Share

Bab 5: Mempersiapkan Kamar Untuk Madu

Setelah puas belanja sampai limit kartu kredit milik mas Hamish Najwa gunakan habis, ia dan Sarah memutuskan pulang ke rumah. Sampai di rumah dengan belanjaan yang banyak, ibu mertua menatapnya dengan wajah terkejut dan bingung dengan barang belanjaan milik Najwa.

“Bi Surti! Tolong bantu bawakan belanjaanku,” teriaknya memanggil asisten rumah tangga.

“Kamu belanja apa, nak? Banyak sekali,” tanya ibu mertuanya yang bingung kala Najwa meletakkan beberapa paper bag di ruang tamu. Bi Surti terlihat mengangguk ke arah Najwa sebelum ia menuju keluar dan kembali beberapa saat dengan delapan paper bag di kedua tangannya. Setelah meletakkannya di dekat Najwa, ia kembali keluar lalu mengambil delapan paper bag lagi dan meletakkannya di samping paper bag yang ia letakkan sebelumnya. Bi Surti mengulangi kegiatannya sampai tiga kali dan selama itu pula, ibu mertua Najwa hanya diam melongo.

“Aku beli beberapa baju, tas dan sandal buat ibu,” kata Najwa menyerahkan tiga paper bag untuk ibu mertuanya yang menatapnya dengan tatapan bingung.

“Bi Surti, ini baju, tas dan sepatu buat bi Surti, Merri dan Iyah,” kata Najwa seraya menunjuk sembilan paperbag di bawah Najwa. Bi Surti juga sama kagetnya dengan apa yang baru saja  Najwa katakan. “Sepuluh paperbag yang lainnya tolong besok berikan ke toko kue ya, biar dibagi sama Lisa dan yang lainnya,” kata Najwa lagi dan bi Surti hanya mengangguk, Najwa lalu mengambil beberapa paperbag yang berisi barang-barang miliknya dan berlalu naik ke atas.

“Najwa, tunggu, ibu mau bicara!” seru ibu mertua. Najwa menghentikan langkah kaki dan menoleh ke arahnya.

“Ibu terlihat sehat setelah tadi menerima teleponku,” kata Najwa padanya. Wanita paruh baya itu diam, terlihat sekali kalau wajahnya nampak sungkan, “mau bicara apa, bu?” tanya Najwa padanya dan ia menggeleng.

“Nggak, ibu cuma mau bilang terima kasih atas pemberiannya,” katanya, Najwa mengangguk dan berbalik untuk melanjutkan langkah kaki pergi dari sana.

Miris. Najwa tahu apa yang akan dikatakan ibu mertua padanya. Mungkin ia akan protes dengan aksi Najwa yang kalap dalam hal belanja, tapi urung ketika Najwa menyindirnya tadi. Saat sedang belanja untuk melepaskan penat, Ida meneleponku dengan suara serak dan batuk-batuk, bahkan bi Surti mengatakan kalau Ida demamnya cukup tinggi.

“Bagaimana, Najwa?” tanya ibu di seberang sana.

“Terserah mas Hamish dan Ibu,” jawab Najwa. Sarah yang ada di sebelah Najwa hanya geleng-geleng kepala saja dengan jawaban dari sahabatnya itu.

“Jadi, kamu memperbolehkan Aisyah tinggal di sini bersama kita, kan?” suara senang ibu mertua terdengar sangat baik di telinga Najwa.

“Ya,” jawab Najwa.

“Terima kasih banyak, nak,” kata haja Ida seraya menutup teleponnya tanpa mengucapkan salam.

“Senang sekali ibu,” kata Najwa miris seraya menatap layar ponselnya yang sudah menggelap.

Najwa merebahkan dirinya di atas kasur, ia teringat dengan kejadian sore tadi di mall saat sang mertua meneleponnya. Najwa tahu bahwa sang mertua sangat menyayanginya, tapi kini ia sadar bahwa ia tak bisa menggantikan posisi suaminya di hati ibu mertuanya, meski salah, sang ibu tetap menyayanginya bahkan permintaannya di luar nalar Najwa.

“Saranku, lebih baik kamu sibuk di toko dari pada harus di rumah jika si pelakor itu sudah tinggal di rumah kamu,” kata Sarah cemas. Ia mengkhawatirkan kondisi mental Najwa. Mendengar itu, Najwa menggelengkan kepalanya.

“Tidak, keenakan dia di rumah dan bisa leluasa. Ia pikir tinggal dimana,” kata Najwa seraya tersenyum penuh arti pada sahabatnya.

***

Najwa masih ingin melanjutkan tidur tapi teleponnya terus berdering dan ia dengan malas mengangkatnya. Sebelum mengangkatnya, ia tengok jam di dinding, ternyata sudah pukul sepuluh pagi. Setelah salat subuh dan menyambar roti di dapur, Najwa kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya kembali. Ia tak mau ke rumah sakit dan menunggu suami atau adik madunya.

“Ya?” sahut Najwa setelah mengucapkan salam.

“Najwa, kamu di mana, nak? Hamish sudah sadar dan dia mencarimu,” suara haja Ida terdengar di seberang sana.

“Najwa gak bisa ke rumah sakit, bu,” kata Najwa.

“Hamish dan Aisyah mau pulang. Tapi, bagaimana dengan biaya rumah sakit?” tanya ibu mertuanya.

“Kan kepala keluarganya mas Hamish, bu. Coba bicara dengan mas Hamish,”

“Tapi,”

“Sudah dulu ya, bu. Najwa repot,” kata Najwa seraya mematikan ponselnya setelah mengucapkan salam dadakan.

Najwa gegas bangkit dari atas tempat tidurnya dan langsung turun ke dapur, kebetulan sekali ia melihat bi Surti sedang membersihkan ikan. Najwa mendekat.

“Bi,” panggil Najwa.

“Ya, nyonya?” jawab bi Surti.

“Ibu ke rumah sakit seorang diri?” tanya Najwa.

“Iya, nyonya. Kata ibu saya disuruh bereskan kamar tamu karena mau dipake,” kata bi Surti.

“Udah diberesin?” tanya Najwa.

“Sudah tadi berdua sama Inem,” jawab bi Surti.

“Barang di gudang itu sudah penuh, kan, bi?” tanya Najwa dan bi Surti mengangguk.

“Aku mau pindahkan beberapa barang di gudang ke kamar tamu sementara waktu, kayak beberapa matras yang dibeli tapi belum dipakai,” kata Najwa.

“Tapi, nyonya, bu Ida …”

“Masih ada kamar lain yang biasa digunakan anak kost, kan?” tanya Najwa.

“Ada satu, nyonya. Tapi dekat kamar Inem,” kata Bi Surti.

“Itu aja dibersihkan, buat tamunya mas Hamish,”

“Bagaimana jika bu Ida,-“

“Bi Surti ikut saya berapa tahun?” tanya Najwa. Perempuan paruh baya itu diam.

“Sudah sepuluh tahun, nyonya,” jawab bi Surti.

“Jadi sudah tahu siapa pemilik rumah ini, kan?” tanya Najwa lagi dan bi Surti mengangguk paham.

Ponsel Najwa kembali berdering dan kali ini panggilan dari sang suami. Najwa sedikit tersenyum karena menyadari suaminya memutuskan meneleponnya lagi.

“Ya, assalammualaikum, mas,”

“Najwa, kamu …”

“Kamu udah baikan, mas?” tanya Najwa serta merta. Terdengar desahan berat di seberang sana.

“Kamu gunakan kartu kredit kita sampai limit, Najwa?” tanya Hamish pelan.

“Iya, kan mas bilang kalau aku bebas menggunakannya. Selama ini aku gak pernah gunakan, jadi ya kemarin aku puasin belanja, mas. Oh ya, aku belikan kamu baju juga loh,” kata Najwa dengan suaranya yang sangat riang. Bi Surti yang ada di dapur sampai berulang-ulang kali melihat ke arah Najwa, merasa heran dengan sikap Najwa yang terkesan tak pernah terjadi apa-apa. Meski, mata sembab Najwa masih terlihat.

“Lalu mau bayar rumah sakit dengan apa?” tanya mas Hamish di seberang sana.

“Loh? Emangnya kamu gak punya uang simpenan, mas? Masak istri simpenan punya tapi uang simpenan gak punya sih, mas?” tanya Najwa. Bi Surti yang kebetulan di dapur langsung tersedak mendengarnya.

“Najwa, aku … sudahlah, aku pulang hari ini, kita bicarakan nanti di rumah,”

“Hati-hati, mas,” kata Najwa.

“Kamu gak jemput?” tanya mas Hamish.

“Nggak, kan udah ada Aisyah yang damping kamu, mas,”

“Ya sudah, assalammualaikum,” jawab Hamish.

“Waalaikumsalam,” jawab Najwa. Najwa menoleh ke arah asistennya, “kita bereskan sekarang, bi. Bapak dan tamunya mau pulang ke rumah,” kata Najwa. Bi Surti mengangguk dan gegas mengikuti langkah kaki Najwa.

Anisa Swedia

Hai, yuk tinggalkan jejak komentar. Terima kasih yang sudah mampir ke buku saya, ya. Semoga kalian suka.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status