Share

Istri Rahasia
Istri Rahasia
Penulis: Erna Azura

Putri Kecil Ayah

“Ayah … Namira pergi dulu ya, makan siang udah Namira siapin di meja makan sama obat yang harus ayah minum … nanti Mira telepon ayah untuk ingetin minum obat,” kata Namira sembari melangkah mendekat pada ayah.

 

Altezza Rizky Putra, pria Don Juan yang dulu digilai banyak wanita itu sudah belasan tahun terserang stroke dan hanya bisa duduk di kursi roda dilayani semua kebutuhannya oleh sang putri.

 

Altezza mengangguk-anggukan kepalanya, beliau kesulitan untuk bicara karena bibirnya bengkok seperti tangan kirinya.

 

“Ayah mau pipis atau pup dulu enggak? Soalnya Mira mungkin pulang sore.” 

 

Altezza menggelengkan kepalanya.

 

Namira lantas berlutut di depan sang ayah yang duduk di kursi roda.

 

“Ayah … doain Mira ya, semoga Mira bisa melewati hari pertama ini dengan baik … gaji Mira cukup besar di perusahaan ini … bisa membayar biaya berobat Ayah dan memenuhi kebutuhan hidup kita ….” 

 

Banyak harapan tersirat di pendar mata Namira yang indah.

 

“Ma-af ….” Altezza melirih, tangan kanannya yang masih berfungsi mengusap kepala Namira lembut.

 

Mata sang ayah pun berkaca-kaca membuat haru turut menyerang dada Namira.

 

“Ayah enggak usah minta maaf sama Mira, Mira enggak apa-apa kok … di dunia ini Mira cuma punya Ayah.” Namira memeluk sang ayah agar dadanya sedikit merasa lega.

 

Beberapa bulan setelah kematian sang bunda, kedua kakek nenek Namira juga mengalami kecelakaan pesawat membuat sang ayah tidak fokus bekerja karena harus membagi waktu dan perhatiannya untuk mengurus Namira. 

 

Hal tersebut dimanfaatkan oleh seseorang di kantor ayah Altezza yang menginginkan posisi beliau.

 

Ayah tidak mampu mempertahankan posisinya, beliau dipecat sehingga membuatnya frustrasi dan terserang stroke.

 

Namira yang masih duduk di bangku SMP kelas satu harus mengurus ayah seorang diri.

 

Beruntung ayah memiliki beberapa aset dan kakek nenek meninggalkan warisan yang bisa digunakan Namira untuk biaya hidup dan berobat ayah selama ini.

 

Sampai akhirnya rumah mereka harus dijual saat Namira masuk kuliah atas paksaan ayah karena menurut ayah, Namira wajib menempuh pendidikan di bangku kuliah.

 

Dengan hidup sangat irit akhirnya uang hasil penjualan rumah cukup sampai Namira lulus kuliah.

 

Dan meski hidup Namira dalam kesulitan, Tuhan memberikannya kemudahan dalam mencari kerja.

 

Namira diwawancara langsung oleh pemilik perusahaan, pria tampan dengan ekspresi datar itu menerima Namira bekerja di perusahaannya.

 

Namira ditempatkan dalam tim desain interior sesuai dengan kemampuannya.

 

Namira senang sekali apalagi gaji yang akan dia dapat cukup besar.

 

Kembali lagi pada Namira yang tengah menikmati harunya bersama sang ayah, akhirnya dia mengurai pelukan.

 

“Ayah telepon Mira atau pak Sukiman kalau ada apa-apa ya, nanti Mira akan langsung pulang.” Namira berpesan.

 

Pak Sukiman dan Bu Sukiman adalah tetangga mereka yang baik hati dan selalu membantu Namira dan ayah bila mengalami kesulitan.

 

Ayah menganggukan kepalanya lagi.

 

Namira bangkit dari berlututnya lalu mengecup kening ayah.

 

“Mira sayang Ayah.” Setelah mengucapkan hal tersebut disertai senyum hangat, Namira keluar dari rumah tanpa lupa menutup pintu.

 

Air mata Altezza jatuh, entah untuk yang keberapa kali selama belasan tahun terakhir mengingat perjuangan, pengorbanan dan penderitaan sang putri tercinta dalam mengurusnya.

 

Altezza sadar telah menghancurkan masa kanak-kanak Namira.

 

Namira dituntut untuk dewasa sebelum waktunya.

 

Lain halnya dengan Namira yang selalu berusaha melupakan segala kesedihannya dengan mensyukuri apapun yang dia dapatkan.

 

Apalagi sekarang dia sudah resmi tercatat sebagai karyawan sebuah perusahaan besar.

 

Namira melangkah ringan masuk melewati pintu kaca di loby gedung paling ikonik di kota ini, langkahnya kemudian menuju meja resepsionis.

 

“Selamat pagi, Bu … saya Namira, karyawan baru bagian Desain Interior.” Namira melapor kepada resepsionis sesuai arahan orang bagian HRD tempo hari.

 

“Oh iya, ini

id card punya Bu Namira untuk akses keluar masuk gedung, akses di dalam ruangan, untuk absen juga untuk ambil jatah makan siang di kantin dan bisa juga digunakan untuk alat pembayaran di sekitar gedung … jangan hilang ya, Bu ….” Wanita resepsionis menjelaskan dengan rinci.

 

Senyum di bibir Namira kian lebar dan matanya berbinar menatap fotonya terpampang pada id card.

 

“Terimakasih, Bu.” 

 

Usai berkata demikian Namira menuju sebuah pintu yang kalau dia men-tap kartu aksesnya, bagian akrilik yang menghalangi akan terbuka seperti pintu masuk di stasiun MRT.

 

Namira lantas mengantri dengan karyawan lainnya di depan lift.

 

Dia telah diberitahu kalau harus lapor dulu ke bagian HRD di hari pertama kerja ini.

 

Di depannya ada dua orang pria berpakaian rapih, jika dilihat dari jasnya yang mereka kenakan-sepertinya dua pria itu adalah pimpinan di perushaan ini.

 

Beberapa karyawan wanita dan pria yang juga sedang menunggu lift kemudian bergeser saat seorang pria tampan diikuti wanita cantik yang merupakan sekertarisnya melangkah mendekat ke arah kerumunan mereka di depan lift.

 

“Selamat pagi Pak Rey!” sapa seluruh karyawan yang ada di sana termasuk dua pria tadi.

 

Sedangkan Namira tidak sempat mengucapkan salam karena terlalu gugup bertemu dengan pemilik perusahaan ini.

 

Namira langsung mundur agar tidak terlihat oleh beliau.

 

Dia pernah bertemu dengan pria itu saat wawancara, sepertinya usianya tidak jauh di atas Namira.

 

Namira akui kalau pria itu tampan tapi tegas, dingin juga tatapannya tajam.

 

Reyshaka Khalis Byantara mampu membuat Namira kesulitan bernapas saat wawancara beberapa waktu lalu.

 

“Pagi!” sahut Reyshaka dengan suara beratnya dan tampang datar.

 

Saat Reyshaka dan kedua pria yang tadi menggunakan jas mahal masuk ke dalam lift, tidak ada karyawan yang berani masuk ke dalam sana.

 

Lalu derap langkah sepatu fantovel yang menggema di loby membuat semua menoleh ke arah pintu masuk.

 

“Tahan liftnya!” Seorang pria yang menggunakan jas mahal lainnya berteriak sambil berlari.

 

Salah seorang karyawan pria menekan tombol di dinding untuk menahan pintu lift agar tetap terbuka.

 

“Thanks!” kata pria itu menepuk pundak karyawan pria yang menahan pintu lift sembari melewatinya saat masuk ke dalam box besi tersebut.

 

“Pak Rivan, pak Doni sama pak Surya itu sahabat pak Rey dari kuliah … makanya mereka bisa masuk perusahaan ini dan langsung menempati posisi tinggi.” Salah seorang karyawan wanita mulai bergosip.

 

Namira menundukan kepala, dia berusaha untuk tidak menguping kelanjutan gosip para karyawan itu mengingat dia adalah karyawan baru.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status