakan itu?” tanya Sarah tak percaya. Najwa mengangguk. Sarah mengusap wajahnya dengan kasar.
“Aku,-”
“Kamu sudah tamat, Najwa! Alias, Hamish tak pernah mencintaimu!” kata Sarah. Najwa diam.
“Untuk itu aku datang padamu, meminta solusi,” kata Najwa putus asa.
“Bercerailah!”
“Bagaimana aku bisa melakukannya, Sarah? Ibu sakit sekarang! Kemarin dia memintaku untuk berbesar hati membagi ruang di rumahku untuk Aisyah,-”
“Apa? gila! Kamu gak akan bercerai dari Hamish dan akan membagi ruang di rumahmu untuk madumu? Kamu sadar gak sih kalau kamu sendiri yang membuat lubang neraka di rumahmu?”
“Aku harus bagaimana? Ibu memintaku bertahan dengan mas Hamish, ia yakin mas Hamish bisa adil padaku dan Aisyah,”
“Dan kamu percaya?” Najwa menghela napas berat. Sejak tadi, saking geramnya, Sarah memotong kalimatnya terus.
“Sudah kukatakan, Ibu sakit, Sarah. Ibu sakit sekarang dan ia di rumah, menolak makan dan minum,” kata Najwa. Sarah membuang wajahnya dengan kesal. Masalah hidup Najwa membuatnya langsung menghabiskan minumannya. Sarah mengangkat tangannya lagi, pelayan datang dan ia memesan tiga gelas orange juice kembali.
“Kamu tahu jawabanku, kan, Najwa?” tanya Sarah ketika pelayan itu pergi, “aku hanya akan menyarankanmu satu hal. Pergi dan tinggalkan Hamish, masa bodoh dengan semua hal yang membuatmu enggan. Kamu butuh waras terlebih dahulu,” kata Sarah.
“Ibu, bagaimana?” tanya Najwa.
“Coba bicara dengannya baik-baik, jika gagal, kamu ambil keputusan sendiri. Aku angkat tangan,” kata Sarah.
“Tapi kamu masih mau jadi temanku, kan?” seputus asanya itu Najwa pada hidupnya sampai-sampai ia memohon hal seperti itu pada Sarah.
“Kau bodoh! Tentu saja, kita masih teman, tapi maaf, Hamish sudah kuanggap mati,” kata Sarah. Najwa merasa lega, setidaknya ia masih punya sahabat untuknya berbagi keluh kesah. Suami yang ia harapkan telah hilang kini.
Pelayan datang dan membawakan tiga orange juice. Sarah langsung meminum tiga gelas itu sekaligus, membuat pelayan dan para pengunjung lainnya hanya bisa menatap heran dan tak percaya. Setelah menghabiskan orange juice itu, Sarah bangkit dari tempat dudunya.
“Ayo!” ajaknya pada Najwa.
“Ke mana?” tanya Najwa.
“Bawa kartu kredit Hamish, kan?” tanya Sarah dan Najwa mengangguk.
“Mulai habiskan sekarang! Dia harus diberi pelajaran!” kata Sarah.
“Tapi,”
“Kamu butuh waras! Kita belanja sampai puas, bila perlu borong semua isi dari toko perhiasan,” kata Sarah yang langsung menarik tangan Najwa untuk terus mengikutinya.
Setelah puas belanja sampai limit kartu kredit milik mas Hamish Najwa gunakan habis, ia dan Sarah memutuskan pulang ke rumah. Sampai di rumah dengan belanjaan yang banyak, ibu mertua menatapnya dengan wajah terkejut dan bingung dengan barang belanjaan milik Najwa. “Bi Surti! Tolong bantu bawakan belanjaanku,” teriaknya memanggil asisten rumah tangga. “Kamu belanja apa, nak? Banyak sekali,” tanya ibu mertuanya yang bingung kala Najwa meletakkan beberapa paper bag di ruang tamu. Bi Surti terlihat mengangguk ke arah Najwa sebelum ia menuju keluar dan kembali beberapa saat dengan delapan paper bag di kedua tangannya. Setelah meletakkannya di dekat Najwa, ia kembali keluar lalu mengambil delapan paper bag lagi dan meletakkannya di samping paper bag yang ia letakkan sebelumnya. Bi Surti mengulangi kegiatannya sampai tiga kali dan selama itu pula, ibu mertua Najwa hanya diam melongo. “Aku beli beberapa baju, tas dan sandal buat ibu,” kata Najwa menyerahkan tiga paper bag untuk ibu mertuany
“Apa yang dikatakan oleh Najwa, Hamish?” tanya ibu Hamish pada Hamish. Hamish memandang wajah ibunya sejenak sebelum menggeleng ke arahnya. “Nggak ada,” jawab Hamish. “Kita jadi pulang hari ini, kan? Najwa ke sini dan bayar tagihan rumah sakit, kan?” tanya ibunya kembali. Hamish diam, ia masih bergeming. Sebenarnya ia memiliki uang, hanya saja ia tak mau menggunakannya lebih dulu jika bukan hal yang mendesak. Ia benar-benar heran dengan Najwa, kenapa istrinya itu menghabiskan limit kartu kreditnya? “Iya, bu, sebentar Hamish ke bagian administrasi dulu lagi,” kata Hamish seraya beranjak dari kasurnya. “Loh? Katanya Najwa ke sini dan bayar tagihannya?” tanya ibunya heran. “Najwa sibuk beresin kamar, bu. Dia cuma transfer,” jawab Hamish berbohong pada ibunya. Ida mengangguk mengerti dan mendampingi sang putra berjalan ke bagian administrasi untuk melakukan pelunasan tagihan rumah sakit. “Kamu gak jenguk anakmu dulu?” tanya sang ibu setelah Hamish selesai melakukan pelunasan pada tag
Mobil Hamish yang mengalami kecelakaan masih berada di polsek untuk diamankan. Mobil itu mengalami kerusakan yang cukup berat dan Najwa sama sekali tak berniat untuk memperbaikinya. Bukan tidak mau memperbaikinya, tapi hatinya masih sakit kala ia teringat bahwa mobil itu tak hanya suaminya saja yang naiki tapi juga madunya, Aisyah Rahmah.Terpaksa, Hamish memanggil taksi online untuknya dan Aisyah pulang. Untung saja barang bawaan ibunya tak banyak, hanya ada beberapa baju dan itu bisa ia bawa dengan sebelah tangannya yang baik-baik saja, sedangkan ibunya membantu membawa barang-barang Aisyah dan bayinya. Aisyah sendiri menggendong bayinya.“Kenapa gak ada yang jemput kita, mas?” tanya Aisyah berbisik pada Hamish. Hamish menoleh sejenak dan tak berniat sama sekali menjawab pertanyaan Aisyah itu, masalahnya adalah ia akan pulang ke rumah tapi entah mengapa perasaannya tak enak. Hamish sadar kalau rumah itu bukanlah rumahn
“Ibu,” sapa Najwa pada ibu mertuanya sembari mencium punggung tangan perempuan paruh baya tersebut saat menyambutnya datang. Ida tersenyum kepada Najwa, “masuk, bu,” ajak Najwa. Ia menoleh ke arah suaminya dan istri muda suaminya yang tertunduk tak berani menatap wajah Najwa.“Mas, ayo masuk,” ajak Najwa pada Hamish yang masih diam. Biasanya, Najwa juga akan menyambutnya dengan mencium tangannya, tapi kini sang istri tak melakukan hal itu. Membuat Hamish merasa ada yang hilang di sudut hatinya. Senyum Najwa juga terasa dingin.“Mas, aku langsung ke kamar aja,” bisik Aisyah yang terlihat sungkan. Najwa mendengar itu dan menoleh ke arah Aisyah yang langsung kembali menundukkan pandangannya, tak berani menatap wajah Najwa. Aisyah sendiri bingung harus menegur Najwa dari mana dulu, jadi ia memilih diam dan membiarkan suaminya bertindak, sedangkan Najwa seolah tak menganggapnya ada. Melihat sikap Najwa yang
Rasa bersalah kepada Najwa terus menggelayuti hati Hamish. Bahkan, sebenarnya ia enggan keluar dari kamar sang istri. Tujuh tahun ia tidur bersama Najwa, kini Najwa bahkan memalingkan wajah darinya. Hati Hamish terasa diremas, berulang kali ia menghela napas karena merasa bingung dan gelisah. Jujur saja, sejak mendapatkan donor darah dari Najwa, hati terdalamnya terenyuh dan semua kebaikan Najwa melambai dibenaknyaDengan langkah kaki goyah, Hamish turun ke bawah. Impiannya untuk memeluk sang istri, sirna dan entah mengapa itu menyurutkan semangatnya.“Kenapa, nak?” tanya Ida pada sang putra. Hamish mengangkat wajahnya, raut kebingungan tercetak jelas di wajah sang putra, membuat ibu merasa iba, apalagi kondisi Hamish masih belum baik betul.“Najwa memintaku keluar dari kamar, bu,” keluh Hamish yang membuat sang ibu kaget.“Kamu sudah jelaskan situasi kamu kepada Najwa dan meminta maaf padanya?” tanya sang
“Kamu sedang apa, mas?” tanya Aisyah selidik saat ia baru saja bangun karena suara keributan di dapur. Resiko memiliki kamar yang dekat dengan dapur kotor, belum juga matahari terbit dengan sempurna, tapi suara-suara berisik di dapur membuat anaknya susah terlelap dan akhirnya menangis lalu ia terpaksa bangun. Diperhatikannya baik-baik Hamish yang sedang sibuk berkutat di dapur dengan lihai, “tangan kamu bukannya masih cedera, ya, mas? Apa yang kamu lakukan di dapur sepagi ini sih?” tanya Aisyah heran. Tak pernah sama sekali ia melihat Hamish begitu sibuk di dapur, setahunya dia lelaki yang anti ke dapur, baginya dapur adalah tempat wanita yang menyajikan makanan buat suami, dan bukan malah sebaliknya.“Aku sedang buat nasi goreng, kamu mau, kan?” tanya Hamish. Hati Aisyah terenyuh mendengarnya. Siapa yang sangka bahwa Hamish benar-benar memerhatikannya sampai melewati batas yang ditetapkannya sendiri demi membuatkan sarapan untuknya.“Mau, mas,” kata Aisyah malu-malu. Hamish hanya te
Aisyah masih menangis di kamarnya setelah kepergian Hamish ke kamar Najwa seraya memberikan sarapan nasi goreng buat perempuan itu. Aisyah merasa Hamish berubah sejak pulang, diingatnya baik-baik sikap Hamish sejak kecelakaan itu. Hamish yang hanya menatap datar ke arahnya dan sang bayi yang ada di pangkuannya saat ia sadar. Hamish yang banyak melamun dan tak pernah menggendong bayinya.“Aisyah, apakah,-“ suara Ida, mertuanya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya membuat Aisyah buru-buru menghapus air matanya. Ida mengerutkan kening melihat sikap Aisyah yang menyembunyikan air matanya itu. Ida mendekat dan duduk di samping Aisyah di sisi ranjang, “ada apa, Aisyah?” tanya Ida. Aisyah yang mudah menangis dan tak pandai menyimpan luka hati itu, langsung kembali menangis di hadapan Ida yang semakin membuat Ida menatapnya heran.“Mas Hamish, bu,” jawab Ida dengan air mata yang berderai.“Hamish, kenapa?” tanya Ida heran.“Mas Hamish ke kamar mbak Najwa sembari membawakan nasi goreng buata
Najwa berniat ke dapur untuk mengambil beberapa Loyang yang baru ia beli bersama Sarah kemarin dan akan ia bawa ke toko kue hari ini. Sepanjang jalan menuju dapur, hatinya yang gamang dan galau itu kini berangsur lega. Tak bisa dipungkiri bahwa ia masih mencintai Hamish dan menempatkan lelaki itu satu-satunya di hatinya hingga kini. Najwa sangat mencintai Hamish, sosok ayah yang selama ini dirindukannya ia temui dalam diri Hamish. Lembut dan pengertian, meski terkadang ucapan Hamish ada yang menusuk hatinya, ia bisa memakluminya.Pagi ini tak bisa dipungkiri kalau Najwa merasa tersanjung dengan perhatian Hamish yang tiba-tiba itu padanya. Najwa tahu bahwa Hamish tak suka berada di dapur, menyiapkan makanan seperti tadi benar-benar bukan seperti Hamish, itu kenapa Najwa merasa diratukan. Najwa terus melangkah, sesekali senyum terbit di wajahnya yang ayu itu. Gamis panjang dan kerudungnya yang berwarna pink itu seolah menegaskan bahwa hari ini hatinya sangat cerah seperti mentari pagi y