Di kantor, Axel keluar dari ruang rapat dengan perut kosong. Kekacauan pagi itu membuatnya kesal, fokusnya hilang.
“Tuan Axel, ada tamu,” kata Oliver—salah satu karyawan terpercaya Axel, mendekat cepat.
“Tamu?” Axel mengerutkan kening. Seingatnya, tidak ada jadwal tamu hari ini sampai nanti.
“Itu Nyonya Zuri Everlyn. Istri baru Anda,” bisik Caden—asisten sekaligus sekretaris Axel yang berdiri tepat di sisinya.
Axel menegang, pikirannya melayang ke Elysia sebelum tersadar pada kenyataan. “Biarkan dia menunggu. Aku perlu mengecek beberapa dokumen dulu,” katanya dingin, lalu masuk ke ruangan.
Belum lama duduk, Axel gelisah tanpa alasan pasti. Zuri di Nightvale Corporation mengusiknya. Dia selalu melarang wanita masuk ke sini—bahkan Elysia. Tapi Zuri ada di sini sekarang. Hal itu membuatnya merasa terganggu dan tidak nyaman.
Akhirnya, dia bergegas ke ruang yang biasa dijadikan tempat para tamu untuk bertemu dengannya. Membuka pintu, dia melihat Zuri duduk kaku, memegang kotak bekal ungu tua.
“Axel, kau pergi tanpa sarapan,” kata Zuri cepat. “Kubawakan ini. Kata Dottie, kau tidak biasa sarapan di luar.” Dia menyodorkan kotak itu, tangannya gemetar.
Axel menatap kotak itu, perutnya berbunyi pelan—terlalu pelan untuk terdengar oleh Zuri.
“Ambil ini,” desak Zuri, wajahnya pucat tapi ada keberanian kecil di matanya.
Axel merenggut kotak itu tanpa kata. Dia terkejut pada nyali Zuri, meski ketakutan wanita itu masih terpancar jelas. Sebelum dia sempat mengusir, Zuri bangkit dan bersiap pergi.
“Hei, sebaiknya kau pulang diantar sopir.”
***
Duduk kaku di kursi belakang mobil, Zuri menatap keluar jendela dengan ekspresi kosong. Perintah Axel—memaksanya pulang bersama sopir pribadi pria itu. Dia tidak membantah, hanya mengangguk pelan, tapi rasa hina menyeruak di dadanya. Ketakutannya pada Axel terasa tidak masuk akal, dan itu membuatnya merasa kecil—bahkan di mata sopir muda yang duduk di depan. Sopir itu mungkin dua atau tiga tahun lebih muda darinya. Zuri menduga-duga.
Mobil melaju melewati jalan yang tidak asing, dan tiba-tiba ingatan tentang rumah mendiang bibi Isolde muncul di benak Zuri. Jalan ini adalah jalur cepat menuju ke sana. Axel tidak melarangnya berkunjung ke tempat itu, bukan? Dia menarik napas, lalu memutuskan.
“Bisa tolong antarkan aku sebentar ke rumah bibiku di jalan Fairview?” tanyanya pada si sopir, suaranya lembut tapi tegas. “Jalannya lurus dari arah kiri di depan.”
Sopir itu melirik Zuri lewat kaca spion, tidak menoleh langsung. “Baik, Nyonya,” jawabnya sambil mengangguk, lalu meminta nomor rumah tanpa pertanyaan lain.
Zuri menghargai sikap profesionalnya. Ternyata masih ada orang baik di sekitarnya. Ah, iya—Dottie juga termasuk salah satunya.
Sesampai di tempat tujuan, sopir itu memarkir mobil dan berkata dia akan menunggu di luar. Dia sempat melempar senyum ramah sebelum Zuri turun. Zuri pun membalasnya.
Zuri melangkah lima meter, lalu tiba-tiba berhenti. Dia menoleh. “Siapa namamu?” Bukan basa-basi. Dia sungguh ingin tahu.
Sopir itu tampak sedikit terkejut, lalu tersenyum lagi. “Cole Mercer, Nyonya.”
“Berapa usiamu?” Zuri melanjutkan, rasa penasaran menguasainya.
“Tiga puluh dua tahun, Nyonya.”
Zuri mengangguk kecil. Ternyata Cole lebih tua darinya—wajah Cole tidak menunjukkan itu. “Aku hanya ingin bilang, usiaku dua tahun lebih muda darimu,” katanya sambil membalas senyum ramah, lalu berbalik. Dalam hati, dia berharap suatu hari Cole bisa memanggilnya tanpa ‘Nyonya’ meski dia tahu Axel takkan mengizinkan.
Rumah bibi Isolde masih seperti dulu, tidak berubah. Zuri melangkah perlahan, memandang bangunan itu dengan tatapan lembut namun sedih.
Kepergian bibi Isolde meninggalkan luka baginya dan Elysia, tapi Zuri berharap wanita itu damai di sana. Bibi Isolde tidak menikah, sehingga tak punya ahli waris. Rumah ini tidak diberikan pada Zuri atau Elysia—tak ada wasiat yang dibacakan. Lagipula, Zuri tidak mengharapkan apa-apa. Tinggal di sini justru akan membuatnya merasa tertekan.
Orang tua yang sudah lama tiada, bibi Isolde yang pergi selamanya, dan Elysia yang melarikan diri entah ke mana—ketiganya membuat Zuri merasa kehilangan pijakan. Namun, dia tetap menyimpan harapan. Elysia akan kembali, dia yakin. Kakaknya itu menyayanginya dengan caranya sendiri. Suatu hari, pasti mereka bisa bertemu lagi.
Karena tak punya kunci, Zuri memilih mengelilingi rumah. Tanaman di halaman masih hijau, terawat rapi, seolah ada yang merawatnya setelah bibi tiada. Tetangga, mungkin? Dia berjalan ke halaman belakang, menemukan kursi kayu panjang di depan deretan cemara kipas yang rapi seperti pembatas.
Rindu pada bibi Isolde dan Elysia menyeruak. Dengan langkah mantap, Zuri duduk di kursi itu, merentangkan tangan, dan memejamkan mata. Dia menghirup udara segar yang dibawa cemara, mengingat kenangan terakhir bertiga di sini—menikmati senja musim panas. Hangat, damai. Dia ingin mengulanginya, setidaknya dengan Elysia.
Tapi kenyataan membantingnya. Dia kini hidup di bawah bayang-bayang kakaknya, dipaksa menjadi istri Axel—hanya alat untuk memberi keturunan laki-laki. Jaxon Holt, cinta yang terpaksa ditinggalkan, juga menghantuinya. Kebencian Jaxon membakar semua harapan Zuri, dan dia menerima itu.
Matanya terbuka. Zuri nyaris berteriak saat melihat sosok di depannya. Axel Nightvale berdiri tegak, ekspresinya dingin. Zuri menelan suaranya, ketakutan langsung menguasai. Rasa takut itu selalu lebih kuat daripada keterkejutan—keanehan yang dia sendiri tidak bisa pahami.
“Katamu kau akan pulang. Jadi sedang apa kau di sini?” Axel membentak, suaranya tajam menusuk.
Zuri bangkit cepat, tangannya merapikan rambut yang tertiup angin. “Ini rumah bibiku,” jawabnya gugup. “Jalannya searah. Aku singgah sebentar, karena merindukan tempat ini.”
“Aku tahu ini rumah bibimu.” Axel melangkah mendekat, lalu duduk di kursi tanpa peduli Zuri masih berdiri tegang. Dia menyilangkan kaki, merentangkan tangan, dan memejamkan mata—persis seperti yang Zuri lakukan tadi.
Zuri menatap Axel, bingung. Apa pria itu sedang mengejeknya?
Axel menghirup udara dalam-dalam, wajahnya tetap datar. “Bukan hal konyol,” katanya tiba-tiba. “Kau boleh ke sini, tapi izin padaku dulu. Dan jangan terlalu sering.” Dia membuka mata, menatap Zuri dengan sorot tajam. “Duduk. Ada yang harus kau dengar.”
Zuri menghela napas pelan, duduk dengan jarak aman dari Axel. Pria itu menatap lurus ke pintu belakang rumah yang tertutup, ekspresinya tidak terbaca.
“Aku punya aturan untukmu,” lanjut Axel. “Hanya beberapa untuk hari ini. Aturan lain menyusul kalau kuanggap perlu. Aku akan bilang saat waktunya tiba.”
Zuri mengangguk, mencoba memahami. Dia tidak bodoh, tapi tekanan Axel selalu membuatnya ragu.
“Tadi di rumah, kau salah. Kau tahu apa itu?” Axel menoleh, tatapannya menuntut.
Zuri berpikir cepat. “Menumpahkan air ke pakaianmu,” jawabnya mantap, yakin itu pemicu kemarahan Axel seharian.
Axel menggeleng. “Yang lain.”
Zuri mengerutkan kening, bingung. “Terlambat bangun?” Dia melihat Axel menggeleng lagi. “Terlambat menyiapkan sarapan?”
“Bukan.” Nada Axel mulai kesal.
Zuri tak menyerah. “Membuatmu tergoda karena gaun tidurku semalam?” ucapnya pelan, wajahnya memanas karena malu.
Axel tertawa keras, suaranya menggema di halaman kosong. Tatapannya penuh ejekan. “Kau pikir aku tergoda padamu?”
“Ya. Kau … dan bayi kita.”Mereka tertawa pelan, serentak.“Axel?”“Hm?”“Aku tidak pernah menyangka … bisa tertawa bebas tanpa beban di hadapanmu seperti ini. Padahal dulu aku pikir aku harus lari darimu selamanya setelah perjanjian kita berakhir.”Axel diam sejenak. “Aku pun dulu berpikir aku harus memilikimu dengan cara apa pun. Tapi ternyata … aku baru benar-benar memilikimu ketika kau memilih sendiri untuk tetap tinggal.”Zuri memejamkan mata, bersandar sepenuhnya pada dada Axel.***Hujan gerimis turun pagi itu. Aroma antiseptik, suara langkah kaki tergesa, dan detak jantung Zuri yang tidak karuan memenuhi ruang bersalin. Tangannya mencengkeram kuat jari-jari Axel yang kini pucat karena terlalu erat digenggam.“Axel ...” Suaranya lemah, namun matanya penuh keberanian. “Jika sesuatu terjadi padaku ... jaga dia baik-baik.”Axel menggeleng cepat, menunduk mencium kening Zuri yang basah oleh keringat. “Jangan berkata seperti itu. Kau akan baik-baik saja, Sayang. Aku bersamamu. Selal
Axel membantu Zuri duduk tegak kembali, sementara dia perlahan berlutut di hadapan si istri.“Karena aku ingin kau memilihku. Dengan sadar. Walau setelah semua yang kulakukan, mungkin aku tidak pantas. Tapi kalau kau tanya kenapa aku pertemukan kalian sekarang, kenapa aku membawamu kemari dengan menampilkan sesuatu yang lain, karena aku ingin kau tahu semuanya. Dan kalau kau pergi setelah ini ... aku tidak akan menghalangimu.”Suara Axel tak lagi tegas. Seakan terasa retak. Nyaris putus.“Kau bebas pergi, Zuri. Semua utang Elysia padaku, kuanggap lunas. Aku akan selesaikan semuanya. Kau tak perlu mengganti rugi, tak perlu melahirkan pewaris untukku, akan kuhancurkan semua perjanjian di antara kita, dan kau juga tidak perlu lagi tinggal bersamaku. Tapi kalau kau tetap memilih di sini … aku akan memperbaiki segalanya. Aku akan berhenti jadi pria gila yang mencoba mengikatmu dengan cara terkutuk. Aku akan belajar jadi suami yang layak.”Keheningan kemudian begitu menyiksa bagi Axel. Sang
Hadapi!Zuri menangkap bahwa maksud ucapan Axel adalah tentang Thalia dan Jaxon, tapi kenapa … kenapa Elysia ada di sini sekarang? Kenapa kakaknya itu kini tergesa menghampirinya?“E-Elysia—”“Zuri!” Bukannya memeluk, Elysia mencengkeram kedua pundak adiknya dengan raut wajah pucat. “Jangan percaya apa pun. Jangan percaya padanya.”Dengan raut kebingungan, Zuri menatap ke arah pintu kamar yang terbuka. Axel di sana, baru saja mendorong pintu agar terbuka lebar.Elysia panik saat menyadari kehadiran Axel, namun langsung melepas cengkeramannya pada Zuri, berjalan cepat menuju ke arah pria itu berada.Mencengkeram jas Axel sambil mengguncangnya kuat, walau hampir tidak memberi pengaruh apa pun pada pria itu. Axel memilih menatap Zuri yang bingung, shock dan jelas gemetar.“Kau … lepaskan kami! Aku tahu kau sengaja menjebakku untuk mencuri semua uang dan perhiasan ibumu, agar aku kacau dan melarikan diri entah ke mana!” teriak Elysia. “Dan kau memaksa adikku untuk menikah denganmu? Menang
Zuri menahan napas, sentuhan Axel datang begitu cepat. “Tidak,” jawabnya singkat, berusaha tegas.“Kau yakin?” Axel mengecup pundak kanan Zuri, suaranya menggoda, membuat tubuh wanita itu menegang.Zuri mengangguk, berusaha meyakinkan diri sendiri. Jaxon bertingkah di luar kebiasaan mungkin karena Zuri mengecewakan pria itu, melukai begitu dalam.Mereka bersama hampir dua tahun, Zuri mengenal keluarga Jaxon, yang menerimanya meski ia yatim piatu tanpa harta. Rumah peninggalan orang tua Zuri dan Elysia telah disumbangkan untuk dapur darurat saat wabah menyerang Village. Kebun stroberi kecil milik orang tua mereka juga musnah saat itu.“Apa jawabanmu selalu semahal itu?” tanya Axel, suaranya tiba-tiba tegas, menarik Zuri dari lamunan.Zuri tersentak, belum mampu menjawab, masih terlena oleh belaian Axel.“Jangan biarkan aku menunggu jawabanmu sampai kau tertidur, Zuri,” lanjut Axel, nadanya bukan peringatan santai, melainkan perintah.Zuri bergidik, buru-buru menjawab, “Aku … aku yakin
Zuri mengerang, nyaris kenapasan napas. Tangannya mencengkeram pundak Axel lebih erat, kewanitaannya berdenyut.Axel mempercepat gerakan, air memercik ke lantai marmer, lilin-lilin berkedip karena hembusan udara.“Bergerak lebih cepat, Zuri,” gumam Axel, nadanya tegas. “Aku mau kau patuh. Tunjukkan kalau kau milikku.” Ia mengubah posisi, menarik Zuri kembali ke dalam air, memutar tubuh Zuri hingga si istri membelakanginya.Tangan Zuri mencengkeram tepi bak. Axel masuk lagi dari belakang, dorongannya lebih dalam, air hangat memperkuat gesekan kejantanannya di kewanitaan sang istri.“A-aku … Axel—oh, aku … hampir,” desah Zuri, serak dengan tubuh yang menegang, orgasme keduanya mendekat.“Tahan sedikit lagi, Zuri. Akan kuberitahu saat aku mendapatkannya lebih dulu,” bisik Axel, tak lupa menjilati sisi samping wajah wanitanya.Dorongan semakin cepat, air beriak keras. “Oke. Kau boleh keluar sekarang.” Seketika Zuri menjerit, orgasmenya meledak, cairan kenikmatannya membasahi kejantanan A
Zuri menatap telapak tangan Axel yang besar dan hangat, teringat sentuhannya.“Atau mau kugendong hingga ke kamar mandi?” tambah Axel, nadanya menggoda.Zuri mengangguk segera, percuma saja merasa malu. Axel akan tetap seperti ini setiap hari, bahkan sering memakaikan pakaian untuknya saat ada waktu luang.Axel berjongkok, memunggungi Zuri. “Naiklah. Kita harus mencoba banyak hal,” katanya.Zuri naik ke punggung Axel, merasa suaminya itu baik hati dengan niat tertentu. Dalam suasana nyaman ini, ia yakin siapa pun istrinya Axel akan dengan senang hati mengandung berkali-kali.Jadi, ya nikmati saja. Zuri pikir begitu. Tidak ada yang dirugikan, semua setimpal.“Bagaimana hubunganmu dengan Jaxon Holt?” tanya Axel tiba-tiba.Zuri tersentak. Ia pikir Axel menikmati saat menghancurkan harga diri Jaxon dulu, mungkin masih teringat tindakan heroiknya itu saat di kafe pertama kali mereka bertemu.“Seperti yang kau lihat. Sekarang kami asing satu sama lain,” jawab Zuri. Dari balik punggung Axel,