Bab 20Malam itu sekitar pukul satu malam, suasana kompleks perumahan Spring Hills terlihat sepi. Semua penghuninya tampaknya sudah terjerembab dalam bunga tidur.Hanya terdengar suara hembusan angin yang berdesak-desakan menggoyangkan pohon ketapang-yang sebagian besar menghuni perumahan di sisi kanan dan kiri jalan.Jarak satu rumah dengan rumah yang lain cukup jauh sehingga andaikata ada orang yang karaoke sekalipun takkan terdengar ke rumah yang lain.Rumah mewah bergaya mediterania merupakan rumah yang berlokasi paling ujung. Terlihat sepi dan minim penghuni. Setelah melakukan observasi selama dua minggu, para perampok yang menjadi bromocorah incaran polisi itu kini memutuskan target mereka pada rumah milik Eyang Waluyo, setelah sebelumnya mereka melakukan aksi mereka di perumahan elit lainnya. Mereka melakukannya dengan random, tak bisa ditebak namun dengan pola yang sama.Komplotan itu bahkan sudah mengetahui seluk beluk rumah itu dari orang dalam yang kemudian diajak kerja sa
Kraaak, Ranting pohon terinjak oleh sepasang sepatu boots berbahan kulit penuh lumpur. Tangannya yang besar menyingkirkan tanaman pakis hias yang menghalangi jalannya. Pria bertubuh besar itu terus berjalan hingga melintasi curug sembari memanggul karung berisi sosok wanita yang disumpal mulutnya. Setelah tiba di tempat eksekusi, sebuah pondok yang berada di tengah hutan pinus yang menembus langit. Ia pun mengeluarkan wanita itu dan mulai mendudukannya layaknya tahanan. Wanita berparas cantik itu didudukan di atas kursi seperti tahanan psikopat. Tangannya diikat ke belakang kursi dan kakinya juga diikat dengan tali. Ia sudah terlihat lemah karena sudah tiga hari tidak makan dan minum. Tubuhnya nyaris tak bertenaga. Namun wanita itu tetap teguh pada pendiriannya, ia memilih bergeming karena memberontak pun sia-sia. Ia sudah menghabiskan waktunya dengan memukul, menendang hingga mencakar. Namun tetap saja pria itu tak dapat dilawan. Bukan tanding seorang wanita meski wanita itu
Tubuh yang lemah akibat demam yang naik turun membuat Malati seketika tumbang. Ia pasrah ketika ia harus tidur kembali satu ranjang dengan pria yang kini menjadi suaminya.Suara hembusan angin terasa menggelitik bulu romanya. Pun, sayup-sayup suara merpati yang berdekut tertangkap telinga.Mata Malati terasa berat sekedar terbuka. Sinar matahari dengan lancang menyusup melalui celah jendela balkon dan menggoyangkan tirai vitrase. Menghalau rasa dingin yang menusuk-nusuk, tubuhnya semakin tenggelam ke dalam selimut tebal padahal pendingin ruangan sejak semalam dimatikan.Malati merasa hangat namun ia harus bangun karena teringat ia harus pergi kuliah. Namun kepalanya berat luar biasa dan matanya sulit terbuka.Perlahan mata karamel Malati menyesuaikan dengan cahaya, seketika ia terkesiap ketika ia saat ini berada dalam pelukan pria besar.Aldino entah sejak kapan memeluknya dengan erat. Matanya terpejam rapat dengan suara dengkuran yang halus. Perlahan, Malati menyingkirkan ke dua ta
Malati merasa kesal atas perlakuan Aldino yang menahannya pergi kuliah. Atas dasar apa ia mulai mengintervensi urusannya? Mengapa juga menahannya?Malati menyusun rencana, bagaimana jika ia keluar diam-diam menyusup melalui pintu balkon. Ia hanya butuh nekad. Namun segera ia menggelengkan kepalanya cepat. Kamar Aldino berada di lantai dua. Oleh karena itu untuk bisa keluar dari kamar itu, Malati harus meloncat ke bawah.Ide buruk!Malati takut ketinggian dan ia bukanlah ninja yang pandai meloncat dari ketinggian dan memanjat tembok. Jika ia nekad meloncat sudah bisa dipastikan ia bahkan takkan masuk kuliah lagi, berakhir di ruang ICU.Alhasil, Malati akhirnya duduk manis di bangku belajar. Sebentar, ia baru sadar jika sudah ada meja belajar disediakan di sana. Entah sejak kapan.Seingat Malati kamar Aldino yang luas begitu hanya diisi oleh kasur berukuran king size dan meja rias sehingga terlihat luas. Namun sudahlah Malati tak mau ambil pusing. Memikirkan tindak tanduk kepala sekolah
Malam yang kelam tanpa gemintang. Dersik angin menyapu dedaunan kerontang hingga kenangan.Wanita itu merintih kesakitan. Berupaya keras mengeluarkan suaranya meskipun senantiasa gagal. Hanya pita suaranya saja yang bergetar dan tatapan merana penuh asa.“Kau siapa?” tanya Malati pada sosok wanita yang mirip dengannya, Xie Mei Ling.Wanita yang tengah duduk di atas kursi hukuman itu hanya mencongak dan menyematkan senyuman tipis meskipun mulutnya disumpal. Wajahnya samar. Hanya terlihat matanya segaris menyipit pertanda ia tersenyum dalam deritanya.Secarik kertas terbang begitu saja, menyentuh wajah Malati sebelum dirinya tiba di hadapan Xie Mei Ling.Malati menemukan sebuah nama yang tertera di ujung kertas itu. Maya.Penasaran, Malati mendekatinya dan berusaha melepaskan ikatan tangan dan kakinya, ingin bertanya siapakah orang yang bernama Maya?Malangnya, sebelum Malati mendekati wanita berwajah oriental itu, pria berwajah sangar menghadangnya dan melemparkan senyum smirk pada ga
Ali mendekati Aldino dengan melayangkan tatapan yang menghunus tajam. Sementara itu Aldino syok akan kehadiran Ali. Mengapa bisa bertemu di tempat itu? Padahal restoran itu cukup dekat dengan rumah yang ditinggali-tempat yang dianggap paling aman membawa Malati. Dengan pertimbangan tempat itu private.Aldino berusaha tenang dan memasang wajah minim ekspresi.“Hai, Ali! Kebetulan kita bertemu di sini,” ucap Aldino tanpa merasa terintimidasi.Saat Ali menyapa Aldino, Malati tengah memunggunginya sehingga tak terlihat wajah Malati. Ali hanya melihat Aldino duduk berdua di sana bersama seorang wanita berhijab.Malati yang baru sadar dengan apa yang ia dengar, menaruh kembali menu masakan di atas meja. Lantas, ia berkata pada Aldino dan mengabaikan Ali yang berdiri di belakangnya.“Pak Aldino, terima kasih lowongan kerjanya. Sepertinya tamu Bapak sudah datang. Saya terima surat perjanjian kontrak mengajar Matematika adik kelas. Tapi, saya tidak bisa mengajar Fisika. Assalamualaikum?!” uca
“Apa kau tak perhatikan? Ada yang aneh dengan Pak Aldino dan istrinya?” ucap salah satu ART di ruang tamu. Seorang wanita sepantaran Mbok Darmi yang sedang mengepel lantai.“Emang ada yang aneh apa?” tanya ART yang berusia sepantaran Malati.“Saya lihat kok cara jalannya Mbak Malati biasa aja? Sejak pertama datang ke sini. Um, biasanya kan kalau habis malam pertama jalannya agak ngangkang begitu. Apalagi, Pak Aldino bertubuh tinggi besar pasti anunya juga besar! Tapi … Mbak Malati biasa aja ya?” sewot wanita itu dengan terkikik geli.“Teh Lilis, kotor ih pikirannya,” jawab Lina-ArT yang bertugas membersihkan furniture.“Bukan kotor! Tapi agak kotor,” sahutnya dengan terkekeh lagi. “Neng Lina mah masih perawan jadi gak bakalan ngerasain sakit sekaligus nikmatnya malam pertama. Apa jangan-jangan mereka belum melakukan malam pertama ya?”Lilis mengetuk-mengetuk jarinya di keningnya.“Hus! Jangan ngomong sembarangan! Ya, mungkin tiap perempuan beda-beda.”Lina kembali mengelap meja denga
Malati merasa iba setelah mendengar pengakuan Lina yang mengatakan bahwa dirinya ‘orang dalam’ yang bekerjasama dengan perampok. Lina mengaku orang yang membocorkan informasi soal rumah Aldino termasuk orang yang berperan dalam melumpuhkan CCTV. Mudah bagi seseorang yang pandai mengoperasikan komputer untuk memanipulasi kamera pengintai CCTV. Motifnya jelas, Lina sedang mengalami kesulitan finansial. Neneknya di kampung butuh uang banyak untuk berobat. Oleh karena itu ia nekad mau diajak kerjasama oleh salah satu anggota kawanan perampok. “Maaf, Lina. Kau seharusnya meminta maaf pada Mas Aldino! Bukan pada saya,” seru Malati menyingkirkan pelan ke dua tangan Lina yang memeluk betisnya. Lina bergerak mundur masih dalam keadaan bersimpuh dan kepala merunduk bagai bunga yang layu. Sungguh, dalam hati Malati merasa iba pada gadis itu. Namun cara ia memutuskan sesuatu sangatlah tidak tepat. Mengapa ia tidak meminjam uang saja pada Aldino. Beres! Urusan selesai! Tunggu dulu, Aldino buk