Share

Pria Mesum

Saat salah satu pintu lift terbuka, Namira kebagian masuk ke sana dan turun di lantai yang dituju.

 

Katanya dia harus menghadap bu Angela di bagian HRD.

 

Jadi Namira mengetuk pintu yang setengah bagiannya adalah kaca buram dengan tulisan HRD.

 

“Selamat pagi!” Sapa suara dari belakang membuat Namira menoleh dan menatap wanita cantik itu dengan kening mengkerut.

 

“Karyawan baru ya?” tanya wanita itu ramah.

 

“Iya Bu, saya Namira.” Namira mengulurkan tangan.

 

“Saya Angela,” balas wanita itu menjabat tangan Namira.

 

Ternyata si pemilik ruangan juga baru saja datang.

 

“Ayo masuk, sambil nunggu yang lain.” Angela masuk lebih dulu dan duduk di meja kerjanya.

 

Angela banyak bertanya dan juga menjelaskan sistem dan mekanisme bekerja di perusahaan ini.

 

Tidak lama dua karyawan baru pun datang dan mendapat arahan dari Bu Angela.

 

Dua karyawan baru itu juga ternyata satu tim dengan Namira di bagian desain interior.

 

“Kalian kenalan dulu,” kata Angela, mengarahkan telunjuk pada Namira dan karyawan baru lainnya.

 

Namira dan dua karyawan baru saling berkenalan, diketahui nama mereka adalah Mala dan Dimas.

 

Angela menggiring tiga karyawan baru itu ke sebuah ruangan yang berada di lantai lain.

 

Angela mengenalkan mereka kepada seluruh tim termasuk yang paling bertanggung jawab dalam tim tersebut yaitu Rivan-pria yang tadi berlarian di loby dan meminta karyawan lain menahan lift.

 

“Saya serahkan Namira, Dimas dan Mala sama Pak Rivan ya.” 

 

Bu Angela undur diri setelah berkata demikian dan mendapat ucapan Terimakasih dari Rivan.

 

“Silahkan tempati meja yang kosong …,” kata Rivan mempersilahkan.

 

“Kamu, siapa namanya?” tunjuk Rivan pada Namira.

 

“Saya, Pak? Namira, Pak.”

 

“Duduk di sini aja! Kamu yang ipk-nya

cumlaude

itu, kan? Rivan menunjuk meja kosong di dekat mejanya.

 

“Biar saya gampang nyuruh-nyuruh kamu,” sambung Rivan lagi sebelum sempat Namira bersuara.

 

Dina dan Shinta yang merupakan karyawan lama di sana seketika saling menatap penuh arti.

 

Tentu saja Namira mengikuti perintah tersebut, langsung duduk di meja kosong yang ditunjuk atasannya tanpa membantah.

 

Beberapa menit kemudian setiap divisi melakukan briefing dipimpin oleh pimpinan masing-masing.

 

Namira mendengarkan dengan seksama sehingga dia mudah dalam melakukan pekerjaan awalnya.

 

*** 

 

Hari kedua dijalani Namira penuh semangat, dia menyukai pekerjaan ini dan tekun dalam menjalaninya.

 

“Mir, aku duluan ya.” Mala pamit setelah tadi Dimas sudah pulang lebih awal karena akan langsung ke tempat proyek meninjau lokasi bersama Rivan.

 

“Hati-hati Mal,” kata Namira dan baru menyadari kalau dia sendirian di ruangan itu.

 

Dina dan Shinta yang merupakan senior Namira sudah pulang tanpa berbasa-basi, mereka tidak terlalu ramah tapi Namira juga tidak ingin peduli apalagi mengambil hati sikap mereka.

 

Namira melanjutkan pekerjaannya sampai hari berganti malam dan akhirnya pekerjaan pun selesai.

 

Dia mengecek ponsel dan mendapat balasan pesan dari ayah yang mengatakan kalau beliau sudah makan malam dan minum obat, beliau juga bertanya kapan Namira pulang.

 

Namira membalas pesan tersebut sebelum merapihkan meja dan mematikan komputer lalu keluar dari kubikelnya.

 

Saat hendak menekan knop pintu, dia merasakan benda tersebut bergerak dan pintu terbuka didorong dari luar.

 

Sosok pimpinan tertinggi dalam timnya merangsak masuk membuat Namira harus mundur beberapa langkah.

 

“Kamu belum pulang?” Rivan bertanya dengan mata memindai Namira dari atas hingga bawah.

 

“Baru mau pulang, Pak … saya duluan, Pak.” Namira menjawab, perasaannya mulai tidak enak. 

 

Namira menarik langkah hendak melewati Rivan namun Rivan berhasil menangkap pergelangan tangannya.

 

Gadis cantik dengan rambut panjang itu sontak menoleh menatap Rivan penuh tanya.

 

“Kamu temenin saya dulu di sini ….” Rivan menghadapkan tubuhnya pada Namira, mata pria itu tampak mengerikan seperti srigala yang sedang kelaparan.

 

Namira yang ketakutakan kemudian mundur saat Rivan terus melangkah hendak menempelkan dada mereka.

 

Jantung Namira berdetak kencang, matanya terus menatap was-was pada Rivan.

 

“Pak!” tegur Namira pelan tapi tegas dan menahan dada Rivan menggunakan satu tangan yang tidak dicekal Rivan sembari memberikan tatapan peringatan.

 

“Kalau kamu ikutin semua keinginan saya, nanti saya kasih kemudahan bekerja di sini juga jabatan bagus … gimana?” Rivan bertanya sambil membungkukan sedikit tubuhnya membuat wajahnya dengan wajah Namira sejajar dengan jarak sangat dekat.

 

“Enggak Pak, maaf … saya mau pulang aja.” Namira menggunakan seluruh tenaganya untuk melepaskan diri sampai tubuh Rivan terdorong ke belakang dan bokongnya membentur sudut meja yang tentu saja membuatnya kesakitan.

 

Namira lari sekencang-kencangnya menuju pintu darurat tidak peduli di sana gelap yang penting terus melangkah menjauh meski tidak tahu apakah Rivan mengejarnya atau tidak.

 

Dia baru bisa bernapas lega saat sudah berada di loby.

 

“Kenapa lewat tangga darurat, Neng?” Seorang sekuriti bertanya karena Namira tampak ketakutan.

 

“Eng-enggak apa-apa, permisi Pak … saya duluan.” Namira tidak lupa untuk pamit.

 

Dia masih berlari melewati pelataran parkir hingga tiba di halte dekat sana.

 

Namira yang kelelahan duduk sebentar sambil menunggu bis yang menuju ke arah rumahnya.

 

Setengah jam lamanya Namira menunggu sampai bis itu datang dan dia menempuh perjalanan satu jam tiga puluh menit untuk tiba di rumah karena jalanan masih macet sisa dari jam pulang kerja.

 

Setelah turun dari bis dia harus berjalan sekitar dua kilo meter untuk tiba di rumah.

 

Pelipisnya dibanjiri keringat setelah dia tiba di rumah.

 

“Ayah …,” panggil Namira lembut saat membuka pintu rumah yang tidak terkunci.

 

Sang ayah ketiduran di depan televisi.

 

“Ayah laper enggak? Mira buatin makan malam ya.” Mira pergi setelah mengecup kening sang ayah yang tadi sempat membuka matanya.

 

Namira bergegas membuat telur mata sapi untuk dirinya dan ayah.

 

Ayah menggerakan kursi rodanya ke meja makan.

 

“Kenapa hari ini pulang malam?” Ayah Altezza bertanya saat Namira menyiukan nasi ke piring untuk ayah.

 

Ucapannya tidak jelas tapi Namira mengerti.

 

“Mira banyak kerjaan, Ayah … tapi besok kayanya Mira bisa pulang cepet soalnya kerjaan Mira udah selesai tadi.” 

 

Namira memberikan piring berisi nasi dan telur mata sapi yang diberikan sedikit kecap kepada ayah.

 

Mereka berdua makan dengan lahap, Namira tidak membicarakan kejadian tadi kepada sang ayah.

 

Ayah sempat terbatuk dan membuat seluruh nasi dimulutkan beterbangan.

 

Sang putri segera mengambil air minum untuk ayah dan tidak marah saat banyak nasi berserakan di lantai juga meja meja makan yang mana dia harus bersihkan sebelum mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.

 

“Pelan-pelan minumnya ya, Ayah.” Namira membantu ayah minum dari gelas.

 

“Maaf … jadi berantakan,” kata ayah dengan ekspresi wajah menyesal.

 

“Enggak apa-apa.” Namira tersenyum sembari mengusap-ngusap pundak ayah.

 

Setelah dia menyelesaikan pekerjaan rumah dan membersihkan lantai juga meja makan dari remah nasi—Namira bisa mandi dan membaringkan tubuhnya di ranjang.

 

Mata Namira menatap langit-langit kamar, dia baru menyadari kalau besok akan bertemu Rivan di kantor.

 

Bagaimana dia harus menghadapi pria mesum itu?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
jalan kaki 2 km malam2?????
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status