Setelah puas belanja sampai limit kartu kredit milik mas Hamish Najwa gunakan habis, ia dan Sarah memutuskan pulang ke rumah. Sampai di rumah dengan belanjaan yang banyak, ibu mertua menatapnya dengan wajah terkejut dan bingung dengan barang belanjaan milik Najwa.
“Bi Surti! Tolong bantu bawakan belanjaanku,” teriaknya memanggil asisten rumah tangga.
“Kamu belanja apa, nak? Banyak sekali,” tanya ibu mertuanya yang bingung kala Najwa meletakkan beberapa paper bag di ruang tamu. Bi Surti terlihat mengangguk ke arah Najwa sebelum ia menuju keluar dan kembali beberapa saat dengan delapan paper bag di kedua tangannya. Setelah meletakkannya di dekat Najwa, ia kembali keluar lalu mengambil delapan paper bag lagi dan meletakkannya di samping paper bag yang ia letakkan sebelumnya. Bi Surti mengulangi kegiatannya sampai tiga kali dan selama itu pula, ibu mertua Najwa hanya diam melongo.
“Aku beli beberapa baju, tas dan sandal buat ibu,” kata Najwa menyerahkan tiga paper bag untuk ibu mertuanya yang menatapnya dengan tatapan bingung.
“Bi Surti, ini baju, tas dan sepatu buat bi Surti, Merri dan Iyah,” kata Najwa seraya menunjuk sembilan paperbag di bawah Najwa. Bi Surti juga sama kagetnya dengan apa yang baru saja Najwa katakan. “Sepuluh paperbag yang lainnya tolong besok berikan ke toko kue ya, biar dibagi sama Lisa dan yang lainnya,” kata Najwa lagi dan bi Surti hanya mengangguk, Najwa lalu mengambil beberapa paperbag yang berisi barang-barang miliknya dan berlalu naik ke atas.
“Najwa, tunggu, ibu mau bicara!” seru ibu mertua. Najwa menghentikan langkah kaki dan menoleh ke arahnya.
“Ibu terlihat sehat setelah tadi menerima teleponku,” kata Najwa padanya. Wanita paruh baya itu diam, terlihat sekali kalau wajahnya nampak sungkan, “mau bicara apa, bu?” tanya Najwa padanya dan ia menggeleng.
“Nggak, ibu cuma mau bilang terima kasih atas pemberiannya,” katanya, Najwa mengangguk dan berbalik untuk melanjutkan langkah kaki pergi dari sana.
Miris. Najwa tahu apa yang akan dikatakan ibu mertua padanya. Mungkin ia akan protes dengan aksi Najwa yang kalap dalam hal belanja, tapi urung ketika Najwa menyindirnya tadi. Saat sedang belanja untuk melepaskan penat, Ida meneleponku dengan suara serak dan batuk-batuk, bahkan bi Surti mengatakan kalau Ida demamnya cukup tinggi.
“Bagaimana, Najwa?” tanya ibu di seberang sana.
“Terserah mas Hamish dan Ibu,” jawab Najwa. Sarah yang ada di sebelah Najwa hanya geleng-geleng kepala saja dengan jawaban dari sahabatnya itu.
“Jadi, kamu memperbolehkan Aisyah tinggal di sini bersama kita, kan?” suara senang ibu mertua terdengar sangat baik di telinga Najwa.
“Ya,” jawab Najwa.
“Terima kasih banyak, nak,” kata haja Ida seraya menutup teleponnya tanpa mengucapkan salam.
“Senang sekali ibu,” kata Najwa miris seraya menatap layar ponselnya yang sudah menggelap.
Najwa merebahkan dirinya di atas kasur, ia teringat dengan kejadian sore tadi di mall saat sang mertua meneleponnya. Najwa tahu bahwa sang mertua sangat menyayanginya, tapi kini ia sadar bahwa ia tak bisa menggantikan posisi suaminya di hati ibu mertuanya, meski salah, sang ibu tetap menyayanginya bahkan permintaannya di luar nalar Najwa.
“Saranku, lebih baik kamu sibuk di toko dari pada harus di rumah jika si pelakor itu sudah tinggal di rumah kamu,” kata Sarah cemas. Ia mengkhawatirkan kondisi mental Najwa. Mendengar itu, Najwa menggelengkan kepalanya.
“Tidak, keenakan dia di rumah dan bisa leluasa. Ia pikir tinggal dimana,” kata Najwa seraya tersenyum penuh arti pada sahabatnya.
***
Najwa masih ingin melanjutkan tidur tapi teleponnya terus berdering dan ia dengan malas mengangkatnya. Sebelum mengangkatnya, ia tengok jam di dinding, ternyata sudah pukul sepuluh pagi. Setelah salat subuh dan menyambar roti di dapur, Najwa kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya kembali. Ia tak mau ke rumah sakit dan menunggu suami atau adik madunya.
“Ya?” sahut Najwa setelah mengucapkan salam.
“Najwa, kamu di mana, nak? Hamish sudah sadar dan dia mencarimu,” suara haja Ida terdengar di seberang sana.
“Najwa gak bisa ke rumah sakit, bu,” kata Najwa.
“Hamish dan Aisyah mau pulang. Tapi, bagaimana dengan biaya rumah sakit?” tanya ibu mertuanya.
“Kan kepala keluarganya mas Hamish, bu. Coba bicara dengan mas Hamish,”
“Tapi,”
“Sudah dulu ya, bu. Najwa repot,” kata Najwa seraya mematikan ponselnya setelah mengucapkan salam dadakan.
Najwa gegas bangkit dari atas tempat tidurnya dan langsung turun ke dapur, kebetulan sekali ia melihat bi Surti sedang membersihkan ikan. Najwa mendekat.
“Bi,” panggil Najwa.
“Ya, nyonya?” jawab bi Surti.
“Ibu ke rumah sakit seorang diri?” tanya Najwa.
“Iya, nyonya. Kata ibu saya disuruh bereskan kamar tamu karena mau dipake,” kata bi Surti.
“Udah diberesin?” tanya Najwa.
“Sudah tadi berdua sama Inem,” jawab bi Surti.
“Barang di gudang itu sudah penuh, kan, bi?” tanya Najwa dan bi Surti mengangguk.
“Aku mau pindahkan beberapa barang di gudang ke kamar tamu sementara waktu, kayak beberapa matras yang dibeli tapi belum dipakai,” kata Najwa.
“Tapi, nyonya, bu Ida …”
“Masih ada kamar lain yang biasa digunakan anak kost, kan?” tanya Najwa.
“Ada satu, nyonya. Tapi dekat kamar Inem,” kata Bi Surti.
“Itu aja dibersihkan, buat tamunya mas Hamish,”
“Bagaimana jika bu Ida,-“
“Bi Surti ikut saya berapa tahun?” tanya Najwa. Perempuan paruh baya itu diam.
“Sudah sepuluh tahun, nyonya,” jawab bi Surti.
“Jadi sudah tahu siapa pemilik rumah ini, kan?” tanya Najwa lagi dan bi Surti mengangguk paham.
Ponsel Najwa kembali berdering dan kali ini panggilan dari sang suami. Najwa sedikit tersenyum karena menyadari suaminya memutuskan meneleponnya lagi.
“Ya, assalammualaikum, mas,”
“Najwa, kamu …”
“Kamu udah baikan, mas?” tanya Najwa serta merta. Terdengar desahan berat di seberang sana.
“Kamu gunakan kartu kredit kita sampai limit, Najwa?” tanya Hamish pelan.
“Iya, kan mas bilang kalau aku bebas menggunakannya. Selama ini aku gak pernah gunakan, jadi ya kemarin aku puasin belanja, mas. Oh ya, aku belikan kamu baju juga loh,” kata Najwa dengan suaranya yang sangat riang. Bi Surti yang ada di dapur sampai berulang-ulang kali melihat ke arah Najwa, merasa heran dengan sikap Najwa yang terkesan tak pernah terjadi apa-apa. Meski, mata sembab Najwa masih terlihat.
“Lalu mau bayar rumah sakit dengan apa?” tanya mas Hamish di seberang sana.
“Loh? Emangnya kamu gak punya uang simpenan, mas? Masak istri simpenan punya tapi uang simpenan gak punya sih, mas?” tanya Najwa. Bi Surti yang kebetulan di dapur langsung tersedak mendengarnya.
“Najwa, aku … sudahlah, aku pulang hari ini, kita bicarakan nanti di rumah,”
“Hati-hati, mas,” kata Najwa.
“Kamu gak jemput?” tanya mas Hamish.
“Nggak, kan udah ada Aisyah yang damping kamu, mas,”
“Ya sudah, assalammualaikum,” jawab Hamish.
“Waalaikumsalam,” jawab Najwa. Najwa menoleh ke arah asistennya, “kita bereskan sekarang, bi. Bapak dan tamunya mau pulang ke rumah,” kata Najwa. Bi Surti mengangguk dan gegas mengikuti langkah kaki Najwa.
Hai, yuk tinggalkan jejak komentar. Terima kasih yang sudah mampir ke buku saya, ya. Semoga kalian suka.
“Apa yang dikatakan oleh Najwa, Hamish?” tanya ibu Hamish pada Hamish. Hamish memandang wajah ibunya sejenak sebelum menggeleng ke arahnya. “Nggak ada,” jawab Hamish. “Kita jadi pulang hari ini, kan? Najwa ke sini dan bayar tagihan rumah sakit, kan?” tanya ibunya kembali. Hamish diam, ia masih bergeming. Sebenarnya ia memiliki uang, hanya saja ia tak mau menggunakannya lebih dulu jika bukan hal yang mendesak. Ia benar-benar heran dengan Najwa, kenapa istrinya itu menghabiskan limit kartu kreditnya? “Iya, bu, sebentar Hamish ke bagian administrasi dulu lagi,” kata Hamish seraya beranjak dari kasurnya. “Loh? Katanya Najwa ke sini dan bayar tagihannya?” tanya ibunya heran. “Najwa sibuk beresin kamar, bu. Dia cuma transfer,” jawab Hamish berbohong pada ibunya. Ida mengangguk mengerti dan mendampingi sang putra berjalan ke bagian administrasi untuk melakukan pelunasan tagihan rumah sakit. “Kamu gak jenguk anakmu dulu?” tanya sang ibu setelah Hamish selesai melakukan pelunasan pada tag
Mobil Hamish yang mengalami kecelakaan masih berada di polsek untuk diamankan. Mobil itu mengalami kerusakan yang cukup berat dan Najwa sama sekali tak berniat untuk memperbaikinya. Bukan tidak mau memperbaikinya, tapi hatinya masih sakit kala ia teringat bahwa mobil itu tak hanya suaminya saja yang naiki tapi juga madunya, Aisyah Rahmah.Terpaksa, Hamish memanggil taksi online untuknya dan Aisyah pulang. Untung saja barang bawaan ibunya tak banyak, hanya ada beberapa baju dan itu bisa ia bawa dengan sebelah tangannya yang baik-baik saja, sedangkan ibunya membantu membawa barang-barang Aisyah dan bayinya. Aisyah sendiri menggendong bayinya.“Kenapa gak ada yang jemput kita, mas?” tanya Aisyah berbisik pada Hamish. Hamish menoleh sejenak dan tak berniat sama sekali menjawab pertanyaan Aisyah itu, masalahnya adalah ia akan pulang ke rumah tapi entah mengapa perasaannya tak enak. Hamish sadar kalau rumah itu bukanlah rumahn
“Ibu,” sapa Najwa pada ibu mertuanya sembari mencium punggung tangan perempuan paruh baya tersebut saat menyambutnya datang. Ida tersenyum kepada Najwa, “masuk, bu,” ajak Najwa. Ia menoleh ke arah suaminya dan istri muda suaminya yang tertunduk tak berani menatap wajah Najwa.“Mas, ayo masuk,” ajak Najwa pada Hamish yang masih diam. Biasanya, Najwa juga akan menyambutnya dengan mencium tangannya, tapi kini sang istri tak melakukan hal itu. Membuat Hamish merasa ada yang hilang di sudut hatinya. Senyum Najwa juga terasa dingin.“Mas, aku langsung ke kamar aja,” bisik Aisyah yang terlihat sungkan. Najwa mendengar itu dan menoleh ke arah Aisyah yang langsung kembali menundukkan pandangannya, tak berani menatap wajah Najwa. Aisyah sendiri bingung harus menegur Najwa dari mana dulu, jadi ia memilih diam dan membiarkan suaminya bertindak, sedangkan Najwa seolah tak menganggapnya ada. Melihat sikap Najwa yang
Rasa bersalah kepada Najwa terus menggelayuti hati Hamish. Bahkan, sebenarnya ia enggan keluar dari kamar sang istri. Tujuh tahun ia tidur bersama Najwa, kini Najwa bahkan memalingkan wajah darinya. Hati Hamish terasa diremas, berulang kali ia menghela napas karena merasa bingung dan gelisah. Jujur saja, sejak mendapatkan donor darah dari Najwa, hati terdalamnya terenyuh dan semua kebaikan Najwa melambai dibenaknyaDengan langkah kaki goyah, Hamish turun ke bawah. Impiannya untuk memeluk sang istri, sirna dan entah mengapa itu menyurutkan semangatnya.“Kenapa, nak?” tanya Ida pada sang putra. Hamish mengangkat wajahnya, raut kebingungan tercetak jelas di wajah sang putra, membuat ibu merasa iba, apalagi kondisi Hamish masih belum baik betul.“Najwa memintaku keluar dari kamar, bu,” keluh Hamish yang membuat sang ibu kaget.“Kamu sudah jelaskan situasi kamu kepada Najwa dan meminta maaf padanya?” tanya sang
“Kamu sedang apa, mas?” tanya Aisyah selidik saat ia baru saja bangun karena suara keributan di dapur. Resiko memiliki kamar yang dekat dengan dapur kotor, belum juga matahari terbit dengan sempurna, tapi suara-suara berisik di dapur membuat anaknya susah terlelap dan akhirnya menangis lalu ia terpaksa bangun. Diperhatikannya baik-baik Hamish yang sedang sibuk berkutat di dapur dengan lihai, “tangan kamu bukannya masih cedera, ya, mas? Apa yang kamu lakukan di dapur sepagi ini sih?” tanya Aisyah heran. Tak pernah sama sekali ia melihat Hamish begitu sibuk di dapur, setahunya dia lelaki yang anti ke dapur, baginya dapur adalah tempat wanita yang menyajikan makanan buat suami, dan bukan malah sebaliknya.“Aku sedang buat nasi goreng, kamu mau, kan?” tanya Hamish. Hati Aisyah terenyuh mendengarnya. Siapa yang sangka bahwa Hamish benar-benar memerhatikannya sampai melewati batas yang ditetapkannya sendiri demi membuatkan sarapan untuknya.“Mau, mas,” kata Aisyah malu-malu. Hamish hanya te
Aisyah masih menangis di kamarnya setelah kepergian Hamish ke kamar Najwa seraya memberikan sarapan nasi goreng buat perempuan itu. Aisyah merasa Hamish berubah sejak pulang, diingatnya baik-baik sikap Hamish sejak kecelakaan itu. Hamish yang hanya menatap datar ke arahnya dan sang bayi yang ada di pangkuannya saat ia sadar. Hamish yang banyak melamun dan tak pernah menggendong bayinya.“Aisyah, apakah,-“ suara Ida, mertuanya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya membuat Aisyah buru-buru menghapus air matanya. Ida mengerutkan kening melihat sikap Aisyah yang menyembunyikan air matanya itu. Ida mendekat dan duduk di samping Aisyah di sisi ranjang, “ada apa, Aisyah?” tanya Ida. Aisyah yang mudah menangis dan tak pandai menyimpan luka hati itu, langsung kembali menangis di hadapan Ida yang semakin membuat Ida menatapnya heran.“Mas Hamish, bu,” jawab Ida dengan air mata yang berderai.“Hamish, kenapa?” tanya Ida heran.“Mas Hamish ke kamar mbak Najwa sembari membawakan nasi goreng buata
Najwa berniat ke dapur untuk mengambil beberapa Loyang yang baru ia beli bersama Sarah kemarin dan akan ia bawa ke toko kue hari ini. Sepanjang jalan menuju dapur, hatinya yang gamang dan galau itu kini berangsur lega. Tak bisa dipungkiri bahwa ia masih mencintai Hamish dan menempatkan lelaki itu satu-satunya di hatinya hingga kini. Najwa sangat mencintai Hamish, sosok ayah yang selama ini dirindukannya ia temui dalam diri Hamish. Lembut dan pengertian, meski terkadang ucapan Hamish ada yang menusuk hatinya, ia bisa memakluminya.Pagi ini tak bisa dipungkiri kalau Najwa merasa tersanjung dengan perhatian Hamish yang tiba-tiba itu padanya. Najwa tahu bahwa Hamish tak suka berada di dapur, menyiapkan makanan seperti tadi benar-benar bukan seperti Hamish, itu kenapa Najwa merasa diratukan. Najwa terus melangkah, sesekali senyum terbit di wajahnya yang ayu itu. Gamis panjang dan kerudungnya yang berwarna pink itu seolah menegaskan bahwa hari ini hatinya sangat cerah seperti mentari pagi y
“Kasihan ya bu Najwa, kurang apa dia untuk pak Hamish?” bisik Widya pada Tuti. Tuti hanya mengangguk sembari menguleni adonan hingga kalis sebelum mendiamkannya, untung saja suhu malam ini terasa panas jadi semoga adonan yang ia buat nanti mengembang dengan sempurna seperti sebelum-sebelumnya.“Mbak,” tegur Widya karena Tuti hanya diam.“Aku gak bisa berkomentar apa-apa, Wid. Gimana, ya? Ujian tiap orang beda-beda. Dan kebetulan ujian bu Najwa soal suaminya,” kata Tuti.“Kalau bu Najwa ngajukan gugatan perceraian bisa, kan?” tanya Widya.“Bisa, apalagi pak Hamish itu menikah lagi tanpa sepengetahuan bu Najwa, jatuhnya kan berselingkuh dan undang-undang perselingkuhan itu ada, bisa diperkarakan,” kata Tuti.“Kenapa bu Najwa gak pilih jalur itu saja?” tanya Widya heran.“Kamu sendiri kenapa masih bertahan dengan suamimu yang katamu pemalas itu?” tanya Tuti. Widya terdiam, ia tak bisa menemukan jawaban yang pas untuk Tuti.“Karena dia gak mendua,” jawab Widya.“Mana ada perempuan yang ma