Share

Bab 3. Menjadi Ayahku

Enam tahun kemudian.

Di perbatasan ibu kota.

"Titip restoran ini sebentar. Aku harus segera menyusul Axel ke taman. Jika tidak, dia akan berorasi sepanjang malam karena kecewa padaku." Emily bersiap cepat. Saat ini, dia masih berada di restoran-nya. Restoran mewah yang dia bangun dengan perjuangan berat.

Emily merapikan blazer putihnya. Dengan rok span hitam dan kaki tertopang heels. Wajahnya sudah dipoles natural, surai hitamnya dia biarkan terurai, sangat cantik dan elegan.

"Cepat berangkat. Anak itu sangat anti kekalahan. Bagaimana jika kamu terlambat mengikuti sesi perlombaan? Aku pasti kena getahnya. Dia akan mengomel dengan kata sok hebatnya itu!" Dayana, sahabat Emily terkekeh.

"Ok, bye. Aku pergi dulu." Emily menepuk pundak Dayana dan langsung berlari.

Hari ini, Taman kanak-kanak anak Emily mengadakan kegiatan outdoor. Sebuah kegiatan berpasangan dengan orang tuanya.

Jarak dari restoran dengan taman itu lumayan jauh. Apalagi ditambah kemacetan, Emily tidak yakin akan selamat dari kekesalan anaknya nanti.

"Dia sangat pintar. Pasti akan cari jalan keluar dari kekalahan." Emily menghembus nafas berat dari mulutnya.

Sedang di taman itu.

"Om, bisakah sedikit menunduk. Ada hal penting yang harus aku katakan padamu!" Anak laki-laki tampan itu menarik-narik ujung jas hitam seorang pria.

Pria yang sedang melakukan panggilan telepon itu menunduk. Dahinya mengernyit melihat anak kecil yang hanya sebatas kakinya.

"Om, apa kamu tidak mendengarku?" Axel, anak laki-laki itu meninggikan suaranya.

Sean, pria itu berdecak sambil mematikan sambungan teleponnya. "Kenapa kamu menggangguku? Di mana ibumu?" Dia melihat kerumunan di tengah taman.

"Om, kamu harus membantuku!" Axel kini berdiri dengan melipat kedua tangannya di depan. Dia mendongak menatap wajah Sean.

"Kenapa harus?"

"Karena kita sama-sama tampan. Dan apa Om tidak menyadarinya, wajah kita juga sangat mirip." Axel tersenyum miring dengan menaikkan alisnya.

Sean terkesiap. Dia cepat berjongkok dan menatap wajah anak itu. Seolah replika dirinya. 'Andai Emily masih ada. Pasti anakku sudah sebesar ini. Kenapa dia harus menyembunyikan kehamilannya dulu?' batinnya. Dia segera menepis pikiran itu.

"Bagaimana, Om? Apa kamu punya hati nurani membantu anak kecil?"

Hati nurani? Sean dibuat terkejut dengan perkataan anak kecil itu. Dia telah melewatkan nurani untuk sebuah ketulusan.

"Siapa namamu?" Sean menatap penampilan Axel. Tampan, rapi, dan terlihat pintar. Namun, juga terlihat sangat berani dan tegas, seperti dirinya.

"Axel. Aku menyukai ketampananmu. Tapi jangan percaya diri dulu. Aku yakin, saat dewasa nanti, aku akan lebih tampan dan tinggi darimu."

Sean terkekeh. "Apa aku lebih tampan dari ayahmu?"

Wajah Axel berubah murung, dia menggeleng. "Aku tidak punya ayah."

Sean tercengang. Anak tampan dan pintar seperti ini. Kenapa ayahnya sampai tega menelantarkan? Atau ayahnya telah meninggal?

"Aku mau menang lomba pasangan dengan orang tua. Tapi mamaku belum datang. Dia bilang akan datang terlambat. Bisakah Om jadi ayahku sebentar saja dan kalahkan mereka!" Axel menunjuk kerumunan tengah taman.

Ada besitan rasa iba dan ingin langsung mengiyakan, tapi ... ayah? Dia bisa bertaruh dengan nama baiknya jika mendadak jadi ayah. Publik sudah tahu, jika istri sahnya telah meninggal dalam kecelakaan dan kini dia hanya punya status bertunangan.

"Aku banyak urusan. Cari orang lain yang mau menjadi ayah palsumu!" Sean berdiri, dia hendak melangkah tapi tangannya dicekal Axel.

"Dasar pria dewasa sombong! Om sama sekali tidak tahu rasanya harus kalah tanpa melakukan sesuatu. Baiklah, silahkan pergi dan temui masalahmu sebentar lagi!" Axel menghempas kasar tangan Sean.

Sean terheran dengan susunan kata anak itu. "Apa kamu mengancamku, Bocah?" Dia mengacak rambut Axel.

"Heh! Jangan melakukan hal konyol! Om telah merusak penampilanku!" Axel merapikan rambutnya.

Sean tertawa kecil gemas pada Axel. "Ok, aku akan lihat seberapa hebat kemampuanmu untuk bisa membuatku maju ke tengah bersamamu." Pria itu mulai tertarik, dia merasa betah berlama-lama dengan anak kecil yang baru dia temui. Apalagi, karakter anak itu persis seperti dirinya. Tak mau kalah begitu saja!

"Baiklah. Siapa bilang anak kecil tidak bisa mengalahkan pria dewasa sepertimu."

Axel tersenyum culas. Dia menebar pandangan lalu mundur pelan. Senyuman itu masih terus terulas hingga Axel berhenti di jarak agak jauh.

Sean masih belum bisa menangkap ide dari anak itu. Dia berdiri dengan memasukkan dua tangan ke sakunya. Tampak tenang dan menganggap Axel sepele.

"Papa .... Papa .... Kenapa Papa mau pergi lagi. Kenapa Papa mau meninggalkanku. Papa ...!" teriak Axel dengan gaya menangis meraung.

Sean langsung panik. Dia menoleh ke sembarang arah. Kini dia menjadi pusat atensi.

Axel menangis semakin keras. "Papa .... Papa .... Aku mau sama Papa ...! Jangan tinggalkan aku, Pa!"

Sean mendesis geram. Dia segera mendekat pada Axel. "Diam, Bocah! Kamu menang!"

Axel memelankan tangisannya. Dia menatap Sean dengan menaikkan alisnya.

"Cepat, diam! Aku akan jadi ayah palsumu sebentar!" Sean mendesah geram. "Haish! Kenapa aku bisa bertemu dengan bocah sepertimu?!"

"Ok, deal, Om. Aku menghargai niat baikmu. Om harus beruntung punya anak tampan dan pintar sepertiku!" Kini Axel tersenyum miring.

Sean mendecih. "Jika aku punya anak, dia akan lebih tampan dan pintar darimu. Dan yang pasti, tidak akan menyebalkan!"

"Terserah, yang penting kita ke tengah sekarang. Apa tangan Om kuat? Nanti Om harus menggendongku dengan satu tangan sambil berlari. Dan aku tidak mau kalah!" Axel menekan kata terakhirnya.

Sean terkekeh. "Dasar bocah!" Dia langsung mengangkat Axel dengan satu tangannya.

"Wow, Om. Kamu sangat kuat. Meski tak sekuat aku saat dewasa nanti." Axel tersenyum lebar. Hatinya sangat bahagia, belum pernah dia mendapat perlakuan seperti itu dari kecil, dari sosok pria dewasa.

Sean tertawa lepas. "Bagaimana jika kamu lebih lemah dariku?"

"Tidak mungkin. Aku harus menjaga mamaku dari banyak pria jahat di sekitarnya, nanti. Jika aku masih lemah, maka aku akan belajar dan olah raga lebih rajin lagi."

"Begitukah?" Sean mendongak sebentar menatap wajah Axel. Sangat beruntung, siapa saja yang menjadi orang tua anak itu, pikirnya.

Perlombaan dimulai. Beberapa kali sesi berlangsung, Sean dan Axel terus memimpin. Dua pria dewasa beda usia itu selalu terlihat kompak.

Perlombaan selesai dan Axel juga telah mendapat hadiah the winner

"Tugasku selesai. Sekarang jangan menggangguku lagi. Di mana pun dan kapan pun kita bertemu!" tegas Sean.

"Goodjob, Om. Aku senang punya tim sepertimu. Selain Om tampan sepertiku, ternyata, Om juga lumayan hebat. Jadi, bisa mengimbangi kemampuanku."

Sean membulatkan matanya. Anak itu sedang memuji dirinya. "Terserah apa katamu. Waktu berhargaku terbuang sangat banyak karenamu." Dia melangkah pergi.

"Tunggu, Om. Ini bayaranmu. Ingat! Jika kita bertemu lagi, Om harus pura-pura tidak mengenalku. Dan jika Om melihatku sedang bersama mamaku, jangan mengatakan hal ini padanya, ok! Pria sejati tidak akan pernah ingkar janji." Axel memberi dua kotak bekal pada Sean.

"Apa ini?"

"Buatan mamaku. Jangan dibuang, atau Om akan dikutuk jadi pria pengecut!"

Sean menatap dua kotak itu. "No problem!" Dia melangkah pergi.

Di sisi jalan. Emily baru saja tiba. Dia menepikan mobilnya di belakang mobil Sean. Wanita itu keluar mobil terburu-buru.

"Se-sean!" Matanya membulat, dia terpaku saat melihat Sean berjalan ke arahnya. Yang lebih membuat Emily tercengang, dia paham dengan kotak bekal yang Sean bawa.

"Sedang apa dia di sini? Apa dia sudah tahu soal Axel?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status