Mutia akhirnya lega sampai di kediaman Firheith, walau kondisi tubuhnya lemas akibat mabuk perjalanan panjang. Mengudara lama dengan pesawat dari Indonesia ke Belgia.
“Ck, kampungan! Kamu bisa jalan sendiri, kan? Aku tidak sudi menggendongmu!” cibir Firheith dengan sarkas.Teganya ia membiarkan Mutia menyeret kopernya sendiri, malah berlenggang kaki lebih dulu sampai di teras rumahnya. Sementara koper miliknya dibawakan sopir taksi.Mutia menahan kesalnya dalam hati, karena pria itu menunjukkan watak aslinya selama di pesawat. Saat ia muntah atau kelaparan, jangankan menolong. Firheith malah kegenitan menggoda pramugari atau wanita di sana.“Setan!”“Diam atau pulanglah sendiri ke Indonesia!” bentak Firheith melotot.Mutia terdiam lalu menghela napas. ‘Sabarkan aku, Tuhan.’ Jika tak ingat ibunya atau memiliki uang sendiri. Pasti Mutia akan kembali ke bandara dan meninggalkan pria itu.“Seperti suara Tuan Fir?” Pelayan di rumah mewah itu bergumam, melirik ke pintu luar ketika mengelap meja.Bicaranya ini terdengar oleh sang tuan rumah yang duduk tak jauh darinya sedang membaca koran.“Espen, di luar ribut-ribut ada apa? Coba kamu cek!”Ting tong!“Ada tamu sepagi ini?” Sang tuan bersilang pandang dengan Espen, pelayan wanita itu. Tapi entah mengapa? Perasaannya mendadak bahagia.“Biar saya buka pintunya, Tuan.”Espen beranjak menuju pintu luar, membukanya dengan mata membola dan senyuman lebar.“Tuan Gabriel, Tuan Muda pulang!” seru Espen membuat Gabriel melipat tergesa korannya, pria tua itu segera bangkit menuju luar.“Fir, kamu akhirnya pulang.” Gabriel terharu, langsung memeluk sang putra dengan erat.“Papa apa kabar?” tanya Firheith senang, melihat Gabriel yang masih bugar dan awet muda di usia 60 tahun.Lima tahun sejak Firheith meninggalkan rumah, setelah bertengkar hebat dengan Glady, ibunya. Kini—tanpa disuruh, sang putra kembali pulang.Meskipun Gabriel terlihat seakan tidak peduli dan tidak mencarinya, tetapi diam-diam ia menyuruh anak buahnya untuk mengawasi Firheith.“Baik, Fir—” jawaban Gabriel terpotong sosok Mutia yang baru terlihat olehnya setelah tertutup perawakan tinggi Firheith. “Ia siapa?”Firheith langsung menggeser tubuhnya, hingga Mutia terpampang jelas. Wanita muda itu tersenyum hangat dan mencium tangan Gabriel.Entah mengapa? Gabriel merasa, wajah Mutia ini seperti mirip seseorang yang dikenalnya di masa lalu. Tetapi siapa? Gabriel lupa.“Ini istriku, Pa,” akui Firheith, mengejutkan Mutia karena tak hanya itu. Firheith tiba-tiba merengkuh pinggangnya dan bersikap sok mesra. Seolah mereka berdua pasangan harmonis.“Istri?”Gabriel dan Espen mengangkat alisnya ke atas.“Sejak kapan kamu menikah?!” Lengkingan suara tajam itu, datang dari wanita setengah baya yang berjalan menuruni tangga.Gabriel dan Espen yang belum menghilangkan keterkejutannya. Sontak menautkan pandangannya kepada sang Nyonya penguasa kediaman Lander, yang kini berdiri angkuh di depan Firheith dan Mutia.“Dua hari lalu, Ma. Apa kabar?” sapa Firheith dengan tampang datar. Tidak antusias, seperti bertemu dengan Gabriel.Mutia merasa ada yang tak beres di keluarga ini, apalagi sebelumnya Firheith tak pernah mengatakan apapun. Pria itu penuh misteri, Mutia jadi bingung sekaligus terlihat bodoh di depan mereka semua.“Kabarku semakin buruk setelah mendengarmu menikah tanpa restu dariku!” ujar Glady sarkas.Lirikannya sinis mengamati penampilan Mutia dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat Mutia kikuk dan insecure. Pakaian yang dikenakan Glady serba bermerek, dengan kilau berlian di telinga, leher dan tangan.Sementara Mutia hanya mengenakan trench coat warna caramel, dipadu celana jeans panjang navy yang dibelinya dari diskonan mall.“Jangan terlalu berlebihan, Mama. Sambutlah menantumu ini.”Firheith mendekatkan Mutia. Glady mundur dengan bahu bergidik dan terlihat mengabaikan tangan Mutia yang mengajaknya bersalaman.“Kamu pungut dari mana wanita udik ini, Fir? Jangan-jangan ... ini pelacurmu yang sengaja kamu bawa ke rumah untuk diakui sebagai istri!” ejek Glady dalam bahasa Belanda, pikirnya Mutia tak akan paham.Tapi Glady salah, Mutia ternyata dapat berbahasa Belanda karena dulunya sempat kursus. Ia tahu hinaan itu jelas ditujukan padanya.Jantung Mutia seakan ditusuk-tusuk paku. Dadanya terhimpit sesak air mata, yang berusaha dilaluinya dengan mengerjap ke atas ketika diperhatikan Firheith.“Mutia berasal dari keluarga baik-baik, Ma. Walau tidak sekaya kita, bahkan ia seorang guru!”Pembelaan Firheith membuat Mutia dan Gabriel tercengang. Putranya yang egois kini telah kembali berubah baik seperti dulu.Lantas, haruskah Mutia juga berterima kasih pada pria laknat itu yang sikapnya berubah-ubah seperti BMKG?Sulit diprediksi.Detik ini membela, nanti menghinanya lalu berubah lagi acuh tak acuh.“Glad, kendalikan dirimu! Mutia sekarang telah menjadi menantu kita, hormati ia?” peringat Gabriel lembut menarik tangan Glady menjauhi Mutia.“Tidak usah mengguruiku Gabriel! Dasar pria tidak berguna!” balas Glady seraya menyentak kasar tangan Gabriel.Gabriel terdiam menarik napas dengan sabar. Firheith kasihan melihat sang papa yang kerap ditindas oleh mamanya itu.Inilah yang menjadi salah satu penyebab, Firheith pergi dari rumah. Sehingga tidak pernah serius berhubungan dengan wanita, karena berpikir wanita itu menjengkelkan dan maunya menang sendiri.Bahkan ia sudah menebak, jika Glady pasti tidak setuju. Oleh karenanya, ia mengantisipasi dengan sengaja merahasiakan pernikahannya dan Mutia.“Mutia, ambilkan surat nikah kita di koper!” titah Firheith, tapi Mutia justru mematung dengan pandangan kosong. “Mutia!” sentaknya lebih keras hingga Mutia yang berjengit—tersadar.“I-iya, Fir.”Dengan tangan gemetar, Mutia menyerahkan surat nikahnya pada Gabriel atas suruhan Firheith.“Itu buktinya aku sudah menikah. Jadi, papa dan mama harus menyerahkan hotel crousant padaku,” ujar Firheith dengan menyapukan pandangannya pada Gabriel dan Glady yang sedang membaca surat nikahnya.Gabriel tersenyum lega melihat surat nikah itu, artinya; Firheith telah berhenti dari dunianya yang kelam dan serius menata masa depan seperti harapannya. Lain halnya Glady yang emosi, hampir merebut surat itu jika tidak dihalangi Gabriel.“Hotel Crousant tidak akan pernah kami serahkan padamu, selama kamu menikah bukan dengan pilihan mama, Fir!” pekik Glady menolak.Firheith menentang. “Pokoknya aku tidak mau tahu. Mama setuju atau tidak, hotel crousant harus jatuh ke tanganku karena mama sudah berjanji menyerahkannya setelah aku menikah!”“Kalau begitu, ceraikan wanita udik itu dan menikahlah dengan wanita pilihan mama!” suruh Glady seraya menuding Mutia dengan jijik.Rembesan bening seketika ambyar di pipi Mutia. Kakinya terhentak mundur, tidak menyangka jika Firheith tega memanfaatkannya demi kepentingannya sendiri.Berkaca dari masalahnya, dan bagaimana perilaku Firheith sebelumnya. Mutia yang gampang terprovokasi oleh Jerome kini tak menggubris suaminya itu yang terus memanggil. "Lajukan mobilnya, Jer!" suruh Mutia bersikeras. Bukankah ini kemauannya? Lalu kenapa Jerome pura-pura bingung? "Tapi kan, kita akan ke kantor polisi Mutia?" "Lain kali saja, Jer!" jawab Mutia ketus sembari mengalihkan perhatiannya dari Firheith yang mengetuk kaca mobil sebelahnya duduk. Jerome menarik sudut bibirnya, merasa senang melihat Firheith mengemis-ngemis seperti itu dendamnya sedikit terbalaskan. ‘Kau pikir merebut kepunyaan orang lain akan membuatmu aman, Fir? Tidak! Sudah waktunya aku mengambil Mutia dan anak kalian di rahim Mutia? Sungguh, aku tak sudi! Aku akan mencari cara untuk melenyapkannya!’ batin Jerome berniat buruk. Sementara itu, Firheith tak pantang menyerah. Dia ingat tujuannya dan setelah tahu Gabriel tak bersalah, Firheith semakin percaya diri menemui istrinya itu. "Buka kaca jendelanya
Gabriel langsung keluar dari mobil pasca berhenti. Situasi jalanan yang ramai membuat Gabriel yang buru-buru harus berhati-hati menyebrang. "Pak, tunggu!" Gabriel memanggil seseorang yang dikenalinya dengan pakaian compang-camping. "Berhenti! Tolong berhenti sebentar saya ingin bicara!" Sayangnya orang itu sekalipun tak menggubris Gabriel. Sopir keheranan dengan yang dilakukan Gabriel lalu menahan senyum. "Dia pergi sejauh ini hanya ingin mencari orang gila? Pakai bahasa Inggris lagi? Mana dia mengerti? Ada-ada saja kelakuan bule zaman sekarang." Tanpa sopir itu tahu, sebenarnya orang yang dianggap tak waras itu mengerti perkataan Gabriel. Bahkan mengenalnya tapi berpura-pura sebaliknya. "Aku harus cepat pergi sebelum Gabriel menemuiku," kata orang itu berjalan dengan cepat saat Gabriel mengikutinya dari belakang. "Goddamn it! Dia memang Ekadanta, walau rambutnya menggimbal, wajah dan tubuhnya burik seperti pakaiannya itu? Ck, gila!" gumam Gabriel mengatainya, "Apa tujuan dia beg
Sejurus kemudian mobil telah sampai di rumah Mutia. Kedua jantung Ayah dan putranya itu berdebar kencang padahal hanya melihat depan rumah itu. "Kita turun, Fir!" suruh Gabriel duluan tanpa menunggu dibukakan sopir. Firheith menyusulnya. Gabriel berdiri di tepi jalan, mengatur napas dan nyalinya sebelum menemui istri dari mendiang temannya. Rumah itu tampak sepi dan pintunya tertutup rapat. Mungkinkah penghuninya keluar? Dan tak ada siapapun di dalam! "Pa."Gabriel menoleh pada Firheith. Seakan tahu arti tatapan putranya, Gabriel langsung menjawab, "Ketuklah pintunya."Firheith mengangguk. Hanya dengan sekali ketukan, seorang wanita paruh baya menggunakan kebaya putih membuka pintu. "Siapa?" tanya Ida sebelum pintunya terbuka dengan lebar. Firheith dan Gabriel sesaat bertukar pandangan. "Saya, Bu." "Fi-Fir??"Tubuh Ida tersentak dan membeku melihat Firheith di hadapannya tiba-tiba. "Maafkan saya, Bu." Gegas Firheith merendahkan diri dengan memegangi tangan Ida. "Saya tidak be
"Kau yakin dengan keputusanmu bercerai dari Fir, Muti?" tanya Ida pada putrinya yang beranjak ke ruang tamu menemui Jerome siang itu. Ida sengaja menemui Mutia di kamar dan membahas topik itu sebelum Mutia keluar. Tapi Mutia tetap kukuh bercerai, bahkan kedatangan Jerome bermaksud untuk menemani putrinya ke kantor polisi membuka kembali laporan kematian Ekadanta yang sudah ditutup sejak lama. "Keputusan Mutia sudah benar, Bu Ida." Jerome menyahut ketika Mutia terlihat berjalan ke arah ruang tamu. Pandangan Ida dan Mutia tersapu ke Jerome yang bangkit dari duduk. Menyapa Ida dengan anggukan dan senyuman. Tapi entah kenapa dari awal bertemu Jerome, Ida tak begitu menyukainya walau pria itu bersikap ramah? "Maaf Nak Jerome, ini urusan keluarga kami. Tolong jangan ikut campur," ucap Ida sopan.Tapi Mutia yang tak enak dengan Jerome, karena ibunya yang terlalu sarkas. Lalu membisikkan sesuatu pada ibunya, "Bu, jangan begitu. Jerome ke sini niatnya baik.""Iya, Bu. Tolong maafkan saya
Firheith teralihkan suara Celine yang begitu geger. Kini ia sendiri pun dapat melihat Glady berdiri tegak di depannya setelah lama lumpuh, sehingga pria itu refleks menjatuhkan ponselnya ke lantai. “Ma.”Sepasang mata Glady basah memandangi putranya, tangannya menggapai wajah Firheith yang bergeming sebelum ia peluk. “Tolong dengarkan mama kali ini, Sayang. Percaya mama, kalau papamu tidak membunuh ayahnya Mutia? Tolong jangan salah paham, ya?” bisik Glady coba membujuk. Sontak Firheith melepas tangan Glady dari tubuhnya. Dan tanpa berkata apapun Firheith sedikit menjauhi ibunya itu, hingga Glady merasa cemas karena ia melihat ketidak percayaan Firheith dari tatapannya yang lesu. “Jika papa terbukti membunuh Tuan Ekadanta, silakan kau bunuh papa,” ucap Gabriel tiba-tiba mengejutkan keluarganya.Celine syok dan hampir terhuyung lalu Adam merangkulnya. “Kau baik-baik saja, Celine?” tanya Adam khawatir. Hubungan keduanya kini membaik lantaran Celine berhasil memenangkan hati duda
Sebelumnya….“Mutia, tolong dengarkan aku sebentar?”Wanita itu tampak menghela napas, mulanya dia tak ingin mengangkat ponselnya yang terus berdering jika bukan Ida—ibunya. Sayangnya yang malah dia dengar pertama kali adalah suara Jerome, pria yang masih kerabatnya dan menyukai Mutia namun dia tolak. “Kenapa kau masih menggangguku Jer? Sudah kukatakan, lupakan aku karena aku sudah menikah.”Takut Mutia memutus telepon, Jerome yang berstatus pengacara itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Mutia syok. “Aku tahu siapa yang membunuh Paman Ekadanta.”Hening, Mutia coba mengatur napasnya dan jantungnya yang berubah cepat.“Siapa?”Dengan suara lirih Jerome mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Pembunuh ayahmu adalah Tuan Gabriel!”Kedua bola mata Mutia Aurora terbelalak, tubuhnya bahkan sedikit terdorong ke dinding mendengar itu. Lalu dengan logikanya Mutia berusaha mencerna ketegangan yang menguasainya, dia tersenyum kaku sambil menggeleng.“Tidak mungkin, Papa Gabriel itu orang
Firheith mendorong tubuh tak berbusana Mutia di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya tak luput menjadi sasaran pria itu memanjakan lidahnya. "Ough, Fir. Hati-hati di bagian perut!" Mutia menahan dada bidang suaminya ketika Firheith tampak agresif. "Sayang, anggap ini babymoon kita? Ayolah, aku sudah tidak tahan! Berdekatan denganmu selalu membuat pusat diriku tegang." Firheith menggoda Mutia dengan meraba bagian dalam wanita itu. Mutia menggeliat resah dan menggigit bibir, kenikmatan akibat Firheit membuatnya basah. "Kau suka, humm?" "Ahh, iya...," sahut Mutia dengan wajah yang sayu. Firheith memang ahli meningkatkan gairahnya. Melihat ketergantungan Mutia. Suaminya mengulum senyum, perut buncit Mutia lalu diusapnya. Namun bukan dengan tangan melainkan kecupannya yang hangat. "Baby imut, biarkan kedua orang tuamu bersenang-senang ya. Tolong pengertian dan kerjasamanya?" bisik Firheith dengan lembut di perut Mutia, karena jambang Firheith romantisme itu
“Kita sudah sampai, Baby.” Firheith berujar setelah menggandeng tangan Mutia keluar dari mobil hingga ke tempat tujuan. Sebelumnya Firheith juga mengatakan, jika mereka telah tiba. Namun untuk sampai, butuh menaiki mobil terlebih dulu. “Tapi penutup mataku—”Perkataan Mutia terhenti, saat perlahan-lahan Mutia dapat merasakan kain penutup matanya ditarik oleh Firheith dan terlepas. Bibir Mutia membuncahkan senyum, Firheith pun mendekatkan bibirnya ke daun telinga Mutia. “Coba buka matamu sekarang, Baby.”Mutia mengangguk, kelopak matanya dibuka hati-hati. Agak buram karena terlalu lama tertutup. Akan tetapi saat matanya terbuka sepenuhnya. Mimiknya yang masam berubah ceria. “Kremlin Moskow?” “Yeap.” Firheith yang berdiri di belakang Mutia, lalu melingkatkan kedua tangan di perut istrinya tersebut. “Apa kau suka?”Tak disangka, Mutia menoleh dan menghadiahi Firheith sebuah ciuman yang menggetarkan. “Oh, Honey. Ternyata… Ini kejutan yang kau rahasiakan dariku sejak di Brussel. A
Setelah sarapan bersama di restoran Hotel Crousant pagi itu dengan mesra saling menyuapi dan bersenda gurau, Firheith berniat memberi kejutan untuk Mutia yang baru diangkatnya ke atas pangkuan."Kejutan apa honey?" tanya Mutia menatap Firheith, kali ini suaminya tampak segar dan seksi. Dalam balutan kemeja hitam, membentuk tubuhnya yang proporsional dengan dua kancing terbuka—memperlihatkan dada bidangnya.“Tapi kau harus menutup matamu dengan kain ini.” Firheith mengeluarkan kain warna hitam yang baru saja dimintanya dari Toni.Mutia terperangah. “A-aku harus menutup mataku?” ulangnya lagi dengan nada tak percaya, “Kejutan seperti apa yang akan kau berikan? Wow! Ini pasti sangat menakjubkan.”Firheith tak menjawabnya namun tersenyum. Menunjukkan kain hitam panjang yang berada di telapak tangannya itu, sebagai isyarat permohonan dan Mutia pun mengangguk pertanda setuju.“Baiklah…” Firheith lalu memasangkan kain itu menutupi mata istrinya dan menali nya di belakang kepala, “Selesai.”K