Senyum manis terpancar di wajah Kirana saat kalimat itu diucapkan Dzaka, walaupun kini ia susah payah menelan ludahnya sendiri.
Ia belum pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang pria di hadapan orang tuanya. Tentu saja, karena cinta pertamanya tak mendapat restu sama sekali. Dia juga tidak pernah dibawa untuk bertemu orang tuanya Rey.
“MasyaAllah, Very-very smart bujang Bunda cari calon istri geulis pisan ini teh.” Wanita berhijab pashmina yang dimodel sedemikian rupa itu berbicara dengan logat sunda dan kadang dibumbuhi dengan Bahasa Inggris, sudah menjadi ciri khasnya yang memang lahir di Bandung dan kerap ke luar negeri dalam waktu yang lama.
Kirana hanya tersenyum kikuk, malu-malu dipuji sedemikian frontal-nya. “Bisa aja, Tante.”
“Aduh, kumaha ini teh konsepnya? Jangan panggil Tante atuh, Neng. Panggil Bunda aja. Biar terbiasa, jadi harus dibiasakan dari sekarang mah nya,” ujarnya.
Tak berselang begitu lama, seorang pelayan menghampiri mereka. Setidaknya, hal itu bisa memutus kecanggungan Kirana sebentar, sampai pelayan itu kembali membawa catatan pesanan mereka untuk disiapkan.
“By the way, Neng Kirana teh suka sama Putra Bunda? Will sama Dzaka?” tanya Andari yang spontan membuat Kirana gelagapan salah tingkah.
Susah payah, Kirana meneguk ludahnya. Mendadak, mulutnya jadi kaku untuk sekadar tersenyum. “Ee … a …,” ucapnya melirik ke arah Dzaka yang sedari tadi memberinya kode pada tendangan kakinya di bawah meja.
Melihat sorot mata pria itu membuat Kirana langsung paham apa maunya. “Iya, Bunda. Aku suka sama Mas Dzaka,” pungkasnya sembari menggigit bibir.
“Family Bunda mah teu mencari mantu aneh-aneh. Asalkan teh mau acceptence anak Bunda apa adanya.” Andari mengelus-ngelus punggung tangan Kirana. Padahal, pemilik tangan saja sadar tangannya sedang dingin berada di situasi ini.
“Kumaha pendapatmu, Fikri? Mereka teh tampak serasi ya, kan?” Bunda Andari ganti manatap Fikri yang langsung ditanggapi dua jempol dan kekehan sebagai tanda setuju.
Beberapa menit mereka barbincang ringan hingga makanan datang. Obrolan itu terjeda sesaat. Ada waktu lagi bagi Kirana menenangkan kepanikannya yang menjadi-jadi. Sesekali, sorot matanya mengarah pada calon suami pura-puranya yang diam saja sedari tadi. Sama sekali tak berniat untuk menolongnya keluar dari situasi mendebarkan itu.
Waktu terus berjalan, Bunda Andari terus bercoleteh membahas sikap putranya yang katanya memang punya pribadi cuek sedari dulu. Sampai pembahasan masalah makanan kesukaannya pun diungkit. Sekarang, Kirana jadi tahu bahwa seorang direktur muda sombong itu suka makan ceker ayam. Agak lain memang selera orang kaya satu ini. Pembahasan akan dirinya tersebut terus berlanjut meski sesekali Dzaka menampik karena kesal dan tidak terima.
“Bunda, makan dulu. Nanti dilanjut ceritanya,” katanya di sela makannya.
Hingga selesai makan, pertanyaan horor itu pun akhirnya keluar juga dari mulut Bunda Andari.
“Jadi, iraha kalian akan menikah?” tanyanya.
“Jangan lama-lama atuh nya. Bunda teh takut kalian khilaf,” ujar Bunda Andari lagi.
Kali ini, Kirana menatap Dzaka penuh permohonan minta ditolong menjawab. Otaknya sudah benar-benar buntu untuk memikirkan kebohongan apa lagi yang akan diungkapkannya.
“Bunda, Dzaka harus antar Kirana pulang. Soalnya Dzaka ada berkas yang kelupaan di kantor. Nanti Bunda pulangnya disetirin sama Fikri, ya.” Dzaka berniat mengakhiri pertemuan yang semakin melebarkan pembahasannya ke mana-mana. Beralibi ada urusan membuat Bunda Andari percaya meski terlihat kecewa.
“Padahal masih mau ngobrol sama Neng Kirana atuh, tapi no problem. Nanti Bunda bisa temui Neng lagi, kan?” tanyanya pada Kirana dan yang ditanya tersenyum menanggapi.
“Tentu, Bunda.”
“Ya sudah. Nanti kita ketemu lagi ya, Sayang.” Bunda Andari memeluk Kirana dan cipika-cipiki khas perempuan. “Take care. Kalau Dzaka ngeselin, dipukul aja.”
Pertemuan itu berakhir, Dzaka mengantar Kirana pulang. Kecanggungan di antara mereka tercipta di sepanjang perjalanan. Tidak ada yang berniat memulai pembicaraan sama sekali.
Dzaka fokus dengan setir dan Kirana fokus memandang keluar jendela mobil. Cahaya lampu jalan sesekali menyinari wajahnya yang tenang, tapi siapa yang tahu jika pikirannya sedang berperang.
“Jangan kegeeran dan bangga sama perlakuan bunda ke lo, ya.”
Suara itu memecahkan keheningan di antara mereka.
Mendengarnya, Kirana menoleh sekejap, lalu kembali fokus memandang jalan ke depan.
Kirana lantas tersenyum sinis mendengar ucapan. “Tenang saja, Tuan. Aku hanya menjalankan peranku sebagai calon istri pura-pura. Aku tidak akan pernah menganggap ini sebuah kenyataan, melainkan hanya sebatas mimpi. Setelah ini, kita tidak akan berurusan sedekat ini lagi, bukan?”
Dzaka mendengus kasar. “Kita akan tetap berurusan. Lo lupa? Bunda masih mau bertemu dengan lo.”
“Bisa, asalkan bayarannya double.” Kirana tersenyum licik. Ia harus memanfaatkan situasi ini juga. Bukankah tenaga dan raganya juga dimanfaatkan?
“Mata duitan!” gerutu Dzaka pelan, tapi didengar oleh Kirana.
“Simbiosis mutualisme, Pak,” ucap Kirana sambil nyengir kuda.
“Kos lo di mana?” tanya Dzaka cuek.
“Di depan belok kiri bangunan sebelah kanan cat warna kuning,” jawab Kirana tanpa jeda, tak kalah judesnya.
Hanya butuh beberapa saat, mobil milik Dzaka berhenti tepat di depan pintu gerbang bangunan yang dimaksud Kirana.
“Makasih, sudah diantar pulang, Pak.” Kirana melempar senyum masam, dibalas deheman oleh Dzaka tanpa sedikit pun berniat untuk menoleh ke arah Kirana.
“Buruan turun, pacar lo nungguin, tuh.” Bibir Dzaka tertarik ke belakang. Tersenyum sinis memandang pria dari balik kemudinya yang duduk di motor sport tak jauh dari gerbang.
Mendengar itu, Kirana baru menyadari kehadirannya di sana. Ada keperluan apa pria itu mendatangi tempatnya malam-malam begini? Ia turun dan menghampiri sosoknya yang tak pernah berhenti memandang Kirana. Pandangan itu, masih sama seperti dulu. Tatapan penuh cinta dan sayang.
“Ada apa kiranya kamu menemuiku, Rey?” tanya Kirana berusaha keras untuk mengalihkan pandangannya dari pria itu.Ada rasa yang sulit untuk ditafsirkan tatkala melihatnya. Dia berusaha tetap tegar dan menahan luapan rasa yang menggebu dalam dadanya.“Aku mengkhawatirkanmu, Kiranaku. Kamu tidak datang ke kafe hari ini,” jawabnya.“Aku ada urusan, Rey. Bukankah aku sudah meminta izin ke Raya sebelum kamu datang ke kafe tadi?”“Tentu, aku tahu itu. Tapi, bolehkah aku tahu siapa sosok yang mengantarmu tadi?” tanyanya, mencari jawaban kejujuran di mata Kirana.Kirana tersenyum singkat. “Bukan siapa-siapa. Dan kurasa itu bukan urusanmu untuk mengetahuinya.”“Aku paham.” Rey menunduk, lalu kembali memandang Kirana, dalam-dalam. “Jujur … dan maaf karena sampai saat ini aku senantiasa masih merindukan dan menginginkan cintamu, Cahayaku.”Ucapan Rey itu membuat Kirana susah payah menelan ludahnya. Rindu? Sejatinya, ia tak bisa bohong bahwa juga merindukan sosok yang haram untuknya dirindu.“Aku
Pertanyaan itu membuat Kirana diam. Wulan memang sudah tahu perihal Kirana yang bertemu kembali dengan Rey. Bahkan, Kirana bekerja di tempatnya Rey. Sempat, Wulan meminta Kirana untuk berhenti bekerja di sana, tapi putrinya itu menolak dan ia akan bertahan sedikit saja. Seenggaknya, sekarang pun Kirana ingin sekali jujur bahwa Rey masih terus mengejarnya. Namun, ia takut jika kejujurannya nanti hanya menciptakan kecemasan dalam batin ibunya. Minimal, Kirana berjanji bisa meminimalisir perasaan dan mengatasi masalahnya dengan Rey sendiri.“Kita sering bertemu, Bu. Karena Nana kan setiap malam memang kerja di tempatnya Rey juga.”“Ibu paham. Ibu Cuma tidak mau kamu terjerumus lagi. Tetap jaga sikap dan ingat selalu pesan-pesan Almarhum Bapak.”Kirana mengangguk.“Tapi ingat, Nana pernah janji sama Ibu kalau Kak Jihan sudah sembuh, akan berhenti bekerja di sana. Ibu sebenarnya tidak rela melihat kamu dan Rey masih terikat satu sama lain, meskipun itu karena pekerjaan. Akan sulit untuk ka
Gadis berhijab abu-abu muda itu mulai menginjakkan kaki di jalan berpeping halaman kantornya. Seperti biasa, dia lebih memilih turun di pinggir jalan tak jauh dari gedung daripada harus diantar oleh Abang Gojek hingga ke depan lobby.Bukan malu, tapi Kirana lebih suka saja jalan kaki dari luar. Seandainya pun kos-nya dekat, dia mungkin lebih memilih jalan kaki. Namun, sayangnya karena jarak tempuhnya lumayan nguras tenaga jika harus ditempuh dengan berjalan kaki.“Kirana … tunggu!” suara teriakan itu sontak membuat Kirana menghentikan langkah. Dia berbalik, melihat sumber suara cempreng yang sangat dikenal selama hampir sebulan bekerja.“Apa, Din?” tanya Kirana sembari mengangkat satu alisnya. “Suaranya sampe gedung sebelah tau.”“Hari Minggu nanti kamu free, nggak?” tanya Dina. Mereka sembari terus berjalan beriringan.Kirana berdehem pelan. “Aku kerja pagi di kafe. Kenapa?”Dina memanyunkan bibir tipisnya. “Yaaa … padahal mau m
Kirana memejamkan mata sebantar. Berusaha mengatur emosi yang mulai tak stabil. “Kalau begitu, kenapa aku harus terus menerus ikut terjerumus ke dalam sandiwaramu, Tuan?” Kirana menghela napas, lalu berjalan menghampiri Dzaka. Kemudian duduk di sofa lain tanpa dipersilakan. “Aku mungkin dibayar, tapi tidak bisa seenaknya diatur. Tuan bisa saja menjadikanku tameng karena uang, tapi aku bukan robot yang bisa mengikuti segala perintahmu tanpa memikirkan urusan pribadiku.”Wajah Dzaka berubah datar. “Lo bisa izin, kan?” tanyanya. “Gue bisa bayar dua kali lipat dari gaji lo yang hilang satu hari itu.”Kirana bergeming. Entah ada apa dengan dirinya yang dulu sangat berambisi untuk mendapatkan uang banyak, kini seakan-akan seperti tak butuh.Ah, bukan tidak butuh, tapi sisi lainnya justru memikirkan hal yang lain. Ia merasa telah sangat bersalah karena membantu seseorang berbohong dan mengorbankan pekerjannya.Kirana pun tak tahu apakah uang banyak yang
“Apa Tuan Dzaka berniat untuk menjadikanku istri bayaran? Atau jadi istri pura-pura juga?” tanyanya. “Maaf, Tuan. Mungkin saat ini uang begitu menarik untukku, tapi pernikahan bagiku tak bisa dihargai dengan uang.”Kini, Dzaka terdiam sembari meneguk ludahnya berulang kali. Bahkan, saat Kirana sudah melangkah pergi, mulutnya masih kelu untuk sekadar berkata-kata. “Bunda yang memintamu datang ke rumah hari Minggu.” Setidaknya hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya. Dia melangkah menyusul Kirana yang nyatanya sedang berhenti tak jauh darinya. “Sekali ini, ya, temui Bunda.” Dzaka memohon.Kirana menunduk dan meremas jari-jarinya. Ia teramat bingung. Sungguh, pada mulanya dia tak menyangka jika menerima tawaran bersandiwara itu akan sedemikian rumit hingga membawanya untuk terus menerus dalam kepura-puraan. Jika ayahnya masih ada, mungkin dia akan dimarahi habis-habisan karena berbohong.“Bunda?” Kirana memastikan. Dia seperti tak bisa menola
“Nggak direstui karena beda iman.” Jawaban Kirana sontak membuat Dzaka melongo heran.Bagaimana bisa perempuan berhijab seperti Kirana bisa mencintai pria yang berbeda iman? Sulit untuk dipercaya.Dzaka berucap pelan. “Wajar, sih.”“Apanya yang wajar, Pak?”“Wajar kalau tidak dapat restu,” balas Dzaka. Dia menoleh sebentar, kemudian bertanya, “Kamu tau ayat berapa yang mencantumkan kewajiban berhijab dalam Al-Qur’an?”Sebuah anggukan diberikan Kirana sebagai jawaban. “Al-Ahzab ayat 59, Al-A’raf ayat 26, dan An-Nur ayat 31,” imbuhnya kemudian.Dzaka mengangguk-angguk pelan. “Semestinya kamu juga tahu apa isi dari Al-Baqarah ayat 221, bahwa pernikahan beda agama itu dilarang,” ucapnya.“Aku tau, Pak.”“Tapi, kenapa dilanggar? Sedangkan, Al-Ahzab bisa diamalkan?” tanyanya, “menikah dengan yang seiman saja bisa salah pilih. Bagaimana jika tak seiman? Memang kamu mau dalam hidupmu salah pilih imam? Sudah sa
Alis tebal hitam milik Kirana terangkat. “Pertanyaan yang mana, Pak?” tanyanya bingung. Ia benar-benar tak mengerti dan belum bisa mencerna dengan baik.“Ajakan menikah,” timpal Dzaka.Kirana terpaku dalam diam. Sembari mengingat kejadian yang Dzaka maksud. Setelahnya, ia tertawa singkat seakan baru saja mendengar lelucon yang sangat lucu.“Kenapa? Kesurupan?”“Bapak kalau bercanda jangan bawa-bawa nikah.” Kirana mendongak ke arah Dzaka yang sudah bangkit dari tempat duduknya.“Aku tidak pernah bercanda untuk hal yang sakral,” balas Dzaka singkat, padat, dan jelas.“Tapi aku juga tidak akan mungkin menyimpan sandiwara untuk hal yang sakral, Pak!” tegas Kirana. Kini, dia juga sudah berdiri. Tatapannya tajam menahan gejolak emosi yang mulai memuncak. “Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup,” lirihnya pelan tapi penuh penekanan.“Dengan laki-laki yang beda iman?”Pertanyaan yang sontak menampar hati Kirana mem
Bunda Andari terkesiap mendengar ucapan Kirana. “Ibu? Ibu saha, Neng?”“Wulandari, itu nama sahabat Bunda, bukan?” tanya Kirana dibalas anggukan. “Itu juga nama ibuku. A women who gave birth to me. My heaven is under the soles of his feet.”(Seorang wanita yang telah melahirkanku. Surgaku ada di bawah telapak kakinya.)Mata Andari melebar. Dia mulai menyentah bahu Kirana dan menatapnya sangat dalam. “Kamu? Kamu teh putrinya Wulan? Friend-nya Bunda?” tanyanya sekadar memastikan.Kirana mengangguk. Bersamaan dengan Andari yang menghambur memeluknya. Erat dan sangat erat. Seolah kerinduan kepada sang sahabat dilampiaskan pada Kirana. Tidak salah, karena selama ini ia melihat ada diri Wulan pada diri Kirana. Tapi, ia tak mengambil pusing karena menjaga perasaan gadis yang diketahui adalah calon istri putranya.“Pantesan teh Bunda always ingat Wulan ketika bertemu Neng Kirana,” ucapnya di sela isakan. Ia mulai mengendurkan pelukannya