"Kau mau pergi?" tanya Jessica kepada Caroline yang sedang mengenakan sepatunya.
"Iya. Aku harus menemui seseorang," jawab Caroline."Apa kau akan bertemu dengan Pangeran William?" tanya Casandra dengan nada mengejek."Benar. Aku tahu kau tidak percaya. Tapi, kau juga harus tahu bahwa aku tidak peduli dengan pendapatmu," jawab Caroline cuek."Terserah. Bersenang - senanglah menghibur dirimu sendiri," Casandra berlalu sambil membuang muka."Caroline, santailah sedikit!" ucap Bibi Maurel yang tiba - tiba datang dari kebun belakang rumah. "Aku tahu hidupmu kacau. Pendidikan rendah, tidak cantik, penghasilan pas - pasan dan perawan tua, tapi kau harus tetap waras. Berhentilah berkhayal dan membual soal Pangeran William. Semua orang tahu itu mustahil. Apa yang sedang coba kau perbuat?""Tenanglah Bi," balas Caroline dengan santai sambil memasang tali sepatunya. "Aku tidak gila. Dan aku tidak butuh sorak sorai dari kalian. Kalian bebas untuk meragukan semua ucapanku ataupun meremehkanku, aku tidak peduli. Bukankah fakta bahwa aku masih bekerja dan menghasilkan uang cukup membuat kalian senang? Jadi, jangan terlalu jauh mengatur hidupku.""Kau! Berani sekali kau membantah seperti itu!" bentak Bibi Maurel."Cukup. Cukup. Jangan ribut! Lakukan saja aktifitas kalian masing - masing," ucap Jessica mengibaskan tangannya."Terimakasih. Aku akan pergi," Caroline melangkah pergi keluar rumah. Dia sudah muak dengan semua orang."Lihatlah dia! Begitulah jika kau sembarangan memungut bayi di jalan Jessica!" Bibi Maurel kembali berteriak.Teriakannya tentu saja sampai pada telinga Caroline. Namun, sekali lagi, Caroline sudah tidak peduli.Caroline menunggu di depan pintu rumahnya. Lima menit lagi adalah waktu yang William janjikan untuk menjemput Caroline.Benar saja, hanya satu menit menunggu, sebuah mobil sedan berhenti tepat di depan Caroline.Seorang sopir turun dan menyapa Caroline."Selamat pagi Nona Walter. Saya ditugaskan oleh Yang Mulia Pangeran William Harrington untuk menjemput Anda dan mengantar Anda pada lokasi pertemuan," ucap sopir itu.Caroline memandang lencana kerajaan yang tersemat pada dada kiri sopir itu dan juga melirik nomor plat mobil kerajaan. Semua terlihat meyakinkan. Jadi, Caroline mengangguk dan mengikuti arahan sopir itu.Sopir itu membuka pintu mobil dan mempersilakan Caroline untuk masuk.Saat pertama kali duduk, Caroline amat terkesan dengan interior mobilnya. Suasananya sangat nyaman, kursinya empuk dan aromanya harum. Bahkan saat melewati jalan yang sedikit rusak, mobilnya sama sekali tidak berguncang."Oh ternyata seperti ini rasanya menaiki mobil mewah," gumam Caroline."Maaf Nona? Apa yang baru saja Nona katakan? Saya kurang fokus mendengarkan," tanya si sopir."Oh bukan apa - apa, silahkan fokus menyetir. Maaf sudah mengganggu konsentrasinya.""Tidak mengapa Nona. Jika ada yang ingin Nona katakan atau tanyakan, jangan segan - segan.""Oh, ehm... oke."Caroline mendadak menjadi canggung. Baru kali ini dia merasa sangat dihormati dan disegani. Belum lagi fasilitas yang dia nikmati sekarang, dulu hampir mustahil dia rasakan.Sesekali Caroline menepuk kedua pipinya, memastikan apakah dia sedang bermimpi atau tidak. Namun semua terasa amat nyata. Dia tak sanggup membayangkan bagaimana rasanya jkka dia benar - benar menjadi seorang puteri."Kita sudah sampai. Saya akan memarkir mobilnya lalu mengantar Anda ke ruang pertemuan. Pangeran sudah menunggu di dalam," ucap si sopir saat baru saja memasuki sebuah gedung."Tunggu, bukankah ini Westbay Hospital? Lokasi pertemuannya di rumah sakit?" Caroline bertanya dengan sedikit heran. Dia pikir, dia akan diajak menemui William di sebuah restoran, taman atau ruang pertemuan. Ternyata, dia justru dibawa ke rumah sakit."Benar Nona," Si sopir hanya menjawab singkat tanpa memberi penjelasan apapun. "Mari, saya antar," ucapnya sembari membuka pintu Caroline.Caroline menurut saja. Kendati dia tidak mengerti mengapa lokasi pertemuannya dengan William adalah di rumah sakit, namun dia tidak merasa curiga sama sekali.Sebagaimana Hotel Westbay, Rumah Sakit Westbay juga merupakan bisnis milik keluarga kerajaan. Jadi, hampir mustahil tempat ini digunakan sebagai lokasi kejahatan, penjagaannya sangat ketat.Si sopir memandu Caroline untuk menaiki lift. Dia memindai kartu miliknya lalu menekan tombol angka 17."Kita akan ke lantai 17? Selama ini aku kira lift ini kelebihan tombol. Terakhir kali aku ke sini, semua lift hanya sampai pada lantai 16," komentar Caroline."Hanya keluarga kerajaan, atau orang yang mereka percaya yang memiliki akses ke lantai 17 Nona. Kau membutuhkan kartu ini agar tombol angka 17 bisa ditekan," Si sopir mengacungkan kartunya."Oh, begitu rupanya."Lantai 17 adalah lantai tertinggi di Rumah Sakit Westbay. Dulu, Caroline pernah bekerja paruh waktu sebagai pengantar makanan. Dia cukup sering mengantar pesanan ke rumah sakit ini. Jadi, dia cukup hafal.Namun, dia tidak pernah melihat lantai 17 yang ternyata eksklusif hanya untuk keluarga kerajaan.Ting!Pintu lift berbunyi dan terbuka di lantai 17."Nah, kita sudah sampai. Mari kita menuju ruang pribadi Pangeran William," Si sopir memandu Caroline melalui lorong hingga ke ujung ruangan.Mereka berhenti di depan pintu yang tingginya dua kali lipat tinggi laki - laki dewasa eropa.Si sopir membuka pintu itu dan mempersilakan Caroline untuk masuk."Saya hanya akan mengantar sampai sini. Silahkan masuk, Pangeran William sudah menunggu di dalam.""Baik. Terimakasih," Caroline menganggukkan kepalanya dan dengan canggung memasuki ruangan.Caroline berjalan perlahan menoleh ke kanan dan ke kiri. Ruangan ini amat luas. Dibandingkan dengan ruang perawatan di rumah sakit, ruangan ini lebih mirip kamar tipe president suite di sebuah hotel bintang 5."Kau sudah datang Nona Walter," sapa William dari balik punggung Caroline.Caroline tersentak dan nyaris melompat."Apa kau kaget? Maaf jika aku mengagetkanmu," ucap William."Saya sedikit kaget Yang Mulia. Tapi tidak mengapa, Anda tidak perlu meminta maaf."William seperti biasa memamerkan senyum manisnya yang berwibawa."Kita sama - sama tahu tujuan pertemuan ini. Aku rasa, tidak perlu banyak basa - basi bukan? Mari, ikut denganku! Akan kutunjukkan misi yang semalam aku bicarakan."William memandu Caroline untuk masuk ke sebuah kamar. Di atas ranjang berukuran besar, Caroline melihat seorang wanita sedang terbaring dengan lemah. Wanita itu tidak sadarkan diri. Beberapa selang dan infus ditautkan ke tubuhnya untuk menopang kehidupannya.Mesin - mesin pemantauan intensif terpasang di sekelilingnya. Wanita ini sepertinya sedang koma.Namun, saat menatap wajah wanita itu, mata Caroline terbelalak, mulutnya menganga dan jantungnya berdebar kencang.Caroline mengusap kedua matanya untuk memastikan lagi penglihatannya. Setelah berkali - kali diusap, pandangannya tetap sama.Tidak salah lagi, Caroline tidak sedang bermimpi atau salah lihat. Wanita itu adalah dirinya.Caroline terus mendesah. Mengeluarkan suara seksi yang membuat gairah William semakin memuncak. Dia memiliki keinginan yang besar untuk menghentikan aktifitas ini secepatnya agar mereka tidak semakin jauh. Namun sentuhan William seolah menjadi candu yang baru bagi Caroline. "Aku... tidak bisa..." ucap Caroline yang tentu saja berkebalikan dengan isi hatinya. Kini, William telah melepaskan celana dalam Victoria Secret yang dia kenakan dan mulai memainkan jari - jarinya di antara kedua paha Caroline. "Ini sangat basah, ternyata kau juga menginginkannya Caroline," ucap William lirih. Kalimat - kalimat erotis yang keluar dari bisikan William membuat Caroline semakin sulit untuk menguasai dirinya. "Hentikan William, kita tidak boleh begini... kita tidak bisa aakh..." ucapan Caroline terputus dengan lenguhan nikmatnya karena William tiba - tiba melesakkan miliknya di bawah sana. "Akh... William, apa yang kau lakukan? Itu... sakit..." Caroline merintih. William sedikit terkejut karena
"Eeengh...," Caroline merintih saat dirinya berusaha keras untuk tersadar dari koma. "Kau sudah bangun?" William segera menekan tombol perawat saat melihat tanda - tanda kesadaran pada Caroline. Segera, dokter kerajaan masuk bersama beberapa orang perawat. Mereka melakukan beberapa pemeriksaan pada Caroline. Suara para tenaga kesehatan dan juga gumaman William terdengar samar - samar di telinga Caroline. Pergerakan mereka juga tidak lebih dari sekedar bayangan yang saling bekelebat. Caroline masih belum punya tenaga untuk tersadar sepenuhnya. Matanya masih berat dan badannya masih sulit digerakkan. Dalam waktu singkat, dia kembali pingsan. *****Caroline terbangun lagi di ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Tidak seperti percobaan pertama, tubuhnya kali ini terasa lebih ringan walaupun masih susah digerakkan. "Caroline, kau sudah sadar? Apa kau bisa mendengarku?" tanya William. "Ya, aku bisa mendengarmu," jawab C
Jantung Caroline berdetak kencang menunggu bukti apa gerangan yang akan Daniel berikan. "Aku punya banyak foto dan video kebersamaan kita. Kau bisa menilai sedekat apa kita. Kau juga bisa melihat tanggal foto dan video ini diambil. Kau akan tahu bahwa kita masih bersama saat kau sudah menjadi tunangan William," Daniel menyerahkan ponselnya yang telah membuka sebuah folder kepada Caroline. Caroline dibuat terperangah oleh foto - foto dan video itu. Siapapun yang melihat gambar - gambar ini tidak akan percaya bahwa Daniel dan Ariana hanya teman biasa. "Ki- kita terlihat sangat akrab," komentar Caroline."Akrab? Menurutmu hanya akrab?" Daniel mengulas senyum miringnya. "Bagaimana dengan video yang ini?" Daniel menunjukkan satu video lagi. Hanya saja, video kali ini tidak dia simpan di folder yang sama dengan video sebelumnya, melainkan tersimpan di folder privat yang memerlukan kata sandi saat membukanya. Caroline memutar video itu dan jantungnya serasa nyaris melompat dari dadanya.
"Ya. Aku memang menemui mereka beberapa hari yang lalu," Caroline menunduk. Tidak ada gunanya mengelak, semua bukti sudah sangat jelas. "Lantas, kenapa kau tidak melapor padaku? Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?" William tidak akan berhenti mencerca Caroline sampai dia mendapatkan jawaban sejelas yang dia mau. "Banyak hal. Kau ingin tahu?" "Ya! Semuanya, ceritakan padaku!" "Baiklah," Caroline mendudukkan dirinya di sofa sebelum dia mulai bicara. William juga duduk di sofa lain yang berada di hadapan Caroline. Jika perbincangan ini akan panjang, dia sudah siap. "Katakanlah!" "Pertama kami membicarakan mengenai hubungan Ariana dan Daniel," Caroline mulai bercerita. Belum apa - apa, William sudah mendengus. "Memangnya apa hubungan mereka? Mereka hanya teman saat kuliah. Kurasa Daniel terobsesi pada Ana." "Jadi, kau mau mendengarku atau tidak? Jika kau hanya ingin mengoceh sendiri maka lupakan saja! Aku tidak akan memberitahumu apapun.""Oke oke baiklah. Teruskan! Aku akan di
"Caroline! Ada apa!?" William segera berlari dan mengetuk pintu kamar mandi. "Aw! Sakit!" rintih Caroline dari dalam kamar mandi. "Caroline, apa yang terjadi?" Tidak ada jawaban dari Caroline selain suara rintih kesakitannya yang terdengar. William mulai panik. Dia tidak ingin mengambil resiko. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada Caroline, maka semua rencananya akan gagal. Maka, dengan sigap, William mendobrak pintu kamar mandi hingga terbuka dengan paksa. "Ah! Apa yang kau lakukan?" Caroline yang terduduk di lantai dalam keadaan tanpa busana dengan panik meraih handuk untuk menutupi tubuhnya. William segera membalikkan badannya secara otomatis. Sejujurnya, ruang kamar mandi pun masih gelap karena lampu belum menyala. William pun tidak melihat apa pun. "Dasar cabul! Kenapa kau menerobos ke kamar mandi saat seorang perempuan sedang mandi?" rutuk Caroline. "Diamlah! Segera pakai handukmu!" "Sudah. Aw!" Caroline berteriak kesakitan lagi saat dia mencoba untuk berdiri. William
'Apa yang kau rasakan?' Caroline ingat saat ciuman pertamanya dengan William dulu, itulah kalimat yang lelaki itu tanyakan. Dulu, tujuannya adalah untuk menguji Caroline. Namun kalimat itu tanpa sengaja terngiang kembali di dalam kepala Caroline, seolah William benar - benar sedang menanyakannya. "Aku tidak merasa biasa saja," gumam Caroline dengan sangat lirih begitu dirinya dan William berhenti berciuman. William tentu saja tidak mendengar gumaman Caroline. Terlebih, tepuk tangan para tamu terdengar amat riuh. Mata Caroline tertunduk. Dia merasa sangat sial, bisa - bisanya jantungnya berdebar kencang saat William mendaratkan bibirnya. Berlainan dengan ekspresi Caroline, semua orang terlihat senang. Bahkan William pun terlihat senang. Lelaki itu benar - benar pandai berakting. Setelah upacara pemberkatan, Caroline menjalani pengukuhan sebagai putri kerajaan. Upacara pengukuhan itu lebih lama, kaku dan melelahkan daripada upacara pemberkatan pernikahannya. Bahkan setelah sele