Salwa kira Kaif akan mencintainya seiring berjalan waktu meski mereka menikah karena perjodohan. Akan tetapi, Salwa salah. Kehadiran cinta pertama sang suami menyadarkan Salwa akan posisinya. Hanya saja, mengapa Kaif tampak tak senang saat ia memilih menyerah dan meminta cerai?
Lihat lebih banyakThe Triplets
“I love you. Ryan, I love you.” A dam broke inside her and she reached for him as the words poured out. He wrapped his arm around her and brought her the rest of the way home. And then she was there, snug against him, kissing his mouth, his chin, his jaw, anywhere she could reach while saying “I love you” over and over again.“Every day,” he said between kisses. “I need to hear you say it every damn day for the rest of our lives. Think you can handle me?”She eased back, put her hands on his cheeks, and stared into his eyes. “I can handle you, Ian. It’s being without you that I can’t handle.”He rested his forehead against hers. “Good, because you’re never going to get rid of me again.”Double Wedding Day
“You sure you’re ready to do this?”
Annabelle met Anaisse’s eyes in the mirror. “Hell yes. We’ve rehearsed and everything. Aren’t you?”“Me? Yes. I can’t wait. But I know this whole thing was kind of my idea.” She bit her lip and gave Annabelle the big, blue-eyed Bambi stare. “Now I’m worried I’ve rushed you. Maybe you need more time.”“Nope.” For emphasis, she shook her head. “I’m good. Completely healed.”“Physically, yes,” Anaisse quickly agreed. “And you’ve never looked more beautiful.” Annabelle watched in the mirror as Anaisse smoothed nervous fingers along the short, silky skirt of Annabelle’s dress. “But are you mentally prepared?”Was she? She frowned. “I think I am. I mean, how hard can it be? One little strut down the line. All eyes on us. Give ’em a show when we get to the end, then we’re outta here. Easy.”“Okaaaay. Just so you know, I think the plans leaked to the press. Doing this outdoors was probably a mistake. I can’t promise some paparazzi won’t get a shot. This could be splattered all over the tabloids come tomorrow.”Now she did feel some hesitation, only because that kind of publicity might not be what Anaisse wanted. “I’m sorry. If you want to pull out, I completely understand.”“No, no. I want to go for it. I don’t care who sees.”What a sister. “If you’re good to go, I’m good to go.”Anaisse smiled, and happiness radiated off her in waves. “All right. I’ll stop stressing.”“About time. You also look amazing, by the way. Sweet, classy, and hot as hell, all at the same time.” It was true.Anaisse blushed. “Thanks.”A rap sounded on the opposite side of the door, and then Val came into the small room. “You”—he pointed at Anaisse—“and you.” He swung the finger toward Annabelle. “Let’s go. The other girls got the crowd warmed up. It’s showtime.”Annabelle glanced at Anaisse and lifted a brow. “Ready?”Anaisse nodded.Val offered them each an arm. They linked up and walked through the door, down a short, marble-floored hall, and along a vine-covered pergola. She heard the music now and tried to pace herself accordingly. They reached the lawn. Sunlight streamed over a runner of white carpet. The pristine path bisected the assembly of guests standing in front of their white-slip-covered folding chairs and ended at a rose-covered lattice arbor where several people waited. Beyond the arbor stretched a breathtaking view of the gleaming mountainous terrain, but gorgeous as the ocean view was from the bluff-top perch of the Kingsom estate they’d rented for this particular event, Annabelle found her attention drawn to the people gathered in front of the arbor.Ginger, Ariana, and Lee Anne stood on the left, uncharacteristically elegant in shimmering silver sheaths. Opposite them stood the younger Gregorio brothers, two dark-haired, dangerously hot specimens molded from the same formidable clay as Tommy—Michael, the rough, tough, Marine, and the other, the MBA, which Annabelle thought in his case ought to stand for Major Bad-Ass.Then came Thomas Gregorio, all restrained ruggedness in his black tuxedo, standing next to the placid-faced minister. Her eyes cut right and landed on Ryan, and her heart did a little flutter. God, he looked so handsome. Tall and tanned and cover-model polished, but the civilized tux couldn’t conceal the energy coiled in his lean, hard body, or his innate, alpha-male assurance. That insanely gorgeous, sexy man right there loves you, a little voice whispered.The music swelled and then subsided when they reached the arbor. Val snuffled loudly, cleared his throat, and said, “Thought you girls were smarter than this,” in a gruff stage whisper that sent a ripple of laughter through the audience. He kissed Anaisse’s cheek, then turned to Annabelle, swept her into a theatrically dramatic embrace, and planted a loud, smacking kiss on her. She raised a hand to her head to keep her hair from spilling out of its sleek twist and used the other hand to feign some damsel-in-distress beating on Val’s back.He hauled her upright, tapped her chin lightly with his knuckles, and said, “Best move you ever made, kid.” Then he was gone and the minister turned to Anaisse and Tommy. Annabelle watched, teary-eyed, as they pledged their love, their futures, their everything, to each other, and exchanged I-dos.Then it was Ryan’s turn. She watched his face as he repeated the minister’s words. No hesitation. Not a single stutter. He topped it all off with a slow smile delivered straight to her. The minister turned to her. “And do you, Annabelle, take—”“I do!” she shouted. Oh, hell yes, she did. She wrapped her arm around Ryan’s neck, fused her mouth to his, and kissed him with everything she had. And kissed him…and kissed him…and kept right on kissing him.Somewhere in the back of her mind, she heard the guests cheering and clapping. She heard the minister saying, “Wait. Wait…not yet!” and then rushing through the “With the power vested in me, I now pronounce you husband and wife” part.When she broke away for air, Ryan looked down at her with a devilish glint in his eyes. “Wanna cut out early and get started on the honeymoon?”Her laugh turned into a squeal when he hauled her up against him and brought his mouth down to hers. “I do,” she whispered when she could speak again, and sealed it with a kiss.Behind the backdrop of the happy wedding ceremony, an old female uninvited guest was looking at the newly double-wed couple, crying, saying to her heart, “I’m very sorry my triplets, my children, my life secrets will be buried with me. Once, I was an heir of a Billionaire Mafia Boss Emilio Bernardino, but, I chose to hide and live freely. Rocky Ace de Luna, Craig Gomez, and Montero Villar brought Anya to Italy. Where is Anya now?”
XXXDi penghujung sore yang tenang, Kaif mengajak Salwa pergi ke luar. Kaif membawa Salwa ke pusat pembelanjaan. “Mas, mengapa kita ke sini?” tanya Salwa dengan rona penasaran saat mereka melangkah memasuki keramaian. Kaif, dengan tatapan penuh arti, menjawab sambil menggenggam erat tangan Salwa, “Menemani kamu belanja, kamu bebas mau belanja apa saja." Salwa memperlambat langkahnya, berhenti sejenak, dan berkata dengan lembut, “Mas, aku tidak merasa membutuhkan apa pun lagi. Di rumah, aku sudah memiliki apa yang aku butuhkan,” ucapnya. Namun, Kaif tak menyerah, “Kamu tidak memiliki banyak koleksi tas dan perhiasan. Bagaimana jika kita melihat-lihat dan mungkin membeli sesuatu yang baru?” Salwa menggeleng tegas, kelembutan matanya berubah menjadi keteguhan. “Tidak perlu, Mas. Aku sudah punya di rumah, dan itu lebih dari cukup.” Kaif tersenyum penuh pengertian, permpuan di depannya ini memang berbeda, jika pada perempuan lain pasti permpuan itu akan senang dan langsung memilih tan
"Kak Kaif sejak kapan suka makan mangga muda?" Perhatikan Salwa dan Kaif teralihkan dengan kedatangan Eriana, perempuan muda itu tampak heran melihat saudaranya. "Emangnya Mas Kaif tidak suka mangga, Eriana?" tanya Salwa dengan rasa ingin tahu. Eriana hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis, "Setahu aku tidak, Mbak. Tapi mungkin lidahnya sekarang berpetualang mencari selera baru," katanya mencoba untuk menahan tawa. lucky sekali melihat wajah saudaranya yang menahan rasa masam. Salwa kembali menatap suaminya, kali ini dengan pandangan yang lebih mendalam dan penuh kecurigaan. Cahaya mata Salwa seolah menembus ruang dan waktu, mencari jawaban dari perubahan tak terduga yang terjadi pada suaminya. "Kalau mas gak suka mangga muda kenapa memakannya, Mas?" tanya Salwa, wajahnya sudah tampak sedih. Mudah sekali mood ibu hamil itu berubah-ubah."Gak apa, Salwa.""Gak apa, bagaimana? Lihat, wajah Mas itu udah memerah. Lain kali bilang, kalau mas gak suka, jangan hanya diam aja," ger
Berbeda dengan perkiraan Salwa, ia malah l larut dalam kenyamanan tak terduga di ruang kerja sang suami. Di ruangan itu, perempuan yang tengah berbadan dua itu asyik melihat tontonan kesukaannya sambil menikmati berbagai jenis makanan yang terhampar di meja. Kaif, sang suami, terbenam dalam tumpukan pekerjaan, namun matanya sesekali mencuri pandang ke arah Salwa. Ia merasakan semacam kehangatan baru yang dibawa oleh kehadiran istri tercinta di ruang kerjanya. Tok tok tok...Bunyi ketukan pada pintu mengalihkan suasana. Kaif tak langsung membuka pintu ia menoleh kembali ke Salwa yang telah terlelap dengan televisi masih menyala. Ketukan pintu berhenti beralih telepon Kaif yang berbunyi. "Hallo.""Pak, Tuan Deswaka sudah datang," ucap Rubi, sang sekertarisnya di balik telepon."Iya, arahkan dia ke ruang meeting, saya akan segera ke sana," ucap Kaif."Baik, Pak."Setelah panggilan itu terputus, Kaif melangkahkan mendekati istrinya. Mematikan televisi lalu mengangkat tubuh Salwa deng
Pagi yang cerah memantulkan sinar semangat di wajah Kaif, pria itu tampak bersemangat untuk menyambut hari dengan aktivitasnya, terutama karena sang istri, Salwa, yang telah setuju untuk menemaninya ke kantor. Kaif merasakan kebahagiaan luar biasa, seolah tidak ingin melepaskan bayang Salwa dari sisinya, bahkan meski dalam waktu berkerja pekerjaan. "Mas, aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu, kan, jika aku ikut?" tanya Salwa, saat dia mencoba memakaikan dasi pada Kaif dengan berdiri di atas sebuah meja kecil, supaya dapat mencapai tinggi suaminya. "Tidak, malah kehadiranmu membuat Mas semakin semangat untuk menyelesaikan pekerjaan hari ini, Sayang," jawab Kaif, sambil mengelus lembut perut buncit Salwa yang mengandung buah hati mereka. Salwa tersenyum, merasa lega dan penuh cinta, "Iya deh," katanya akhirnya dengan penuh kehangatan.Lagi pula di rumah ia tidak ada kegiatan apapun, tapi berada di kantor Kaif seharian, apa ia tidak akan bosan, ini adalah kali pertama Salwa menemani
"Salwa," suara Kaif bergumam lirih, seraya ia memejamkan mata, seakan-akan berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya bukan sekedar khayalan. Meski telah memastikan diri di kamar mandi tadi untuk bersabar terkait hubungan mereka, kini Kaif justru tak bisa menjauh dari Salwa yang terpaku duduk di ranjang, menatapnya dengan pandangan menggoda. "Salwa, kamu..." kata-kata Kaif tergantung, tercekat di tenggorokannya, tak mampu melanjutkan karena terpesona pada istrinya sendiri. "Kenapa? Mas tidak suka melihatku seperti ini?" raut wajah Salwa memelas, membuat Kaif menggeleng cepat, nyaris dalam kepanikan. Dia malah merasa terpikat lebih dalam. Dengan perlahan, Kaif mendekati dan duduk di samping Salwa, mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh kelembutan dan saling menginginkan. "Mas, jangan diami aku, ya?" pinta Salwa dengan suara yang tiba-tiba terdengar begitu rapuh. "Kapan Mas mendiamimu, hm?" balas Kaif, suaranya tercampur dengan rasa bingung "Tadi, sebelum Mas ma
Salwa dengan lembut mengambil Al Qur'an terjemah yang selalu berada di sampingnya setiap malam, sebuah ritual yang telah menjadi bagian dari jiwa dan rutinitasnya. Di bawah sinar rembulan yang menerobos jendela, momen itu terasa begitu sakral, berbeda dari sebelumnya. Dahulu, Salwa selalu seorang diri dalam keteduhan malam, namun malam ini, ia ditemani oleh sang suami tercinta, Kaif, meskipun ia hanya terlelap dalam tidurnya. Sambil membaca ayat-ayat suci dengan lirih, Salwa merasakan kedamaian yang menyelubungi ruang hatinya. Tangan kirinya bergerak lembut, mengelus kepala Kaif dengan penuh kasih, memberi rasa tenang dan kedamaian pada tidurnya. Kehadiran Kaif, meski dalam kebisuan tidur, memberikan kebahagiaan yang tidak terkira bagi Salwa. Suasana hening malam itu semakin membuat setiap kata yang terucap dari Al Qur'an membawa Salwa ke dalam kedalaman kontemplasi dan rasa syukur yang mendalam. Kehadiran mereka berdua dalam doa dan cinta, menjadikan malam itu tak terlupakan, s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen