Zuri menunduk, menahan sakit hati. Bukankah Axel yang menuntut keturunan darinya? Lalu apa maksud perkataan itu? Menghela napas, coba menenangkan diri dengan tidak memedulikan hinaan Axel padanya. “Jadi apa salahku?”
Axel Nightvale menatap Zuri dengan ekspresi dingin. “Pikirkan sendiri,” katanya ketus, lalu bangkit. Dia kesal—pada Zuri, tapi lebih lagi pada dirinya sendiri.
Zuri bergeser gelisah di kursinya, tubuhnya kaku. Axel memperhatikan. Merasa ragu wanita itu bisa memenuhi tujuannya dalam waktu dekat. Tapi tidak masalah. Dia berniat memanfaatkan Zuri dengan caranya sendiri, mulai malam ini. Tunggu saja.
“Ayo pulang,” perintahnya, melirik pintu rumah bibi Isolde tanpa maksud, tapi punya firasat.
Zuri menoleh. “Kau sudah selesai?”
“Memangnya kau mau apa dariku?” Axel balas bertanya, sengaja membuat Zuri terpojok. Dia ingin wanita itu merasa tak berdaya, meski hanya untuk kepuasannya sendiri.
Zuri gugup, tangannya mencengkeram tepi kursi.
Ketakutan itu lagi—tapi Axel yakin bukan dirinya yang ditakuti. Mungkin kesalahan kecil Zuri sendiri yang menghantui wanita itu sejak pernikahan ini dimulai. Tapi sungguh, dia tidak peduli.
Zuri menggeleng pelan, menandakan tidak ada yang diinginkan. Axel mengabaikannya, berjalan ke mobil yang dia kemudikan sendiri. Cole mendekat saat pintu pengemudi dibuka.
“Tuan, Anda tidak pulang bersama Nyonya?” tanya Cole.
Axel menggeleng. “Antar dia pulang. Aku ke rumah ibuku dulu.” Dia masuk, membanting pintu. Sekilas, melihat Zuri berjalan dua langkah ke arah mobilnya, tapi Cole menahan Zuri tetap di sana. Mereka berbicara singkat, dan mata jernih Zuri menatap mobil Axel yang melaju pergi.
Lima belas menit dari pusat kota Valmont, rumah ayah dan ibunya Axel terletak di pinggir pantai Azure Bay terlihat megah—seperti kastil terbesar di kota itu. Keluarga Nightvale terkenal kaya, katanya tidak habis tujuh generasi. Axel mendengus. Itu berlebihan. Di masa ayahnya, mungkin benar, tapi sejak dia memimpin, semuanya menurun. Sepupu-sepupunya ikut campur, dan ayahnya membiarkan posisinya melemah—hanya karena dia belum punya keturunan.
Pintu gerbang tinggi didorong terbuka oleh Zephyr Dusk, penjaga rumah. Pria itu menunduk kaku, tersenyum tipis. Axel tahu Zephyr tidak menyukainya—dari masalah lama yang tak dia pedulikan. Orang tuanya menganggap Zephyr seperti anak sendiri, bahkan membiayai hidupnya. Axel tidak pernah terima itu, namun sedari dulu, dia tidak mau mempermasalahkannya.
Ibu menyambutnya di ruang tamu, sedikit terkejut. “Sudah makan siang?” tanyanya.
“Sudah,” jawab Axel datar, duduk di sofa. Teman-teman ibunya—sekumpulan wanita norak—duduk di lantai beralas bulu mahal, koleksi ibunya yang menurut Axel sia-sia. Beberapa dari mereka meliriknya, sementara yang lain sibuk menyulam.
“Camilan sudah siap. Tunggu di ruang makan, ya?” kata ibu pada teman-temannya, mengusir mereka dengan halus. Enam wanita itu bergerak hampir bersamaan, meninggalkan Axel dan ibunya.
“Perhiasan Ibu sudah kembali?” tanya Axel saat ibu duduk di sisinya.
“Sudah. Kemarin, pelayan di rumahmu mengaku. Dia mengembalikan semuanya dan bersedia dituntut.”
Axel mengangguk. Hukuman tidak penting—yang dia mau sudah didapatkannya.
“Aku tidak memenjarakannya, tapi meminta dia untuk tidak muncul lagi di depan keluarga kita,” lanjut ibunya.
Axel mengangguk lagi, tak peduli. Yang dia mau cuma menyampaikan ini. “Jangan ganggu Zuri.”
“Kau pikir aku akan mengganggunya karena dia adik Elysia?” Keterkejutan di wajah ibu sangat jelas, apalagi dari suaranya.
“Intinya, jangan libatkan dia dalam urusan apa pun. Tidak boleh memintanya untuk datang ke sini atau kunjungan ke rumahku tanpa izinku dariku terlebih dulu.”
Ibu terdiam, mulutnya terbuka kaget. Dia menghela napas, memejamkan mata sejenak—mungkin kecewa. Axel tak peduli. Orang tuanya selalu lebih berpihak pada Zephyr ketimbang dia, putra kandung mereka. Hal itu saja sudah cukup menciptakan jarak di antara mereka selama ini. Jadi wajar sekarang ketika dia meminta ibunya untuk tidak ikut campur dalam pernikahan keduanya.
“Baiklah, aku mengerti,” kata ibunya pelan. “Tapi apa kau memaksa Zuri untuk menikah denganmu?”
“Tidak.” Axel menggeleng tegas. “Zuri mencintaiku. Dia menjadi istriku dengan sukarela.”
Ibu mengangguk ragu. Axel tidak ambil pusing—keraguan orang lain biasa baginya. Dia tidak hidup untuk mereka, apalagi memenuhi ekspektasi siapa pun terhadap dirinya.
“Semoga dia tak mengecewakanmu seperti Elysia,” kata ibu. “Bukan karena mereka adik-kakak, tapi aku harap kau mencintai salah satu saja dari kedua wanita itu.”
Axel diam. Ibunya benar—hanya satu yang dia inginkan. Tapi kini, dia tidak yakin pada keduanya. Dia butuh wanita yang menjadikannya sebagai raja, penguasa hidupnya—bukan sekadar formalitas yang menuntut lebih.
“Dia tidak akan mengecewakan. Aku kenal Zuri dengan baik,” katanya cepat, ingin mengakhiri percakapan mereka. “Aku harus kembali. Sampai nanti, Bu.” Axel bangkit, berjalan keluar ruangan.
“Sampai nanti. Berhati-hatilah saat berkendara,” jawab ibunya, sambil melambaikan tangan.
Axel membalas singkat, lalu melangkah keluar. Di dekat pintu, sebuah suara menghentikannya.
“Axel, kaukah itu?”
Dia menoleh. Aurelia Storm—wanita tinggi ramping, anak dari teman ibunya dan teman sekolahnya dulu—berdiri di samping mobilnya, tersenyum lebar. Senyum yang sama seperti waktu itu.
***
Mobil yang membawa Zuri melaju pelan ketika sebuah kecelakaan kecil terjadi di depan mereka, hanya berjarak sepuluh meter dari tempatnya berada.
Memanjangkan leher, Zuri berusaha melihat kejadian itu. Matanya menangkap wajah tidak asing—Margot Holt, adik bungsu Jaxon Holt.
“Aku akan turun. Tunggu sebentar,” katanya pada Cole sebelum membuka pintu.
“Baik, Nyonya,” jawab Cole. Dia ikut turun, mengikuti Zuri dari belakang dengan langkah hati-hati.
Mendekati kerumunan, Zuri melihat Margot meringis di samping sepedanya yang rusak, ditabrak dari belakang oleh pengemudi yang langsung melarikan diri.
Zuri bergegas ke sisi gadis itu, memegang lengan Margot dengan penuh perhatian. “Margot, kau tidak apa-apa?”
Margot menoleh. Matanya yang bulat membesar sejenak, lalu wajahnya berubah muram. Dia menarik lengannya kasar dari pegangan Zuri, mengusap kulitnya seolah membersihkan kotoran, dan memalingkan muka. “Menjijikkan,” desisnya pelan.
Zuri mendengar jelas. Dia diam, menahan luka di hatinya. Beberapa waktu lalu sebelum hubungannya dengan Jaxon berakhir, Margot tidak pernah bersikap seperti ini.
“Nyonya, Anda mengenalnya?” Cole bertanya
Pertanyaan Cole membuat Zuri tersentak. “Ya, begitulah.” Sambil tersenyum tipis tanpa kehangatan, dia mengangguk pelan.
Margot sudah berjalan pergi, dibantu seseorang yang menuntun sepedanya menuju toko roti di seberang jalan.
“Ayo, kita pulang,” kata Zuri, berbalik dengan langkah pelan. Mencoba mengabaikan perasaan pahit itu. Hubungan baik dengan keluarga Holt sudah hilang, dan dia tahu itu takkan kembali lagi.
Tiba-tiba, Zuri berhenti. Jaxon Holt keluar dari mobilnya, berlari dengan wajah penuh kekhawatiran mencari adiknya. Zuri terpaku. Haruskah dia menghampiri pria itu dan memberitahu keberadaan Margot?
“Nyonya, Tuan Axel meminta Anda segera pulang,” tegur Cole, mengingatkan.
Zuri mendengar peringatan Cole, tapi pikirannya terpaku pada Jaxon. Tanpa sadar, kakinya melangkah kembali ke arah kerumunan. Jaxon berdiri di tepi jalan, menempelkan ponsel ke telinga, berbicara dengan beberapa orang di sekitar lokasi kecelakaan.
“Nyonya?” panggil Cole lagi.
Zuri tersentak, kembali pada kenyataan—menyadari posisinya saat ini. Namun saat Jaxon menoleh, mata mereka bertemu. Hanya sepersekian detik. Zuri ingin tersenyum lembut seperti dulu, tapi Jaxon langsung memalingkan wajah dan berjalan menjauh.
“Kenapa masih di sini?” Suara dingin di belakangnya menghapus bayangan Jaxon dari pikiran Zuri.
“Ya. Kau … dan bayi kita.”Mereka tertawa pelan, serentak.“Axel?”“Hm?”“Aku tidak pernah menyangka … bisa tertawa bebas tanpa beban di hadapanmu seperti ini. Padahal dulu aku pikir aku harus lari darimu selamanya setelah perjanjian kita berakhir.”Axel diam sejenak. “Aku pun dulu berpikir aku harus memilikimu dengan cara apa pun. Tapi ternyata … aku baru benar-benar memilikimu ketika kau memilih sendiri untuk tetap tinggal.”Zuri memejamkan mata, bersandar sepenuhnya pada dada Axel.***Hujan gerimis turun pagi itu. Aroma antiseptik, suara langkah kaki tergesa, dan detak jantung Zuri yang tidak karuan memenuhi ruang bersalin. Tangannya mencengkeram kuat jari-jari Axel yang kini pucat karena terlalu erat digenggam.“Axel ...” Suaranya lemah, namun matanya penuh keberanian. “Jika sesuatu terjadi padaku ... jaga dia baik-baik.”Axel menggeleng cepat, menunduk mencium kening Zuri yang basah oleh keringat. “Jangan berkata seperti itu. Kau akan baik-baik saja, Sayang. Aku bersamamu. Selal
Axel membantu Zuri duduk tegak kembali, sementara dia perlahan berlutut di hadapan si istri.“Karena aku ingin kau memilihku. Dengan sadar. Walau setelah semua yang kulakukan, mungkin aku tidak pantas. Tapi kalau kau tanya kenapa aku pertemukan kalian sekarang, kenapa aku membawamu kemari dengan menampilkan sesuatu yang lain, karena aku ingin kau tahu semuanya. Dan kalau kau pergi setelah ini ... aku tidak akan menghalangimu.”Suara Axel tak lagi tegas. Seakan terasa retak. Nyaris putus.“Kau bebas pergi, Zuri. Semua utang Elysia padaku, kuanggap lunas. Aku akan selesaikan semuanya. Kau tak perlu mengganti rugi, tak perlu melahirkan pewaris untukku, akan kuhancurkan semua perjanjian di antara kita, dan kau juga tidak perlu lagi tinggal bersamaku. Tapi kalau kau tetap memilih di sini … aku akan memperbaiki segalanya. Aku akan berhenti jadi pria gila yang mencoba mengikatmu dengan cara terkutuk. Aku akan belajar jadi suami yang layak.”Keheningan kemudian begitu menyiksa bagi Axel. Sang
Hadapi!Zuri menangkap bahwa maksud ucapan Axel adalah tentang Thalia dan Jaxon, tapi kenapa … kenapa Elysia ada di sini sekarang? Kenapa kakaknya itu kini tergesa menghampirinya?“E-Elysia—”“Zuri!” Bukannya memeluk, Elysia mencengkeram kedua pundak adiknya dengan raut wajah pucat. “Jangan percaya apa pun. Jangan percaya padanya.”Dengan raut kebingungan, Zuri menatap ke arah pintu kamar yang terbuka. Axel di sana, baru saja mendorong pintu agar terbuka lebar.Elysia panik saat menyadari kehadiran Axel, namun langsung melepas cengkeramannya pada Zuri, berjalan cepat menuju ke arah pria itu berada.Mencengkeram jas Axel sambil mengguncangnya kuat, walau hampir tidak memberi pengaruh apa pun pada pria itu. Axel memilih menatap Zuri yang bingung, shock dan jelas gemetar.“Kau … lepaskan kami! Aku tahu kau sengaja menjebakku untuk mencuri semua uang dan perhiasan ibumu, agar aku kacau dan melarikan diri entah ke mana!” teriak Elysia. “Dan kau memaksa adikku untuk menikah denganmu? Menang
Zuri menahan napas, sentuhan Axel datang begitu cepat. “Tidak,” jawabnya singkat, berusaha tegas.“Kau yakin?” Axel mengecup pundak kanan Zuri, suaranya menggoda, membuat tubuh wanita itu menegang.Zuri mengangguk, berusaha meyakinkan diri sendiri. Jaxon bertingkah di luar kebiasaan mungkin karena Zuri mengecewakan pria itu, melukai begitu dalam.Mereka bersama hampir dua tahun, Zuri mengenal keluarga Jaxon, yang menerimanya meski ia yatim piatu tanpa harta. Rumah peninggalan orang tua Zuri dan Elysia telah disumbangkan untuk dapur darurat saat wabah menyerang Village. Kebun stroberi kecil milik orang tua mereka juga musnah saat itu.“Apa jawabanmu selalu semahal itu?” tanya Axel, suaranya tiba-tiba tegas, menarik Zuri dari lamunan.Zuri tersentak, belum mampu menjawab, masih terlena oleh belaian Axel.“Jangan biarkan aku menunggu jawabanmu sampai kau tertidur, Zuri,” lanjut Axel, nadanya bukan peringatan santai, melainkan perintah.Zuri bergidik, buru-buru menjawab, “Aku … aku yakin
Zuri mengerang, nyaris kenapasan napas. Tangannya mencengkeram pundak Axel lebih erat, kewanitaannya berdenyut.Axel mempercepat gerakan, air memercik ke lantai marmer, lilin-lilin berkedip karena hembusan udara.“Bergerak lebih cepat, Zuri,” gumam Axel, nadanya tegas. “Aku mau kau patuh. Tunjukkan kalau kau milikku.” Ia mengubah posisi, menarik Zuri kembali ke dalam air, memutar tubuh Zuri hingga si istri membelakanginya.Tangan Zuri mencengkeram tepi bak. Axel masuk lagi dari belakang, dorongannya lebih dalam, air hangat memperkuat gesekan kejantanannya di kewanitaan sang istri.“A-aku … Axel—oh, aku … hampir,” desah Zuri, serak dengan tubuh yang menegang, orgasme keduanya mendekat.“Tahan sedikit lagi, Zuri. Akan kuberitahu saat aku mendapatkannya lebih dulu,” bisik Axel, tak lupa menjilati sisi samping wajah wanitanya.Dorongan semakin cepat, air beriak keras. “Oke. Kau boleh keluar sekarang.” Seketika Zuri menjerit, orgasmenya meledak, cairan kenikmatannya membasahi kejantanan A
Zuri menatap telapak tangan Axel yang besar dan hangat, teringat sentuhannya.“Atau mau kugendong hingga ke kamar mandi?” tambah Axel, nadanya menggoda.Zuri mengangguk segera, percuma saja merasa malu. Axel akan tetap seperti ini setiap hari, bahkan sering memakaikan pakaian untuknya saat ada waktu luang.Axel berjongkok, memunggungi Zuri. “Naiklah. Kita harus mencoba banyak hal,” katanya.Zuri naik ke punggung Axel, merasa suaminya itu baik hati dengan niat tertentu. Dalam suasana nyaman ini, ia yakin siapa pun istrinya Axel akan dengan senang hati mengandung berkali-kali.Jadi, ya nikmati saja. Zuri pikir begitu. Tidak ada yang dirugikan, semua setimpal.“Bagaimana hubunganmu dengan Jaxon Holt?” tanya Axel tiba-tiba.Zuri tersentak. Ia pikir Axel menikmati saat menghancurkan harga diri Jaxon dulu, mungkin masih teringat tindakan heroiknya itu saat di kafe pertama kali mereka bertemu.“Seperti yang kau lihat. Sekarang kami asing satu sama lain,” jawab Zuri. Dari balik punggung Axel,