Home / Romansa / Istri Sah Presdir Yang Terbuang / Bab 2. Tragedi Bulan Madu

Share

Bab 2. Tragedi Bulan Madu

Author: Angsa Kecil
last update Last Updated: 2023-06-22 12:50:54

"Apa yang harus aku rasakan saat ini?" Kaki Emily hampir luruh, dia berjalan lunglai dengan berpegang tembok. Wanita itu baru saja keluar dari ruang periksa kandungan. Tangannya menggenggam sebuah amplop.

Emily duduk, dia mengusap pelan perutnya yang datar. "Kamu sudah hadir dan mama pasti akan menjagamu."

Apa ini bisa disebut buah cinta? karena Emily mencintai Sean tanpa imbal balik. Namun, kehadiran janin itu memberi secercah harapan pada Emily, dia berharap Sean akan menerima dan berubah sikap.

Beberapa bulan ini, hubungan keduanya berjalan wajar, kecuali sikap dingin Sean pada Emily. Wanita itu selalu melakukan tugasnya sebagai istri dalam hal apa pun. Dia tetap menunjukkan sikap lembut dan tulusnya, berharap hati Sean akan tersentuh dan menjadi hangat.

Ponsel Emily, berdering tertulis 'suamiku memanggil'.

"Ya," singkat Emily.

"Cepat datang kemari, aku akan kirim lokasinya!"

Sambungan langsung diputus sepihak boleh Sean.

Emily menghela nafas berat. Sebuah restoran. Dia tersenyum tipis, apa Sean berniat mengajaknya makan? Pikirnya. Karena setelah menikah, Sean belum pernah mengajaknya makan di luar seperti kala dulu. Wanita itu kini berdiri kokoh, dia mengayun kaki tanpa bergetar.

Emily melajukan mobil sedan hitam itu sendiri. Tidak lama dia tiba di restoran yang dimaksud Sean. Langsung masuk ke private room, tempat suaminya.

Emily menghentikan langkah di ambang pintu. Dia menarik nafas dengan senyuman. Dia yakin, kesabaran dan ketulusannya selama ini telah terbaca oleh Sean. Wanita itu membuka pintu.

"Se-" Mata Emily membulat, dia berharap terlalu tinggi.

"Emily, kamu sudah datang?" Felisha hanya menoleh sebentar, tidak melepas dari pelukan Sean.

"Masuk!" seru Sean.

Emily menelan saliva berat. Dia melangkah masuk dan duduk menjauh dari keduanya.

"Kenapa memanggilku, apa untuk melihat kemesraan kalian?" Dada Emily sesak melihat sikap Felisha pada suaminya. Dia lalu menunduk dengan mengerjab-ngerjab agar air matanya tertahan.

"Emily, maaf karena suamimu mencintaiku. Aku hanya tidak berdaya menolaknya. Tapi, aku juga tidak tega padamu yang terlalu terobsesi dengan kekasihku. Jadi, kupinjamkan Sean sebentar untuk memuaskan hatimu." Felisha melepas pelukan Sean.

"Kamu memang yang terbaik, Sayang." Sean mengecup kening Felisha sangat lembut.

Emily menekan rahangnya kuat. Hatinya tersayat. Tangannya terus meremas di bawah, sambil menghembus pelan nafas dari mulutnya.

"Papa ingin kita pergi bulan madu, agar cepat memberinya cucu. Kamu tahu jika aku sangat sibuk, jadi pikirkan cara untuk mempersingkat waktu. Jangan berangan pergi ke luar negeri! Aku malas," jelas Sean. Pria itu tersenyum sinis pada Emily.

Cucu? Emily sangat ingin mengatakan jika benih itu telah berbuah, tapi ... mulutnya terbungkam.

"Bulan madu? Apa kamu akan bersenang-senang dengan Emily, Sayang? Aku tidak bisa membayangkan jika kamu pergi berdua dengan wanita licik itu," rengek Felisha.

Emily tertawa miris dalam hati. melihat sikap Felisha. Entah wanita itu masih bisa dikatakan sahabatnya atau tidak.

Sean memegang tangan Felisha, satu tangannya mengusap pucuk rambut wanita itu. "Katakan apa maumu?" Lembut, suara dan sikap Sean yang demikian itu yang dirindukan Emily.

"Biar aku yang pilih, bagaimana? Kebetulan jadwalku tidak padat." Felisha terlihat manja pada Sean. Membuat Emily sangat cemburu.

"Bagaimana kalau kita ke Maldives atau Thailand? Aku sangat ingin ke sana, apalagi dengan kekasihku." Felisha menggoyangkan lengan Sean.

"Apa saja untukmu, Sayang." Sean tersenyum lembut pada Felisha.

"Aku mencintaimu." Felisha memeluk Sean.

Emily memalingkan wajahnya. Sangat miris, dia terus menyaksikan romansa suami tercintanya dengan wanita lain. Apa dirinya yang salah karena hadir di antara mereka, atau wanita itu yang salah karena menjadi duri dalam rumah tangganya?

"Kita ke Bali!" seruan Emily telah merusak senyuman Felisha. Dia tersenyum malas pada wanita itu.

"Apa, ke Bali? Big No! Tempat itu sudah aku kunjungi beberapa kali. Aku mau ke luar negeri, Sayang." Ekor mata Felisha menatap tajam Emily.

"Apa maksudmu, Emily?!" sentak Sean.

"Minggu depan akan ada rapat pemegang saham. Kamu tidak boleh mangkir. Aku hanya melakukan tugas sebagai istrimu saja!" Emily menekan berat kata istri, berharap Sean menatap posisinya.

"Lain kali, aku akan membawamu ke semua tempat yang kamu mau. Hanya berdua," ucap lembut Sean pada Felisha.

"Asal bersamamu." Felisha mendengkus kesal.

"Aku akan ke kamar kecil." Emily bangkit. Dia sudah tidak tahan melihat kemesraan itu. Beban sesak di dadanya harus dia kurangi.

Di dalam bilik kamar kecil. Emily terus menyeka air matanya. Satu tangannya membekap kuat mulutnya agar tangisan itu tidak keluar.

Setelah sekian waktu, Emily keluar. Dia berdiri di depan wastafel, menatap pantulan wajahnya. Matanya sedikit bengkak, dia harus menyembunyikan dari Sean.

Setelah memoles wajah. Emily mengambil amplop tadi. Dia kembali membaca hasil pemeriksaan dokter. 'Sekarang bukan waktu yang tepat,' batinnya.

Di balik dinding, Felisha melihat kertas itu dengan mata lebar. Meski tidak jelas tulisannya, tapi dia paham jika itu soal kehamilan.

"Ehem!" Felisha mendekat.

Emily buru-buru memasukkan amplop itu ke dalam tas. Lalu, dia mencuci tangan sebentar dan hendak pergi.

"Tidak akan ada penerus keluarga Geraldo dari rahim wanita licik sepertimu!"

Emily menghentikan langkahnya, lalu berbalik. "Aku tidak paham bagaimana kalian menjalani hubungan selama ini. Hebat, aku sungguh salut. Apa kamu puas sudah melihatku tampak bodoh di depanmu selama ini?"

"Sangat! Dan aku senang, akhirnya tidak perlu pura-pura bersikap manis padamu lagi. Asal kamu tahu, aku sangat risih setiap mendengar curhatanmu. Apalagi kamu selalu membahas kekasihku. Wanita bodoh!"

Emily tersenyum miris. "Sean bukan pria bodoh, dia hanya belum sempat menemukan wajah aslimu saja!" Dia berbalik. "Dan lagi, yang berhak menjadi nyonya Geraldo bukan wanita licik dan munafik!" Emily melangkah pergi.

Felisha, dia orang yang selalu mendengar kisahnya bersama Sean. Namun, Emily terlalu tulus untuk memahami kepalsuan wanita itu.

Sesuai rencana. Ketiganya berangkat ke Bali secara terpisah. Sean berangkat dengan Emily. Sedang Felisha, akan bertemu di hotel.

"Kamu akan tidur di kamar depan. Kamar ini, untukku dan Felisha."

"Sean, ini bulan madu kita. Aku tidak mau menyerahkan kamarku pada wanita itu!" Emily tersenyum miris. Dia tidak habis pikir dengan rencana Sean.

"Baiklah, jika kamu suka dengan kamar ini, pakailah! Aku yang akan keluar!" Sean pergi meninggalkan kamar itu.

Emily mematung, dia tak percaya dengan keputusan suaminya. Dia memegang dadanya, air mata itu luruh seketika. "Jahat kamu Sean!"

Bulan madu, tapi Emily seolah menjadi orang ketiga di sana. Dia bahkan tidak bisa menemukan suaminya. Sean malah menghabiskan waktu dengan Felisha.

"Apa kamu sudah sampai?"

"Ok, aku akan ke sana. Tunggu aku!"

Emily mematikan sambungan telepon. Dia baru saja menghubungi sahabatnya. Sahabat yang benar-benar tulus padanya. Mereka menyusul Emily untuk menghibur wanita malang itu.

Sebelum pergi. Emily meletakkan amplop hasil pemeriksaan kehamilan di nakas. Dia meraba perutnya yang datar. "Sayang, semoga papamu akan masuk ke kamar ini dan menemukan kabar keberadaanmu. Lalu, dia merasa senang dan merubah sikapnya."

Emily keluar. Dia sudah memesan taksi, tapi seseorang mencegatnya.

"Nona Emily, tuan Geraldo menyuruh Anda menggunakan mobilnya untuk bepergian."

Tanpa pikir panjang, Emily menerima kunci mobilnya. Dia segera melajukan mobil sedan hitam itu.

Pria yang menyerahkan kunci itu tersenyum puas melihat kepergian Emily.

[Sempurna, Nona.] Sebuah pesan dia kirim pada seseorang.

Sekian puluh menit melaju. Emily merasakan ada yang tidak beres pada mobil itu.

"Kenapa rem-nya tidak berfungsi? Apa yang terjadi?" Emily panik. Kecepatan mobil juga bertambah. Dia terus melaju dengan meliuk menghindari mobil lainnya.

"Sean. Apa kamu benar-benar ingin aku tiada?!" teriak Emily. Air matanya telah deras.

Emily membawa mobil itu ke jalan sepi. Semakin lama mobil tidak bisa dia kendalikan. Semakin kencang. Di depan, ada truk yang melaju cepat.

"Apa ini yang kamu mau, Sean ...?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Sah Presdir Yang Terbuang   Bab 129. Semua Akan Indah Pada Waktunya

    "Sean! Bangun, Sean!""Akhh! Perutku sakit sekali ....""Sayang ....""Mama! Papa ...."Gaduh suara roda brankar membuat ngilu. Tiga pasien kini masuk dalam ruang tindakan. Dua pasien yang duduk di kursi depan telah ditutup kain putih."Apa yang terjadi pada anakku?!" Evan memegang dadanya."Pa, tenang. Jangan sampai papa lemah. Anak dan cucu kita pasti akan baik-baik saja!" Martha memegang dua bahu Evan dari belakang.Evan tak mampu lagi menopang raga. Dia lemas dalam dekapan sang istri."Panggil dokter!" teriak Martha.Tangisan pecah. Bahkan Blade gemetar melihat darah di dua tangannya. Kepalanya terus menggeleng. "Tidak! Tidak mungkin!"Dario diam mematung menatap pintu ruang tindakan. Hanya air mata tanpa isakan yang bisa mengungkap betapa takutnya dia sekarang.Rumah sakit itu seketika jadi perbincangan panas publik. Apalagi yang sedang sekarat adalah satu keluarga pengusaha hebat dan pemilik restoran yang terbakar."Tolong jangan berhenti dan lemah. Kumohon kita harus tetap kuat

  • Istri Sah Presdir Yang Terbuang   Bab 128. Di Ambang Kematian

    "Hancurkan dia! Beraninya mengusik bisnis yang sudah aku jalankan bertahun-tahun. Dia memang cari mati. Aku mau besok dengar kabar kalau semua keluarga Geraldo lenyap!" teriak Benny."Tapi, Bos-"Bugh! Kepalan kuat membuat satu anak buah tersungkur dengan bibir berdarah."Ada yang ingin aku habisi di sini?" Mata Benny nyalang buas."Maaf, Bos. Kami akan berangkat sekarang!"Tak ada lagi yang berani melawan Benny. Dia bak singa yang didesak wilayah kekuasaannya. Mengaum dan menggila. Matanya nyalang siap menghabisi lawannya.Di ruangan itu masih tersisa Erlan dan Biantara."Jika kalian tidak mau kalah, maka hanguskan musuh. Jangan sampai ada musuh yang tersisa. Kita harus jadi raja di raja. Jangan sampai ada yang berani setara pada kita!" bentak Benny.Erlan meremas tangannya. Dia malah terbesit wajah David. Semua kata-kata David terngiang jelas. "Tuan, saya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ada rasa jenuh dan sesal kala ini. Dia tak menyangka jika harus melangkah sejauh itu. Apa bisa

  • Istri Sah Presdir Yang Terbuang   Bab 127. Sean Kembali

    Ambulance langsung membawa Felisha ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan hebat. Dulu, dia bertingkah seperti apa pun kandungannya baik-baik saja. Bahkan dia mencoba makan banyak pantangan orang hamil muda, tetap saja kandungan itu bertahan. Di saat Felisha mulai menerima dan merasa hanya anak yang dikandungnya satu-satunya harta dan masa depannya, anak itu malah merajuk.Dokter langsung melakukan tindakan. Felisha dimasukkan ke ruang operasi karena keadaan sangat darurat. Namun, tindakan dokter tak bisa menyelamatkan janin itu.---Di tempat lain."Beres, Bos. Bayi itu tidak akan menjadi masalah Anda di kemudian hari. Sekarang wanita itu belum sadar karena kondisinya terlalu lemah." Seorang pria menghubungi atasnya. Ya, atasannya adalah orang yang sangat takut dengan tingkah gila Felisha jika suatu hari nanti anak itu akan jadi senjata ancamannya.Biantara. Dia sangat paham dengan polah tingkah seorang Felisha dan bergerak cepat di awal.****"Kami tidak mau punya pimpinan c

  • Istri Sah Presdir Yang Terbuang   Bab 126. Kian Membaik

    Tak hanya raga. Hati ini luruh tak mampu menopang beratnya rasa. Bagaimana bisa dia melalui hal seberat itu sendirian? Bagaimana bisa aku marah saat dia berdiri saja tak mampu? "Sean ...." Emily terisak di pangkuan Sean."Emily sayang ...." Sean mengusap rambut istrinya dengan derai air mata. Pria kekar itu sesegukan hingga dadanya bergetar.Pelan Sean mendongakkan wajah Emily agar menatapnya. Lalu, dia seka air mata yang telah berani melinang di pipi kesayangannya itu."Sean ...." Emily menggeleng menatap wajah yang sangat dirindukannya."Tadi, aku baik-baik saja dan sekarang saat melihatmu, aku seperti sudah ingin pulang. Aku tak merasakan sakit sedikit pun."Emily sedikit mengangkat tubuhnya dan memeluk Sean. "Aku membencimu, Sayang. Sangat membencimu. Dosa apa aku sampai tidak tahu kalau suamiku menderita."Sean memeluk erat, sangat erat. "Aku memang harus menebus dosa. Aku tahu pantas untuk mendapat perhatianmu karena dulu aku-""Ssssttttt .... Karena aku mencintaimu."Hah! Sean

  • Istri Sah Presdir Yang Terbuang   Bab 125. Emily Datang Untuk Sean

    Tidak mungkin Sean merahasiakan semuanya dariku? Apa maksudnya? Apa aku tidak berhak tahu atau dia tak ingin aku khawatir? Emily memegang tembok agar tak luruh di lantai."David ...." Emily memegang dadanya dengan derai air mata.David cepat meraih tubuh Emily. "Aku akan membawamu ke atas. Nanti kuceritakan padamu. Tenang, jangan sampai Axel tahu."David mengangkat tubuh Emily dan membawa ke kamar, tanpa sepengetahuan Axel dan Dayana."Pelan-pelan. Tenangkan dirimu. Jangan lupa kamu sedang mengandung anak Sean saat ini." David meletakkan pelan Emily di atas ranjang.Emily menggeser pelan tubuhnya dan bersandar di headboard. Dia menyeka air matanya. Nafasnya sesak terisak.David duduk di sisi ranjang. Dia merangkup wajahnya seraya menghela nafas. "Maafkan aku, Emily."Emily menggeleng sambil tersedu. "Jangan suruh memaafkanmu sebelum aku tahu soal Sean. Vid, aku istrinya. Kenapa aku harus dilarang mengetahui soal keadaannya? Apa salahku?" Tangis wanita itu pecah.David mendecih sesal.

  • Istri Sah Presdir Yang Terbuang   Bab 124. Emily Mendengar Percakapan David

    Di rumah sakit. Sean duduk dengan kepala bersandar. Dua tangannya terpaut di depan. Sebenarnya dia ingin mendekatkan wajahnya pada layar, tapi ...."Ingat, stay cool. Jangan sampai anakmu yang pintar dan sok tahu itu curiga. Tersenyum manis dan bicara seperlunya.""Aku tahu, Cerewet!" kesal Sean."Tuan sudah paham semuanya, Bawel!" Dario menajamkan sorot matanya pada Blade."Aku akan tekan tombol panggil. Kamu menyingkir dulu. Nanti muncul kalau Sean memberi kode!" Blade menggerakkan jari pada Dario, lalu mundur setelah panggilan itu tersambung.Sean meremas kepalan tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak kian kencang. "Huuuufffff ...." Dia terus menghembus nafasnya panjang."Papa!" Layar itu mulai jelas tampak wajah Axel dan .... Emily di belakangnya. Mereka berdua duduk di atas brankar.Sean sebentar mendongak agar matanya bisa dikondisikan."Papa!" Kini wajah mereka jelas di layar masing-masing."Sayang .... Maaf, papa terlalu banyak urusan." Sean tersenyum lebar. Dia mena

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status