Home / Romansa / Istri Rasa Pembantu / 2. KONSEKUENSI DALAM PERNIKAHAN

Share

2. KONSEKUENSI DALAM PERNIKAHAN

Author: Zaidhiya
last update Last Updated: 2024-10-16 12:43:48

“Ya sudah, Mama mau pulang ya, Salwa. Ini Mama ada belikan gamis untukmu. Tadi pergi ke mall gak sengaja lihat ini, lalu keingat menantu. Langsung saja Mama beli. Semoga kamu suka ya.” Sofia tersenyum sembari memberikan paper bag di tangannya pada Salwa.

Salwa mengambil paper bag itu meski merasa canggung.

Baru satu minggu Salwa menjadi menantunya, tapi entah sudah berapa pakaian baru yang mertuanya itu belikan untuk Salwa.

Apa orang kaya memang sebebas itu?

Bebas membeli apa saja yang menarik dimatanya…

Cukup lama keduanya di rumah Salwa. Bahkan, mereka menikmati masakan yang Salwa masak meski Erina masih menatap Salwa dengan tatapan tidak suka.

Hanya saja, Salwa tak memedulikan itu semua dan tetap melayani mertua dan iparnya sebaik yang ia bisa.

***

Di malam hari, Kaif baru saja pulang kerja mendadak membuka pintu dengan kasar.

Salwa dikejutkan dengan sikapnya, terlebih ia melempar uang merah beberapa lembar ke wajah Salwa yang entah berapa jumlahnya.

“Dasar perempuan murahan!!!"

Deg!

“Apa maksudmu, Tuan?” Suara Salwa terdengar gemetar saat ia bertanya.

Sungguh, Salwa menahan kepedihan hati yang hampir tak tertahankan. Tidak pernah dalam hidupnya merasa terhina seperti ini.

“Kau pasti mengadu yang bukan-bukan pada Mama, membuat mama marah pada saya di kantor, hah?” kata Kaif dengan suara meninggi, setiap kata yang keluar dari mulut Kaif terasa seperti tamparan keras yang menyayat hati Salwa.

'Tuhan, apa lagi ini?' Gumam Salwa dalam hati.

Salwa tak mampu lagi menahan air mata yang perlahan mengalir di pipi. Selama ini, walau dia sering membentak dengan kata-kata kasar, tetapi belum pernah seintens ini.

Salwa bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia sudah begitu buruk sampai suaminya itu marah seperti ini? Salwa ingin membela diri, memberikan penjelasan dan melawan, tetapi bibirnya terasa kaku dan gemetar tak terkendali.

Dikepala Salwa dipenuhi bayang-bayang ketakutan dan cemas akan apa yang akan terjadi pada rumah tangganya.

Dia, pria yang seharusnya melindungi dan mendampingi Salwa, tapi kini malah menjadi sumber ketakutan Salwa sendiri. Gadis berhijab itu teringat akan keluarganya di kampung, yang selalu memperlakukan dirinya dengan penuh kasih sayang, manja, sebagai anak bungsu yang dicintai. Namun kini, semuanya seperti terbalik, rasa sakit dan takut berganti posisi.

“Apa kamu bisu?!” teriaknya memecah lamunan Salwa.

Salwa tersentak. Beruntung ia tidak memiliki riwayat penyakit jantung.

“Tuan, bisakah bicara pelan? Aku tidak tuli, Tuan.” Akhirnya Salwa berujar dengan suara lirih, mencoba meredam ketakutan yang menggelegak.

Tangannya tiba-tiba menghantam meja makan dengan keras.

Brak!

Gebrakannya membuat mata Salwa terpejam karena terkejut.

“Demi Allah, Tuan. Aku tidak mengadu yang bukan-bukan pada Mama,” ucap Salwa dengan suara gemetar, “siang tadi, memang mama dan kak Eriana berkunjung ke sini. Mereka menanyakan soal pembantu dan keamanan di rumah ini, dan aku menjawab sejujur-jujurnya,” jelas Salwa berharap bisa memadamkan amarah Kaif.

Namun saat itu juga, raut wajah Kaif merah padam, kemarahan tampak memuncak di raut wajahnya.

Tiba-tiba, dia meremas lengan Salwa dengan kuat.

“Aww ... sakit, Tuan,” rintih Salwa pelan.

Kekuatan yang Kaif gunakan membuat gadis muda itu tak bisa melawan.

“Bukankah kamu belajar di pesantren?” bentaknya dengan nada keras, “apa gurumu di sana tidak mengajarkan bagaimana menjaga aib suami?!"

Suara Kaif bertambah lantang, menyiratkan kemarahan yang lebih mengerikan dari pada pengurus keamanan saat Salwa masih menjadi santri.

“Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud membuat Tuan marah,” sahut Salwa dengan suara bergetar mencoba menenangkan situasi, “aku janji, setelah ini aku akan lebih berhati-hati saat berbicara dengan Mama."

Namun, permohonan maaf Salwa seolah tak terdengar. Tangannya masih mencengkeram erat, tak peduli dengan air mata yang mulai mengalir dari mata Salwa. Sakit yang gadis itu rasakan begitu nyata tapi dia benar-benar tidak peduli dengan rasa sakit itu.

Brugh!

Suara yang tajam terdengar saat tubuh Salwa terdorong dan jatuh terlentang di lantai dingin.

Napas Salwa terengah-engah. Setiap senti tubuhnya berdenyut karena sakit. Ini adalah

pertama kalinya ia merasakan kekerasan fisik yang begitu nyata, yang melukai bukan hanya raga tapi juga jiwa.

“Ya Allah,” bisik Salwa lirih dalam tangis, mencari kekuatan dalam doa.

Kaif berdiri dengan tatapan tajam sekaligus dingin, seolah belum puas dengan penderitaan yang baru saja dia sebabkan. Tiba-tiba ia kembali melangkah mendekati Salwa, segera Salwa mundur, tubuhnya bergetar di setiap gerakannya, mencoba menjauh dari bayangan yang kian menyeramkan.

Apakah pria ini yang seharusnya menjadi pelindungku? batin Salwa.

Pikiran itu melintas di benak Salwa sambil merasakan perih yang menyayat hati.

Suaminya, yang mestinya menjadi benteng perlindungan, kini berubah menjadi lawan yang hendak menghancurkan hidupnya.

“Tu-tuan, tolonglah ... aku ini istrimu." Suara Salwa bergetar, memelas, harapannya hanyut dalam keheningan. Namun, Kaif hanya mendengus dingin.

Cengkraman di dagu Salwa semakin erat, seakan ingin menyatakan dominasinya. Air

matanya berderai, membasahi kulit tangan besar Kaif yang ditumbuhi bulu.

“Sudah kubilang, jaga batasanmu, Salwa! Bagiku, kamu tidak lebih dari seorang pembantu di rumah ini!" ucapnya dengan nada merendahkan sebelum akhirnya melepaskan cengkramannya.

Apakah ini hukuman yang harus Salwa terima Sebagai istrinya? Apakah ini peran yang harus ia pikul? Ah, betapa malang nasib gadis itu.

Sungguh kejam kehidupan yang Salwa rasakan saat ini. Namun, ia harus tetap berjuang, mencari kekuatan di tengah duka yang mendera, bahkan dari orang yang seharusnya menjaganya dan menjadi pelindung.

“Kamu sudah menerima pernikahan ini, padahal aku tidak pernah menginginkan perempuan sepertimu. Kamu sudah hadir dalam hidupku maka kamu harus siap dengan konsekuensinya,” tambah Kaif lagi.

Mata Salwa yang semula nanar kini menatap balik dengan pandangan tajam,

mempertahankan secercah harga diri yang tersisa. Apa maksud dari ucapannya?

“Konsekuensi yang seperti apa, Tuan? Sebelumnya tidak ada seorang pun yang memberi tahu padaku jika ternyata aku harus berhadapan dengan keadaan seperti ini. Aku bahkan tak pernah mengenalmu sebelumnya, dan Tuan juga tidak tahu tentangku."

" Jika Tuan tidak menginginkan aku, mengapa Tuan menikahiku? Jika menurut Tuan, aku tidak layak menjadi pendampingmu, mengapa tidak akhiri saja hubungan ini? Aku begitu lelah dengan semua ini, Tuan!"

Rasa sakit yang menyerang memaksa Salwa untuk berbicara dengan terbuka dan meluapkan semua perasaan serta isi hati yang terpendam.

Kaif diam, tetapi kemarahan terus meresap dalam raut wajahnya.

Salwa mulai berpikir, apakah ia begitu tidak berharga baginya? Apakah dia merasa menyesal karena sudah menikahinya? Bagaimana hubungan ini akan berlangsung ke depannya jika semua ini terus berlanjut?

“Silakan ceraikan saja aku, Tuan,” pinta Salwa dengan suara lirih dan hati yang mati rasa.

bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kartini Tini
iy klw ga suka kenapa juga harus dinikahi.,,ayo salwa semangat lawan aja lki2 yg ga punya hati.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Rasa Pembantu    88. IRP

    Di penghujung sore yang tenang, Kaif mengajak Salwa pergi ke luar. Kaif membawa Salwa ke pusat pembelanjaan. “Mas, mengapa kita ke sini?” tanya Salwa dengan rona penasaran saat mereka melangkah memasuki keramaian. Kaif, dengan tatapan penuh arti, menjawab sambil menggenggam erat tangan Salwa, “Menemani kamu belanja, kamu bebas mau belanja apa saja." Salwa memperlambat langkahnya, berhenti sejenak, dan berkata dengan lembut, “Mas, aku tidak merasa membutuhkan apa pun lagi. Di rumah, aku sudah memiliki apa yang aku butuhkan,” ucapnya. Namun, Kaif tak menyerah, “Kamu tidak memiliki banyak koleksi tas dan perhiasan. Bagaimana jika kita melihat-lihat dan mungkin membeli sesuatu yang baru?” Salwa menggeleng tegas, kelembutan matanya berubah menjadi keteguhan. “Tidak perlu, Mas. Aku sudah punya di rumah, dan itu lebih dari cukup.” Kaif tersenyum penuh pengertian, permpuan di depannya ini memang berbeda, jika pada perempuan lain pasti permpuan itu akan senang dan langsung memilih tan

  • Istri Rasa Pembantu    87. IRP

    "Kak Kaif sejak kapan suka makan mangga muda?" Perhatikan Salwa dan Kaif teralihkan dengan kedatangan Eriana, perempuan muda itu tampak heran melihat saudaranya. "Emangnya Mas Kaif tidak suka mangga, Eriana?" tanya Salwa dengan rasa ingin tahu. Eriana hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis, "Setahu aku tidak, Mbak. Tapi mungkin lidahnya sekarang berpetualang mencari selera baru," katanya mencoba untuk menahan tawa. lucky sekali melihat wajah saudaranya yang menahan rasa masam. Salwa kembali menatap suaminya, kali ini dengan pandangan yang lebih mendalam dan penuh kecurigaan. Cahaya mata Salwa seolah menembus ruang dan waktu, mencari jawaban dari perubahan tak terduga yang terjadi pada suaminya. "Kalau mas gak suka mangga muda kenapa memakannya, Mas?" tanya Salwa, wajahnya sudah tampak sedih. Mudah sekali mood ibu hamil itu berubah-ubah."Gak apa, Salwa.""Gak apa, bagaimana? Lihat, wajah Mas itu udah memerah. Lain kali bilang, kalau mas gak suka, jangan hanya diam aja," ger

  • Istri Rasa Pembantu    86. IRP

    Berbeda dengan perkiraan Salwa, ia malah l larut dalam kenyamanan tak terduga di ruang kerja sang suami. Di ruangan itu, perempuan yang tengah berbadan dua itu asyik melihat tontonan kesukaannya sambil menikmati berbagai jenis makanan yang terhampar di meja. Kaif, sang suami, terbenam dalam tumpukan pekerjaan, namun matanya sesekali mencuri pandang ke arah Salwa. Ia merasakan semacam kehangatan baru yang dibawa oleh kehadiran istri tercinta di ruang kerjanya. Tok tok tok...Bunyi ketukan pada pintu mengalihkan suasana. Kaif tak langsung membuka pintu ia menoleh kembali ke Salwa yang telah terlelap dengan televisi masih menyala. Ketukan pintu berhenti beralih telepon Kaif yang berbunyi. "Hallo.""Pak, Tuan Deswaka sudah datang," ucap Rubi, sang sekertarisnya di balik telepon."Iya, arahkan dia ke ruang meeting, saya akan segera ke sana," ucap Kaif."Baik, Pak."Setelah panggilan itu terputus, Kaif melangkahkan mendekati istrinya. Mematikan televisi lalu mengangkat tubuh Salwa deng

  • Istri Rasa Pembantu    85. IRP

    Pagi yang cerah memantulkan sinar semangat di wajah Kaif, pria itu tampak bersemangat untuk menyambut hari dengan aktivitasnya, terutama karena sang istri, Salwa, yang telah setuju untuk menemaninya ke kantor. Kaif merasakan kebahagiaan luar biasa, seolah tidak ingin melepaskan bayang Salwa dari sisinya, bahkan meski dalam waktu berkerja pekerjaan. "Mas, aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu, kan, jika aku ikut?" tanya Salwa, saat dia mencoba memakaikan dasi pada Kaif dengan berdiri di atas sebuah meja kecil, supaya dapat mencapai tinggi suaminya. "Tidak, malah kehadiranmu membuat Mas semakin semangat untuk menyelesaikan pekerjaan hari ini, Sayang," jawab Kaif, sambil mengelus lembut perut buncit Salwa yang mengandung buah hati mereka. Salwa tersenyum, merasa lega dan penuh cinta, "Iya deh," katanya akhirnya dengan penuh kehangatan.Lagi pula di rumah ia tidak ada kegiatan apapun, tapi berada di kantor Kaif seharian, apa ia tidak akan bosan, ini adalah kali pertama Salwa menemani

  • Istri Rasa Pembantu    84. IRP

    "Salwa," suara Kaif bergumam lirih, seraya ia memejamkan mata, seakan-akan berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya bukan sekedar khayalan. Meski telah memastikan diri di kamar mandi tadi untuk bersabar terkait hubungan mereka, kini Kaif justru tak bisa menjauh dari Salwa yang terpaku duduk di ranjang, menatapnya dengan pandangan menggoda. "Salwa, kamu..." kata-kata Kaif tergantung, tercekat di tenggorokannya, tak mampu melanjutkan karena terpesona pada istrinya sendiri. "Kenapa? Mas tidak suka melihatku seperti ini?" raut wajah Salwa memelas, membuat Kaif menggeleng cepat, nyaris dalam kepanikan. Dia malah merasa terpikat lebih dalam. Dengan perlahan, Kaif mendekati dan duduk di samping Salwa, mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh kelembutan dan saling menginginkan. "Mas, jangan diami aku, ya?" pinta Salwa dengan suara yang tiba-tiba terdengar begitu rapuh. "Kapan Mas mendiamimu, hm?" balas Kaif, suaranya tercampur dengan rasa bingung "Tadi, sebelum Mas ma

  • Istri Rasa Pembantu    83. IRP

    Salwa dengan lembut mengambil Al Qur'an terjemah yang selalu berada di sampingnya setiap malam, sebuah ritual yang telah menjadi bagian dari jiwa dan rutinitasnya. Di bawah sinar rembulan yang menerobos jendela, momen itu terasa begitu sakral, berbeda dari sebelumnya. Dahulu, Salwa selalu seorang diri dalam keteduhan malam, namun malam ini, ia ditemani oleh sang suami tercinta, Kaif, meskipun ia hanya terlelap dalam tidurnya. Sambil membaca ayat-ayat suci dengan lirih, Salwa merasakan kedamaian yang menyelubungi ruang hatinya. Tangan kirinya bergerak lembut, mengelus kepala Kaif dengan penuh kasih, memberi rasa tenang dan kedamaian pada tidurnya. Kehadiran Kaif, meski dalam kebisuan tidur, memberikan kebahagiaan yang tidak terkira bagi Salwa. Suasana hening malam itu semakin membuat setiap kata yang terucap dari Al Qur'an membawa Salwa ke dalam kedalaman kontemplasi dan rasa syukur yang mendalam. Kehadiran mereka berdua dalam doa dan cinta, menjadikan malam itu tak terlupakan, s

  • Istri Rasa Pembantu    82. IRP

    Salwa terjaga dari tidurnya yang tidak biasanya begitu lelap. Ada perasaan aneh menggelayuti pikirannya saat ia menyadari ada sesuatu yang berbeda malam ini. Meski biasanya ia sering terbangun di tengah malam, namun kali ini tubuhnya begitu nyaman dan tidak terganggu sama sekali. Seraya mencoba bangkit, tiba-tiba Salwa terhenyak, sebuah tangan kuat melingkar di perutnya. Dengan detak jantung yang berpacu, ia menoleh dan mendapati Kaif, pria yang kini ada di sampingnya. Dalam kebingungan dan sedikit rasa sesal, Salwa menyesali dirinya sendiri karena telah melupakan bahwa ia kini berada di Jakarta, dan lebih lagi, di kamar Kaif, rumah ibunya, Sofia. Salwa menatap Kaif yang masih terlelap di sampingnya, tangan besar pria itu hangat di perutnya. Mungkin, pikirnya, itulah yang membuat tidurnya terasa berbeda malam ini. Perlahan, dengan gerakan yang hampir tidak terdengar, Salwa berusaha melepaskan tangan Kaif dari perutnya. Ia berniat pergi ke kamar mandi, namun baru saja menyentu

  • Istri Rasa Pembantu    81. IRP

    "Istrimu sudah tidur, Kaif. Lebih baik l bermalam di sini saja," ucap Sofia lembut pada putranya yang baru saja tiba. Kaif mengangguk lelah. "Hari ini, energiku benar-benar terkuras habis, Ma."Jaga kesehatanmu, Nak. Kamu itu belum sembuh total," nasihat Sofia. "Kamu sudah makan malam belum?" Sofia bertanya pada putranya, penuh kekhawatiran. "Udah, Ma. Tadi sempat makan di kantor," jawab Kaif, suaranya lesu. "Baiklah, kamu mandi dan istirahatlah," kata Sofia. Kaif mengangguk, lalu melangkah menuju kamar. Begitu pintu kamar dibuka, suasana senyap menyambut Kaif. Di atas ranjang oper size, terlihat Salwa yang tertidur pulas, seolah sedang dalam pelukan mimpi. Cahaya kamar, menerangi wajah damai istrinya yang menjadi penawar lelah. Kaif tersenyum, seketika merasa semua kepenatan seolah terhapus. Berjalan hati-hati, ia meletakkan tas kerjanya, mengambil pakaian ganti dan melangkah ke kamar mandi, berusaha sebaik mungkin untuk tidak membangunkan mimpi indah yang sedang dijalani

  • Istri Rasa Pembantu    80. IRP

    "Ada apa, Bu?" tanya Bu Dokter dengan suara lembut sambil menatap Salwa yang terlihat sokKeterkejutan Salwa begitu nyata saat mendengar ucapan frontal Kaif, pria itu benar-benar tidak tahu tempat. Untuk saja dokter kandungan itu tidak mendengar."Oh, tidak, tidak ada yang salah, Dokter," jawab Salwa dengan suara kikuk, memaksakan senyum yang tak sempurna sementara Kaif hanya menampilkan senyum samar yang seolah menyembunyikan rahasia besar.Setelah meninggalkan ruangan dokter kandungan dan menebus obat, langkah mereka langsung pulang ke rumah. Tiba di depan pintu, Sofia, dengan tangan yang lembut, menarik lembut tangan menantunya."Kalian benaran tidak ingin menginap di rumah ini malam ini? Sungguh, rindu sekali Mama pada menantu cantik mama," tuturnya dengan suara yang meluapkan kerinduan mendalam.Salwa menoleh kepada suaminya, menunggu jawaban dari pria tampan itu. Raut wajah Kaif memendarkan keengganan, seakan mempertimbangkan seribu satu hal dalam benaknya sebelum akhirnya menja

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status