Agnes tidak benar-benar mandi. Hanya sekadar menyingkirkan keringat yang terasa lengket dengan air suam-suam kuku. “Aku mau duduk di sofa saja,” pinta Agnes. Aksa menuntunnya ke sana tanpa banyak tanya. Ranjang rumah sakit—tak peduli sebagus apa pun itu—tetap saja menjadi tempat paling tidak nyaman untuk dihuni. Semakin lama berbaring di sana, Agnes merasa dirinya bertambah lemah. Mungkin karena sugesti bahwa dia sedang sakit ikut menyedot energinya. Jari-jari panjang Aksa bergerak lincah, membantu Agnes berganti pakaian. Sesekali tangan nakalnya membelai permukaan kulit halus Agnes. 'Dasar suami piktor! Masih saja curi-curi kesempatan!' Agnes mendumel dalam hati sambil matanya melotot garang pada Aksa. Aksa pura-pura tidak menyadari kedongkolan Agnes. Dia tetap bersikap santai seraya memamerkan senyuman tipisnya nan menawan. Tak lupa ia juga mendandani sang istri tercinta. Lagaknya sudah seperti MUA profesional saja. “Aku selalu rindu memandang wajahmu.” Aksa menatap lekat wajah
“Maaa … lihat apa yang kudapatkan!” Marsha berjalan tergesa-gesa menghampiri Clarissa. Mertuanya itu sedang asyik melakukan pilates di gazebo halaman belakang. Clarissa tak menyahuti panggilan Marsha. Dia masih berkonsentrasi penuh pada aktivitasnya. “Berhenti sebentar dong, Ma!” rayu Marsha. “Penting. Aku yakin Mama pasti senang dengan hasil temuanku.” Clarissa mendengkus. Menantunya itu sudah kelewatan. Memangnya dia tidak lihat kalau mertua lagi fokus merawat kebugaran diri? “Ma!” Rengekan marsha yang berjongkok di depannya memaksa Clarissa untuk berhenti. “Kamu enggak lihat Mama lagi olahraga?” “Ish, Mama … ini penting banget soalnya.” Clarissa duduk bersila. Mengatur pernapasan sebelum menutup sesi pilates-nya. Begitu dia selesai, Marsha beranjak ke sisinya. Wanita itu menyodorkan layar ponselnya yang menyala ke muka Clarissa. Menayangkan sebuah rekaman video. “Apa? Serius Ainun bukan istri Aksa?” Clarissa berseru kaget ketika Marsha menarik kembali ponselnya. “Kan Mama s
Ucapan syukur yang bergema di kalbu Aksa terus mengudara setelah operasi Agnes sukses. Penyintas breast cancer stadium 2B itu masih tergolek tak sadarkan diri di ruang pemulihan. Sudah lima belas menit waktu berlalu semenjak Agnes terbaring di sana. Belum ada tanda-tanda Agnes akan membuka mata. “Ya Allah!” Aksa terpekik ketika sisi ranjang yang menjadi tumpuan sikunya bergetar. Dia pikir terjadi gempa. “Agnes!” Aksa spontan mendekap istrinya. Tubuh wanita itu menggigil hebat. Setelah cukup lama getaran badan Agnes belum juga berhenti dan malah semakin kuat, Aksa mulai diserang panik. Buru-buru dia memanggil perawat melalui piranti yang tersedia di kamar tersebut. Dalam kalutnya, Aksa bergegas mencari selimut dan kaus kaki. 'Agnes tidak boleh mati kedinginan!'' Begitu racau panik yang terus bergema di hati Aksa. “Ah, jangan terlalu tebal, Pak!” larang seorang perawat begitu dia melihat Aksa akan menambah selimut Agnes. Dia baru saja tiba di ruangan tersebut bersama seorang rekanny
“Maaf, Sayang … aku tidak bisa menemanimu seharian di kantor hari ini.” Aksa meraih jemari Agnes, mengecupnya hangat. Pancaran gelisah masih memantul jelas dari manik matanya. “Ada apa?” Agnes berharap tidak ada kejadian buruk yang menimpa keluarga Aksa. Walaupun lelaki itu telah terusir dari rumah, mustahil emosinya tak tersentuh ketika ada sesuatu yang terjadi dalam keluarganya. “Aku harus pulang sekarang.” Ah, perkiraan Agnes sepertinya benar. Pasti telah terjadi sesuatu yang buruk. Tunggu! Pada keluarga Ainun atau keluarga mertuanya? Agnes harus memastikannya. “Ke mana?” selisik Agnes. “Aku boleh ikut?” “Sayang, bukankah kau mau ke kantor?” Aksa balik bertanya. “Aku tak ingin kau kelelahan.” “Setidaknya, beritahu aku apa yang terjadi sampai-sampai suamiku jadi cemas begini.” Senyuman senang spontan merekah dari sudut bibir Aksa. Agnes benar-benar tahu cara menghiburnya, walaupun secara tidak langsung. “Nenek Ainun baru saja meninggal dunia.” “Innalillahi wainna ilaihi roji
Bisik-bisik tak jelas semakin santer terdengar. Raut-raut wajah yang menaruh kasihan pada Ainun melayangkan tatapan penuh kebencian pada Clarissa. Dasar manusia tak punya hati! Mungkin begitu maki mereka dalam hati. Namun, tak satu pun dari kerumunan orang-orang yang menonton itu berani ikut campur. Terlebih saat mulut Clarissa terus mengeluarkan sumpah serapah pada Ainun. “Lepaskan Ainun, Ma!” Agnes berusaha mengungkai jemari Clarissa yang masih menempel erat pada hijab Ainun. “Jangan ikut campur, Agnes!” bentak Clarissa sambil menyikut menantunya itu. “Malu dilihat orang, Ma! Ainun sedang tertimpa musibah! Neneknya baru saja meninggal!” Agnes balas membentak Clarissa. Melecut kesadaran wanita tersebut selama beberapa detik. Clarissa mengedarkan pandangan berkeliling. Tampak barisan emak-emak saling berbisik dan melirik sinis kepadanya disertai seringai mengejek. Clarissa melepaskan cekalannya dari kepala Ainun seraya mendorong wanita itu dengan keras. Membuat Ainun nyaris terje
“Apa?! Tidak mungkin!” Sekujur tubuh Clarissa berkeringat dingin. Berkali-kali dia menggeleng dan menggumamkan kata tidak mungkin. Tubuhnya mendadak terasa seringan kapas. Dia seperti melayang di udara dan berjalan di atas awan saat melangkah menuju sofa. “Aksa anak yang penurut. Dia tidak mungkin tega melakukan hal segila itu.” Clarissa terus mengingkari berita yang disampaikan Agung. “Mama lihat saja sendiri!” Agung menyodorkan ponselnya kepada Clarissa. Tadi, sebelum meninggalkan pekarangan rumah Ainun, dia masih berusaha curi-curi kesempatan untuk merekam sisa-sisa pembakaran yang dilakukan Aksa. Mata Clarissa melotot seolah-olah akan meloncat keluar dari rongganya. Dia sungguh tak percaya dengan apa yang disaksikannya. “Oh, gaun-gaun mahalku,” ratapnya. “Ini tidak bisa dibiarkan, Ma!” Marsha yang sedari tadi diam menangisi nasib gaun-gaun mewahnya mulai kebakaran jenggot setelah melihat langsung aksi pembakaran yang dilakukan Aksa. “Kita harus minta ganti rugi! Enak saja dia
“Kamu yakin akan membiarkan Ainun dan anaknya tinggal di sini?” Ranty memandang serius pada Agnes dengan ekspresi yang rumit. Dia sungguh tak memahami jalan pikiran putrinya sendiri. “Hanya untuk sementara, Ma,” sahut Agnes, memandang lepas panorama di luar jendela kamar Ranty. Pepohonan dan segala sesuatu di luar sana tak lagi berbayang. Pertanda perputaran waktu tepat tengah hari. Terdengar helaan napas berat dari mulut Ranty. “Terserah kamu saja! Kamu sudah dewasa. Tahu mana yang baik dan buruk untuk dirimu.” “Iya, Ma. Tenang saja! Aku sudah mempertimbangkannya masak-masak.” Agnes berlutut di samping kanan mamanya. Seulas senyuman manis merekah dari bibir merahnya saat tangannya mengelus kulit keriput Ranty. “Ainun wanita yang baik, Ma. Aku yakin Mama pasti akan menyukainya.” Promosi Agnes tentang sosok Ainun sukses membuat alis Ranty saling bertaut. Matanya menyipit heran. Dia benar-benar tak mengenali anak gadisnya. Bagaimana bisa Agnes tak merasa cemburu pada Ainun? Apa semu
Agnes tercacak pada tempatnya berdiri. Memandang tak berkedip pada sepasang insan berlainan jenis dengan tubuh yang masih saling menempel satu sama lain. “Demi Allah! Ini tidak seperti apa yang kau pikirkan.” Keringat dingin mengucur di kening dan pelipis Aksa. Dia tidak pernah mengira Agnes akan memergokinya dalam adegan seperti itu. Adegan di mana Ainun menelungkup di atas tubuhnya dengan kedua tangan tepat berada di dadanya. Buru-buru Aksa menyingkirkan tubuh Ainun yang mengimpitnya. Ainun pun bergegas bangkit. Dia tegak dengan kepala tertunduk. Jari-jarinya saling bertaut dan gemetar. Dia tak ubahnya seperti seorang pencuri yang tertangkap basah saat beraksi. Seperti tersadar dari hipnotis, Agnes mengerjap cepat. Dipungutnya kantong bawaannya yang tadi terempas ke lantai. Dia melangkah ke sofa di ruang tamu rumah baru itu dengan wajah datar. Sama sekali tak melirik pada Aksa. Entah malu menyaksikan adegan suaminya dengan Ainun tadi, atau mungkin juga berusaha meredam marah. Ak