Sayangnya, keinginan itu tak tercapai.
Meski demikian, hubungan Salwa dengan Kaif tidak ada perubahan setelah perdebatan tiga bulan yang lalu. Salwa hanya bicara seperlunya saja, mendadak menjadi perempuan pendiam, padahal itu bukanlah sifatnya yang sebenarnya. Mereka memang tinggal satu atap, tapi seperti orang asing yang tak pernah saling kenal, kegiatan Salwa setiap harinya mengerjakan pekerjaan rumah, memasak meskipun Kaif tidak pernah menyentuh masakan Salwa. "Ini siapa yang masak?" tanya Kaif pada pembantu di rumah itu, Bi' Maryam. Yah sesuai permintaan Sofia. Kaif mempekerjakan pembantu di rumahnya. "Ini masakan nyonya, tuan," jawab Bi' Maryam. "Singkirkan sampah-sampah ini, dan masak lagi, saya tunggu 15 menit," perintah Kaif. Salwa yang masih ada di dapur hanya bisa mengusap dada, padahal sudah sering kali ia mendapatkan penolakan, tapi tetap saja ia terus mencoba, dengan harapan tuan Kaif akan luluh. Salwa perempuan paham akan ilmu agama, itu sebabnya berat baginya untuk angkat tangan dari semua kewajibanya sebagai seorang istri, tak peduli berapa banyak ia harus mendapatkan penolakan, ia tetap melakukan kewajibannya, meskipun itu harus dilakukan secara diam-diam agar Kaif tak mengetahuinya. Di sore hari, saat Salwa menyiram bunga-bunga yang ia tanam di depan rumah, Kaif datang. Salwa merasa heran, tumben dia pulang awal, padahal biasanya kaif akan pulang di atas jam 9 malam. "Jangan pernah menampakkan diri di hadapanku, ingat itu!" Ucapan Kaif waktu itu begitu jelas di ingatan Salwa, segera ia beranjak, masuk ke dalam rumah agar kaif tidak melihat keberadaannya. Salwa tidak ingin memperburuk suasana hati Kaif. Pagi tadi dia sudah marah-marah pada Bi Maryam karena ada masakan Salwa di meja makan. Salwa duduk di kursi meja hias, melihat pantulan wajahnya di kaca kamar. "Sampai kapan harus seperti ini, kenapa dia masih mempertahankan aku jika akhirnya aku hanya dijadikan pajangan, melihat wajahku saja dia enggan, lalu kenapa aku harus tetap di sini," ucap Salwa lirih. Lelah yang Salwa rasakan, mentalnya seakan dipermainkan, harga dirinya seakan tiada artinya bagi pria yang sudah menjadi suaminya itu. Tok tok tok "Permisi nyonya, tuan memanggil nyonya di ruang tamu," beritahu Bii' Maryam di balik pintu kamar Salwa. "Baik Bi', aku segera ke sana," ucap Salwa. "Tumben," gumam Salwa. Salwa lantas menghampiri Kaif yang saat ini sudah duduk di sofa ruang tamu, pria itu terlihat fokus pada ponselnya. Salwa melangkah dengan jantung berdebar, entah kenapa ia merasa gugup. Sudah lama mereka tidak saling tatap, sejak perdebatan tiga bulan yang lalu. Jika mereka kebetulan berpas-pasan maka Salwa segera menghindar karena ia tidak ingin memancing amarah Kaif. "Permisi tuan," sapa Salwa memecah keheningan. 'Ah, seperti orang asing saja, bicaraku formal, tidak menggambarkan jika kami pasangan suami istri,' batin Salwa. Kaif mengangkat wajahnya, tanpa melihat ke arah Salwa, ia melempar paper bag yang entah apa isinya ke arah Salwa, Salwa yang tidak siap membuat paper bag itu jatuh di lantai. Bibir Salwa tersenyum miris, miris pada dirinya sendiri. "Pakai itu untuk malam ini, di rumah mama ada acara," perintah Kaif tanpa melihat ke arah Salwa. "Acara apa, Tuan?" tanya Salwa mengenyampingkan rasa sesak di dada. Kaif mulai menata Salwa tajam, seakan ada yang salah dari pertanyaan itu. Dia berdiri dengan tatapan masih tertuju pada Salwa. Salwa menunduk. "Kau tak perlu tahu. Yang jelas, jangan coba-coba untuk mengadu pada mama, perhatikan wajahmu saat bertemu dengan keluarga saya, saya tidak mau tahu, kamu harus bersikap seolah-olah kamu bahagia bersama saya," peringat Kaif tak mau dibantah, “satu lagi, jangan pasang wajah memelasmu itu.” "Baik, tuan, InsyaAllah," ucap Salwa pasrah. Jam setengah tujuh malam suami istri itu sudah siap untuk pergi ke rumah Sofia, jarak dengan rumah Sofia tidak terlalu jauh, mereka hanya membutuhkan waktu satu jam untuk sampai di sana. Di sinilah mereka berada, di dalam mobil, sesekali Salwa melirik ke arah Kaif yang sedang fokus menyetir. Salwa akui suaminya itu sangat tampan, apalagi warna kemejanya yang senada dengan warna gamis Salwa. Ada rasa berbunga-bunga di hati Salwa, ini adalah pakaian couple pertama mereka, meskipun Salwa tidak tahu niatnya tapi ia merasa senang, akhirnya ia bisa memakai pakaian yang Kaif berikan pada Salwa. Mobil memasuki halaman rumah mewah, bercat putih dengan perpaduan hijau,cantik sekali. Terlihat rumah itu sudah dipenuhi dengan hiasan yang sangat cantik, dan orang-orang mulai masuk ke dalam sana. Salwa tidak tahu, sedang ada acara apa di rumah itu, karena suaminya yang sepertinya enggan memberi tahu, miris sekali, Salwa sebagai menantu di keluarga itu malah tidak tahu di rumah mertuanya ada acara apa. Saat mereka ingin masuk ke dalam rumah, Salwa terkejut dengan sikap Kaif yang tiba-tiba. Kaif menggenggam tangan Salwa, tubuh Salwa meremang, ia bukan perempuan yang terbiasa bersentuhan fisik dengan lawan jenis. Salwa tahu Kaif halal menyentuh dirinya atau melakukan hal lebih, tapi Salwa masih belum terbiasa, apalagi selama ini Kaif seperti sangat jijik untuk bersentuhan dengan Salwa. "Saya melakukan ini karena mama, jangan berharap lebih," bisik Kaif. Sudah Salwa duga, ia hanya bisa mengangguk pasrah. "Ini nih yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga." Sofia, mama mertua Salwa menyambut kedatangan anak dan menantunya, terlihat aura kebahagiaan terpancar di wajahnya. Salwa dan Kaif mencium punggung tangan Sofia. "Apa kamu sudah sehat, nak?" Sofia mengerutkan kening, sejak kapan dirinya sakit. "Istriku sudah sehat, Ma," jawab kaif cepat. Salwa menatap Kaif, dan ia paham sekarang. "Alhamdulillah, kata Kaif kamu sedang gak enak badan, makannya mama tidak mengatakan padamu jika malam ini ada acara, kalau kamu sampai tahu pasti kamu akan datang jauh-jauh hari dan melakukan banyak pekerjaan," "Mama sangat pengertian, tapi lain kali katakan saja Ma, Alhamdulillah aku sudah lebih sehat sekarang, " ucap Salwa. "Tidak apa, banyak yang membantu mama di sini, kamu cukup diam saja, kamu harus menjaga kesehatanmu, nak" Salwa memiliki suami yang susah untuk digapai hatinya, tapi di balik itu ia memiliki mama mertua yang sangat baik, beliau tidak hanya menganggap Salwa sebagai menantunya tapi sebagai putrinya. Lalu bagaimana bisa ia menyerah dalam hubungan ini, sedangkan Mama mertuanya sangat berharap pada Salwa untuk menjaga putranya yang saat ini sudah menjadi suami Salwa. "Kaif, sana hampiri calon tunangan Eriana, sedari tadi dia mencarimu," suruh mama Sofia pada Kaif. "Baik, Ma," Kaif beranjak, ternyata malam ini adalah acara pertunangan Eriana. Terlihat dari hiasan dinding dimana di sana tertera nama Eriana dam Halik, calon tunangan Eriana. Beberapa jam sudah berlalu, acara pertunangan sudah selesai, Salwa menyapu pandangan ke segala arah mencari keberadaan Kaif, dia belum makan malam, dan Salwa ingin mengajaknya makan malam dengan menikmati makanan yang sudah disiapkan. Salwa melangkah, melewati para tamu, ia masih belum menemukan suaminya, apa dia sudah pulang dan meninggalkan dirinya? Begitulah fikir Salwa. Tanpa Salwa sadari, ia sudah sampai di samping rumah, di sana ada kolam renang, langkah Salwa terhenti saat ia mendengar suara yang tak asing di telinganya. Perempuan itu berdiri di depan kaif, kekecewaan merajai setiap lekukan wajahnya. "Tega sekali kamu, Kaif. Kamu berjanji menungguku, tapi kamu malah menyakitiku," ucap perempuan itu dengan suara terbata karena rasa sakit yang dirasakan. Kaif hanya bisa menundukkan kepala, keraguan memenuhi tatapannya. "Maafkan aku. Semua ini bukan pilihan yang kumau. Kamu tahu betul, aku tak tega melihat Mama sedih," jawab Kaif dengan suara lemah. "Tapi aku tidak menginginkan dia," lanjut Kaif, suaranya terdengar begitu lembut. Salwa menutup mulutnya. Mengamati sosok Kaif yang yang bicara dengan suara lembut pada perempuan itu, dan juga mengapa Salwa merasakan pedih mendengar pengakuan Kaif? Padahal sudah ia tekankan pada hatinya untuk tidak berharap. bersambungDi penghujung sore yang tenang, Kaif mengajak Salwa pergi ke luar. Kaif membawa Salwa ke pusat pembelanjaan. “Mas, mengapa kita ke sini?” tanya Salwa dengan rona penasaran saat mereka melangkah memasuki keramaian. Kaif, dengan tatapan penuh arti, menjawab sambil menggenggam erat tangan Salwa, “Menemani kamu belanja, kamu bebas mau belanja apa saja." Salwa memperlambat langkahnya, berhenti sejenak, dan berkata dengan lembut, “Mas, aku tidak merasa membutuhkan apa pun lagi. Di rumah, aku sudah memiliki apa yang aku butuhkan,” ucapnya. Namun, Kaif tak menyerah, “Kamu tidak memiliki banyak koleksi tas dan perhiasan. Bagaimana jika kita melihat-lihat dan mungkin membeli sesuatu yang baru?” Salwa menggeleng tegas, kelembutan matanya berubah menjadi keteguhan. “Tidak perlu, Mas. Aku sudah punya di rumah, dan itu lebih dari cukup.” Kaif tersenyum penuh pengertian, permpuan di depannya ini memang berbeda, jika pada perempuan lain pasti permpuan itu akan senang dan langsung memilih tan
"Kak Kaif sejak kapan suka makan mangga muda?" Perhatikan Salwa dan Kaif teralihkan dengan kedatangan Eriana, perempuan muda itu tampak heran melihat saudaranya. "Emangnya Mas Kaif tidak suka mangga, Eriana?" tanya Salwa dengan rasa ingin tahu. Eriana hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis, "Setahu aku tidak, Mbak. Tapi mungkin lidahnya sekarang berpetualang mencari selera baru," katanya mencoba untuk menahan tawa. lucky sekali melihat wajah saudaranya yang menahan rasa masam. Salwa kembali menatap suaminya, kali ini dengan pandangan yang lebih mendalam dan penuh kecurigaan. Cahaya mata Salwa seolah menembus ruang dan waktu, mencari jawaban dari perubahan tak terduga yang terjadi pada suaminya. "Kalau mas gak suka mangga muda kenapa memakannya, Mas?" tanya Salwa, wajahnya sudah tampak sedih. Mudah sekali mood ibu hamil itu berubah-ubah."Gak apa, Salwa.""Gak apa, bagaimana? Lihat, wajah Mas itu udah memerah. Lain kali bilang, kalau mas gak suka, jangan hanya diam aja," ger
Berbeda dengan perkiraan Salwa, ia malah l larut dalam kenyamanan tak terduga di ruang kerja sang suami. Di ruangan itu, perempuan yang tengah berbadan dua itu asyik melihat tontonan kesukaannya sambil menikmati berbagai jenis makanan yang terhampar di meja. Kaif, sang suami, terbenam dalam tumpukan pekerjaan, namun matanya sesekali mencuri pandang ke arah Salwa. Ia merasakan semacam kehangatan baru yang dibawa oleh kehadiran istri tercinta di ruang kerjanya. Tok tok tok...Bunyi ketukan pada pintu mengalihkan suasana. Kaif tak langsung membuka pintu ia menoleh kembali ke Salwa yang telah terlelap dengan televisi masih menyala. Ketukan pintu berhenti beralih telepon Kaif yang berbunyi. "Hallo.""Pak, Tuan Deswaka sudah datang," ucap Rubi, sang sekertarisnya di balik telepon."Iya, arahkan dia ke ruang meeting, saya akan segera ke sana," ucap Kaif."Baik, Pak."Setelah panggilan itu terputus, Kaif melangkahkan mendekati istrinya. Mematikan televisi lalu mengangkat tubuh Salwa deng
Pagi yang cerah memantulkan sinar semangat di wajah Kaif, pria itu tampak bersemangat untuk menyambut hari dengan aktivitasnya, terutama karena sang istri, Salwa, yang telah setuju untuk menemaninya ke kantor. Kaif merasakan kebahagiaan luar biasa, seolah tidak ingin melepaskan bayang Salwa dari sisinya, bahkan meski dalam waktu berkerja pekerjaan. "Mas, aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu, kan, jika aku ikut?" tanya Salwa, saat dia mencoba memakaikan dasi pada Kaif dengan berdiri di atas sebuah meja kecil, supaya dapat mencapai tinggi suaminya. "Tidak, malah kehadiranmu membuat Mas semakin semangat untuk menyelesaikan pekerjaan hari ini, Sayang," jawab Kaif, sambil mengelus lembut perut buncit Salwa yang mengandung buah hati mereka. Salwa tersenyum, merasa lega dan penuh cinta, "Iya deh," katanya akhirnya dengan penuh kehangatan.Lagi pula di rumah ia tidak ada kegiatan apapun, tapi berada di kantor Kaif seharian, apa ia tidak akan bosan, ini adalah kali pertama Salwa menemani
"Salwa," suara Kaif bergumam lirih, seraya ia memejamkan mata, seakan-akan berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya bukan sekedar khayalan. Meski telah memastikan diri di kamar mandi tadi untuk bersabar terkait hubungan mereka, kini Kaif justru tak bisa menjauh dari Salwa yang terpaku duduk di ranjang, menatapnya dengan pandangan menggoda. "Salwa, kamu..." kata-kata Kaif tergantung, tercekat di tenggorokannya, tak mampu melanjutkan karena terpesona pada istrinya sendiri. "Kenapa? Mas tidak suka melihatku seperti ini?" raut wajah Salwa memelas, membuat Kaif menggeleng cepat, nyaris dalam kepanikan. Dia malah merasa terpikat lebih dalam. Dengan perlahan, Kaif mendekati dan duduk di samping Salwa, mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh kelembutan dan saling menginginkan. "Mas, jangan diami aku, ya?" pinta Salwa dengan suara yang tiba-tiba terdengar begitu rapuh. "Kapan Mas mendiamimu, hm?" balas Kaif, suaranya tercampur dengan rasa bingung "Tadi, sebelum Mas ma
Salwa dengan lembut mengambil Al Qur'an terjemah yang selalu berada di sampingnya setiap malam, sebuah ritual yang telah menjadi bagian dari jiwa dan rutinitasnya. Di bawah sinar rembulan yang menerobos jendela, momen itu terasa begitu sakral, berbeda dari sebelumnya. Dahulu, Salwa selalu seorang diri dalam keteduhan malam, namun malam ini, ia ditemani oleh sang suami tercinta, Kaif, meskipun ia hanya terlelap dalam tidurnya. Sambil membaca ayat-ayat suci dengan lirih, Salwa merasakan kedamaian yang menyelubungi ruang hatinya. Tangan kirinya bergerak lembut, mengelus kepala Kaif dengan penuh kasih, memberi rasa tenang dan kedamaian pada tidurnya. Kehadiran Kaif, meski dalam kebisuan tidur, memberikan kebahagiaan yang tidak terkira bagi Salwa. Suasana hening malam itu semakin membuat setiap kata yang terucap dari Al Qur'an membawa Salwa ke dalam kedalaman kontemplasi dan rasa syukur yang mendalam. Kehadiran mereka berdua dalam doa dan cinta, menjadikan malam itu tak terlupakan, s