Share

Bab 6 - Calon Istri

Jeans hitam dan kemeja putih digulung sesiku membalut tubuh kekar pria yang berdiri sembari melipat tangan di depan dada.

Kini, dia sudah berada di area perjanjian dinner dengan bundanya malam ini. Fikri setia mengawalnya ke mana pun dan di mana pun.

Sengaja, mereka berdiam di tempat yang tak terlalu banyak orang berlalu lalang, sembari menunggu sosok yang akan membantu menyelamatkan reputasinya dalam mencari cinta di hadapan sang bunda.

Lelah sudah dia dikecam dengan ancaman perjodohan jika tak membawa calon istri. Meski disadari, apa yang dilakukan ini adalah sebuah kesalahan yang justru mengancam semakin memperburuk citranya jika ketahuan memanipulasi keadaan. Tapi, jalan pikirannya sudah buntu. Tak lagi bisa berpikir jernih walau sesaat.

Sepuluh menit sudah mereka menunggu, tapi yang ditunggu belum kunjung menampakkan batang hidungnya. Sesekali, Dzaka mendengkus sebal dan melihat jam tangannya. Dia paling tidak suka menunggu. Apalagi, di tempat dijangkau sedikit cahaya, banyak nyamuk yang mengintai. Baru juga dibilang, Fikri sudah menepuk lengannya.

“Kamu bawa cewek apaan kepadaku, Fik? Kenapa dia lama sekali?” gerutu Dzaka yang kembali melihat jam tangannya.

“Sabar, Tuan. Kemungkinan dia tinggalnya jauh dari daerah sini.”

Tidak hanya Dzaka yang bolak balik melirik jam keluaran terbaru di lengannya itu, tapi Fikri juga tak kalah gusarnya. Meski masih berhubungan melalui pesan di sebuah aplikasi tak mengubah kegelisahaan yang dialami Fikri. Bukannya gadis itu sudah diingatkan perkara kedisiplinan, mengapa masih juga tak mengindahkan?

“Ah, kerjamu ini tak beres, Fik. Kau membawa seorang perempuan yang tidak jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Sekalipun karyawan di perusahaan, tapi dia tergolong masih baru.” Ultimatum Dzaka terus memojokkan Fikri yang kali ini sudah tak bisa banyak berkata-kata.
Tidak salah jika atasannya marah, karena dia memang tipe orang yang paling tidak suka dibuat menunggu. Benci dengan orang-orang yang senang sekali korupsi waktu. Waktu saja dikorupsi, bagaimana dengan uang?

“Maaf menunggu lama,” ucap perempuan berhijab itu dengan napas yang tak stabil.

***

Beberapa lembar baju dan celana sudah tergeletak di atas ranjang tak pun menghentikan aktivitas perempuan itu untuk mengubek-ubek isi lemari. Sesekali, menoleh melihat jam yang terpasang di dinding kamar kosnya. Setengah jam lagi waktu untuk bersiap, tapi dia masih teramat bingung akan mengenakan pakaian seperti apa pada pertemuan dengan calon mertua pura-puranya.

Sudah banyak lembar pakaian yang dipasang di tubuh rampingnya, tapi semua dirasa tak cocok sehingga kembali dihempaskan. Kini, ruangan yang tidak luas dan tak sempit juga sudah seperti kapal pecah dibuatnya. Berantakan, hanya karena perkara pakaian. Belum lagi ponselnya yang sedari tadi berdering membuatnya semakin kesal karena tak bisa fokus memilih.

Sempat, ia menulis pesan pada Fikri yang terus menghubunginya, memberitahukan kalau dia akan segera ke sana. Namun, faktanya bobotnya masih berdiri mematung di depan lemari plastik empat rak yang sudah terbuka semua pintunya.

Pukul 19.50.

Kirana baru selesai bersiap. Dia berdiri menatap dirinya di depan cermin segi panjang berukuran sedang yang melekat di dinding. Menimang-nimang persepsinya sendiri apakah penampilannya pantas mendampingi seorang direktur utama perusahaan furniture terbaik tahun lalu. Sekalipun, hanya pura-pura, tapi dia sedang menjalankan sebuah peran dan akan mendapatkan upah. Profesionalisme kerja harus diterapkan dan ia akan mengerahkan penampilan terbaiknya, walaupun itu hanya menurutnya.

“Terlalu manis untuk sebuah peran sandiwara, bukan?” Bibir berpoles lip balm itu tersenyum sumir. Bukan senyum memuji, melainkan merutuki diri yang dengan senang hati membantu orang berbohong. Ah, demi uang.

Aplikasi Gojek menjadi perantara untuk membawanya ke alamat yang sudah diberikan asistenya Dzaka. Kirana sadar, dia mungkin akan sedikit terlambat mengingat perdebatannya dengan pakaian sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan pada kemeja berwarna biru muda yang dipadukan dengan celana kulot putih berbahan jeans dan hijab pashmina berwarna abu-abu bermotif bunga-bunga yang tak terlalu ramai. Tak lupa dengan tas lengan berwarna putih juga. Ia memang lebih suka berpenampilan sederhana dan santai seperti itu. Meski sesekali pikirannya bertarung dengan hati yang kerap kali ingin berpenampilan seperti orang lain, tidak dengan apa adanya. Tetapi, Kirana selalu mampu menepis dengan logika bahwa ia harus selalu tampil apa adanya, yang membuatnya nyaman, dan tetap menjadi diri sendiri.

Driver gojek hanya mengantarnya sampai di depan. Sedang itu, Kirana sendiri tak tahu harus ke mana lagi setelah kakinya menjejaki bangunan megah itu. Tuan Dzaka dan asistennya tak terlihat. Padahal, katanya mereka menunggu di depan. Depan mana? Tak habis akal, mata yang seperti biji kacang almond itu menelisik di setiap penjuru. Sedikit berjalan untuk mencari kedua pemuda itu. Sampai ia melihat dari kejauhan dua orang yang berdiri di tempat remang-remang. Tanpa menunggu waktu lagi, Kirana segera berlari ke arahnya.

“Maaf menunggu lama,” ucapnya dengan napas yang setengah memburu.

Dalam remang yang masih terdapat sedikit cahaya, Kirana melihat tatapan penuh intimidasi dari wajah tegas milik Tuan Dzaka. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. Melihatnya demikian membuat Kirana menunduk pasrah. Sesekali menggigit bibir merasa bersalah atas keterlambatannya yang disadari.

“Bunda sudah menunggu,” ucap Dzaka cuek.
Kali ini, pria tinggi itu tak minat memaki dan menjustifikasi, melainkan memilih langsung pergi mendahului asistennya dan Kirana.

“Kau ini lupakah Nona kalau Tuan Dzaka paling tidak suka orang yang tidak disiplin? Sadar, kau telah melanggar peraturannya?” protes Fikri.

“Maaf, Mas. Tapi sepulang dari kantor tadi, aku harus izin ke tempat kerja dulu. Lalu, kembali ke kos dan langsung bersiap. Sungguh, aku juga tidak punya waktu berleha-leha.” Tentu, Kirana melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri.

Tak jauh di depan sana, pria yang kini memasukkan tangan di saku celana berbalik. Wajah juteknya menahan kesal menyadari dua orangnya masih berdebat.

“Gue tidak punya banyak waktu untuk menunggu lebih lama lagi,” cetusnya sontak membuat Fikri dan Kirana menoleh bersamaan.

Keduanya tergopoh menghampiri sang tuan. Kirana mengambil tempat di sisi kanan Dzaka agar terlihat seperti pasangan kekasih pada umumnya, meski hanya sebatas peran. Fikri, berjalan tegak di sisi kiri Dzaka dengan satu tangan di dalam saku celana.

Darah dalam tubuh Kirana seketika berdesir panas tatkala berada di samping Dzaka. Dia merasa sangat tidak pantas jika seandainya hubungan ini benar-benar nyata adanya. Beruntungnya, karena hanya pura-pura. Kirana tak banyak tingkah selain mengikuti langkah Dzaka yang membawanya pada sebuah meja di dekat jendela. Di sana sudah ada seorang wanita berhijab yang tampak sedang mengutak-atik tabletnya.

“Bunda,” sapanya sembari mencium tangan sang bunda dengan takzim.

Kirana mengikuti kegiatan Dzaka. Meski kecanggungan itu semakin jahat menyerang tubuhnya. Terlebih, saat Dzaka memperlakukannya dengan lembut. Bahkan, sampai rela menarik kursi dan mempersilakannya duduk. Kirana sampai bengong sendiri dengan sikap pria congkak yang berubah jadi sangat manis. Kirana agak syok dengan perlakuan Dzaka padanya. Ini hanya peran, tetapi kenapa harus seperti ini juga?

“Ini Kirana, Bunda. Calon istri Dzaka.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status