Part 9 Tak Pernah Punya Pilihan'Hentikan, Lukas.' Calia memiringkan wajahnya ke samping, membuat bibir Lukas mendarat di pipinya. Dan menyadari penolakan Calia, kedua mata pria itu terpejam. Masih dengan wajah yang saling menempel.'Kenapa? Kau sudah tak mencintaiku?''Ini tidak benar.''Tidak pernah ada yang benar dengan cinta kita, Calia. Lucius yang merebutmu dariku.'Mata Calia mengerjap ketika kenangan tersebut muncul di benaknya. Calia terdiam. Pengkhianatan tersebut tak sepenuhnya ada, tapi juga tak benar-benar menjadi sebuah pengkhianatan.Ia menatap keseriusan di wajah Lucius yang menunggu jawabannya. Ya. Sejak ia kembali ke hidup Lucius, ia memang tak pernah punya pilihan bukan. Menghadapi kebencian Vania Cayson bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kehilangan ketiga buah hatinya di saat yang bersamaan, kan?Kepala Calia mengangguk pelan, menciptakan senyum kemenangan di bibir Lucius. Kemudian pria itu menangkap pinggangnya dan menyambar satu ciuman di bibirnya.*** Hanya b
Part 10 KembaliSetengah jam kemudian, Lucius mengambil koper di tangan Calia yang baru saja keluar dari pintu kamar. Kemudian melangkah keluar dari apartemen lebih dulu. Menunggu sejenak ketika Calia mengunci pintu."Melihat tempat ini, kenapa aku masih terkejut Zsazsa dan Zaiden bisa tumbuh dengan ceria." Ada ejekan dalam suara Lucius ketika keduanya melangkah lift yang tak berada jauh dari unit Calia."Tidak semua kebahagiaan bisa dibeli dengan uang, Lucius." Ada sindiran yang terselip dalam nada suara Calia.Lucius mendengus. Pintu lift terbuka dan Lucius mempersilahkan Calia masuk lebih dulu sebelum berdiri di samping wanita itu. Begitu pintu lift tertutup, wajahnya menoleh ke samping dengan seringai di ujung bibir. "Benarkah?"Calia terdiam."Ya, tidak semua kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Tapi … butuh uang lebih banyak untuk kebahagiaan yang lebih besar, kan?" Lucius memberi jeda sejenak. "Juga untuk menyelesaikan semua tumpukan masalah. Itu alasanmu datang padaku, kan?"M
Part 11 Kenyataan LainnyaNapas Calia tercekat, matanya melebar menyadari keseriusan dalam pertanyaan Lucius.Dokter Arfin terdiam sejenak. "Apakah Anda pernah mendonorkan ginjal Anda pada pasien lain?"Lucius terdiam."Kenapa kau bertanya tentang ini, Lucius?" Calia mengajukan pertanyaan lain meski sang dokter belum mendapatkan jawaban dari Lucius. Kecurigaan yang mendadak muncul di hatinya semakin meruncing tajam. Membawa kilasan-kilasan masalalu mereka berdua terhampar di hadapannya.Lucius masih bergeming. Bahkan pria itu sama sekali tak menoleh ke arahnya.Calia memegang pundak Lucius, berusaha mendapatkan perhatian pria itu yang masih membeku oleh kepucatan. "Jangan bilang kalau kau yang mendonorkan ginjalmu untukku?" Suara Calia diselimuti emosi yang campur aduk. Matanya membelalak penuh ketidak percayaan dengan kedua mata yang mulai digenangi kaca."Jangan bilang kau yang menyelamatkanku 10 tahun yang lalu, Lucius!" Kali ini Calia melompat berdiri. Kesulitan mengendalikan
Part 12 Rela Mati“Kalau kau tidak bisa melakukannya untuk Zayn, kenapa kau berjanji seperti itu padanya, Lucius?” Pertama kalinya Calia bicara setelah lebih dari setengah perjalanan keduanya menuju sekolah Zsazsa dan Zaiden. Ya, hari mereka harus mengurus kepindahan sekolah kedua anaknya tersebut. Sekaligus menjemput mereka pulang.“Kalaupun aku tidak melakukannya pasti ada cara lain untuk menyelamatkannya, kan?”Calia terdiam. Ya, dokter Reno sebelumnya sudah pernah memberitahunya tentang hal ini. Jika sang ayah tidak bisa melakukannya, kemungkinan saudara kandung Lucius.“Tidak. Aku tidak akan meminta Lukas melakukan itu untuk anakku. Terutama jika mengingat apa yang kalian lakukan padaku. Tidak akan pernah, Calia.”Wajah Calia seketika membeku, tak ada sepatah kata pun yang berhaisl keluar dari mulutnya. Setiap kali Lucius mengungkit hal itu, hatinya pun tak berhenti merasa perih.“Aku tahu kau akan melakukan segalanya demi menyelamatkan Zayn, tapi sebaiknya kau jauhkan pikiran it
Lucius menurunkan Zsazsa di samping Zaiden. Lalu berjongkok di depan keduanya dengan masing-masing telapak tangan memegang pundak Zsazsa dan Zaiden. “Kenapa? Kalian ingin tetap bersekolah di sini?”“Apakah kami harus pindah?” tanya Zaiden.“Apa papa ingin kami pindah?” tanya Zsazsa.“Ya, papa ingin kalian pindah ke tempat yang jauh lebih baik. Lebih banyak teman, lebih luas, dan lebih segalanya yang terbaik yang bisa papa berikan pada kalian.” Lucius memberi jeda sejenak. “Hmm, ini sebagai bayaran karena tidak pernah menjadi papa yang baik selama papa pergi.”“Papa yang terbaik.” Zsazsa menyela.Lucius tersenyum, mengusap kepala sang putri. “Ya, tapi papa ingin menjadi lebih baik lagi untuk menjadi papa kalian. Bagaimana?”Zsazsa dan Zaiden kembali saling pandang. Kemudian keduanya menatap Calia yang menyerahkan pilihan pada mereka sendiri. Menatap Lucius lebih lama dan serempak mengangguk.“Dan satu lagi, mulai hari ini kalian akan tinggal bersama papa. Di rumah papa.”Wajah Zsazsa d
Calia melanjutkan langkahnya, meninggalkan Divya yang masih terperangah oleh kata-katanya. Ya, tadi sangat jelas Lucius menyuruhnya untuk masuk ke dalam kamar mereka. Itu artinya tidak ada siapa pun yang sudah menggantikan dirinya di kamar lama mereka, kan. Setidaknya itu sedikit memberinya keberanian untuk melawan sang mertua dan Divya yang masih dan tak henti-hentinya menginginkan Lucius.Ia bahkan tak peduli jika Lucius memang sudah menikah dan mungkin sudah memiliki anak dengan wanita lain. Tapi … cincin pernikahan mereka tak pernah lepas dari jari manis pria itu. Saat ia mendatangi Lucius malam itu dengan tiba-tiba, hingga sekarang.Bukan perasaan Lucius yang selama ini menjadi masalah dalam pernikahan mereka. Juga bukan berapa banyak wanita yang menginginkan pria itu. Dirinyalah masalah dalam pernikahannya. Perasaannya yang masih melekat pada masa lalu merekalah yang menjadi masalah dalam pernikahan mereka.Begitu masuk ke dalam ruangan luas yang menjadi kamar utama kedua di rum
“Apa?” Caleb melompat berdiri saling terkejutnya dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh Calia. “B-bagaimana mungkin aku tidak tahu tentang ini, Calia. Aku yang menunggumu di depan ruang operasi.”“Lucius pasti menyembunyikannya dari siapa pun, Caleb. Aku… aku bahkan kehilangan kata-kata untuk semua yang dilakukannya padaku.Kening Caleb berkerut, mendadak teringat sesuatu. “Ah, ya. Hari itu dia tiba-tiba mengatakan ada perjalanan bisnis keluar negeri dan kembali satu minggu kemudian.”“Dokter bahkan tak mengatakan apa pun. Hanya mengatakan kalau operasi berjalan lancar dan semuanya baik-baik saja berkat bantuan dari Lucius. Kupikir itu karena koneksi dan uangnya yang membuatmu mendapatkan donor lebih cepat. A-aku …” Caleb kembali membanting pantatnya di kursi sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. “Kupikir hanya sampai di sana keterlibatannya dalam operasi mu,” desahnya lirih.Mata Calia ikut terpejam. Setelah operasi tersebut dan ia dinyatakan sembuh, saat itu tiba-tib
Calia bergabung di meja makan dan duduk di samping Zaiden, mengabaikan tatapan tidak suka dua wanita di seberang meja dan menyibukkan diri dengan isi piringnya. Dan sesekali menanggapi celotehan kedua anaknya yang menceritakan kebahagiaannya dengan semua yang ada di rumah ini.Setelah malan, kedua pengasuh membawa Zsazsa dan Zaiden. Juga Cailey. Vania dan Divya beranjak lebih dulu. Meninggalkan Calia dan Rhea yang paling akhir menyelesaikan makan malamnya karena harus menyuapi Cailey lebih dulu.."Kau kembali ke rumah ini?" ucap Rhea memecah keheningan di meja makan.Calia yang tengah mengunyah suapan terakhirnya meletakkan sendoknya. Menatap Rhea dengan ekspresi yang datar dan anggukkan singkat menanggapi seulas senyum yang diberikan pria itu.Setelah menandaskan gelas jusnya, Calia bangkit berdiri dan langsung keluar dari ruang makan."Tunggu, Calia." Rhea menangkap pergelangan tangan Calia yang hendak menaiki anaka tangga pertama.Calia memutar kepala dan menatap Rhea. Menunggu be