Peringatan : KHUSUS 21+ Di bawah umur sebaiknya melipir. mengandung adegan dewasa dan kekerasan. Blurb : Calia Xavera, tak punya pilihan selain mendatangi Lucius Cayson, suami yang sudah mencampakkannya delapan tahun lalu. Ia rela memberikan apapun untuk mendapatkan keinginannya dari Lucius. Tak hanya nominal yang begitu fantastis, yaitu sumsum tulang belakang Lucius Cayson, demi menyelamatkan salah satu dari ketiga malaikat kecilnya yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit.
Lihat lebih banyakTangan wanita itu bergelayut manja di tangan sang pria. Sambil mengucapkan kata-kata candaan yang tampaknya sama sekali tak menarik si pria. Keduanya berjalan menuruni undakan, menuju mobil yang sudah terparkir di teras gedung. Namun, sesosok mungil yang melangkah mendekat segera menghentikan langkah si pria. Mulutnya menegang mengenali sang wanita.
“Ada apa, Lucius?” wanita cantik yang bergelayut di lengannya mengangkap kepalanya, mengikuti arah pandangan Lucius. Senyum di wajahnya seketika membeku, menatap si wanita dengan pakaian lusuh tersebut. Dress yang sudah memudar warnanya dan rambut panjang bergelombang yang dikuncir asal-asalan. Membuat beberapa helai rambut tersebut menutupi wajah mungilnya yang tirus. Dan bahkan sandal yang dikenakan sama sekali tak layak untuk di pakai, apalagi di tempat sepremium ini. Penampilannya tak ada beda dengan gembel dan sudah jelas tak punya rasa malu karena berani menginjakkan kaki di tempat ini. “A-apa …”Tangan Lucius terangkat sebelum si wanita cantik menyelesaikan makian yang sudah ada di ujung lidah. “Kau datang?” dengusnya menatap penampilan wanita itu mencemooh.Si wanita kumuh mengangguk pelan, sejenak melirik ke arah wanita cantik dan seksi yang berdiri di samping Lucius. Menatapnya tak suka. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ucapnya lirih. Hampir tak terdengar.“Lucius.” Wanita cantik itu sengaja mendekatkan wajahnya ke wajah Lucius saat berkata, “Kita harus bergegas. Semua orang sudah menunggu kita.”Lucius sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari si wanita kumuh. Menarik lengannya dari dekapan wanita cantik. “Kau pergilah dengan Albert, Divya.”Raut Divya berubah muram, ingin membantah tapi tangan Lucius lagi-lagi terangkat. Ia tak butuh diperingatkan dua kali. Wanita itu pun berjalan ke mobil yang seharusnya menunggu mereka dan hanya akan membawanya.“Well, selarut ini kau repot-repot datang kemari, pasti ada sesuatu yang penting, kan?” Ujung bibir Lucius menyeringai. “Calia.”Calia menggigit bibirnya, bisa merasakan tatapan jijik Lucius. “A-aku membutuhkan bantuanmu.”“Ya, memangnya apalagi yang akan membawamu kepadaku jika bukan uang?”Ada luka yang menggores di kedua mata Calia yang berair, tetapi wanita itu segera mengerjapkan matanya. “Bisakah kau memberikan apa yang kuinginkan?”“Tergantung apa yang bisa kau berikan padaku.”“Apapun.”Seringai licik Lucius naik lebih tinggi, sekali lagi mengamati penampilan Calia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Satu jawaban itu sudah cukup untuk merenggut hidup Calia yang tak bisa dimilikinya. Sekaligus menuntaskan dendam yang mengendap di dadanya. “Apapun?”Calia mengangguk dengan cepat, sebelum kewarasannya kembali. “Apa yang bisa kau berikan untukku?”Pertanyaan tersebut tentu saja menyinggung seorang Lucius Cayson. Memangnya apa sih yang diinginkan oleh wanita itu sehingga masih mempertanyakan hal semacam itu. Meski begitu, Lucius tetap menjawab dengan penuh keangkuhannya. Mumpung suasana hatinya sedang baik. “Apapun.”Calia mengangguk lagi. Ya, hanya itu yang ia butuhkan dari seorang Lucius Cayson.“Dan aku ingin pembayaranku sekarang juga.”Mata Calia membelalak. “S-sekarang?”Salah satu alis Lucius terangkat. “Kau keberatan?”Calia jelas tak punya pilihan. Ia pun menggeleng.“Baguslah.” Lucius menangkap pergelangan tangan Calia dan membawa wanita itu menuju trotoar, dengan cepat mendapatkan taksi untuk mereka.“Hotel Bell King.” Lucius memberitahu tujuannya. Sementara Calia menggigit bibir bagian dalamnya dengan gugup. Tentu saja ia mengenali nama hotel bintang lima tersebut. Kedua tangannya yang berada di atas pangkuan saling meremas dan mulai berkeringat. Tubuhnya menegang, mempertanyakan keputusannya. Apakah ini keputusan terbaiknya? Apakah ini sepadan?Calia meyakinkan dirinya sendiri. Ya, semua ini sepadan. Ini satu-satunya harapannya. Jangankan tubuhnya, bahkan jika Lucius menginginkan nyawanya sebagai pembayaran, ia akan memberikannya. Apapun itu, layak untuk apa yang diinginkannya dari seorang Lucius Cayson.Jangan lupa dibaca, ya. Baru muncul di web goodnovel. yang belum nemu bisa tunggu besokPelayang Sang Tuan ***Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tan
“Jadi dia keponakanmu?” Lucius bertanya dari balik bibir gelasnya. Menatap Luca yang duduk di seberang, tak berhenti mengarahkan pandangan ke arah kolam renang. Pada Zsazsa dan Ken yang bermain-main di tepi kolam. Suara canda tawa keduanya terdengar nyaring. Begitu merdu di kedua pasang telinga pria itu.Luca memutar kepala, menatap sang mertua dengan alis yang melengkung ke bawah. “Apakah itu membuat perbedaan?”Lucius meletakkan gelasnya yang sudah berkurang setengah. Kembali bersandar dengan kedua kaki bersilang. “Sejak awal kau mengincar putriku.”Luca tersenyum. Tak ada penyangkalan dalam tatapannya yang mengarah lurus pada sang mertua. “Dan kau menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.”“Anda pernah muda, tuan Cayson. Jika dihadapkan dengan godaan yang begitu besar seperti putri Anda, saya yakin Anda pun akan mengabaikan akal sehat dan akan melakukan cara apa pun untuk memilikinya.”Lucius mendengus mengejek.Senyum Luca melengkung lebih tinggi, kepalanya berputar kembali ke
“Kabar buruknya, dia ehm … “ Zale memasang raut sedih yang begitu dalam di kedua mata. Duduk di samping Zesil lalu menggenggam tangan sang adik. “Papa sudah menemukan di mana makamnya.”“M-makam?” lirih Zesil dalam keterkejutan. Setengah jiwanya terasa ditarik paksa dari dalam dadanya. Rasa kehilangan yang lebih besar ketimbang kedua orang tua angkatnya mengatakan bahwa dia telah diadopsi 19 tahun yang lalu. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meleleh di sudut mata ketika Zale merangkul pundaknya, membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.Sudut bibir Zaiden mengeras, merasa disisihkan melihat kedua adiknya yang saling berpelukan. Saling berbagi kesedihan. Kecemburuan merayapi dadanya, dan beruntung setidaknya ia masih memiliki nurani juga sedikit pikiran waras bahwa memang hanya Zale yang dibutuhkan Zesil di situasi ini.“Dan kabar baiknya, dia tidak membuangmu. Selama bertahun-tahun ini, dia juga mencarimu. Detailnya, papa akan memberitahumu,” tambah Zale. Berharap sedikit in
“Kau pikir aku tak tahu? Kau menghindarinya bukan karena butuh waktu yang tak perlu dibutuhkan untuk memberitahu pernikahan kita. Tapi karena kau tahu dia menyukaimu. Dan kau merasa sungkan padaku?” Zayn memungkasi kalimatnya dengan ejekan yang begitu kental.Cailey mengedipkan matanya dua kali, terpaku menatap wajah Zayn yang mulai diselimuti kegelapan.“Jangan menguji kesabaranku lebih dari ini, Cailey. Kau tahu aku sudah cukup sabar menghadapimu sejak kemarin siang. Simpan kecemburuanmu untuk dirimu sendiri. Kau tahu aku yang lebih berhak melakukan semua sikap kekanakan ini.”“Jangan menatapku seperti itu, Zayn,” desis Cailey tak kalah dinginnya. Berusaha menggeliatkan tubuhnya tetapi Zayn malah menekannya ke dalam kasur. Sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membebaskan diri. “Aku tidak berbohong,” tandasnya penuh penekanan. “Dan bukan aku yang menciumnya, Jaren yang tiba-tiba melakukannya.”“Kau pikir aku yang mencium Adira?”Cailey terdiam.“Jangan jadikan itu alasan untuk
Butuh beberapa detik bagi Zesil untuk menelaah kalimat Roland. Setelah ia melahirkan, apakah Roland masih akan menerima dirinya? Harapan yang tak pernah ia bayangkan akan diucapkan oleh Roland. Akan tetapi, harapan itu seketika raib. Detik itu juga. Mata Zesil melebar, pandangannya melewati pundak Rolanda dan melihat Zaiden berdiri di depan pintu. Tatapan pria itu menyipit tajam, dengan kedua rahang yang mengeras, mengarah pada tangannya yang berada dalam genggaman Roland.Zesil pun melepaskan pegangannya dari kedua tangan Roland. Lalu menggeleng pelan. “Maafkan aku, Roland. Aku tidak bisa,” lirihnya. Memaksa melepaskan harapan yang sempat singgah. Kekecewaan kembali merebak di wajah Roland. Menatap tak percaya pada Zesil. “Kenapa?”Zesil menggeleng. “Aku tidak ingin bercerai dengan kak Zaiden dan meninggalkan anak ini demi kebahagiaan, yang mungkin tak akan sempurna tanpanya, Roland. Bagaimana pun dia anakku.” Kalimat terakhir Zesil terdengar seperti sebuah kebohongan. Ia bahkan ma
Wajah Zsazsa tak bisa lebih pucat lagi. “A-aapa?”“Aku yang meminta tuan Janson membatalkan kontrakmu. Dan aku juga sudah membayar semua ….”“K-kau?” Sekali lagi Zsazsa butuh afirmasi. Masih tak cukup percaya bahwa Lucalah pelakunya. “Tega sekali kau melakukannya, Luca? Kupikir aku sudah menegaskan padamu bahwa pernikahan kita tak berhak membuatmu ikut campur pekerjaanku.”“Cepat atau lambat kerjasama itu memang harus dibatalkan, Zsazsa. Kandunganmu …”“Itu bukan urusanmu!” teriak Zsazsa tepat di depan wajah Luca.“Anak itu anakku,” desis Luca tajam.“Dan itu tak membuatmu berhak merampas hidupku! Menghancurkan hidupku sesuka hatimu!”Luca terdiam. Kemarahan yang menguasai Zsazsa lebih besar dari yang ia perkirakan. “Aku juga akan membatalkan kerjasama perusahaanku denganmu.”“Ya, lakukan saja! Aku tak peduli!” Zsazsa menyambar ponsel di tangan Luca dan berbalik keluar menuju pintu utama.“Kau baik-baik saja?” Joanna mendekat, menyentuh lengan Luca dengan hati-hati.Mata Luca terpejam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen