Jeans hitam dan kemeja putih digulung sesiku membalut tubuh kekar pria yang berdiri sembari melipat tangan di depan dada.
Kini, dia sudah berada di area perjanjian dinner dengan bundanya malam ini. Fikri setia mengawalnya ke mana pun dan di mana pun.
Sengaja, mereka berdiam di tempat yang tak terlalu banyak orang berlalu lalang, sembari menunggu sosok yang akan membantu menyelamatkan reputasinya dalam mencari cinta di hadapan sang bunda.
Lelah sudah dia dikecam dengan ancaman perjodohan jika tak membawa calon istri. Meski disadari, apa yang dilakukan ini adalah sebuah kesalahan yang justru mengancam semakin memperburuk citranya jika ketahuan memanipulasi keadaan. Tapi, jalan pikirannya sudah buntu. Tak lagi bisa berpikir jernih walau sesaat.
Sepuluh menit sudah mereka menunggu, tapi yang ditunggu belum kunjung menampakkan batang hidungnya. Sesekali, Dzaka mendengkus sebal dan melihat jam tangannya. Dia paling tidak suka menunggu. Apalagi, di tempat dijangkau sedikit cahaya, banyak nyamuk yang mengintai. Baru juga dibilang, Fikri sudah menepuk lengannya.
“Kamu bawa cewek apaan kepadaku, Fik? Kenapa dia lama sekali?” gerutu Dzaka yang kembali melihat jam tangannya.
“Sabar, Tuan. Kemungkinan dia tinggalnya jauh dari daerah sini.”
Tidak hanya Dzaka yang bolak balik melirik jam keluaran terbaru di lengannya itu, tapi Fikri juga tak kalah gusarnya. Meski masih berhubungan melalui pesan di sebuah aplikasi tak mengubah kegelisahaan yang dialami Fikri. Bukannya gadis itu sudah diingatkan perkara kedisiplinan, mengapa masih juga tak mengindahkan?
“Ah, kerjamu ini tak beres, Fik. Kau membawa seorang perempuan yang tidak jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Sekalipun karyawan di perusahaan, tapi dia tergolong masih baru.” Ultimatum Dzaka terus memojokkan Fikri yang kali ini sudah tak bisa banyak berkata-kata.
Tidak salah jika atasannya marah, karena dia memang tipe orang yang paling tidak suka dibuat menunggu. Benci dengan orang-orang yang senang sekali korupsi waktu. Waktu saja dikorupsi, bagaimana dengan uang?
“Maaf menunggu lama,” ucap perempuan berhijab itu dengan napas yang tak stabil.
***
Beberapa lembar baju dan celana sudah tergeletak di atas ranjang tak pun menghentikan aktivitas perempuan itu untuk mengubek-ubek isi lemari. Sesekali, menoleh melihat jam yang terpasang di dinding kamar kosnya. Setengah jam lagi waktu untuk bersiap, tapi dia masih teramat bingung akan mengenakan pakaian seperti apa pada pertemuan dengan calon mertua pura-puranya.
Sudah banyak lembar pakaian yang dipasang di tubuh rampingnya, tapi semua dirasa tak cocok sehingga kembali dihempaskan. Kini, ruangan yang tidak luas dan tak sempit juga sudah seperti kapal pecah dibuatnya. Berantakan, hanya karena perkara pakaian. Belum lagi ponselnya yang sedari tadi berdering membuatnya semakin kesal karena tak bisa fokus memilih.
Sempat, ia menulis pesan pada Fikri yang terus menghubunginya, memberitahukan kalau dia akan segera ke sana. Namun, faktanya bobotnya masih berdiri mematung di depan lemari plastik empat rak yang sudah terbuka semua pintunya.
Pukul 19.50.
Kirana baru selesai bersiap. Dia berdiri menatap dirinya di depan cermin segi panjang berukuran sedang yang melekat di dinding. Menimang-nimang persepsinya sendiri apakah penampilannya pantas mendampingi seorang direktur utama perusahaan furniture terbaik tahun lalu. Sekalipun, hanya pura-pura, tapi dia sedang menjalankan sebuah peran dan akan mendapatkan upah. Profesionalisme kerja harus diterapkan dan ia akan mengerahkan penampilan terbaiknya, walaupun itu hanya menurutnya.
“Terlalu manis untuk sebuah peran sandiwara, bukan?” Bibir berpoles lip balm itu tersenyum sumir. Bukan senyum memuji, melainkan merutuki diri yang dengan senang hati membantu orang berbohong. Ah, demi uang.
Aplikasi Gojek menjadi perantara untuk membawanya ke alamat yang sudah diberikan asistenya Dzaka. Kirana sadar, dia mungkin akan sedikit terlambat mengingat perdebatannya dengan pakaian sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan pada kemeja berwarna biru muda yang dipadukan dengan celana kulot putih berbahan jeans dan hijab pashmina berwarna abu-abu bermotif bunga-bunga yang tak terlalu ramai. Tak lupa dengan tas lengan berwarna putih juga. Ia memang lebih suka berpenampilan sederhana dan santai seperti itu. Meski sesekali pikirannya bertarung dengan hati yang kerap kali ingin berpenampilan seperti orang lain, tidak dengan apa adanya. Tetapi, Kirana selalu mampu menepis dengan logika bahwa ia harus selalu tampil apa adanya, yang membuatnya nyaman, dan tetap menjadi diri sendiri.
Driver gojek hanya mengantarnya sampai di depan. Sedang itu, Kirana sendiri tak tahu harus ke mana lagi setelah kakinya menjejaki bangunan megah itu. Tuan Dzaka dan asistennya tak terlihat. Padahal, katanya mereka menunggu di depan. Depan mana? Tak habis akal, mata yang seperti biji kacang almond itu menelisik di setiap penjuru. Sedikit berjalan untuk mencari kedua pemuda itu. Sampai ia melihat dari kejauhan dua orang yang berdiri di tempat remang-remang. Tanpa menunggu waktu lagi, Kirana segera berlari ke arahnya.
“Maaf menunggu lama,” ucapnya dengan napas yang setengah memburu.
Dalam remang yang masih terdapat sedikit cahaya, Kirana melihat tatapan penuh intimidasi dari wajah tegas milik Tuan Dzaka. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. Melihatnya demikian membuat Kirana menunduk pasrah. Sesekali menggigit bibir merasa bersalah atas keterlambatannya yang disadari.
“Bunda sudah menunggu,” ucap Dzaka cuek.
Kali ini, pria tinggi itu tak minat memaki dan menjustifikasi, melainkan memilih langsung pergi mendahului asistennya dan Kirana.
“Kau ini lupakah Nona kalau Tuan Dzaka paling tidak suka orang yang tidak disiplin? Sadar, kau telah melanggar peraturannya?” protes Fikri.
“Maaf, Mas. Tapi sepulang dari kantor tadi, aku harus izin ke tempat kerja dulu. Lalu, kembali ke kos dan langsung bersiap. Sungguh, aku juga tidak punya waktu berleha-leha.” Tentu, Kirana melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri.
Tak jauh di depan sana, pria yang kini memasukkan tangan di saku celana berbalik. Wajah juteknya menahan kesal menyadari dua orangnya masih berdebat.
“Gue tidak punya banyak waktu untuk menunggu lebih lama lagi,” cetusnya sontak membuat Fikri dan Kirana menoleh bersamaan.
Keduanya tergopoh menghampiri sang tuan. Kirana mengambil tempat di sisi kanan Dzaka agar terlihat seperti pasangan kekasih pada umumnya, meski hanya sebatas peran. Fikri, berjalan tegak di sisi kiri Dzaka dengan satu tangan di dalam saku celana.
Darah dalam tubuh Kirana seketika berdesir panas tatkala berada di samping Dzaka. Dia merasa sangat tidak pantas jika seandainya hubungan ini benar-benar nyata adanya. Beruntungnya, karena hanya pura-pura. Kirana tak banyak tingkah selain mengikuti langkah Dzaka yang membawanya pada sebuah meja di dekat jendela. Di sana sudah ada seorang wanita berhijab yang tampak sedang mengutak-atik tabletnya.
“Bunda,” sapanya sembari mencium tangan sang bunda dengan takzim.
Kirana mengikuti kegiatan Dzaka. Meski kecanggungan itu semakin jahat menyerang tubuhnya. Terlebih, saat Dzaka memperlakukannya dengan lembut. Bahkan, sampai rela menarik kursi dan mempersilakannya duduk. Kirana sampai bengong sendiri dengan sikap pria congkak yang berubah jadi sangat manis. Kirana agak syok dengan perlakuan Dzaka padanya. Ini hanya peran, tetapi kenapa harus seperti ini juga?
“Ini Kirana, Bunda. Calon istri Dzaka.”Senyum manis terpancar di wajah Kirana saat kalimat itu diucapkan Dzaka, walaupun kini ia susah payah menelan ludahnya sendiri. Ia belum pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang pria di hadapan orang tuanya. Tentu saja, karena cinta pertamanya tak mendapat restu sama sekali. Dia juga tidak pernah dibawa untuk bertemu orang tuanya Rey.“MasyaAllah, Very-very smart bujang Bunda cari calon istri geulis pisan ini teh.” Wanita berhijab pashmina yang dimodel sedemikian rupa itu berbicara dengan logat sunda dan kadang dibumbuhi dengan Bahasa Inggris, sudah menjadi ciri khasnya yang memang lahir di Bandung dan kerap ke luar negeri dalam waktu yang lama.Kirana hanya tersenyum kikuk, malu-malu dipuji sedemikian frontal-nya. “Bisa aja, Tante.”“Aduh, kumaha ini teh konsepnya? Jangan panggil Tante atuh, Neng. Panggil Bunda aja. Biar terbiasa, jadi harus dibiasakan dari sekarang mah nya,” ujarnya.Tak berselang begitu lama, seorang pelayan menghampiri mereka. Setidaknya, hal itu bisa memutu
“Ada apa kiranya kamu menemuiku, Rey?” tanya Kirana berusaha keras untuk mengalihkan pandangannya dari pria itu.Ada rasa yang sulit untuk ditafsirkan tatkala melihatnya. Dia berusaha tetap tegar dan menahan luapan rasa yang menggebu dalam dadanya.“Aku mengkhawatirkanmu, Kiranaku. Kamu tidak datang ke kafe hari ini,” jawabnya.“Aku ada urusan, Rey. Bukankah aku sudah meminta izin ke Raya sebelum kamu datang ke kafe tadi?”“Tentu, aku tahu itu. Tapi, bolehkah aku tahu siapa sosok yang mengantarmu tadi?” tanyanya, mencari jawaban kejujuran di mata Kirana.Kirana tersenyum singkat. “Bukan siapa-siapa. Dan kurasa itu bukan urusanmu untuk mengetahuinya.”“Aku paham.” Rey menunduk, lalu kembali memandang Kirana, dalam-dalam. “Jujur … dan maaf karena sampai saat ini aku senantiasa masih merindukan dan menginginkan cintamu, Cahayaku.”Ucapan Rey itu membuat Kirana susah payah menelan ludahnya. Rindu? Sejatinya, ia tak bisa bohong bahwa juga merindukan sosok yang haram untuknya dirindu.“Aku
Pertanyaan itu membuat Kirana diam. Wulan memang sudah tahu perihal Kirana yang bertemu kembali dengan Rey. Bahkan, Kirana bekerja di tempatnya Rey. Sempat, Wulan meminta Kirana untuk berhenti bekerja di sana, tapi putrinya itu menolak dan ia akan bertahan sedikit saja. Seenggaknya, sekarang pun Kirana ingin sekali jujur bahwa Rey masih terus mengejarnya. Namun, ia takut jika kejujurannya nanti hanya menciptakan kecemasan dalam batin ibunya. Minimal, Kirana berjanji bisa meminimalisir perasaan dan mengatasi masalahnya dengan Rey sendiri.“Kita sering bertemu, Bu. Karena Nana kan setiap malam memang kerja di tempatnya Rey juga.”“Ibu paham. Ibu Cuma tidak mau kamu terjerumus lagi. Tetap jaga sikap dan ingat selalu pesan-pesan Almarhum Bapak.”Kirana mengangguk.“Tapi ingat, Nana pernah janji sama Ibu kalau Kak Jihan sudah sembuh, akan berhenti bekerja di sana. Ibu sebenarnya tidak rela melihat kamu dan Rey masih terikat satu sama lain, meskipun itu karena pekerjaan. Akan sulit untuk ka
Gadis berhijab abu-abu muda itu mulai menginjakkan kaki di jalan berpeping halaman kantornya. Seperti biasa, dia lebih memilih turun di pinggir jalan tak jauh dari gedung daripada harus diantar oleh Abang Gojek hingga ke depan lobby.Bukan malu, tapi Kirana lebih suka saja jalan kaki dari luar. Seandainya pun kos-nya dekat, dia mungkin lebih memilih jalan kaki. Namun, sayangnya karena jarak tempuhnya lumayan nguras tenaga jika harus ditempuh dengan berjalan kaki.“Kirana … tunggu!” suara teriakan itu sontak membuat Kirana menghentikan langkah. Dia berbalik, melihat sumber suara cempreng yang sangat dikenal selama hampir sebulan bekerja.“Apa, Din?” tanya Kirana sembari mengangkat satu alisnya. “Suaranya sampe gedung sebelah tau.”“Hari Minggu nanti kamu free, nggak?” tanya Dina. Mereka sembari terus berjalan beriringan.Kirana berdehem pelan. “Aku kerja pagi di kafe. Kenapa?”Dina memanyunkan bibir tipisnya. “Yaaa … padahal mau m
Kirana memejamkan mata sebantar. Berusaha mengatur emosi yang mulai tak stabil. “Kalau begitu, kenapa aku harus terus menerus ikut terjerumus ke dalam sandiwaramu, Tuan?” Kirana menghela napas, lalu berjalan menghampiri Dzaka. Kemudian duduk di sofa lain tanpa dipersilakan. “Aku mungkin dibayar, tapi tidak bisa seenaknya diatur. Tuan bisa saja menjadikanku tameng karena uang, tapi aku bukan robot yang bisa mengikuti segala perintahmu tanpa memikirkan urusan pribadiku.”Wajah Dzaka berubah datar. “Lo bisa izin, kan?” tanyanya. “Gue bisa bayar dua kali lipat dari gaji lo yang hilang satu hari itu.”Kirana bergeming. Entah ada apa dengan dirinya yang dulu sangat berambisi untuk mendapatkan uang banyak, kini seakan-akan seperti tak butuh.Ah, bukan tidak butuh, tapi sisi lainnya justru memikirkan hal yang lain. Ia merasa telah sangat bersalah karena membantu seseorang berbohong dan mengorbankan pekerjannya.Kirana pun tak tahu apakah uang banyak yang
“Apa Tuan Dzaka berniat untuk menjadikanku istri bayaran? Atau jadi istri pura-pura juga?” tanyanya. “Maaf, Tuan. Mungkin saat ini uang begitu menarik untukku, tapi pernikahan bagiku tak bisa dihargai dengan uang.”Kini, Dzaka terdiam sembari meneguk ludahnya berulang kali. Bahkan, saat Kirana sudah melangkah pergi, mulutnya masih kelu untuk sekadar berkata-kata. “Bunda yang memintamu datang ke rumah hari Minggu.” Setidaknya hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya. Dia melangkah menyusul Kirana yang nyatanya sedang berhenti tak jauh darinya. “Sekali ini, ya, temui Bunda.” Dzaka memohon.Kirana menunduk dan meremas jari-jarinya. Ia teramat bingung. Sungguh, pada mulanya dia tak menyangka jika menerima tawaran bersandiwara itu akan sedemikian rumit hingga membawanya untuk terus menerus dalam kepura-puraan. Jika ayahnya masih ada, mungkin dia akan dimarahi habis-habisan karena berbohong.“Bunda?” Kirana memastikan. Dia seperti tak bisa menola
“Nggak direstui karena beda iman.” Jawaban Kirana sontak membuat Dzaka melongo heran.Bagaimana bisa perempuan berhijab seperti Kirana bisa mencintai pria yang berbeda iman? Sulit untuk dipercaya.Dzaka berucap pelan. “Wajar, sih.”“Apanya yang wajar, Pak?”“Wajar kalau tidak dapat restu,” balas Dzaka. Dia menoleh sebentar, kemudian bertanya, “Kamu tau ayat berapa yang mencantumkan kewajiban berhijab dalam Al-Qur’an?”Sebuah anggukan diberikan Kirana sebagai jawaban. “Al-Ahzab ayat 59, Al-A’raf ayat 26, dan An-Nur ayat 31,” imbuhnya kemudian.Dzaka mengangguk-angguk pelan. “Semestinya kamu juga tahu apa isi dari Al-Baqarah ayat 221, bahwa pernikahan beda agama itu dilarang,” ucapnya.“Aku tau, Pak.”“Tapi, kenapa dilanggar? Sedangkan, Al-Ahzab bisa diamalkan?” tanyanya, “menikah dengan yang seiman saja bisa salah pilih. Bagaimana jika tak seiman? Memang kamu mau dalam hidupmu salah pilih imam? Sudah sa
Alis tebal hitam milik Kirana terangkat. “Pertanyaan yang mana, Pak?” tanyanya bingung. Ia benar-benar tak mengerti dan belum bisa mencerna dengan baik.“Ajakan menikah,” timpal Dzaka.Kirana terpaku dalam diam. Sembari mengingat kejadian yang Dzaka maksud. Setelahnya, ia tertawa singkat seakan baru saja mendengar lelucon yang sangat lucu.“Kenapa? Kesurupan?”“Bapak kalau bercanda jangan bawa-bawa nikah.” Kirana mendongak ke arah Dzaka yang sudah bangkit dari tempat duduknya.“Aku tidak pernah bercanda untuk hal yang sakral,” balas Dzaka singkat, padat, dan jelas.“Tapi aku juga tidak akan mungkin menyimpan sandiwara untuk hal yang sakral, Pak!” tegas Kirana. Kini, dia juga sudah berdiri. Tatapannya tajam menahan gejolak emosi yang mulai memuncak. “Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup,” lirihnya pelan tapi penuh penekanan.“Dengan laki-laki yang beda iman?”Pertanyaan yang sontak menampar hati Kirana mem