Share

Bab 7 - Pertemuan

Senyum manis terpancar di wajah Kirana saat kalimat itu diucapkan Dzaka, walaupun kini ia susah payah menelan ludahnya sendiri.

Ia belum pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang pria di hadapan orang tuanya. Tentu saja, karena cinta pertamanya tak mendapat restu sama sekali. Dia juga tidak pernah dibawa untuk bertemu orang tuanya Rey.

“MasyaAllah, Very-very smart bujang Bunda cari calon istri geulis pisan ini teh.” Wanita berhijab pashmina yang dimodel sedemikian rupa itu berbicara dengan logat sunda dan kadang dibumbuhi dengan Bahasa Inggris, sudah menjadi ciri khasnya yang memang lahir di Bandung dan kerap ke luar negeri dalam waktu yang lama.

Kirana hanya tersenyum kikuk, malu-malu dipuji sedemikian frontal-nya. “Bisa aja, Tante.”

“Aduh, kumaha ini teh konsepnya? Jangan panggil Tante atuh, Neng. Panggil Bunda aja. Biar terbiasa, jadi harus dibiasakan dari sekarang mah nya,” ujarnya.

Tak berselang begitu lama, seorang pelayan menghampiri mereka. Setidaknya, hal itu bisa memutus kecanggungan Kirana sebentar, sampai pelayan itu kembali membawa catatan pesanan mereka untuk disiapkan.

“By the way, Neng Kirana teh suka sama Putra Bunda? Will sama Dzaka?” tanya Andari yang spontan membuat Kirana gelagapan salah tingkah.

Susah payah, Kirana meneguk ludahnya. Mendadak, mulutnya jadi kaku untuk sekadar tersenyum. “Ee … a …,” ucapnya melirik ke arah Dzaka yang sedari tadi memberinya kode pada tendangan kakinya di bawah meja.

Melihat sorot mata pria itu membuat Kirana langsung paham apa maunya. “Iya, Bunda. Aku suka sama Mas Dzaka,” pungkasnya sembari menggigit bibir.

“Family Bunda mah teu mencari mantu aneh-aneh. Asalkan teh mau acceptence anak Bunda apa adanya.” Andari mengelus-ngelus punggung tangan Kirana. Padahal, pemilik tangan saja sadar tangannya sedang dingin berada di situasi ini.

“Kumaha pendapatmu, Fikri? Mereka teh tampak serasi ya, kan?” Bunda Andari ganti manatap Fikri yang langsung ditanggapi dua jempol dan kekehan sebagai tanda setuju.

Beberapa menit mereka barbincang ringan hingga makanan datang. Obrolan itu terjeda sesaat. Ada waktu lagi bagi Kirana menenangkan kepanikannya yang menjadi-jadi. Sesekali, sorot matanya mengarah pada calon suami pura-puranya yang diam saja sedari tadi. Sama sekali tak berniat untuk menolongnya keluar dari situasi mendebarkan itu.

Waktu terus berjalan, Bunda Andari terus bercoleteh membahas sikap putranya yang katanya memang punya pribadi cuek sedari dulu. Sampai pembahasan masalah makanan kesukaannya pun diungkit. Sekarang, Kirana jadi tahu bahwa seorang direktur muda sombong itu suka makan ceker ayam. Agak lain memang selera orang kaya satu ini. Pembahasan akan dirinya tersebut terus berlanjut meski sesekali Dzaka menampik karena kesal dan tidak terima.

“Bunda, makan dulu. Nanti dilanjut ceritanya,” katanya di sela makannya.

Hingga selesai makan, pertanyaan horor itu pun akhirnya keluar juga dari mulut Bunda Andari.

“Jadi, iraha kalian akan menikah?” tanyanya.

“Jangan lama-lama atuh nya. Bunda teh takut kalian khilaf,” ujar Bunda Andari lagi.

Kali ini, Kirana menatap Dzaka penuh permohonan minta ditolong menjawab. Otaknya sudah benar-benar buntu untuk memikirkan kebohongan apa lagi yang akan diungkapkannya.

“Bunda, Dzaka harus antar Kirana pulang. Soalnya Dzaka ada berkas yang kelupaan di kantor. Nanti Bunda pulangnya disetirin sama Fikri, ya.” Dzaka berniat mengakhiri pertemuan yang semakin melebarkan pembahasannya ke mana-mana. Beralibi ada urusan membuat Bunda Andari percaya meski terlihat kecewa.

“Padahal masih mau ngobrol sama Neng Kirana atuh, tapi no problem. Nanti Bunda bisa temui Neng lagi, kan?” tanyanya pada Kirana dan yang ditanya tersenyum menanggapi.

“Tentu, Bunda.”

“Ya sudah. Nanti kita ketemu lagi ya, Sayang.” Bunda Andari memeluk Kirana dan cipika-cipiki khas perempuan. “Take care. Kalau Dzaka ngeselin, dipukul aja.”

Pertemuan itu berakhir, Dzaka mengantar Kirana pulang. Kecanggungan di antara mereka tercipta di sepanjang perjalanan. Tidak ada yang berniat memulai pembicaraan sama sekali.

Dzaka fokus dengan setir dan Kirana fokus memandang keluar jendela mobil. Cahaya lampu jalan sesekali menyinari wajahnya yang tenang, tapi siapa yang tahu jika pikirannya sedang berperang.

“Jangan kegeeran dan bangga sama perlakuan bunda ke lo, ya.”

Suara itu memecahkan keheningan di antara mereka.

Mendengarnya, Kirana menoleh sekejap, lalu kembali fokus memandang jalan ke depan.

Kirana lantas tersenyum sinis mendengar ucapan. “Tenang saja, Tuan. Aku hanya menjalankan peranku sebagai calon istri pura-pura. Aku tidak akan pernah menganggap ini sebuah kenyataan, melainkan hanya sebatas mimpi. Setelah ini, kita tidak akan berurusan sedekat ini lagi, bukan?”

Dzaka mendengus kasar. “Kita akan tetap berurusan. Lo lupa? Bunda masih mau bertemu dengan lo.”

“Bisa, asalkan bayarannya double.” Kirana tersenyum licik. Ia harus memanfaatkan situasi ini juga. Bukankah tenaga dan raganya juga dimanfaatkan?

“Mata duitan!” gerutu Dzaka pelan, tapi didengar oleh Kirana.

“Simbiosis mutualisme, Pak,” ucap Kirana sambil nyengir kuda.

“Kos lo di mana?” tanya Dzaka cuek.

“Di depan belok kiri bangunan sebelah kanan cat warna kuning,” jawab Kirana tanpa jeda, tak kalah judesnya.

Hanya butuh beberapa saat, mobil milik Dzaka berhenti tepat di depan pintu gerbang bangunan yang dimaksud Kirana.

“Makasih, sudah diantar pulang, Pak.” Kirana melempar senyum masam, dibalas deheman oleh Dzaka tanpa sedikit pun berniat untuk menoleh ke arah Kirana.

“Buruan turun, pacar lo nungguin, tuh.” Bibir Dzaka tertarik ke belakang. Tersenyum sinis memandang pria dari balik kemudinya yang duduk di motor sport tak jauh dari gerbang.

Mendengar itu, Kirana baru menyadari kehadirannya di sana. Ada keperluan apa pria itu mendatangi tempatnya malam-malam begini? Ia turun dan menghampiri sosoknya yang tak pernah berhenti memandang Kirana. Pandangan itu, masih sama seperti dulu. Tatapan penuh cinta dan sayang.

"Rey...?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status