“Kau pikir aku tak tahu? Kau menghindarinya bukan karena butuh waktu yang tak perlu dibutuhkan untuk memberitahu pernikahan kita. Tapi karena kau tahu dia menyukaimu. Dan kau merasa sungkan padaku?” Zayn memungkasi kalimatnya dengan ejekan yang begitu kental.Cailey mengedipkan matanya dua kali, terpaku menatap wajah Zayn yang mulai diselimuti kegelapan.“Jangan menguji kesabaranku lebih dari ini, Cailey. Kau tahu aku sudah cukup sabar menghadapimu sejak kemarin siang. Simpan kecemburuanmu untuk dirimu sendiri. Kau tahu aku yang lebih berhak melakukan semua sikap kekanakan ini.”“Jangan menatapku seperti itu, Zayn,” desis Cailey tak kalah dinginnya. Berusaha menggeliatkan tubuhnya tetapi Zayn malah menekannya ke dalam kasur. Sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membebaskan diri. “Aku tidak berbohong,” tandasnya penuh penekanan. “Dan bukan aku yang menciumnya, Jaren yang tiba-tiba melakukannya.”“Kau pikir aku yang mencium Adira?”Cailey terdiam.“Jangan jadikan itu alasan untuk
“Kabar buruknya, dia ehm … “ Zale memasang raut sedih yang begitu dalam di kedua mata. Duduk di samping Zesil lalu menggenggam tangan sang adik. “Papa sudah menemukan di mana makamnya.”“M-makam?” lirih Zesil dalam keterkejutan. Setengah jiwanya terasa ditarik paksa dari dalam dadanya. Rasa kehilangan yang lebih besar ketimbang kedua orang tua angkatnya mengatakan bahwa dia telah diadopsi 19 tahun yang lalu. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meleleh di sudut mata ketika Zale merangkul pundaknya, membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.Sudut bibir Zaiden mengeras, merasa disisihkan melihat kedua adiknya yang saling berpelukan. Saling berbagi kesedihan. Kecemburuan merayapi dadanya, dan beruntung setidaknya ia masih memiliki nurani juga sedikit pikiran waras bahwa memang hanya Zale yang dibutuhkan Zesil di situasi ini.“Dan kabar baiknya, dia tidak membuangmu. Selama bertahun-tahun ini, dia juga mencarimu. Detailnya, papa akan memberitahumu,” tambah Zale. Berharap sedikit in
“Jadi dia keponakanmu?” Lucius bertanya dari balik bibir gelasnya. Menatap Luca yang duduk di seberang, tak berhenti mengarahkan pandangan ke arah kolam renang. Pada Zsazsa dan Ken yang bermain-main di tepi kolam. Suara canda tawa keduanya terdengar nyaring. Begitu merdu di kedua pasang telinga pria itu.Luca memutar kepala, menatap sang mertua dengan alis yang melengkung ke bawah. “Apakah itu membuat perbedaan?”Lucius meletakkan gelasnya yang sudah berkurang setengah. Kembali bersandar dengan kedua kaki bersilang. “Sejak awal kau mengincar putriku.”Luca tersenyum. Tak ada penyangkalan dalam tatapannya yang mengarah lurus pada sang mertua. “Dan kau menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.”“Anda pernah muda, tuan Cayson. Jika dihadapkan dengan godaan yang begitu besar seperti putri Anda, saya yakin Anda pun akan mengabaikan akal sehat dan akan melakukan cara apa pun untuk memilikinya.”Lucius mendengus mengejek.Senyum Luca melengkung lebih tinggi, kepalanya berputar kembali ke
Jangan lupa dibaca, ya. Baru muncul di web goodnovel. yang belum nemu bisa tunggu besokPelayang Sang Tuan ***Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tan
Tangan wanita itu bergelayut manja di tangan sang pria. Sambil mengucapkan kata-kata candaan yang tampaknya sama sekali tak menarik si pria. Keduanya berjalan menuruni undakan, menuju mobil yang sudah terparkir di teras gedung. Namun, sesosok mungil yang melangkah mendekat segera menghentikan langkah si pria. Mulutnya menegang mengenali sang wanita.“Ada apa, Lucius?” wanita cantik yang bergelayut di lengannya mengangkap kepalanya, mengikuti arah pandangan Lucius. Senyum di wajahnya seketika membeku, menatap si wanita dengan pakaian lusuh tersebut. Dress yang sudah memudar warnanya dan rambut panjang bergelombang yang dikuncir asal-asalan. Membuat beberapa helai rambut tersebut menutupi wajah mungilnya yang tirus. Dan bahkan sandal yang dikenakan sama sekali tak layak untuk di pakai, apalagi di tempat sepremium ini. Penampilannya tak ada beda dengan gembel dan sudah jelas tak punya rasa malu karena berani menginjakkan kaki di tempat ini. “A-apa …”Tangan Lucius terangkat sebelum si wa
Part 1 Biaya 500 Juta‘500 juta?’ Calia mengulang nominal fantastis yang baru saja diucapkan oleh Reno. Sang dokter yang menangani buah hatinya, Zayn. Nominal yang tak masuk akal baginya. Tapi …Reno mengangguk, ada rasa iba yang menyergap dadanya dan merasa bersalah telah mengucapkan nominal tersebut.‘Apakah itu kesemuanya biaya?’Reno menggeleng. ‘Masih ada biaya kamar dan lainnya yang masih belum rinci.’Calia mengerjap mengingat perbincangannya denga sang dokter kemarin siang. Yang mendorongnya melakukan kenekatan ini. Lucius Cayson, seharusnya menjadi satu-satunya orang yang tak mungkin ia datangi. Namun, ia tak bisa memungkiri pria itulah satu-satunya harapan yang dimilikinya di tengah keputus asaannya saat ini.Jantung Calia berdegup kencang ketika kecepatan taksi mulai menurun dan benar-benar berhenti di teras gedung hotel yang tinggi menjulang di tengah kota. Tentu saja ia tahu apa yang diinginkan oleg Lucius darinya di tempat ini. Perasaannya campur aduk dan wajahnya, ia ta
Part 2 Permintaan KeduaCalia menatap sang putra yang pulas dalam tidurnya di ranjang pasien. Dengan berbagai macam alat yang tersambung ke tubuh kecil dan rapuh tersebut. Ujung matanya memanas, tak tahan hanya mampu menyaksikan penderitaan sang putra. Tanpa mampu mengurangi sedikit pun rasa sakit tersebut.Hatinya benar-benar terasa diperas, menyaksikan tubuh sekecil dan serapuh ini harus menanggung penderitaan yang begitu besar. Yang bahkan orang dewasa saja kesulitan untuk menanggungnya. Air matanya kembali menetes, yang kemudian ia seka dengan punggung tangannya. Ia tidak boleh menangis di hadapan sang putra. Ia harus terlihat kuat. Lebih kuat dari siapa pun.“Calia?” Panggilan lembut dari arah belakang menghentikan lamunannya. Merasakan pundaknya yang diremas pelan sebelum ia menoleh. “Aku sudah membawakanmu makanan. Makanlah. Aku yang akan berjaga di sini.”Calia mengangguk, bangkit dari kursinya dan berjalan ke kursi, melihat kotak makanan yang dibawa sang kakak. Setelah mengi
Part 3 Ketiga KembarLucius menutup berkas di hadapannya dengan kasar. Berkali-kali membacanya, tak ada satu pun yang berhasil masuk ke kepalanya. Otaknya benar-benar terasa buntu dan belum pernah ia menjadi tidak professional seperti ini.Tangannya menggusur rambut di kepalanya dengan penuh kegusaran dan mengusap wajahnya dalam helaan yang keras. Sejak kembali dari hotel, pikirannya benar-benar kacau dan tak bisa berkonsentrasi dengan benar. Perasaannya amburadul dan uring-uringan. Tak ada satu pun berkas yang bisa diselesaikannya sejak tadi pagi.Inilah dampak yang selalu diterimanya dengan kedatangan Calia di hidupnya. Tapi ia selalu tak punya alasan untuk menolak wanita itu. Dorongan tubuhnya untuk menghancurkan hidup Calia sama besarnya dengan keinginannya untuk memiliki wanita itu.Mengerang keras, ia melompat berdiri. Dan tepat ketika pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” jawabnya dengan kasar meski sungguh ia tak butuh gangguan sialan ini.Pintu ruangannya terbuka dan sang adik,