“Enya atuh, Dzaka. Sekarang Bunda teh bebaskan kamu. Kalau kamu tidak mau mengenal gadis yang Bunda ingin kenalkan. Please, Dzaka bawa gadis pilihannya ke hadapan Bunda. Mau saha aja, asal itu teh bukan Clarissa. Sebab, jika Clarissa, sampai iraha pun Bunda enggak akan rido.”
(“Baiklah, Dzaka. Sekarang, Bunda bebaskan. Kalau kamu tidak mau mengenal gadis yang Bunda ingin kenalkan. Silakan, Dzaka bawa gadis pilihannya ke hadapan Bunda. Mau siapa saja, asal itu bukan Clarissa. Sebab, jika Clarissa, sampai kapan pun Bunda enggak akan rido.”)
“Iya, Bunda. Segera akan Dzaka bawa gadis yang Dzaka mau.”
“Kumaha maneh we. Bunda tunggu kabar baiknya.”
(“Terserah kamu saja. Bunda tunggu kabar baiknya.”)
Pria itu mengerang frustrasi di meja kerjanya. Ucapan sang bunda terus terngiang-ngiang menghantui pikirannya. Dia selalu saja didesak akan hal serumit itu. Bagaimana tidak? Dzaka sama sekali tidak bisa mengenalkan gadis manapun ke hadapan bundanya. Sejauh ini, ia hanya mengenal satu orang gadis, Clarissa. Namun, Bunda Andari justru tidak pernah membuka hati untuk menerimanya, sedikit saja. Dzaka tahu alasannya, tapi ia juga tidak bisa melepaskan gadis itu begitu saja.
Ide konyolnya yang meminta Fikri mencari perempuan bayaran untuk berpura-pura menjadi istrinya sungguh juga menjadi beban untuknya. Terlebih, jika konsep permainan sandiwaranya tidak cukup rapat, bisa-bisa Bunda Andari mengetahuinya. So, Dzaka tahu sendiri bahwa bundanya bukan perempuan yang gampang dibodohi dan dikelabui. Tapi, kali ini tidak ada salahnya mencoba. Kalaupun pada akhirnya gagal, ia siap dengan segala konsekuensi.
“Tuan, aku sudah menemukan gadis yang bersedia menjadi calon istri pura-pura Tuan Dzaka,” ucap Fikri membuyarkannya dari lamunan.
Wajahnya sumringah, “Serius? Siapa orangnya?”
“Isfhika Kirana Arkadewi. Karyawan baru yang hampir Tuan tabrak beberapa waktu lalu.”
Wajah sumringahnya mengendur seketika diganti dengan wajah geram menahan emosi. “Kenapa harus dia? Kenapa harus karyawan di perusahanku sendiri, Fikri? Apa tidak ada yang lain? Haa?!”
“Tuan tidak menjelaskan kriteria seperti apa yang dimau. Dan gadis itu berkenan membantu Tuan dengan bayaran,” ujar Fikri tak ingin disalahkan, “Dia cantik, Tuan. Meskipun pura-pura, setidaknya tak cukup memalukan untuk dibawa ke hadapan Nyonya Andari.”
“Terserah kau saja. Hubungi dia, aku mau bertemu dengannya besok siang di ruangan ini!” perintah tegas Dzaka menjadi penutup perdebatan dengan asistennya. Kali ini, ia tak banyak berkutik dan hanya pasrah menerima kenyataan dan mengalah.
*******
“Bayaran lo lima puluh juta,” ucap Dzaka memecahkan kembali keheningan yang tercipta.
“Maaf, Tuan. Tapi, lima puluh juta itu nominal yang terlalu kecil untuk pekerjaan seperti ini. Konsekuensinya sangat besar, Tuan tau?” Kirana mencoba bernegoisasi.
Memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan uang secara instan adalah tujuan Kirana menerima pekerjaan yang sangat rendahan baginya. Ya, pekerjaan yang menjerumuskan pada pembohongan publik. Sejatinya pun ia tidak habis pikir, kenapa pengusaha sukses seperti Tuan Dzaka bisa-bisanya punya pikiran senekat itu. Bukankah awak media ada di mana-mana?
Pemilik wajah berbewok tipis itu tersenyum sumir. Kedua tangannya terlipat sempurna di depan dada. Mata elangnya memandang tajam gadis yang sedari tadi tidak ditawarinya untuk duduk. “Sudah gue duga, manusia macam lo itu akan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan demi uang.”
“Kalau bukan uang, tidak akan kuterima pekerjaan ini, Tuan. Kalau Tuan tetap mau dibantu denganku, seratus juta tidak boleh nego.” Kirana memutuskan sendiri. Sekarang, tidak peduli lagi akan diduga cewek seperti apa. Semua demi pundi-pundi rupiah.
Spontan Dzaka menggebrak meja mendengar pernyataan targetnya. “Gila ini cewek!”
“Seratus juta sudah dalam perhitungan pertanggungjawaban Tuan kemarin membuat tangan dan lututku lecet, ditambah kakiku yang keseleo, beruntung karena tidak sampai patah.” desak Kirana sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Kalau tidak mau tidak masalah, Tuan. Aku akan segera kembali karena jam istirahat sudah hampir habis.”
Dzaka geram. Terlihat dari rahangnya yang mengeras, tapi ditahan-tahan. “Berikan dia seratus juta!” pintanya malas pada sang asisten.
“Baik, Tuan.” Fikri mengangguk patuh.
Ungkapan itu membuat hati Kirana riang dan gembira. Dia berhasil. Akhirnya, pria arrogant men-sedekahkan sedikit rezeki padanya yang sangat membutuhkan itu. Di sisi lain, Dzaka menyadari bahwa dirinya sedang dimanfaatkan. Bodohnya, karena saat ini ia sedang tidak berdaya untuk memojokkan orang lain.
Tanpa menunggu gadis itu bicara lagi, Dzaka kembali bersuara, “Malam ini, di Vong Kitchen, pukul delapan malam.”
Mata almond milik Kirana membulat sempurna tatkala kalimat tegas tanpa basa-basi keluar dari mulut Tuan Dzaka. Dia benar-benar tak menyangka jika akan menjalankan tugasnya secepat itu. Malam ini? Oh, God. Bahkan, yang semula dipikir tugas ini cukup mudah, ternyata bisa dibilang memberatkan sebelum dijalani. Jadwalnya seakan keluar secara otomatis, tanpa meminta persetujuannya dulu. Bisa atau tidaknya?
“Apa bisa ditunda dulu, Pak? Malam ini aku kerja di tempat lain soalnya.” Wajahnya memelas. Sungguh, dia pun tak tahu harus memanggil Dzaka dengan sebutan Tuan atau Pak. Dia bingung.
“Gue tidak peduli dengan urusan lo. Lo dibayar. Jangan mau enaknya saja,” celetuk Dzaka membuat bibir ranum milik Kirana mengerucut sebal. Benar-benar tidak berguna mengharap belas kasihan manusia sombong sepertinya.
Setelah beberapa menit mengobrol di ruangan besar nan mewah milik pimpinan perusahaan dan dirasa sudah tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Kirana pun undur diri. Siapa juga yang betah lama-lama berhadapan dengan manusia dingin sepertinya? Ganteng, iya. Tapi, juteknya jadi beban.
Pintu dibukakan oleh asisten Tuan Dzaka yang mengantarnya sampai keluar. Wajah putih Kirana yang kusut harus memutar-mutar otak untuk malam ini. Sebab, kerumitan itu jadi terbesit penyesalan di hati Kirana. Kenapa menerima pekerjaan yang nyatanya tidak mudah dilakoni? Kenapa pula dirinya harus terseret masalah kerumitan orang kaya? Ah, ia bahkan baru memikirkan praduga baru bahwa kemungkinan orang kaya memang serumit itu.
“Aku masih harus kerja di kafe malam ini, Mas. Apakah bisa sedikit membujuk Tuan Anda untuk menunda pertemuanku dengan orang tuanya?” Tatapannya penuh permohonan.
“Tidak bisa, Kirana. Tempat sudah di-booking dan Nyonya besar orangnya sibuk. Dia merelakan semua jadwalnya demi pertemuanmu dengannya malam ini.”
Suara embusan napas kasar terdengar begitu saja bersamaan dengan mata yang terpejam sekilas. Kirana mengelus lengan kirinya kebingungan. Di sisi lain, Fikri sejatinya kasihan dengannya, tapi bagaimanapun juga, ia sangat tahu bagaimana Tuan Dzaka? Sekali bilang A, harus A. Tidak boleh B, apalagi C.
“Masalah bentroknya jadwal pekerjaanmu, itu menjadi urusanmu sendiri. Kamu menjalankan peranmu digaji, bukan? Jadi, jangan makan gaji buta. Setidaknya, pikirkan sendiri bagaimana caramu menghadiri pertemuan itu, sementara kamu juga harus bekerja di tempat lain,” ujar pemuda jakun itu sembari memasukkan tangan di dalam saku celana.
“Kurasa, tidak ada pilihan selain mengorbankan salah satu. Lagian, bayaranmu sangat mahal, Nona. Kamu tidak rugi meninggalkan pekerjaanmu sehari saja demi pekerjaan privat ini,” celotehnya lagi.
Anggukan pasrah menjadi penutup perbincangan mereka. Setidaknya, Kirana mendapat solusi yang jauh dari ekspektasi, tapi memang ada benarnya. Mengorbankan salah satu adalah jalan yang paling relevan di waktu singkat untuk berpikir. Pemilik bulu mata panjang lurus itu pun pamit setelah sang asisten bosnya menjelaskan banyak hal, seperti Kirana harus datang tepat waktu karena Tuan Dzaka paling tidak suka orang yang tidak disiplin. Agaknya, dari sekian banyak hal disukai dan tidak disukai yang dibeberkan sang asisten membuat Kirana kembali menarik kesimpulan bahwa singkatnya keinginan sang atasan ini setidaknya semua harus terpenuhi.
Rupanya, angka-angka di layar laptop hadapan Kirana membuatnya mampu untuk berpaling dari pikiran-pikiran tak tentu arah. Meski, sesekali masih diracau dengan overthingking tentang nasibnya malam ini sebagai pemeran calon istri dari atasannya sendiri di kantor? Pura-pura memang, tapi vibesnya katanya harus seperti nyata. Sang target tidak boleh mencium aroma ketidakberesan alias jangan sampai menaruh curiga. Tentu, hal itu juga menjadi tanggung jawab Kirana untuk bekerja maksimal.
Tapi, mungkinkah orang tua Tuan Dzaka cukup mudah untuk dikelabui? Bagaimana kalau tidak? Sungguh, Kirana bingung. Sebab, sekalipun belum pernah bertemu dengan orangnya langsung.
Sisi lain pikirannya juga mengarah ke sang ibu di Pulau Sulawesi sana. Bagaimana kalau dia tahu anaknya rela berbohong demi mengumpulkan pundi rupiah? Jelasnya, pasti amarah dan kekecewaannya tak terbendung.
"Ini salah, Kirana," gumamnya pada diri sendiri.
"Tapi, kamu butuh," ucapnya lagi merutuki diri sendiri bersamaan dengan kedua tangannya menutup wajah.
Jeans hitam dan kemeja putih digulung sesiku membalut tubuh kekar pria yang berdiri sembari melipat tangan di depan dada. Kini, dia sudah berada di area perjanjian dinner dengan bundanya malam ini. Fikri setia mengawalnya ke mana pun dan di mana pun. Sengaja, mereka berdiam di tempat yang tak terlalu banyak orang berlalu lalang, sembari menunggu sosok yang akan membantu menyelamatkan reputasinya dalam mencari cinta di hadapan sang bunda.Lelah sudah dia dikecam dengan ancaman perjodohan jika tak membawa calon istri. Meski disadari, apa yang dilakukan ini adalah sebuah kesalahan yang justru mengancam semakin memperburuk citranya jika ketahuan memanipulasi keadaan. Tapi, jalan pikirannya sudah buntu. Tak lagi bisa berpikir jernih walau sesaat.Sepuluh menit sudah mereka menunggu, tapi yang ditunggu belum kunjung menampakkan batang hidungnya. Sesekali, Dzaka mendengkus sebal dan melihat jam tangannya. Dia paling tidak suka menunggu. Apalagi, di tempat dijangkau sedikit cahaya, banyak n
Senyum manis terpancar di wajah Kirana saat kalimat itu diucapkan Dzaka, walaupun kini ia susah payah menelan ludahnya sendiri. Ia belum pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang pria di hadapan orang tuanya. Tentu saja, karena cinta pertamanya tak mendapat restu sama sekali. Dia juga tidak pernah dibawa untuk bertemu orang tuanya Rey.“MasyaAllah, Very-very smart bujang Bunda cari calon istri geulis pisan ini teh.” Wanita berhijab pashmina yang dimodel sedemikian rupa itu berbicara dengan logat sunda dan kadang dibumbuhi dengan Bahasa Inggris, sudah menjadi ciri khasnya yang memang lahir di Bandung dan kerap ke luar negeri dalam waktu yang lama.Kirana hanya tersenyum kikuk, malu-malu dipuji sedemikian frontal-nya. “Bisa aja, Tante.”“Aduh, kumaha ini teh konsepnya? Jangan panggil Tante atuh, Neng. Panggil Bunda aja. Biar terbiasa, jadi harus dibiasakan dari sekarang mah nya,” ujarnya.Tak berselang begitu lama, seorang pelayan menghampiri mereka. Setidaknya, hal itu bisa memutu
“Ada apa kiranya kamu menemuiku, Rey?” tanya Kirana berusaha keras untuk mengalihkan pandangannya dari pria itu.Ada rasa yang sulit untuk ditafsirkan tatkala melihatnya. Dia berusaha tetap tegar dan menahan luapan rasa yang menggebu dalam dadanya.“Aku mengkhawatirkanmu, Kiranaku. Kamu tidak datang ke kafe hari ini,” jawabnya.“Aku ada urusan, Rey. Bukankah aku sudah meminta izin ke Raya sebelum kamu datang ke kafe tadi?”“Tentu, aku tahu itu. Tapi, bolehkah aku tahu siapa sosok yang mengantarmu tadi?” tanyanya, mencari jawaban kejujuran di mata Kirana.Kirana tersenyum singkat. “Bukan siapa-siapa. Dan kurasa itu bukan urusanmu untuk mengetahuinya.”“Aku paham.” Rey menunduk, lalu kembali memandang Kirana, dalam-dalam. “Jujur … dan maaf karena sampai saat ini aku senantiasa masih merindukan dan menginginkan cintamu, Cahayaku.”Ucapan Rey itu membuat Kirana susah payah menelan ludahnya. Rindu? Sejatinya, ia tak bisa bohong bahwa juga merindukan sosok yang haram untuknya dirindu.“Aku
Pertanyaan itu membuat Kirana diam. Wulan memang sudah tahu perihal Kirana yang bertemu kembali dengan Rey. Bahkan, Kirana bekerja di tempatnya Rey. Sempat, Wulan meminta Kirana untuk berhenti bekerja di sana, tapi putrinya itu menolak dan ia akan bertahan sedikit saja. Seenggaknya, sekarang pun Kirana ingin sekali jujur bahwa Rey masih terus mengejarnya. Namun, ia takut jika kejujurannya nanti hanya menciptakan kecemasan dalam batin ibunya. Minimal, Kirana berjanji bisa meminimalisir perasaan dan mengatasi masalahnya dengan Rey sendiri.“Kita sering bertemu, Bu. Karena Nana kan setiap malam memang kerja di tempatnya Rey juga.”“Ibu paham. Ibu Cuma tidak mau kamu terjerumus lagi. Tetap jaga sikap dan ingat selalu pesan-pesan Almarhum Bapak.”Kirana mengangguk.“Tapi ingat, Nana pernah janji sama Ibu kalau Kak Jihan sudah sembuh, akan berhenti bekerja di sana. Ibu sebenarnya tidak rela melihat kamu dan Rey masih terikat satu sama lain, meskipun itu karena pekerjaan. Akan sulit untuk ka
Gadis berhijab abu-abu muda itu mulai menginjakkan kaki di jalan berpeping halaman kantornya. Seperti biasa, dia lebih memilih turun di pinggir jalan tak jauh dari gedung daripada harus diantar oleh Abang Gojek hingga ke depan lobby.Bukan malu, tapi Kirana lebih suka saja jalan kaki dari luar. Seandainya pun kos-nya dekat, dia mungkin lebih memilih jalan kaki. Namun, sayangnya karena jarak tempuhnya lumayan nguras tenaga jika harus ditempuh dengan berjalan kaki.“Kirana … tunggu!” suara teriakan itu sontak membuat Kirana menghentikan langkah. Dia berbalik, melihat sumber suara cempreng yang sangat dikenal selama hampir sebulan bekerja.“Apa, Din?” tanya Kirana sembari mengangkat satu alisnya. “Suaranya sampe gedung sebelah tau.”“Hari Minggu nanti kamu free, nggak?” tanya Dina. Mereka sembari terus berjalan beriringan.Kirana berdehem pelan. “Aku kerja pagi di kafe. Kenapa?”Dina memanyunkan bibir tipisnya. “Yaaa … padahal mau m
Kirana memejamkan mata sebantar. Berusaha mengatur emosi yang mulai tak stabil. “Kalau begitu, kenapa aku harus terus menerus ikut terjerumus ke dalam sandiwaramu, Tuan?” Kirana menghela napas, lalu berjalan menghampiri Dzaka. Kemudian duduk di sofa lain tanpa dipersilakan. “Aku mungkin dibayar, tapi tidak bisa seenaknya diatur. Tuan bisa saja menjadikanku tameng karena uang, tapi aku bukan robot yang bisa mengikuti segala perintahmu tanpa memikirkan urusan pribadiku.”Wajah Dzaka berubah datar. “Lo bisa izin, kan?” tanyanya. “Gue bisa bayar dua kali lipat dari gaji lo yang hilang satu hari itu.”Kirana bergeming. Entah ada apa dengan dirinya yang dulu sangat berambisi untuk mendapatkan uang banyak, kini seakan-akan seperti tak butuh.Ah, bukan tidak butuh, tapi sisi lainnya justru memikirkan hal yang lain. Ia merasa telah sangat bersalah karena membantu seseorang berbohong dan mengorbankan pekerjannya.Kirana pun tak tahu apakah uang banyak yang
“Apa Tuan Dzaka berniat untuk menjadikanku istri bayaran? Atau jadi istri pura-pura juga?” tanyanya. “Maaf, Tuan. Mungkin saat ini uang begitu menarik untukku, tapi pernikahan bagiku tak bisa dihargai dengan uang.”Kini, Dzaka terdiam sembari meneguk ludahnya berulang kali. Bahkan, saat Kirana sudah melangkah pergi, mulutnya masih kelu untuk sekadar berkata-kata. “Bunda yang memintamu datang ke rumah hari Minggu.” Setidaknya hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya. Dia melangkah menyusul Kirana yang nyatanya sedang berhenti tak jauh darinya. “Sekali ini, ya, temui Bunda.” Dzaka memohon.Kirana menunduk dan meremas jari-jarinya. Ia teramat bingung. Sungguh, pada mulanya dia tak menyangka jika menerima tawaran bersandiwara itu akan sedemikian rumit hingga membawanya untuk terus menerus dalam kepura-puraan. Jika ayahnya masih ada, mungkin dia akan dimarahi habis-habisan karena berbohong.“Bunda?” Kirana memastikan. Dia seperti tak bisa menola
“Nggak direstui karena beda iman.” Jawaban Kirana sontak membuat Dzaka melongo heran.Bagaimana bisa perempuan berhijab seperti Kirana bisa mencintai pria yang berbeda iman? Sulit untuk dipercaya.Dzaka berucap pelan. “Wajar, sih.”“Apanya yang wajar, Pak?”“Wajar kalau tidak dapat restu,” balas Dzaka. Dia menoleh sebentar, kemudian bertanya, “Kamu tau ayat berapa yang mencantumkan kewajiban berhijab dalam Al-Qur’an?”Sebuah anggukan diberikan Kirana sebagai jawaban. “Al-Ahzab ayat 59, Al-A’raf ayat 26, dan An-Nur ayat 31,” imbuhnya kemudian.Dzaka mengangguk-angguk pelan. “Semestinya kamu juga tahu apa isi dari Al-Baqarah ayat 221, bahwa pernikahan beda agama itu dilarang,” ucapnya.“Aku tau, Pak.”“Tapi, kenapa dilanggar? Sedangkan, Al-Ahzab bisa diamalkan?” tanyanya, “menikah dengan yang seiman saja bisa salah pilih. Bagaimana jika tak seiman? Memang kamu mau dalam hidupmu salah pilih imam? Sudah sa