"Selamat datang, Nona."
Seorang wanita cantik membuka kacamata hitam yang menutupi kedua mata cantiknya. Mantel tebal dan berbulu yang melekat pada tubuhnya, kini ia lepas dan diserahkan kepada seorang kepala maid yang menyambut kedatangannya. "Suhu udara kota ini masih sama, bahkan setelah lima tahun berlalu. Di mana, Ayah?" "Tuan besar, sudah menunggu Anda diruang kerjanya, Nona," jawab kepala Maid tersebut. "Baik! Bawakan semua barang ku ke kamar, saya akan menemui Ayah sebentar." Wanita itu melangkahkan kakinya menyusuri setiap sudut ruangn yang didominasi dengan warna putih dan gold. Hingga pada saat langkahnya terhenti tepat di depan sebuah pintu bercorak unik dengan warna coklat gelap. Ceklek. Tanpa mengetuknya, wanita itu langsung masuk ke dalam. Dari jarak beberapa langkah dia bisa melihat seorang pria paruh baya yang tengah duduk membelakangi meja kerjanya dengan pandangan ter-arah di luar jendela kaca, pria itu tidak lain ialah sang Ayah. "Hai, Ayah, long time no see. Kini putrimu sudah kembali." Ia berhambur memeluk sang Ayah dengan erat. Setelah beberapa saat melepaskan pelukannya, dia menatap sang Ayah dengan raut wajah bahagia. Namun, berbeda dengan sang Ayah yang terlihat memasang wajah datar. "Sudah lima tahun berlalu dan kamu baru kembali dengan wajah bahagia sekarang? Bagaimana, apa kamu sudah merasa puas dengan kebebasan mu beberapa tahun ini? Clara, kamu adalah wanita yang paling bodoh selama Ayah mengenalimu, dan dengan kelakukan mu ini kamu telah banyak kehilangan hal yang sangat berharga, akan tetapi kamu sama sekali tidak terlihat menyesalinya.” Ya, wanita cantik berusia dua puluh lima itu adalah Clara Madison. Diumur yang kian matang, wajahnya masih tetap terlihat begitu cantik, meski tidak selaras dengan sikapnya yang cenderung angkuh dan sombong. “Apa maksud, Ayah?” tanya dengan alis mengkerut. Sang Ayah membuang nafas kasar dengan melempar pandangannya ke samping, lalu kembali menatap putrinya itu. “Apa kepala mu terbentur sebelum kembali ke sini, hah?! Anak itu masih hidup dan sekarang dia tumbuh dengan sangat baik dan tampan. Sean Alexander Adhyatma, putra mu dan Arkan.” Deg! Seketika wajah Clara berubah pias. Lima tahun ia pergi hanya untuk mencari kebebasan diri, meninggalkan kehidupannya yang telah dulu terajut dengan indah. Namun sekarang, seperti itu tidak akan ada lagi harapan untuknya. Menolak takdir yang bertentangan hanya akan membawa kehancuran diakhir cerita hidupnya kelak. “Na- namanya, Sean?” lirihnya menyebut nama seorang anak yang pernah dulu ia perjuangi setengah mati, namun berakhir ia sia-siakan begitu saja tanpa tahu jika perbuatannya itu akan menjadi sebuah bumerang untuk dirinya sendiri. “Ck, kamu bahkan tidak mengetahui nama anakmu sendiri? Selama lima tahun ini, Ayah terus mengawasinya walau hanya dari kejauhan karena Arkan menjaganya begitu sangat ketat. Ke mana pun anak kecil itu pergi, disekitarnya akan selalu ada pengawal yang menjaganya.” “Ta tapi bagaimana bisa, Ayah?! Lima tahun itu bukan waktu yang sangat singkat, dan anak itu ... a- anak itu saat ku lahirkan dia sudah tidak punya harapan untuk hidup karena terlahir permatur. Bahkan dokter langsung mengagnosanya memiliki kerusakan jantung.” Clara nampak terdiam terpaku sesaat, karena sang Ayah kembali membuatnya mengingatkan tentang masa lalu yang telah susah payah ia kubur dalam kenangannya. ***** Kembali ke lima tahun yang lalu ... Anak adalah bagian dari pelengkapnya sebuah rumah tangga untuk dua insan yang saling mencintai. Namun, sepertinya tidak demikian untuk satu wanita ini, Clara. Satu bulan paska persalinan, kehadiran anaknya bagaikan mimpi buruk untuk dirinya karena telah merusak kisah sempurnanya. "Tidak! Aku tidak mau, aku lelah. Untuk apa aku menyusui anak sakit-sakitan seperti dia?! Payudara ku bisa kendur karena dia hisap setiap waktu. Aku tidak sudi!” Alat pompa asi yang sedari tadi digenggam Arkan, kini terjatuh begitu saja di lantai kamar. Terlihat penampilan pria itu sangat kacau, bagaimana tidak sudah satu bulan ini dia terus bolak-balik ke rumah sakit hanya untuk mengontrol anaknya yang masih terbaring lemah di ruangan NICU. Arkan tidak pernah ingin menyerah meski dokter selalu berkata jika hidup anaknya berkemungkinan hanya tiga puluh lima persen saja. Ditengah perjuangan yang tidak pernah ada habisnya, Arkan justru tertampar oleh kenyataan saat menyadari jika selama ini hanya dirinya lah yang berjuang dalam rumah tangganya, mempertahankan buah hati mereka dengan sangat keras, sementara Clara, tidak sekali pun. “Bagaimana bisa kau berkata seperti itu pada anakmu sendiri?!” Kobaran amarah mulai menguasai diri Arkan. Pria itu merasa sangat menyesal karena pernah menaruh cintanya pada wanita yang salah, dan sekarang justru menjadi ibu untuk darah dagingnya. Sungguh, dia menyesalinya. Orang tua mana yang ingin anaknya jika terlahir mempunyai penyakit bawaan. Tidak akan ada, akan tetapi Arkan sangat mempercayai jika Tuhan-Nya tidak pernah salah dalam menempatkan takdir makhluknya. Arkan sangat menyayangi putra kecilnya dan akan terus berjuang untuk kesembuhannya. Pria itu tidak membutuhkan yang lain, putranya adalah segalanya untuk dirinya, jika bisa ia ingin sekali menjadi pengganti dalam kesiksaan yang dirasakan sang putra. Clara nampak berkaca-kaca saat Arkan membentaknya. Perlahan ia mundur hingga terduduk lemas di pinggir ranjang. “Kamu tega membentak ku? Arkan, kamu telah berjanji akan memberikan aku kehidupan yang sempurna setelah kita menikah. Tapi apa, setelah kelahiran anak itu kamu tidak lagi memperhatikan aku! Kamu lebih menyibukkan diri dengan mengurus anak itu. Arkan, kamu telah membuang-buang waktu.” Hati Arkan seakan diremas dengan sangat kuat, wanita yang begitu dia cintai kini terlihat seperti monster yang tidak ingin mengakui anaknya sendiri. Clara kembali berdiri menghampiri Arkan dan menggenggam tangannya dengan erat. “Arkan, aku mohon menyerah saja. Lepaskan semua alat medis yang menempel pada tubuh anak itu, tidak akan ada harapan lagi. Aku masih bisa dan mampu memberikan kamu anak.” “Clara ... Clara!” seru Arkan seraya menghempaskan dengan kasar tangannya dari genggaman sang istri. Air mata kekecewaan luruh begitu saja di sudut matanya, sisi rapuhnya sebagai seorang Ayah kini tak bisa disembunyikan lagi. Perkataan Clara bagaikan air keras yang tersiram diuluh hatinya, begitu menyakitkan. Dengan kasar ia menyeka air matanya lalu kembali menatap Clara dengan mata merah dan basah. “Kamu adalah wanita yang tidak pantas disebut sebagai seorang ibu! Hewan buas saja menyayangi anaknya, tapi kau... justru ingin membunuhnya! Anakku akan baik-baik saja, sampai kapan pun aku akan tetap memperjuangkannya. Dia anak yang kuat!” “Kalau itu yang kamu inginkan, ceraikan aku! Aku tidak sudi hidup dan terus bertahan dengan seorang pria bodoh yang hanya memikirkan hal sia-sia saja. Masih banyak pria lain di luar sana yang akan siap meratukan aku! Sejak awal, aku memang tidak pernah setuju dengan pernikahan kita, tapi kamu selalu memaksa aku dan akhirnya, lihat?! Semuanya berantakan! Impian untuk menjadi seorang model terkenal juga musnah karena keegoisan kamu Arkan!”Hari sudah berganti dengan malam. Hanum kini tengah di kamar sang anak, karena memang sekarang sudah memasuki waktu untuk Sean tidur. Hanum dan keluarga kecilnya masih menetap di rumah kedua orang tua Arkan, ia tidak berani bertanya pada suaminya apakah mereka akan tetap menetap di rumah tersebut atau akan berpindah memiliki rumah sendiri. Hanum hanya akan mengikut ke mana Arkan membawanya saja.Sean sudah tertidur, dan waktu sebentar lagi akan memasuki pukul sepuluh malam, namun Hanum masih belum melihat adanya tanda-tanda Arkan akan pulang dari kantor."Sudah pukul sepuluh tapi dia masih belum pulang?" ujar pelan Hanum sembari jalan keluar dari kamar Sean. Entah kenapa Hanum kini memiliki rasa khawatir pada Arkan. Apakah pria itu masih mengerjakan pekerjaannya dijam segini? Apa dia sudah makan malam? Mungkin sekarang dia sedang makan di suatu restoran? Atau mungkin dia sedang di jalan pulang ke rumah? Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang mulai muncul dalam pikiran Hanum untun
Di ruangannya yang nampak luas dan dominan itu Arkan tengah berkutat dengan semua berkas-berkas yang menumpuk. Itu karena dirinya yang sudah sangat lama meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang pemimpin perusahaan. Dan hari ini dia akan menyesuaikannya juga, dengan sengaja tidak masuk mengajar dulu.Tanpa ia ketahui di luar sedang ada keributan lagi setelah hari kemarin mantan istrinya, dan sekarang pun kembali berulah lagi.Beberapa saat terlihat seorang staf laki-laki memasuki ruangan dengan langkah tergesa-gesa. Ia segera menghampiri Arkan, dan membisikan sesuatu.Detik selanjutnya aura yang dikeluarkan Arkan sangat tidak biasanya, raut wajahnya mendatar dengan tangan yang terkepal kuat setelah mendengar apa yang disampaikan oleh salah satu staf senior tersebut. Arkan yang tadinya duduk kini segera berdiri dari posisinya. "Sekarang kamu keluar."Orang yang diperintahkan keluar itu langsung pergi tanpa melakukan protes apapun, ia masih sayang dengan nyawannya jika sudah melihat
Keadaan loby kantor berubah jadi sangat menegangkan karena pertengkaran dua mantan pasangan itu.Para pekerja dan karyawan hanya mampu terdiam menyaksikannya, karena mereka sadar siapa itu Arkan. Pria yang diam-diam mereka takuti.Clara, wanita itu terdiam mendengar ucapan Arkan. satu kesalahan lagi yang ia lupakan begitu saja. Betapa bodohnya dia dulu hingga tega menghindari darah dagingnya sendiri.Hingga tanpa sengaja matanya bergulir menatap sosok kecil yang dulu ia tidak anggap, tepat di belakang Arkan, Sean."A—anak mama ..." lirihnya dengan tangan yang memnjulur, berusaha ingin menggapai tubuh kecil itu dalam dekapannya. Namun, Sean dengan spontan berbalik menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Hanum, kedua tangan kecilnya melingkar erat pada leher Hanum.Melihat reaksi Sean yang begitu menghindarinya tidak membuat Clara gencar ingin menggedong Sean. Namun tetap saja ia mendapat penolakan dari berontaknya sang empu.Arkan yang melihat sang anak tidak ingin disentuh Clara pun
"Di sana dia, Nona."Clara yang sejak tadi melamun sendiri, kini segera melihat ke arah jendela mobil saat sang sopir menunjuk seorang anak laki-laki yang berjalan keluar dari bangunan sekolah bersama dengan seorang wanita, sepertinya itu guru.Sejenak Clara nampak terdiam, menatap minat pada bocah kecil itu. Ia terpana, ia terpana melihat ternyata bayi yang dulu pernah ia kandung dan lahirkan kini telah tumbuh menjadi anak laki-laki yang tampan, seperti Daddy-nya.Tanpa Clara sadari, dia menjatuhkan air matanya dengan tidak mengeluarkan suara isakan. Mungkin saat ini, wanita tersebut sedikit menyesal dengan karena telah meninggalkan keluarga kecilnya dulu.Lima tahun berlalu ia lebih memilih meninggalkan sang suami dengan anaknya yang saat itu lebih membutuhkannya, hanya karena ingin bebas hidup berkeliaran semaunya."Kau tunggu di sini, aku ingin bertemu dengannya sebentar," ucap Clara dengan sudah siap menarik tukas pintu mobil namu terhenti dengan ucapan sang sopir."Jangan, Nona.
Clara segera berbalik mengambil kunci mobil lalu melangkah pergi menuju pintu keluar kamar.Melihat kepergian sang istri, Arkan segera bergerak menyusul dan menghadang langkahnya. "Clara! Clara, tolong kamu jangan gegabah. Ingat, impian dan mimpi kecil yang telah kita susun dan akan lewati bersama dengan anak kita. Aku mencintaimu, tolong jangan pergi dan bertahanlah.""Aku muak, Arkan! Aku capek! Tapi kamu tidak pernah mengerti berada di posisi aku! Sekarang aku tanya dan minta kamu untuk memilih, kamu pilih aku atau anak itu dan kita bercerai?"Arkan terdiam terpaku, disaat dirinya langsung dihadapkan dengan dua pilihan yang sama beratnya. Arkan merasa kini semesta tak lagi berpihak kepadanya.Cintanya kepada Clara begitu besar, namun ia juga tidak bisa meninggalkan anaknya, darah dagingnya sendiri demi memenuhi keegoisan Clara yang sudah tak memiliki hati untuk keutuhan rumah tangganya. "Ayo jawab, kenapa hanya diam saja?"Kedua telapak tangan Arkan terkepal kuat, dia tertunduk me
"Selamat datang, Nona." Seorang wanita cantik membuka kacamata hitam yang menutupi kedua mata cantiknya. Mantel tebal dan berbulu yang melekat pada tubuhnya, kini ia lepas dan diserahkan kepada seorang kepala maid yang menyambut kedatangannya. "Suhu udara kota ini masih sama, bahkan setelah lima tahun berlalu. Di mana, Ayah?" "Tuan besar, sudah menunggu Anda diruang kerjanya, Nona," jawab kepala Maid tersebut. "Baik! Bawakan semua barang ku ke kamar, saya akan menemui Ayah sebentar." Wanita itu melangkahkan kakinya menyusuri setiap sudut ruangn yang didominasi dengan warna putih dan gold. Hingga pada saat langkahnya terhenti tepat di depan sebuah pintu bercorak unik dengan warna coklat gelap. Ceklek. Tanpa mengetuknya, wanita itu langsung masuk ke dalam. Dari jarak beberapa langkah dia bisa melihat seorang pria paruh baya yang tengah duduk membelakangi meja kerjanya dengan pandangan ter-arah di luar jendela kaca, pria itu tidak lain ialah sang Ayah. "Hai, Ayah, long time