"Mama! Papa Adnan udah datang!"
Teriakan nyaring dari seorang bocah berusia lima tahun itu terdengar begitu lantang. Suri yang mendengar panggilan menggelitik itu lagi-lagi dibuat merengut. Andaru, atau Aru yang ia lahirkan dengan penuh perjuangan lima tahun lalu terus saja menyebut Adnan dengan sebutan Papa, meski berulang kali Suri telah peringati.
"Om Adnan, Aru. Bukan Papa!"
Suri memperingati anak semata wayangnya lagi. Adnan, pria baik hati itu memang tidak pernah marah atau melarang Aru memanggilnya papa. Namun, Suri-lah yang tidak enak hati, sebab nyatanya mereka memang bukanlah sepasang suami istri.
Sayang, bocah itu agaknya lebih patuh pada Adnan, sebab detik berikutnya ia masih saja menyerukan hal yang sama. "Papa Adnan!"
Senyum tipis tercetak di bibir Suri. Tak ia pungkiri, melihat Andaru tetap mendapatkan sosok ayah dari Adnan memang sebuah hal yang patut ia syukuri. Namun, ada rasa bersalah dalam diri Suri ketika melihat senyum anaknya itu. Lima tahun lalu, jika bukan karena Adnan ... Suri mungkin sudah jadi gelandangan yang menyedihkan. Sebatang kara, tanpa pekerjaan dan tanpa rumah. Pun jika bukan karena Adnan yang terus menguatkan, Suri pun tidak yakin sanggup melahirkan Andaru kala itu.
Bagi Suri, masa lalunya begitu menyesakkan. Hamil seorang diri, dengan perasaan kecewa dan marah yang nyaris saja mengorbankan janinnya. Enam tahun lalu, Suri hampir membunuh sosok mungil yang ternyata jadi kekuatannya saat ini.
Seruan pria yang membalas sama antusiasnya menarik kembali Suri dari ingatan kelam masa lalu. Di hadapannya kini ada dua orang pria beda usia yang begitu senang bertemu.
"Hai, Aru!" Adnan berjalan dengan begitu santai sembari mengukir senyum tulusnya pada Andaru.
Andaru yang sudah terbiasa akan kehadiran Adnan di tengah-tengah ia dan Suri pun menyambut pria yang disebutnya papa itu dengan begitu gembira. Bocah itu berlari dan melakukan hi five, sebagaimana kebiasaan mereka.
"Papa Adnan, Mama lagi-lagi ngelarang aku panggil Papa ke Papa Adnan," adunya pada Adnan.
Suri yang mendengar jelas kalimat aduan Andaru itu menggelengkan kepalanya.
"Oh, ya?" Adnan menatap Suri dengan memicingkan mata. Di hadapan dua orang dewasa yang tengah saling tatap itu, Andaru menganggukkan kepalanya. Adnan mengusap kepala Andaru dengan sayang sebelum kembali bersuara. "Kenapa emangnya? Aru boleh kok, panggil Papa sesukanya. Papa suka."
Pipi Suri merona selama beberapa detik. Apalagi, kalimat terakhir itu Adnan ucapkan sambil menatapnya dalam. Wanita single mom itu tahu jika Adnan memang sungguh-sungguh tak keberatan dengan panggilan itu. Ia juga tahu, jika Adnan bahkan rela berkorban lebih jauh jika ia mengizinkan. Hanya saja, setelah kejadian dengan pria brengsek di masa lalu ... Suri jadi lebih hati-hati terhadap kaum lelaki, meskipun ia telah lama mengenal Adnan.
Mereka bertiga memiliki rencana untuk liburan di akhir pekan. Ketiganya melangkah ke mobil Adnan, bak sebuah potret keluarga utuh sungguhan.
"Kamu terlalu memanjakan Aru, Nan!" komentar Suri usai Andaru duduk nyaman di kursi belakang, sementara Adnan menutup pintu belakang itu.
Adnan terkekeh. Ia menatap wajah Suri dengan berani. "Kenapa? Kamu cemburu?" ujar Adnan sembari menahan upaya Suri membuka pintu penumpang depan. Dengusan kemudian Suri hadiahkan untuk kalimat Adnan barusan. Pria hangat yang sudah hafal luar dalam bagaimana sifat Suri itu pun tak marah. Ia justru menjawab dengan lembut. "Jangan galak-galak sama Aru, Ri," ujar Adnan tanpa melunturkan senyumnya.
"Aku cuma nggak mau dia ketergantungan sama kamu lebih dari yang seharusnya."
Adnan menatap sungguh-sungguh ke arah Suri. "Aku suka kalau kamu dan Andaru bergantung sama aku--"
Wanita itu menghela napas dan menghindar saat Adnan berusaha menggenggam tangannya. "Kami udah terlalu merepotkan kamu enam tahun ini, Nan. Aku mau kamu mulai hidupmu sendiri. Menikah, misalnya."
Suri membuang pandangannya dari Adnan. Wanita itu enggan menambah rasa tidak enak hatinya melihat Adnan yang teguh pendirian untuk mengejarnya. Selama hampir sepuluh tahun mereka saling mengenal, ia sudah mengetahui ketertarikan Adnan terhadapnya.
Sementara itu, Adnan tidak kehabisan akal. Pria itu kembali meraih kedua tangan Suri dan menggenggamnya penuh keyakinan. "Menikahlah denganku, Suri!"
Tubuh Suri mendadak kaku. Meski ia bisa tahu perasaan Adnan padanya, tetapi inilah kali pertama pria itu mengungkapkannya secara langsung.
Rasa bersalah kemudian menggelantungi Suri semakin berat. Pandangannya yang buram karena haru dan juga sedih menyeruak tanpa bisa dicegah.
"Nan ... Masih banyak wanita lain yang lebih pantas buat kamu."
"Dan nggak semua pria bajingan, Ri. Dan kamu berhak mendapatkannya."
Saling sahut-menyahut itu terjadi begitu cepat. Suri, seorang ibu tunggal untuk Andaru jelas merasa rendah diri jika bersanding dengan Adnan. Belum lagi, background Adnan yang masih satu keluarga dengan pria yang menyakitinya dulu, yang membuat keengganan Suri membuka hati untuk Adnan semakin kuat.
Suri tidak siap menerima Adnan, karena bisa jadi ia akan lebih sering bertemu pria brengsek itu di kemudian hari. Ditambah lagi, jika pria itu tahu kalau Andaru adalah anak mereka yang Suri sembunyikan keberadaannya ... bahkan sejak bocah itu hadir di dalam perutnya, enam tahun lalu.
"Jangan mulai, Nan." Suri melepaskan genggaman tangan Adnan dengan hati-hati. "Kamu udah janji buat nggak memaksaku," lanjut Suri mengingatkan kembali obrolan mereka beberapa tahun lalu.
Enam tahun lalu, saat Suri meninggalkan apartemen suami sirinya, Adnan tiba-tiba datang menawarkan sebuah solusi. Suri yang enggan memiliki hutang budi pada Adnan yang begitu baik padanya, lantas membuat sebuah permintaan. Salah satunya bahwa Adnan tidak akan memaksa Suri untuk menjadi miliknya.
Hati Suri makin mencelos saat melihat lagi-lagi Adnan tersenyum di hadapannya, padahal ia baru saja menolak ajakan pria itu untuk menikah.
"Kalau kamu tutup mata dengan hal yang berkaitan padamu, coba lihat Andaru." Adnan mengedikkan kepalanya, menunjuk Andaru yang telah duduk rapi di dalam mobil. "Sampai kapan kamu mau membohongi dia kalau papanya sedang bekerja, padahal jelas-jelas dia sudah berbahagia dengan wanita lain?"
Suri ternyata gagal move on😴😴😴
"Waktunya makan malam." Suri mendongak sekilas dari laptop yang ada di hadapannya--ia sedang merapikan agenda untuk esok hari. Menatap sesosok pria beriris hitam legam yang muncul di pintu kamarnya, wanita itu menjawab, "Sebentar lagi aku turun." Adnan mengangguk kecil dan pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Suri menghela napas. Hubungannya dengan sang suami belum membaik sejak pindah ke rumah Prabu seminggu yang lalu. Ia masih marah karena dipaksa pindah. Sementara Adnan menyimpan kecewa karena dirinya meminta pisah kamar. Menyusul Adnan tak lama kemudian, Suri menemukan tiga sosok laki-laki berbeda generasi yang telah duduk menempati meja makan besar. Di kepala meja, duduk sang tuan rumah. Diapit oleh Adnan di sisi kanan dan Andaru di sisi kiri. Suri masih bisa menangkap obrolan sang tuan rumah dengan Andaru tentang acara ulang tahun sekolahnya yang akan diadakan akhir minggu ini. Terdengar suara Adnan yang menimpali. "Mama!" Selalu, hanya Andaru yang akan menyapanya dengan ri
Sudah lebih dari dua jam sejak Adnan membawa Andaru pergi. Tidak ada kabar apa pun setelahnya. Karena Suri tidak berusaha menanyakannya lewat telepon meskipun ia ingin sekali. Dan tampaknya Adnan juga tidak terpikir untuk mengabarkan apa-apa tentang pertemuan pertama Andaru dengan Prabu Danuarta tanpa dirinya itu.'Ya Tuhan, kenapa mereka lama sekali?' batin Suri yang ke sekian kali.Dengan hati yang gelisah, diremas-remasnya ujung baju yang ia kenakan hingga kusut. Suri menyesali pilihannya untuk tidak ikut serta dan sekarang hanya bisa menunggu kepulangan anak dan suaminya dalam harap-harap cemas.Ketika kesabaran tinggal seujung kuku dan yang ditunggu masih tak kunjung datang, Suri membulatkan tekad untuk menyusul mereka sebentar lagi.Suara samar dari pintu yang dibuka membuat Suri yang sejak tadi mondar-mandir di ruang tamu bergegas menyongsong ke arah pintu.Wanita itu mengernyitkan kening. Kebingungan melihat Adnan datang sendirian. Padahal, tadi berangkat bertiga dengan Andaru
Membawa Andaru bertemu Prabu sebenarnya belum ada dalam agenda Adnan dalam waktu dekat. Awalnya, Adnan ingin lebih dulu mengantongi restu sebelum memperkenalkan Andaru--cicit pertama di keluarga Danuarta --kepada sang Kakek.Tetapi Suri malah mengacaukan semuanya. Tindakan Suri tempo hari membuat Adnan terlampau kecewa. Biasanya, tanpa kata maaf pun kekesalannya mudah mereda. Tetapi kali ini lain. Rasanya terlalu menyakitkan mendengar dengan telinganya sendiri ketika Suri bicara di depan Kakek, berniat mencampakkan dirinya demi menyelamatkan diri. Adnan mungkin sebenarnya sudah tahu kalau selama ini Suri belum benar-benar memberikan hatinya. Kapan saja Duri bisa berubah pikiran dan meninggalkan dirinya. Adnan hanya tidak mengira kalau waktu itu datang begitu cepat. Semakin ia merasa terkhianati karena Suri telah sempat berjanji tentang berjuang bersama menghadapi Prabu Danuarta."Andaru.. anak itu benar darah dagingmu?" tanya Prabu."Kakek juga butuh bukti tes DNA atau bagaimana?" A
Suri tidak begitu kaget mengetahui Adnan marah padanya sampai berhari-hari setelah apa yang terjadi di rumah Prabu Danuarta. Saat dalam keadaan terpojok kemarin, pikiran negatif mengambil alih akal sehatnya hingga berpikir bahwa meninggalkan Adnan adalah pilihan paling tepat. Itu sama saja dengan mengulangi siklus yang sama ketika ia dihadapkan pada situasi sulit dulu.Bedanya, ketika bersama Pram, ia benar-benar tidak yakin bisa menggantungkan harapannya. Sedangkan bersama Adnan, ada harapan-harapan yang menunggu diwujudkan. Sebab, mereka sudah berjanji untuk saling memperjuangkan."Suri, hari ini saya mau makan siang dengan Adnan. Tolong reservasi tempat di restoran biasa, ya," pinta Farah yang menghubungi lewat telepon di meja kerja."Maaf, Bu, apa saya juga perlu menghubungi Pak Adnan terlebih dahulu untuk--""Oh, nggak perlu. Saya udah ngabarin Adnan, kok."Suri hampir mendesah kecewa. Tadinya, ia mau memanfaatkan kesempatan untuk bicara dengan Adnan setelah beberapa hari terakhi
"Ri, kamu keluar dulu," ucap Adnan dengan suara bergetar menahan amarah. "Biar aku yang bicara--" "Enggak, kamu yang keluar, Nan." "Ri...." "Tolong, Nan. Sebentar saja. Biar aku yang bicara sama kakek kamu," tukas Suri tegas. "Janji sama aku, kamu nggak akan masuk dulu sampai aku keluar dari ruangan ini." Ia melepas genggaman tangan Adnan dan bergeser lebih maju. Mengabaikan kekagetan yang tergambar di wajah suaminya. "Berapa banyak yang Adnan tawarkan padamu? Saya bisa kasih yang jauh lebih banyak kalau kamu meninggalkan anak bodoh itu," ucap Prabu Danuarta dingin. Keangkuhannya membuat Suri bergidik. "Adnan tidak menawarkan apa pun selain kehidupan rumah tangga yang--" "Jangan membual tentang hal-hal seperti cinta dan kebahagiaan di depan muka saya," decih Prabu Danuarta. "Sebut saja nominal yang kamu mau, saya bisa langsung mengirimkannya detik ini juga." "Anda mungkin sulit untuk percaya, tapi saya menikah dengan Adnan bukan karena melihat harta yang keluarganya miliki," b
"Kalau sedang marah, Kakek memang kadang agak merepotkan," ujar Adnan ketika menyadari ada kekagetan yang tergambar di wajah istrinya. 'Agak, katanya?' Di mata Suri, ini sudah di luar nalar. Banyak pecahan beling yang berasal dari guci-guci yang dibanting, bertebaran di mana-mana ketika mereka memasuki rumah megah Prabu Danuarta. Suasana di rumah itu terasa mencekam. Rasanya seperti memasuki TKP setelah ada sebuah kejadian yang mengerikan. Keduanya sudah tiba di ruangan lain yang tidak jauh berbeda dengan keadaan di ruang tamu tadi. Masih tidak ada siapa-siapa di sana. "Siapa yang menghuni rumah ini selain Kakek, Nan?" "Asisten rumah tangga." Suri menoleh dengan cepat. "Maksudmu... selama ini Kakek sendirian?" Membayangkan seseorang yang sudah sepuh tinggal di sebuah rumah megah tanpa keluarganya membuat perasaan Suri campur aduk. Pria tua itu pasti sangat kesepian. Adnan tersenyum tipis. "Itu yang sebenarnya mau aku bahas sama kamu juga. Aku masih harus tinggal di sini sampa