Zuri berdiri kaku di ruang persiapan, menatap gaun pengantin berwarna putih gading yang tergeletak di sisinya. Sorot matanya redup, menyimpan kekecewaan yang mendalam. Ini bukan pernikahan dengan Jaxon Holt. Hari ini, Axel Nightvale—kakak iparnya yang kini tak lagi terikat dengan Elysia Rosier, akan mengikatnya dalam sebuah ikatan yang dia benci.
Tiga puluh menit lagi, janji setia akan terucap. Tubuh Zuri menegang, jantungnya berdegup kencang. Dia ingin kabur, menghilang dari ruangan ini, tapi kenyataan menekannya seperti belenggu besi.
“Kenapa belum berpakaian?” Suara Axel memecah hening, tajam dan dingin.
Zuri mendongak cepat, melihat pria itu berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kaos putih dan celana olahraga hitam.
Tatapan Axel yang menusuk, membuat Zuri tersentak hingga napasnya tersendat.
Dia membuka mulut, tapi kata-katanya tercekat. “Aku … ingin istirahat sebentar,” jawabnya lemah, suaranya nyaris hilang.
“Tidak ada waktu.” Axel melangkah masuk, posturnya tegak penuh otoritas. “Kau akan membuang waktu untuk berpakaian dan berdandan. Lakukan sekarang.”
Zuri bangkit tergesa, kakinya tersandung properti pernikahan yang berserakan. Dia nyaris jatuh, tangannya mencengkeram gagang pintu dengan keras untuk menahan tubuhnya. Dia tidak berani menoleh ke Axel—bukan malu, tapi ketakutan akan sorot mata pria itu yang bisa menghukumnya dalam diam.
Di kamar ganti, dia duduk dengan tangan gemetar, menahan sesak yang menggumpal di dada dan mencegah tangis di pelupuk mata. Oh, gaunnya tertinggal di luar!
Mencoba menenangkan diri, Zuri berniat mengambilnya tanpa harus berhadapan lagi dengan Axel. Namun, pintu terbuka kasar.
Rupanya itu Axel. Gaun pernikahan Zuri digenggamnya erat. “Ini gaunmu,” katanya dingin, melemparkan gaun itu ke pangkuan Zuri tanpa basa-basi.
Zuri memandang gaun itu, air mata akhirnya pecah—tidak dapat dicegah lagi. Rasa takut, sedih, dan tertekan mencekiknya.
Axel menatap Zuri tajam, lalu tiba-tiba berlutut di depan si calon pengantin. Gerakan itu membuat Zuri terlonjak dengan detak jantung yang hampir berhenti.
“Kau kenapa?” Suara Axel merendah, tapi ada nada mengancam yang terselip.
“Aku tidak—”
“Jangan bertindak bodoh yang bisa menyulitkan kita,” potong Axel cepat, matanya menyipit. “Kau mengerti itu, bukan?”
Zuri mengangguk pelan, tubuhnya bergetar hebat. Senyum kecil muncul di wajah Axel—tipis, dingin, dan penuh tekanan, seolah memperingatkan bahwa satu langkah salah akan menghancurkan Zuri.
“Sebentar lagi penata riasmu akan masuk,” lanjut Axel sambil berdiri tegak. “Ingat tugasmu. Jadilah pengantin yang bahagia nanti. Tunjukkan pada semua orang bahwa kau puas dengan pernikahan ini, meski kau hancur sekalipun. Mengerti?”
Zuri mendongak sekilas, lalu menunduk cepat. “Aku mengerti,” gumamnya, suaranya tenggelam.
“Bagus.” Axel mengusap kepala Zuri sekilas—sentuhan yang terasa seperti perintah, bukan kelembutan. “Sampai bertemu dua puluh menit lagi.” Dia berbalik, langkahnya tegas meninggalkan ruangan.
Zuri menghela napas kasar, dadanya sesak. Kehadiran Axel membuatnya sulit bernapas, seperti udara di sekitarnya dipenuhi tekanan.
Tidak lama, seorang wanita paruh baya dengan jeans dan cardigan masuk, tersenyum lembut. “Nona Zuri, ayo ganti pakaianmu,” katanya.
Zuri mengangguk lemah. Dia menyerah. Mengikuti perintah Axel untuk memalsukan kebahagiaan di hadapan tamu, wajib dilakukan. Hari itu berlalu dengan kepura-puraan yang menguras tenaganya, tapi dia bertahan.
Malam harinya, Zuri tiba di rumah pribadi Axel. Kemegahan bangunan itu mencolok, penuh kemewahan di setiap sudut yang jelas terpampang di depan matanya.
Dia berdiri kaku di tengah ruangan kamar, pikirannya melayang pada Elysia yang pernah menikmati semua ini sebelum meninggalkannya untuk menggantikan posisi itu—menjadi istrinya Axel.
“Kita tetap berbagi kamar layaknya suami istri,” kata Axel tiba-tiba, suaranya memotong lamunan Zuri. Dia masuk, jari-jarinya membuka kancing kemeja pernikahan yang warnanya serasi dengan gaun Zuri. “Jangan lupakan tujuanku menikahimu. Berhenti menatapku seolah aku tidak berhak ada di sini.”
Zuri tersentak. Dia tidak sedang menatap Axel—pandangan mereka hanya bertemu secara tidak sengaja saat pria itu masuk. Axel menghempaskan diri ke tempat tidur, sikapnya santai tapi mengintimidasi.
Setelah mandi, Zuri kembali ke kamar. Axel sudah tertidur, miring ke kanan dengan kaus tipis putih dan celana panjang yang sama. Kemeja pernikahannya terlempar sembarangan di ranjang. Zuri berdiri membeku, bingung. Tidak ada sofa di kamar ini, dan dia terlalu takut untuk bergabung bersama Axel.
Memilih duduk di lantai beralas ambal berbulu cokelat, Zuri berada di sisi berlawanan dari Axel. Ada keinginan untuk berbaring di kasur yang sama, tapi ketakutan menguasainya.
Bagaimana jika Axel terbangun dan salah paham? Bagaimana kalau pria itu mengira dia siap memenuhi tujuannya malam ini? Zuri hanya bisa berharap dalam hati agar Axel tidur nyenyak sampai pagi.
Namun, kelelahan menyeretnya. Zuri terkulai di ambal itu, tertidur dalam posisi kaku. Fisik dan batinnya sudah di ambang batas.
***
Begitu pagi datang, sinar matahari menyelinap dari tirai, menusuk mata Zuri. Dia membuka mata perlahan, keningnya berdenyut pusing. Axel berdiri di dekat jendela, menyibak tirai dengan sengaja.
“Hei, jangan malas! Bangun dan kerjakan tugasmu,” bentaknya keras.
Zuri tersentak, buru-buru menyibak selimut yang entah kapan menutupinya. Dia tersandung ambal saat bangkit, tapi berhasil berdiri tegak. Kepalanya masih berputar pusing. Axel pasti mengangkatnya ke kasur, dia yakin itu meski ingatannya kabur.
“Aku cuma mau sarapan oatmeal dengan potongan pisang dan secangkir teh putih!” teriak Axel, suaranya menggema meski Zuri masih di dekatnya.
Zuri mengangguk cepat, tidak berani membantah. Pikirannya bertanya, apakah Axel juga sekeras ini pada Elysia? Jika iya, mungkin itu pemicu kakaknya melarikan diri, meski Elysia pernah mengaku mereka saling mencintai.
Di dapur, seorang wanita paruh baya—mungkin juru masak—menyambutnya dengan senyum tipis.
“Biar aku yang siapkan,” kata Zuri, membalas senyum itu sekilas.
“Baik, Nyonya. Panggil aku jika butuh sesuatu. Aku di halaman samping,” jawab wanita itu sebelum pergi.
Menyiapkan sarapan yang diinginkan oleh Axel tidak sulit sama sekali—semua bahan tersedia. Tapi saat Zuri kembali ke ruang makan, Axel muncul di ambang pintu.
“Ganti pakaianmu sekarang,” katanya tajam. “Semalam aku hampir kehilangan kendali karena apa yang kau kenakan.”
Zuri membeku. Wajahnya memucat, tubuhnya spontan bergetar. Dia masih memakai gaun tidur tipis dari semalam. “A-akan kuganti sekarang,” katanya cepat, sambil bergegas ke kamar.
Axel menyandarkan diri di kusen, menatap kepergian Zuri dengan ekspresi dingin. Dia menahan tawa melihat kepanikan wanita itu, tapi memilih diam. Setelah duduk di kursi meja makan, dia menunggu dengan sengaja untuk mencari celah memarahi Zuri lagi.
Zuri kembali dengan kaos putih dan celana longgar hitam, pakaian yang jelas dipilih untuk menghindari perhatian Axel. Pria itu mendengus, tapi tidak berkomentar.
Saat Zuri meletakkan sarapan, tangannya tergelincir. Gelas panjang berisi air tersenggol, tumpah membasahi kemeja Axel sampai ke bagian bawah.
“Axel, maaf!” Zuri buru-buru mengambil kain lap bersih, wajahnya pucat pasi. “Aku akan ambil pakaian—”
“Tidak usah!” Axel berdiri, menahan amarah. Cepat melepas kemejanya, lalu melemparkannya ke arah Zuri. Kain basah itu mendarat di kepala Zuri, menutupi wajah.
Zuri diam, tubuhnya kaku. Menurunkan kemeja itu perlahan dari wajahnya. Meremas kain dengan gemetar hebat.
Axel menatap Zuri yang entah bergumam apa. Keningnya seketika berkerut. “Bicara yang jelas!” bentaknya.
“Maaf, Axel,” jawab Zuri pelan, mendongak sekilas. “Aku akan ambil kemeja lain. Boleh aku cek lemari pakaianmu?”
Axel mendengus keras. “Tidak perlu. Bersihkan ini semua. Jangan panggil Dottie. Tugasmu cuma melakukan apa yang kuperintahkan.” Dia berbalik, meninggalkan Zuri dengan tubuh setengah telanjang, celana kerjanya sedikit basah.
“Ya. Kau … dan bayi kita.”Mereka tertawa pelan, serentak.“Axel?”“Hm?”“Aku tidak pernah menyangka … bisa tertawa bebas tanpa beban di hadapanmu seperti ini. Padahal dulu aku pikir aku harus lari darimu selamanya setelah perjanjian kita berakhir.”Axel diam sejenak. “Aku pun dulu berpikir aku harus memilikimu dengan cara apa pun. Tapi ternyata … aku baru benar-benar memilikimu ketika kau memilih sendiri untuk tetap tinggal.”Zuri memejamkan mata, bersandar sepenuhnya pada dada Axel.***Hujan gerimis turun pagi itu. Aroma antiseptik, suara langkah kaki tergesa, dan detak jantung Zuri yang tidak karuan memenuhi ruang bersalin. Tangannya mencengkeram kuat jari-jari Axel yang kini pucat karena terlalu erat digenggam.“Axel ...” Suaranya lemah, namun matanya penuh keberanian. “Jika sesuatu terjadi padaku ... jaga dia baik-baik.”Axel menggeleng cepat, menunduk mencium kening Zuri yang basah oleh keringat. “Jangan berkata seperti itu. Kau akan baik-baik saja, Sayang. Aku bersamamu. Selal
Axel membantu Zuri duduk tegak kembali, sementara dia perlahan berlutut di hadapan si istri.“Karena aku ingin kau memilihku. Dengan sadar. Walau setelah semua yang kulakukan, mungkin aku tidak pantas. Tapi kalau kau tanya kenapa aku pertemukan kalian sekarang, kenapa aku membawamu kemari dengan menampilkan sesuatu yang lain, karena aku ingin kau tahu semuanya. Dan kalau kau pergi setelah ini ... aku tidak akan menghalangimu.”Suara Axel tak lagi tegas. Seakan terasa retak. Nyaris putus.“Kau bebas pergi, Zuri. Semua utang Elysia padaku, kuanggap lunas. Aku akan selesaikan semuanya. Kau tak perlu mengganti rugi, tak perlu melahirkan pewaris untukku, akan kuhancurkan semua perjanjian di antara kita, dan kau juga tidak perlu lagi tinggal bersamaku. Tapi kalau kau tetap memilih di sini … aku akan memperbaiki segalanya. Aku akan berhenti jadi pria gila yang mencoba mengikatmu dengan cara terkutuk. Aku akan belajar jadi suami yang layak.”Keheningan kemudian begitu menyiksa bagi Axel. Sang
Hadapi!Zuri menangkap bahwa maksud ucapan Axel adalah tentang Thalia dan Jaxon, tapi kenapa … kenapa Elysia ada di sini sekarang? Kenapa kakaknya itu kini tergesa menghampirinya?“E-Elysia—”“Zuri!” Bukannya memeluk, Elysia mencengkeram kedua pundak adiknya dengan raut wajah pucat. “Jangan percaya apa pun. Jangan percaya padanya.”Dengan raut kebingungan, Zuri menatap ke arah pintu kamar yang terbuka. Axel di sana, baru saja mendorong pintu agar terbuka lebar.Elysia panik saat menyadari kehadiran Axel, namun langsung melepas cengkeramannya pada Zuri, berjalan cepat menuju ke arah pria itu berada.Mencengkeram jas Axel sambil mengguncangnya kuat, walau hampir tidak memberi pengaruh apa pun pada pria itu. Axel memilih menatap Zuri yang bingung, shock dan jelas gemetar.“Kau … lepaskan kami! Aku tahu kau sengaja menjebakku untuk mencuri semua uang dan perhiasan ibumu, agar aku kacau dan melarikan diri entah ke mana!” teriak Elysia. “Dan kau memaksa adikku untuk menikah denganmu? Menang
Zuri menahan napas, sentuhan Axel datang begitu cepat. “Tidak,” jawabnya singkat, berusaha tegas.“Kau yakin?” Axel mengecup pundak kanan Zuri, suaranya menggoda, membuat tubuh wanita itu menegang.Zuri mengangguk, berusaha meyakinkan diri sendiri. Jaxon bertingkah di luar kebiasaan mungkin karena Zuri mengecewakan pria itu, melukai begitu dalam.Mereka bersama hampir dua tahun, Zuri mengenal keluarga Jaxon, yang menerimanya meski ia yatim piatu tanpa harta. Rumah peninggalan orang tua Zuri dan Elysia telah disumbangkan untuk dapur darurat saat wabah menyerang Village. Kebun stroberi kecil milik orang tua mereka juga musnah saat itu.“Apa jawabanmu selalu semahal itu?” tanya Axel, suaranya tiba-tiba tegas, menarik Zuri dari lamunan.Zuri tersentak, belum mampu menjawab, masih terlena oleh belaian Axel.“Jangan biarkan aku menunggu jawabanmu sampai kau tertidur, Zuri,” lanjut Axel, nadanya bukan peringatan santai, melainkan perintah.Zuri bergidik, buru-buru menjawab, “Aku … aku yakin
Zuri mengerang, nyaris kenapasan napas. Tangannya mencengkeram pundak Axel lebih erat, kewanitaannya berdenyut.Axel mempercepat gerakan, air memercik ke lantai marmer, lilin-lilin berkedip karena hembusan udara.“Bergerak lebih cepat, Zuri,” gumam Axel, nadanya tegas. “Aku mau kau patuh. Tunjukkan kalau kau milikku.” Ia mengubah posisi, menarik Zuri kembali ke dalam air, memutar tubuh Zuri hingga si istri membelakanginya.Tangan Zuri mencengkeram tepi bak. Axel masuk lagi dari belakang, dorongannya lebih dalam, air hangat memperkuat gesekan kejantanannya di kewanitaan sang istri.“A-aku … Axel—oh, aku … hampir,” desah Zuri, serak dengan tubuh yang menegang, orgasme keduanya mendekat.“Tahan sedikit lagi, Zuri. Akan kuberitahu saat aku mendapatkannya lebih dulu,” bisik Axel, tak lupa menjilati sisi samping wajah wanitanya.Dorongan semakin cepat, air beriak keras. “Oke. Kau boleh keluar sekarang.” Seketika Zuri menjerit, orgasmenya meledak, cairan kenikmatannya membasahi kejantanan A
Zuri menatap telapak tangan Axel yang besar dan hangat, teringat sentuhannya.“Atau mau kugendong hingga ke kamar mandi?” tambah Axel, nadanya menggoda.Zuri mengangguk segera, percuma saja merasa malu. Axel akan tetap seperti ini setiap hari, bahkan sering memakaikan pakaian untuknya saat ada waktu luang.Axel berjongkok, memunggungi Zuri. “Naiklah. Kita harus mencoba banyak hal,” katanya.Zuri naik ke punggung Axel, merasa suaminya itu baik hati dengan niat tertentu. Dalam suasana nyaman ini, ia yakin siapa pun istrinya Axel akan dengan senang hati mengandung berkali-kali.Jadi, ya nikmati saja. Zuri pikir begitu. Tidak ada yang dirugikan, semua setimpal.“Bagaimana hubunganmu dengan Jaxon Holt?” tanya Axel tiba-tiba.Zuri tersentak. Ia pikir Axel menikmati saat menghancurkan harga diri Jaxon dulu, mungkin masih teringat tindakan heroiknya itu saat di kafe pertama kali mereka bertemu.“Seperti yang kau lihat. Sekarang kami asing satu sama lain,” jawab Zuri. Dari balik punggung Axel,