Hai Dears, 💋 sedikit info aja. Maafkan author yang tiba-tiba ganti "Kau" sebagai pengganti " Kamu" karena merasa nyaman saja dengan kata ganti orang ini. Semoga kalian tidak masalah ya. Thank you....
"Dengan apa?" tanya Mutia begitu panik, menatap Firheith dengan mata terselimuti gairah. Pria itu tidak mabuk, tetapi rupanya kesadarannya mulai menipis hanya begitu ia melihat kedua mata Mutia yang sayu. Tatapan mata tembaga Firheith jatuh pada bibir Mutia yang basah, jarinya mengukir di antara gelombang bibir itu dengan gerakan posesif. Sekalipun tak peduli, jika Mutia terus menghindari jarinya dengan wajah menoleh ke kanan dan kiri. "Fir!" dengkus Mutia melotot, karena ia tak mampu bergerak ketika kedua tangannya dikunci begitu kuat di atas kepala. "Syuuut!" FIrheith menggelengkan kepala, dengan semakin menekan bibir Mutia yang mungil dengan sebelah tangan. "Jangan bicara lagi Mutia...," larangnya dengan suara teramat parau yang penuh dengan pancingan. Sialnya posisi ini membuat suhu tubuh Firheith naik. Panas dan terbakar, seiring di kepalanya yang terbesit bayangan antara interaksi Janssen dan Mutia yang menurutnya terlalu berlebihan sore itu. Apalagi ditambah Niel yang lengke
Setelah melakukan tes urine, Mutia harap-harap cemas menunggu hasilnya. Tidak mungkin gara-gara itu, Mutia menunda mandi. Sementara kini sudah pukul enam pagi."Kenapa dua menit rasanya lama sekali? Ayolah... Sesuai harapanku..." Mutia menatap test pack dengan jantung berdegup kencang. Saat garis akan muncul, tiba-tiba Mutia mendengar pintu kamarnya diketuk. Sepasang netranya terbeliak mengetahui siapa yang memanggil. Ia sampai gugup dan buru-buru meletakkan test pack lagi di pinggiran wastafel. Tidak ingin membuatnya marah, Mutia secepatnya keluar dari kamar mandi dan berlari membuka pintu. "Maaf, Nyonya. Tadi saya sedang berganti pakaian.""Alasan!" hardik Glady sinis. Glady ternyata tidak sendiri, tapi juga bersama Celine yang mengenakan pakaian ala kantor. Keduanya berdiri menatap penampilan Mutia dengan tajam. "Dasar kampungan! Style kemejamu norak!" desis Celine. Mutia segera membantah, "Ini... Bukan kemeja biasa Celine, tapi kemeja batik sekar jagad dari Bali. Waktu aku dat
Firheith memperhatikan tatapan menuntut jawaban dari Mutia dan Adam Janssen. Ego pria bermanik tembaga ini terlalu tinggi. Alih-alih menjelaskan, Firheith yang tidak bisa membiarkan miliknya disentuh pria lain kembali merebut tangan Mutia."Fir, biarkan aku pergi dan tolong lepaskan aku?" Mutia memberontak dengan berusaha mengempas cekalan Firheith di pergelangannya.Namun, Firheith justru memeganginya begitu kuat. Pria itu bahkan semakin terlihat overprotektif, membawa Mutia berlindung di belakang tubuhnya yang tinggi gagah. "Tuan, jangan bertindak kasar pada Miss Mutia!" tegur Adam. Tidak sampai hati menyaksikan Mutia kesakitan ditarik sana-sini oleh Firheith, seperti tengah menghindari penculik. "Diam kau! Tidak usah ikut campur urusan kami!" peringat Firheith dengan tajam. Adam Janssen yang tadinya ikut marah, menghela napas panjang. Sekarang Adam bisa menguasai diri. Sebagai pengacara yang sudah malang melintang menangani berbagai kasus, tidak sekali Adam menemukan klien berw
Firheith yang melihat Mutia datar-datar saja, menjadikannya geram. Pria itu melempar testpack di tangannya ke meja dengan kasar. Berdiri mendekati Mutia yang duduk di seberangnya dan menaikkan dagu Mutia dengan jari telunjuk. "Jika kau ingin bercerai dariku karena tergiur merebut Hotel Crousant? Maka selamanya aku tidak akan menceraikanmu Mutia!""Tapi aku ingin bebas Fir? Aku ingin pulang ke Indonesia. Aku rindu ibuku," kata Mutia, suaranya terdengar penuh harap ketika Firheith melihat kilauan di mata wanita ayu itu. "Memangnya aku memenjarakanmu di sini?" Firheith yang tersinggung berubah menatap dingin pada Mutia.Napas Firheith yang menderu kasar bisa dirasakan di wajah Mutia yang kemudian berpaling. "Kau mau mengajar? Aku setuju. Kau ingin bekerja membantu di rumah ini? Silakan. Lalu di mananya aku memejarakanmu, huh?!""Lalu kenapa kau tidak berterus terang soal warisan yang menjadikanku alat untuk mendapatkannya?" tanya Mutia lantang, kini ia tidak gentar membalas tatapan taj
Firheith begitu kesal, karena Saviar malah menelepon dr. Lera yang kini sedang memeriksa kondisi Mutia yang belum sadarkan diri. Alhasil, entah bagaimana ceritanya Gabriel sekalian ikut datang ke hotel itu. "Brengsek kau, Saviar! Kau memang pengacara tidak berguna!" geram Firheith, menatap pria berkumis tipis di sebelahnya dengan tatapan bak mata pisau."Ma-maafkan saya, Mr. Fir. Sungguh, saya tidak sengaja," ujar Saviar begitu menyesal sekaligus takut. Gabriel yang sejak tadi memperhatikan Mutia beralih menatap Firheith. "Cepat ikut papa keluar! Ada yang ingin papa bicarakan padamu!""Oke." Firheith mengikuti Gabriel dari belakang. Namun saat mencapai pintu, Gabriel mengejutkan Firheith begitu ia tiba-tiba berbalik badan. "Anda juga harus ikut, Mr. Saviar Gonzales!" tekan Gabriel. "Ba-baik, Mr. Lander." Saviar mengangguk pasrah dengan wajah nyaris pucat. Ia tidak berkutik melawan Ayah dan anak yang sangat berpengaruh itu. Dan di lorong depan kamar ini persis, ketiga pria itu sal
Beruntung wanita paruh baya itu tidak ambruk ke lantai. Tangan Gabriel cekatan menahan bobot tubuh Glady ke dalam pelukan. “Mama!” pekik Celine dan Firheith panik, berhamburan menghampiri Glady yang telah digendong oleh Gabriel. Sementara itu, Mutia dan Espen yang tidak kalah terkejut kemudian menyusul mereka untuk mengetahui kondisi Glady selanjutnya. Mengesampingkan sikap jahat ibu mertuanya itu yang tidak pernah berlaku baik padanya selama ini. Mungkinkah ini sebuah karma dari Tuhan untuk Glady? Sedikitpun Mutia tidak berpikir demikian, yang ada malah kasihan. “Glad, bangunlah! Jangan membuatku takut!” panggil Gabriel saat istrinya masih tak merespon. Gabriel takut kehilangan ibu dari anak-anaknya. Raut cemas bahkan kentara sekali di wajah Gabriel, yang berusaha menyadarkan Glady dengan menepuk-nepuk pipinya. Akan tetapi, saat merasakan kulit Glady yang begitu dingin, mata keabuan Gabriel terbeliak ke atas. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan mama, Pa?” Celine bertanya sembar
"Kenapa papa egois menjauhkanku dari bayiku?" tanya Mutia dengan tatapan tak percaya, Gabriel yang biasa mendukungnya tega melakukan hal ini. Gabriel menatap Mutia yang terlihat sedih. "Papa tidak egois, Mutia. Daripada kau tidak menginginkan bayi itu dan dibuang, lebih baik kami yang mengasuhnya.""Tidak!" jerit Mutia menolak keras. Seketika mengejutkan Firheith dan Gabriel melihat Mutia begitu emosional. Kepala Mutia terus menggeleng seraya menyeret kakinya mundur. Ia meremas perut saat ucapan Gabriel itu—tidak ubahnya garam ditaburkan ke lukanya yang basah. Perih dan menyakitkan! "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menyerahkan bayiku padamu, Papa. Ini anakku!""Bukankah kau tidak pernah menginginkannya?" balas Gabriel lagi dengan alis tertaut tajam. Kedua mata Mutia membola dengan kilatan memenuh. Bagaimana papa mertuanya bisa tahu? Apakah Gabriel memiliki kemampuan bisa membaca pikiran orang?Selain licik, otak mafia juga lebih cerdik—dengan cepat mengetahui segala sesuatu
Tentu saja tidak keberatan, mau ia telanjang juga tidak masalah. Malah pria bermata tembaga itu terus mengamati pergerakan Mutia dari waktu ke waktu dengan sesuatu yang berubah dalam dirinya. “Damn it! Apa Mutia sengaja menggodaku?” Firheith bergumam dengan masih berdiri bersandar di sebelah cermin besar setinggi orang dewasa. Tangannya yang dilipat ke dada sesekali turun. Menelan saliva begitu susah ketika di bagian tengah—pertemuan pangkal pahanya berkedut, saat menyaksikan Mutia beranjak ke atas ranjang dengan gaya erotis. Betisnya yang mulus seperti dibiarkan tersingkap begitu Mutia menaikkan tubuhnya dan tidur posisi terlentang adalah pemandangan surga yang pastinya menggetarkan naluri pria mana pun. Tidak terkecuali Firheith yang sulit mengenyahkan pandangannya kepada Mutia Aurora, sekalipun Firheith berusaha berpaling. Menyadari dirinya terus dipandangi oleh Firheith dari pantulan kaca, Mutia yang membuka sedikit matanya lalu berkata, “Umm… Kenapa kau masih di sana Fir? Ap