Share

Bab 2. Tragedi Bulan Madu

"Apa yang harus aku rasakan saat ini?" Kaki Emily hampir luruh, dia berjalan lunglai dengan berpegang tembok. Wanita itu baru saja keluar dari ruang periksa kandungan. Tangannya menggenggam sebuah amplop.

Emily duduk, dia mengusap pelan perutnya yang datar. "Kamu sudah hadir dan mama pasti akan menjagamu."

Apa ini bisa disebut buah cinta? karena Emily mencintai Sean tanpa imbal balik. Namun, kehadiran janin itu memberi secercah harapan pada Emily, dia berharap Sean akan menerima dan berubah sikap.

Beberapa bulan ini, hubungan keduanya berjalan wajar, kecuali sikap dingin Sean pada Emily. Wanita itu selalu melakukan tugasnya sebagai istri dalam hal apa pun. Dia tetap menunjukkan sikap lembut dan tulusnya, berharap hati Sean akan tersentuh dan menjadi hangat.

Ponsel Emily, berdering tertulis 'suamiku memanggil'.

"Ya," singkat Emily.

"Cepat datang kemari, aku akan kirim lokasinya!"

Sambungan langsung diputus sepihak boleh Sean.

Emily menghela nafas berat. Sebuah restoran. Dia tersenyum tipis, apa Sean berniat mengajaknya makan? Pikirnya. Karena setelah menikah, Sean belum pernah mengajaknya makan di luar seperti kala dulu. Wanita itu kini berdiri kokoh, dia mengayun kaki tanpa bergetar.

Emily melajukan mobil sedan hitam itu sendiri. Tidak lama dia tiba di restoran yang dimaksud Sean. Langsung masuk ke private room, tempat suaminya.

Emily menghentikan langkah di ambang pintu. Dia menarik nafas dengan senyuman. Dia yakin, kesabaran dan ketulusannya selama ini telah terbaca oleh Sean. Wanita itu membuka pintu.

"Se-" Mata Emily membulat, dia berharap terlalu tinggi.

"Emily, kamu sudah datang?" Felisha hanya menoleh sebentar, tidak melepas dari pelukan Sean.

"Masuk!" seru Sean.

Emily menelan saliva berat. Dia melangkah masuk dan duduk menjauh dari keduanya.

"Kenapa memanggilku, apa untuk melihat kemesraan kalian?" Dada Emily sesak melihat sikap Felisha pada suaminya. Dia lalu menunduk dengan mengerjab-ngerjab agar air matanya tertahan.

"Emily, maaf karena suamimu mencintaiku. Aku hanya tidak berdaya menolaknya. Tapi, aku juga tidak tega padamu yang terlalu terobsesi dengan kekasihku. Jadi, kupinjamkan Sean sebentar untuk memuaskan hatimu." Felisha melepas pelukan Sean.

"Kamu memang yang terbaik, Sayang." Sean mengecup kening Felisha sangat lembut.

Emily menekan rahangnya kuat. Hatinya tersayat. Tangannya terus meremas di bawah, sambil menghembus pelan nafas dari mulutnya.

"Papa ingin kita pergi bulan madu, agar cepat memberinya cucu. Kamu tahu jika aku sangat sibuk, jadi pikirkan cara untuk mempersingkat waktu. Jangan berangan pergi ke luar negeri! Aku malas," jelas Sean. Pria itu tersenyum sinis pada Emily.

Cucu? Emily sangat ingin mengatakan jika benih itu telah berbuah, tapi ... mulutnya terbungkam.

"Bulan madu? Apa kamu akan bersenang-senang dengan Emily, Sayang? Aku tidak bisa membayangkan jika kamu pergi berdua dengan wanita licik itu," rengek Felisha.

Emily tertawa miris dalam hati. melihat sikap Felisha. Entah wanita itu masih bisa dikatakan sahabatnya atau tidak.

Sean memegang tangan Felisha, satu tangannya mengusap pucuk rambut wanita itu. "Katakan apa maumu?" Lembut, suara dan sikap Sean yang demikian itu yang dirindukan Emily.

"Biar aku yang pilih, bagaimana? Kebetulan jadwalku tidak padat." Felisha terlihat manja pada Sean. Membuat Emily sangat cemburu.

"Bagaimana kalau kita ke Maldives atau Thailand? Aku sangat ingin ke sana, apalagi dengan kekasihku." Felisha menggoyangkan lengan Sean.

"Apa saja untukmu, Sayang." Sean tersenyum lembut pada Felisha.

"Aku mencintaimu." Felisha memeluk Sean.

Emily memalingkan wajahnya. Sangat miris, dia terus menyaksikan romansa suami tercintanya dengan wanita lain. Apa dirinya yang salah karena hadir di antara mereka, atau wanita itu yang salah karena menjadi duri dalam rumah tangganya?

"Kita ke Bali!" seruan Emily telah merusak senyuman Felisha. Dia tersenyum malas pada wanita itu.

"Apa, ke Bali? Big No! Tempat itu sudah aku kunjungi beberapa kali. Aku mau ke luar negeri, Sayang." Ekor mata Felisha menatap tajam Emily.

"Apa maksudmu, Emily?!" sentak Sean.

"Minggu depan akan ada rapat pemegang saham. Kamu tidak boleh mangkir. Aku hanya melakukan tugas sebagai istrimu saja!" Emily menekan berat kata istri, berharap Sean menatap posisinya.

"Lain kali, aku akan membawamu ke semua tempat yang kamu mau. Hanya berdua," ucap lembut Sean pada Felisha.

"Asal bersamamu." Felisha mendengkus kesal.

"Aku akan ke kamar kecil." Emily bangkit. Dia sudah tidak tahan melihat kemesraan itu. Beban sesak di dadanya harus dia kurangi.

Di dalam bilik kamar kecil. Emily terus menyeka air matanya. Satu tangannya membekap kuat mulutnya agar tangisan itu tidak keluar.

Setelah sekian waktu, Emily keluar. Dia berdiri di depan wastafel, menatap pantulan wajahnya. Matanya sedikit bengkak, dia harus menyembunyikan dari Sean.

Setelah memoles wajah. Emily mengambil amplop tadi. Dia kembali membaca hasil pemeriksaan dokter. 'Sekarang bukan waktu yang tepat,' batinnya.

Di balik dinding, Felisha melihat kertas itu dengan mata lebar. Meski tidak jelas tulisannya, tapi dia paham jika itu soal kehamilan.

"Ehem!" Felisha mendekat.

Emily buru-buru memasukkan amplop itu ke dalam tas. Lalu, dia mencuci tangan sebentar dan hendak pergi.

"Tidak akan ada penerus keluarga Geraldo dari rahim wanita licik sepertimu!"

Emily menghentikan langkahnya, lalu berbalik. "Aku tidak paham bagaimana kalian menjalani hubungan selama ini. Hebat, aku sungguh salut. Apa kamu puas sudah melihatku tampak bodoh di depanmu selama ini?"

"Sangat! Dan aku senang, akhirnya tidak perlu pura-pura bersikap manis padamu lagi. Asal kamu tahu, aku sangat risih setiap mendengar curhatanmu. Apalagi kamu selalu membahas kekasihku. Wanita bodoh!"

Emily tersenyum miris. "Sean bukan pria bodoh, dia hanya belum sempat menemukan wajah aslimu saja!" Dia berbalik. "Dan lagi, yang berhak menjadi nyonya Geraldo bukan wanita licik dan munafik!" Emily melangkah pergi.

Felisha, dia orang yang selalu mendengar kisahnya bersama Sean. Namun, Emily terlalu tulus untuk memahami kepalsuan wanita itu.

Sesuai rencana. Ketiganya berangkat ke Bali secara terpisah. Sean berangkat dengan Emily. Sedang Felisha, akan bertemu di hotel.

"Kamu akan tidur di kamar depan. Kamar ini, untukku dan Felisha."

"Sean, ini bulan madu kita. Aku tidak mau menyerahkan kamarku pada wanita itu!" Emily tersenyum miris. Dia tidak habis pikir dengan rencana Sean.

"Baiklah, jika kamu suka dengan kamar ini, pakailah! Aku yang akan keluar!" Sean pergi meninggalkan kamar itu.

Emily mematung, dia tak percaya dengan keputusan suaminya. Dia memegang dadanya, air mata itu luruh seketika. "Jahat kamu Sean!"

Bulan madu, tapi Emily seolah menjadi orang ketiga di sana. Dia bahkan tidak bisa menemukan suaminya. Sean malah menghabiskan waktu dengan Felisha.

"Apa kamu sudah sampai?"

"Ok, aku akan ke sana. Tunggu aku!"

Emily mematikan sambungan telepon. Dia baru saja menghubungi sahabatnya. Sahabat yang benar-benar tulus padanya. Mereka menyusul Emily untuk menghibur wanita malang itu.

Sebelum pergi. Emily meletakkan amplop hasil pemeriksaan kehamilan di nakas. Dia meraba perutnya yang datar. "Sayang, semoga papamu akan masuk ke kamar ini dan menemukan kabar keberadaanmu. Lalu, dia merasa senang dan merubah sikapnya."

Emily keluar. Dia sudah memesan taksi, tapi seseorang mencegatnya.

"Nona Emily, tuan Geraldo menyuruh Anda menggunakan mobilnya untuk bepergian."

Tanpa pikir panjang, Emily menerima kunci mobilnya. Dia segera melajukan mobil sedan hitam itu.

Pria yang menyerahkan kunci itu tersenyum puas melihat kepergian Emily.

[Sempurna, Nona.] Sebuah pesan dia kirim pada seseorang.

Sekian puluh menit melaju. Emily merasakan ada yang tidak beres pada mobil itu.

"Kenapa rem-nya tidak berfungsi? Apa yang terjadi?" Emily panik. Kecepatan mobil juga bertambah. Dia terus melaju dengan meliuk menghindari mobil lainnya.

"Sean. Apa kamu benar-benar ingin aku tiada?!" teriak Emily. Air matanya telah deras.

Emily membawa mobil itu ke jalan sepi. Semakin lama mobil tidak bisa dia kendalikan. Semakin kencang. Di depan, ada truk yang melaju cepat.

"Apa ini yang kamu mau, Sean ...?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status