Home / Urban / Istri Presdir yang Hilang / 5. Penyesalan Edmund

Share

5. Penyesalan Edmund

Author: Pixie
last update Last Updated: 2023-11-20 14:09:55

Edmund duduk termenung di jembatan. Wajahnya pucat, tanpa ekspresi.

Orang-orang yang tadi menahannya sudah bubar, berganti dengan anggota tim SAR yang sibuk berkoordinasi dengan rekan-rekannya.

“Bagaimana?” tanyanya tanpa menoleh ketika petugas di dekatnya selesai bicara.

Petugas itu terdiam sejenak. Alih-alih menjawab, ia melirik orang-orang di sisi Edmund. Ketika ia menggeleng, tangis Emma kembali pecah.

“Kenapa nasib Alice sungguh malang, Henry? Dia orang baik. Dia tidak seharusnya mengalami semua ini. Kalau saja aku tidak meninggalkannya di kantor Edmund tadi pagi, mungkin dia masih bersama kita di sini. Aku tidak seharusnya membiarkan dia seorang diri.”

Setetes air mata mengalir lambat di pipi Edmund. Sama seperti Emma, ia juga menyalahkan diri. Hanya saja, ia tidak punya tenaga lagi untuk mengamuk. Biar rasa bersalah yang mendera hati, mengikis sekujur sarafnya hingga ia hanya bisa merasakan perih.

Malam berlalu berganti subuh. Emma dan Henry sudah pergi. Tim SAR pun memutuskan untuk melanjutkan pencarian setelah matahari naik.

Akan tetapi, Edmund masih bergeming. Ia enggan meninggalkan Alice di sungai sendiri, takut kalau sang istri sungguh menghilang selama-lamanya kalau ia berpaling lagi.

“Ed, ini sudah pagi. Bagaimana kalau kau pulang dan beristirahat? Tim SAR pasti langsung menghubungimu kalau mereka sudah menemukan Alice,” bujuk Giselle saat ia tiba di sana bersama Elizabeth.

“Giselle benar. Kau harus tetap menjaga kesehatan, Nak. Jangan menyia-nyiakan waktumu untuk sesuatu yang tidak berguna di sini.”

Edmund sontak melirik ibunya tajam. Rahangnya berdenyut-denyut mengimbangi gejolak amarah.

“Mama senang Alice hilang?” tanyanya serak.

Kepala Elizabeth tertekan mundur. Matanya berkedip-kedip, sedangkan alisnya meninggi.

“Senang? Tentu saja tidak, Sayang. Bagaimanapun, Alice adalah mantan istrimu. Mama juga berduka kalau sesuatu yang buruk menimpanya. Ya, meskipun ini keputusannya sendiri.”

Tiba-tiba, ia berdecak. “Mengapa pemikirannya dangkal sekali? Dia tidak seharusnya berbuat nekat dan merepotkan orang-orang seperti ini.”

Muak melihat sang ibu, Edmund pun bangkit. Tanpa berkata-kata, ia berjalan menuju mobil.

“Nak, kau mau ke mana?” Elizabeth terbelalak.

Edmund tidak menjawab. Ia membanting pintu mobil lalu meluncur menuju tempat ia bisa menemukan Alice.

Sayangnya, di titik mana pun ia menyisir, sang istri tidak juga terlihat. Memikirkan Alice telah terbaring di dasar sungai, kepalanya semakin sakit. Ketika tubuhnya mencapai batas toleransi, barulah ia mengumpulkan keberanian untuk pulang ke tempat Alice biasa menyambutnya dengan senyum manis.

***

“Ed, kau sudah pulang? Tebak! Aku punya kejutan untukmu.”

Edmund mendekap Alice dengan senyum kecil. Setelah mengecup pundak sang istri, ia memandanginya dengan penuh kasih. “Benarkah? Apa yang kau siapkan kali ini?”

Sambil mengulum bibir, Alice mengeluarkan sebuah kotak. “Tada! Bukalah.”

Mata Edmund sontak menyipit. Sebelah alisnya terdesak naik. “Apakah ini mainan baru untuk nanti malam?”

Alice menggeleng gemas. “Ini jauh lebih baik daripada itu. Percayalah. Kau pasti akan sangat senang saat melihat isinya.”

Dengan raut penasaran, Edmund pun membuka kotak. Begitu menemukan test pack, mulutnya langsung ternganga lebar. Matanya berbinar menatap Alice dan dua garis itu secara bergantian.

“Kamu hamil? Kamu benar-benar hamil?”

Alice mengangguk sambil meloloskan tawa. Matanya ikut berkaca-kaca menyaksikan kegembiraan suaminya.

“Ya, Ed. Aku sedang mengandung bayi kita.”

Dengan tawa yang lebih lepas, Edmund memeluk Alice dan mengajaknya berputar. Alice memekik kecil saat kakinya melayang di udara.

“Hati-hati, Ed, nanti si Kecil pusing.”

“Dia tidak akan pusing, Alice. Dia bayi kita. Dia pasti kuat dan tahan menghadapi segala guncangan. Yang terpenting, aku sangat bahagia. Aku akan segera menjadi ayah. Kita harus merayakannya malam ini juga.”

Setelah menghujani wajah Alice dengan kecupan, Edmund membungkuk, menempelkan pipinya ke perut Alice yang masih rata.

“Sayang, kamu mau makan apa? Sekarang juga, pasti akan Papa carikan.”

Tawa Alice terdengar ringan di udara. “Dia belum bisa makan, Ed. Aku yang makan.”

Edmund mendongak dengan tampang jenaka. “Bukankah sama saja? Ayo, kita temui Nyonya Klein. Kita harus memberitahunya untuk menyiapkan makan malam spesial.”

Tanpa sadar, setitik air mata Edmund jatuh. Perlahan-lahan, suara lain tertangkap samar oleh telinganya.

“Ed? Bangun, Ed. Pindahlah ke kamarmu. Mau berapa lama kau tidur di mobil?”

Ketika getaran dari ketukan kaca sampai ke kepalanya, Edmund tersentak. Mata merahnya langsung menyapu sekeliling. Tidak mendapati Alice, ia pun membuka pintu mobil dan turun.

“Alice? Alice?”

Ia berjalan melewati Scott, berputar-putar menanti jawaban. Para pelayan yang mengintip spontan menutup mulut. Beberapa orang gagal menahan tangis. Beberapa lagi tak sampai hati melihat tuan mereka yang mendadak terlihat lebih kurus dan depresi.

“Alice? Kamu di mana, Sayang? Keluarlah, kita rayakan kedatangan bayi kita bersama-sama. Kita sudah lama menantikan momen ini, kan? Ayo, Sayang. Kita rayakan bersama. Alice?”

Scott menatap sahabatnya dengan penuh iba. Ia tidak berani bergerak ataupun menyela.

Namun, semakin lama, suara Edmund semakin serak. Ketika pria itu tersedak oleh tangis yang berusaha ditahannya, barulah ia memberanikan diri untuk mengulurkan tangan, meraih pundaknya.

“Ed, bersabarlah. Alice masih dalam pencarian. Tidak lama lagi, aku yakin tim SAR akan menemukannya. Dia wanita yang kuat. Dia pandai berenang dan—”

“Diam!” Edmund tiba-tiba menyibak tangan Scott.

“Alice masih di sini. Dia tidak mungkin ke mana-mana. Kami sudah berjanji untuk selalu bersama. Dia tidak mungkin meninggalkan aku! Apalagi dia sedang mengandung!”

Setelah menghunus Scott dengan tatapan tajam, Edmund berbalik menuju pintu masuk. Namun, tepat ketika kakinya menginjak beranda, bayang-bayang Alice tersungkur muncul dalam kepalanya.

“Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan.”

Mendengar gema itu lagi, Edmund spontan mencengkeram kepala. Ia menggeleng dan mendesah samar.

“Tidak, itu tidak benar. Aku tidak pernah menyesal menyelamatkanmu, Alice. Aku tidak pernah menyesal telah mengucapkan janji-janji itu. Menikah denganmu adalah keputusan terbaik dalam hidupku.”

Malangnya, penyangkalan itu malah memperdalam luka. Edmund mulai membungkuk, mencoba bertahan dari kepedihan yang menggerus jantungnya.

“Tidak, Alice. Kumohon, jangan dengarkan kata-kataku itu. Aku tidak pernah bermaksud mengusirmu. Aku juga tidak bisa hidup tanpamu. Alice?”

Saat napasnya tersekat, Edmund langsung ambruk di atas kedua lututnya. Kedua tangannya terkepal, berulang kali memukul lantai. Para pelayan tidak sanggup lagi menyaksikannya. Mereka masuk, menahan isakan dengan cara apa pun yang mereka sanggup.

Hanya Scott yang berjalan perlahan menghampiri Edmund. Namun, alih-alih menghibur, ia biarkan Edmund menumpahkan semua kesal dan sesal.

Ia tahu betul tidak ada obat untuk rasa bersalah. Mereka hanya bisa mengandalkan waktu untuk menyatukan kepingan hati yang hancur.

***

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Alice belum juga ditemukan.

Edmund telah berubah menjadi sosok yang pemurung. Sekalipun ia menyibukkan diri dengan pekerjaan, rasa bersalah tetap membebani hati dan pikirannya.

Satu-satunya cara agar Edmund bisa merasa lebih baik adalah dengan mewujudkan impian Alice untuk mengelilingi dunia. Setiap ada kesempatan, ia mengunjungi satu tempat dalam bucket list sang istri.

Lima tahun sejak kepergian Alice, Edmund memilih Mauritius.

“Ed, tolong jangan menguji kesabaranku. Kau tahu hari ini kita ada meeting dengan investor penting?” oceh Scott via telepon.

Sambil fokus mengemudi, si pria brewok menggerutu, “Bukankah aku sudah meninggalkan catatan di meja kerjaku? Bahas saja poin-poin itu. Aku yakin mereka pasti setuju.”

“Tapi setidaknya, sapalah mereka walau hanya lewat panggilan video.”

“Scott, bisakah kau berhenti menggangguku? Bukankah kau sendiri yang menyarankan agar aku melakukan perjalanan ini? Atau kau mau depresiku kambuh?” timpalnya ketus.

“Aku mengerti kau butuh liburan, tapi tidak semendadak ini juga.”

Risih, Edmund pun menutup telepon. Ia lempar ponselnya ke jok samping dengan tampang manyun.

Namun, menyadari sesuatu, ia tersentak. Cepat-cepat ia menepikan mobil dan memeriksa ke bawah jok samping dan juga laci mobil. Ternyata, kompas Alice memang tidak ada.

“Apakah aku lupa membawanya?” gumam Edmund resah.

Bola matanya bergerak-gerak, mencoba untuk mengingat. Sebelum keringat dingin membanjiri tengkuknya, ia memutar balik mobil kembali menuju penginapan.

“Tuan, kenapa Anda berputar arah?”

Jantung Edmund nyaris copot mendengar seruan anak kecil itu. Mobilnya sempat bergerak ke kanan dan ke kiri sebelum kembali menepi. Begitu posisi mobil sudah aman, ia menoleh ke jok belakang.

Ternyata, seorang balita berusia sekitar empat tahun sedang terbelalak, menanti jawabannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Pixie
Hai, Kak Ningsih. Terima kasih sudah mampir lagi ke cerita Pixie. Misteri baru dimulai nih. Ikutin terus, yaa. Sehat-sehat selalu, Kak Ningsih
goodnovel comment avatar
Ningsih Ngara
bocah mulai muncul , siapa dia? anak Edmund kah?penasaran gmn Alice bisa selamat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Presdir yang Hilang   Special Chapter 10. Petualang Cilik yang Hebat

    "Sky, kita seharusnya membawa senapan itu juga tadi. Mengapa kita meninggalkannya di dalam tenda? Pemburu itu jadi bisa mengambilnya," bisik Emily sembari mengguncang tangan Sky. Merasa risih, Louis menyikut lengannya. "Sudahlah, Emily. Tidak ada yang perlu disesali. Kita sebaiknya memikirkan cara untuk mengalahkan laki-laki jahat ini." "Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?" Pemburu itu tertawa kasar. "Jangan bermimpi!" Sang pemburu mengangkat senapannya lagi. Namun, ketika ia hendak membidik, suara aneh datang dari atas. Melihat seekor orang utan besar hendak melompat dari dahan, Sky bergegas menarik si Kembar berlari mengikutinya. Ia tidak peduli lagi dengan senapan yang tergeletak di tanah. Ia tahu betul bahwa orang utan yang sedang marah jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh mereka. Sementara itu, sang pemburu sudah terlanjur terpaku. Ia hanya bisa berteriak saat mamalia besar itu menimpanya. Pemburu lain yang menyaksikan tidak berani bertindak. Mereka bahkan sama sekali

  • Istri Presdir yang Hilang   Special Chapter 9. Tembakan yang Akurat

    Si Kembar kembali bungkam. Mereka tidak tahu jawaban apa yang tepat. Mereka tidak ingin kembali ke kurungan sempit itu, tetapi mereka juga tidak mau ditembak. Apalagi, pemburu di hadapan mereka tampak serius dengan ancamannya. "Louis, kurasa kita jangan melawan. Dia tidak akan ragu menembak kita. Lihat, jarinya sudah siap menekan pelatuk," bisik Emily was-was. Louis menelan ludah. Ia sepakat dengan sang adik, tetapi enggan mengakuinya. "Tenang, Emily. Masih ada cara lain untuk selamat." Ia berpikir keras, memaksa otak untuk menelurkan ide spontan. "Tuan, bagaimana kalau kita bernegosiasi?" ucapnya tanpa terduga. Sang pemburu menarik matanya mundur dari lubang pengintai. Sebelah alisnya terdongkrak naik. Ia tidak menduga bisa mendengar kata itu. "Negosiasi apa yang bisa ditawarkan anak kecil sepertimu?" "Kami ini bukan anak-anak biasa. Kami adalah pewaris Savior Group, calon pemimpin hebat di masa depan. Kalau kau bersedia membebaskan kami, kami akan membayarmu dengan jumlah besar

  • Istri Presdir yang Hilang   Special Chapter 8. Peringatan Terakhir

    "Papa, kebetulan sekali, GPS milik Louis ada padaku. Aku sedang melihat koordinat lokasinya," ujar Sky sambil berkedip-kedip gusar. "Itu bagus, Sayang. Bisa kau bacakan koordinatnya? Papa akan langsung menuju ke sana." Sky menelan ludah. Keringat dingin membutir di keningnya. "Itulah masalahnya. Aku lupa angka-angka yang sudah kuhafal." Edmund terdiam sejenak. Sky bisa membayangkan sang ayah mendesah kecewa. "Papa, apakah Papa marah? Ganti." "Tidak, Sayang. Papa tidak marah. Papa mengerti kalau kamu terlalu gugup sekarang. Coba tarik napas dalam-dalam, tenangkan pikiran. Kamu sudah berhasil mengingat semua angka dan bahkan huruf, Sayang. Pelan-pelan, kamu pasti bisa membacanya." Sky menuruti saran Edmund. Setelah terpejam sejenak, ia memperhatikan koordinat dengan saksama. "Ada garis kecil yang sedang tidur di sini, Papa." "Oke. Itu tanda negatif. Artinya kalian sedang berada di selatan garis khatulistiwa. Lalu?" "Ada bulat. Ini nol, kan?" "Ya. Kamu melakukannya dengan baik s

  • Istri Presdir yang Hilang   Special Chapter 7. Tertangkap

    "Apakah aku tidak salah lihat? Ada anak manusia di tengah hutan?" Pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak Louis dan Emily mengerti.Decak kesal terlontar dari pria yang satu lagi. "Sial! Menambah pekerjaan kita saja." "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Apa lagi? Kita tidak mungkin membiarkan mereka lepas. Mereka bisa melapor kepada orang-orang. Rencana kita bisa berantakan. Ayo tangkap mereka!" Si Kembar mengerjap melihat senapan yang ditodongkan ke arah mereka. Emily langsung bersembunyi di balik punggung Louis, sedangkan Louis dengan berani melangkah maju dan merentangkan tangan di depan Mimi. "Jangan sakiti orang utan ini! Mereka adalah hewan langka yang dilindungi oleh seluruh dunia. Mereka tidak boleh diburu dan diperdagangkan!" seru Louis lantang. Dari balik pundak Louis, Emily mengintip. "Ya! Orang utan harus dilestarikan, bukan diburu. Memangnya kalian tidak kasihan kepada mereka? Lihat! Anaknya sampai ketakutan!" Di luar dugaan, dua pemburu itu malah tertawa. T

  • Istri Presdir yang Hilang   Special Chapter 6. Keputusan yang Tepat

    "Tidak, Louis." Emily mengernyitkan dahi. "Kita tidak boleh meninggalkan Mimi sendirian di sini. Dia bisa mati.""Tapi itu yang dia mau. Dia ingin anaknya selamat. Dia pasti bertahan. Kita hanya perlu menyelamatkan anak Mimi dengan cepat. Menurutku, kita bisa melakukannya. Kita ini anak-anak terlatih, kau ingat?" Alih-alih setuju, Emily menggeleng tegas. "Tidak, Louis. Itu terlalu berisiko. Kita tidak boleh egois dan memikirkan kesenangan kita sendiri. Bagaimana kalau kita hubungi rumah hutan saja? Ini masalah serius."Sementara Louis menghela napas berat, Sky menautkan alis. Ia terlihat sangat serius dengan bibir terlipat ke dalam."Kurasa Emily benar. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kita butuh bantuan orang dewasa. Papa Mama kita dan orang-orang yayasan. Kita harus melaporkan hal ini kepada mereka. Mimi butuh bantuan medis, sedangkan para pemburu liar itu harus ditangkap." Louis termenung sebentar. Ia sebetulnya enggan menghubungi orang tuanya. Ia ingin mandiri.

  • Istri Presdir yang Hilang   Special Chapter 5. Suara Tembakan

    "Sky, bunyi apa itu?" bisik Emily dengan suara tersekat. "Apakah itu suara ledakan?" "Kurasa itu suara senapan," potong Louis sebelum menggenggam lengan gadis yang paling kecil. "Sky, mungkinkah itu pemburu liar?" Sky berkedip-kedip gusar. "Mungkin iya. Daerah ini sudah berada di luar lingkup yayasan. Tim patroli hanya sesekali memeriksanya. Itu pun kalau mereka sempat." "Bukankah perburuan liar itu dilarang? Kenapa masih ada saja orang-orang jahat yang membunuh satwa? Kira-kira, apa yang baru saja mereka tembak? Apakah orang utan?" tanya Louis dengan ekspresi serius. Emily langsung bergidik ngeri. "Oh, kalau memang para pemburu itu mengincar orang utan, kuharap dia berhasil lolos dan selamat. Orang utan itu hewan langka. Kasihan kalau mereka punah." "Dan kuharap itu bukan Mimi," lanjut Sky sembari mengentakkan kaki. "Dia selalu membawa anaknya ke mana-mana. Dia pasti susah bergerak dan rentan terhadap serangan." "Bagaimana kalau kita memeriksanya? Kalau memang itu ulah pemburu l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status