“Kalian kenapa mengikuti saya?” tanya Aldino pada Yuda dan Sakha. Dua orang pengendara yang mengendarai motor sport dan membuntuti Aldino itu ialah teman-teman Aldino. Mereka mengejar Aldino saat tahu jika mobil yang berada di depan mereka adalah mobil Aldino.Kini mereka sudah berada di area parkir bandara, berbincang di lobi.“Kami tidak mengikuti. Kebetulan kami berada di jalan yang sama.”Yuda Tarumanegara nyengir menjawab pertanyaan Aldino yang serius. Pria itu memang selalu bersikap santai. “Ckck! Kenapa kau tidak menggantikan tugas saya di sekolah? Saya ijin beberapa hari gak masuk,” tegur Aldino pada sahabatnya itu. Seharusnya tugas kepala sekolah digantikan oleh Yuda Tarumanegara selaku wakil kepala sekolah.“Sudah, Pak Al! Lagipula saya sudah lebih dulu meminta ijin karena harus membesuk Raymond. Pak Al yang seharusnya standby di sekolah.”Sisi lain, Sakha hanya melirik sekilat Aldino. Semenjak pertemuan di kafe waktu itu, mereka semakin menjaga jarak.“Ada apa dengan Raymo
“Tumben kau datang, Aldino.”Eyang Waluyo menyapa cucu kesayangannya dengan minim ekspresi padahal hatinya senang sekali melihat kedatangannya.Aldino memeluk Eyangnya dengan erat tak seperti biasanya. “Aku kangen Eyang,” bisiknya.Tak berselang lama, Malati pun menyalami Eyang Waluyo dan tersenyum tipis padanya.Pria besar itu menarik kursi untuk dirinya dan istrinya. Tingkah Aldino tak luput dari perhatian Eyang Waluyo. Hingga tanpa sadar Eyang Waluyo menarik sudut bibirnya membentuk senyum tipis, tanpa siapapun sadari. Tentu saja, ia merasa senang melihat Aldino bersikap manis pada istrinya.Mereka sarapan pagi dengan hening. Tak ada yang berani bersuara saat makan berlangsung. Hal tersebut sudah menjadi tata krama di sana. Mereka baru bisa mengobrol saat acara makan selesai.Usai sarapan Aldino memilih menemani Eyangnya berjalan-jalan di taman sembari mengobrol tentang perusahaan. Sementara itu Malati memilih duduk dekat kolam melihat ikan hias.“Kapan kau resign?” tanya Eyang Wal
“Percuma aku hidup. Mending aku mati saja.”Ana melanjutkan kalimatnya dengan isak yang tertahan, membuat Aldino merasa serba salah menyikapinya.Aldino mendengus kesal. Mereka saat ini berada di area sekolah. Ana menangis karena dirinya. Hal tersebut tidaklah baik sebab bisa menjadi gosip yang tak mengenakan baginya.“Sudah cukup, Ana! Pulanglah!” imbuh Aldino menahan emosi padanya.Ana mengusap mata sembabnya lalu meraih ponselnya.“Baterai ponselku habis. Bisa pesankan taxi online?”Aldino berdecak pelan mendengar gadis itu yang nekad datang ke sana dengan taxi online. “Aku akan mengantarmu,” imbuh Aldino merasa tak tega melihat gadis yang terbiasa diantar-jemput oleh driver pribadi harus menaiki transportasi umum.Ana tersenyum tipis. Perlahan pasti Aldino akan kembali padanya. Terbukti ia iba dan bersedia mengantarnya.Kini mereka berada dalam satu mobil. Ana merasa riang gembira. Ia menatap Aldino dari samping dengan penuh cinta.“Mas, aku lapar. Makan siang dulu yuk?” imbuh An
“Zero seven?”“Ready!”“Zero five?”“Ready! Security system’s off!”“Zero nine?”“Clear!!”Terjadi percakapan di antara beberapa pria yang tengah melakukan simulasi sebuah operasi penculikan. Mereka tengah berlatih di sebuah gedung kosong yang tak terpakai. Namun meskipun gedung itu tak terpakai, gedung itu merupakan gedung bekas hotel di mana memiliki lift dan sistem keamanan yang canggih. Gedung itu disulap menjadi markas sebuah komplotan rahasia.Mereka memiliki panggilan khusus pada rekannya saat operasi penculikan berlangsung. Mereka menggunakan kode dan berkomunikasi lewat walkie talkie yang dilengkapi fitur scan, emergency alarm dan CTCSS DCS.“Bos! Mission has accomplished!!” seru pimpinan operasi. Ia berkata dengan penuh semangat dan antusias. Nafasnya terengah-engah namun aura cerah terpancar dari wajahnya. Jika ia berhasil menjalankan misi kali ini maka ia akan mendapat bayaran yang tinggi.“No! It’s just beginning!” sahut pria berwajah kaukasia itu. Sembari menyelipkan ceru
Saat Malati membelakan matanya perlahan, kepalanya terasa pusing. Ia merasa limbung, masih setengah sadar akibat pengaruh obat bius. Malati tidak sadarkan diri selama lebih dari tujuh jam lamanya.Saat penglihatannya jelas dan kesadarannya terkumpul, Malati terlonjak kaget. Ia baru sadar jika dirinya tidak berada di kediaman Eyang Waluyo. Ia berada di suatu tempat asing, tepatnya kamar asing yang menyerupai kamar hotel.Ia bangun lalu mengguncangkan tubuhnya yang terasa kaku bak rusuk bambu. Tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. Jelas saja, tangan dan kakinya diikat oleh tali nilon.“Mas Aldino, aku di mana? Aku takut,” gumam Malati baru pertama kalinya ia merasa takut luar biasa. Ia butuh suaminya saat ini. Matanya sudah berkaca-kaca. Pikirannya sudah berkelana kesana kemari. Yang paling Putri Melati takuti ialah ia dilecehkan oleh para pria hidung belang.“Allah, lindungi aku,” imbuhnya dengan suara yang serak.Perempuan penyuka pelajaran exact itu menarik nafas dalam, berusaha me
‘Ciuman itu rasanya hangat dan lembut. Bagaimana bisa aku menikmatinya. Barulah aku sadar jika aku juga jatuh cinta untuk yang pertama kalinya pada pria itu.’‘Aku telah melaksanakan kewajibanku sebagai seorang istri.’‘Aku sadar ternyata aku merindukanmu … Kepala Sekolah killer.’Aldino membuka helai demi helai lembaran buku diary milik Putri Melati. Rasanya ada sesuatu yang tajam menikam ulu hatinya. Sesuatu meremas jantungnya. Sakit sekali.Dua minggu sudah istrinya menghilang. Ia sudah berusaha mencarinya kemana-mana. Ia pula sudah meminta bantuan pada berbagai pihak untuk mencari keberadaannya. Pun, ia sendiri sudah bolos sekolah demi mencari istrinya dengan tangan dan kakinya.Penemuan kamera spionase sama sekali tidak membantu. Komplotan yang menculik Malati bergerak sangat cepat dan tak terendus oleh pihak manapun.“Mala, kau sedang apa Sayang? Kau sudah makan belum? Maafkan Mas. Mas belum bisa menjemputmu.”Aldino berkata dengan penuh frustasi sembari mencium fotonya. Air mata
Beberapa kali bel berbunyi. Namun tak ada satupun yang membukakan pintu rumah. Seorang pria dalam balutan hem batik bermotif Sogam mendengus kesal. Ia berdiri mematung sudah setengah jam di depan rumah mewah itu. Mengapa rumah sebesar itu tidak ada yang membukakan pintu untuknya. Menurut satpam yang berada di pos depan, ia disuruh menekan bel karena tuan rumah berada di dalam.Apakah tuan rumahnya tuli ataukah sedang menunaikan hajatnya di kamar mandi?? Lalu dimanakah ART?Kesabarannya sudah tak setebal mukanya sehingga ia memutuskan untuk merogoh ponsel yang bersembunyi di balik saku jaketnya. Ia akan menelpon sang punya rumah.Tut … tut … tut..Telepon Aldino Tama Waluyo tidak aktif.“Anjir! Emang si Al lagi hibernasi! Apa lagi boker? Apa jangan-jangan si Aldino Ray lagi bikin rencana buat bundir?? Beneran, si Bos Tubruk sedang tantrum! Bisa-bisa dia depresot!!!”Yuda Tarumanegara mengumpati sahabatnya tanpa ampun. Ia sudah tak sabar ingin bertatap muka dengan pria besar itu. Ketia
“Dasar bedebah kam*ret!!”“Kau bilang apa?”Aldino menudingkan stik es krim ke wajah sahabatnya. Ia berbicara dengan mulut penuh es krim.“Emang aku bilang apa? Aku cuma bilang ban karet,” sahut Yuda dengan meringis melihat sikap sahabatnya yang mirip roller coaster, jungkir balik.Sebelumnya Aldino ceria saat menemukan makanan yang diinginkannya. Sepulang dari rumah sakit, ia meminta Yuda mengantarnya pergi ke sebuah sekolah negeri di mana di sana ada penjual jajanan khas anak sekolah. Tak biasanya Aldino membeli makanan yang tak sehat. Ia membeli cilung, mie jimbabwe, cilor hingga maklor.Sekarang pria besar itu minta diantar ke kedai es krim. Ia ingin makan es krim rasa sirsak. Susah sekali Yuda mencari es krim dengan varian bahan buah lokal itu. Ia sampai menyisiri jalan besar hingga jalan arteri untuk menemukan kedai es krim yang menjual beraneka rasa.“Udah mau sore, Al,” peringat Yuda dengan hati-hati. Ia mendadak cosplay jadi pengasuh Aldino hari itu. Ia merasa tak tega meli