“Kenapa belum tidur Mutia?”
Suara lembut dan hangat dari belakang, justru mengagetkan Mutia yang merenung sendiri di meja dapur malam itu.“Ibu juga belum tidur.” Mutia memeluk lengan Ida, menempelkan pipinya dengan mata terpejam. Menyembunyikan kegelisahannya serang diri.“Mau ambil minum, tapi malah melihat kamu di sini.” Samar-samar Ida melihat arah jam dinding yang menunjukkan angka sebelas malam, lalu mengelus puncak rambut Mutia. “Ibu tahu pernikahan ini berat buatmu. Tapi ibu yakin, suatu saat kalian berdua pasti saling mencintai.”Mutia menghela napas dalam, tersenyum kecut. Keyakinan Ida tak mungkin terjadi, ketika Mutia dan Firheith tak lama lagi akan bercerai.Tepatnya sebulan dan simbiosis mutualisme. Pernikahannya dengan Firheith demi menjaga nama baik keluarganya masing-masing.“Nak, kamu melamun?”Mutia tersenyum tipis dengan alasan, “Kangen ayah, Bu.”“Ayahmu sudah tenang di surga. Pasti ia merestui pernikahanmu dan bahagia melihat dari sana,” kata Ida menghalau sedih. Ia juga tak kalah rindu dengan Ekandata.Ekadanta, suaminya yang dulunya mantan polisi. Gugur saat bertugas melawan para mafia yang menyelundupkan senjata ilegal ke Indonesia.“Bu, aku tidak mau meninggalkanmu. Aku ingin tetap merawatmu, karena selama ini aku belum bisa membahagiakanmu.” Mutia merengek seperti bocah, Ida semakin erat memeluk tubuh putrinya yang bergetar.Kristal bening jatuh dari mata Mutia, Ida menghapusnya perlahan. Ibu dan putrinya itu menghabiskan waktu sejenak mengobrol. Lebih tepatnya, Ida banyak memberi wejangan soal pernikahan.“Tapi sekarang kamu sudah memulai hidup baru, Muti. Suamimu prioritasmu, kamu wajib mengikutinya ke manapun ia mengajakmu pergi. Susah atau senang, selalu bersama seperti ikrar pernikahan kalian.”Mutia berteriak tanpa suara, saat dadanya terasa sesak. ‘Itu hanya akan terwujud jika pernikahannya sungguhan, Bu! Tolong maafkan aku, harus menyembunyikan perjanjian pranikah sialan itu darimu.’“Ibu bisa tinggal sendiri. Lagi pula masih ada tetangga atau kerabat dekat, termasuk Rich dan Alda,” sanggah Ida menenangkan.Mutia terkesima pada ibunya yang selama ini dijadikan panutan. Ida adalah sosok ibu yang sabar, pengertian dan penuh kasih.Sosok istri tangguh yang setia mencintai suaminya dan berhasil membesarkannya seorang diri sejak lima belas tahun lalu Ekadanta meninggal.Ida tidak marah pada Mutia saat tahu mengalami pemerkosaan. Mutia tak bersalah, selain hancur pasti sang putri membutuhkan dukungan.Semuanya terlanjur, kesedihannya berkurang ketika Firheith bersedia menikahi Mutia. Tanpa tahu perjuangan Mutia agar si bastard itu mau bertanggung jawab.Mungkin jika tahu? Pasti Ida tidak akan sudi memaafkan Firheith.“Bagaimanapun juga, Firheith telah menjadi suamimu, Nak. Hanya butuh waktu kalian menyesuaikan diri,” tutur Ida.Mutia menunduk, diam mencerna.“Sudah larut malam, masuklah ke kamarmu Mutia.”Tidak ingin dicurigai, Mutia pun beranjak. Begitupun Firheith yang segera kembali masuk ke kamar setelah sempat mendengar semua percakapan Ida dan Mutia di dapur.“Aku ingin bicara.”“Kamu belum tidur?” tanya Mutia yang baru memasuki kamarnya. Ia melihat dalam kegelapan, Firheith berdiri menghadap ke jendela luar seraya merokok.“Menunggumu.”Tidak perlu tersanjung, karena yang dikatakan Firheith bukan pujian. Saat pria itu menatap Mutia dengan sorot dingin.“Mau bicara apa?” Mutia bertanya dari jarak satu meter.“Besok kita berdua akan pergi ke Belgia, menemui keluargaku.”“Apa? Fir, ini terlalu cepat! Kenapa kamu tidak berdiskusi dulu denganku?” protes Mutia terlihat kecewa.Firheith mengedikkan kedua bahunya ke atas, acuh tak acuh seraya mengambil jaket kulitnya yang tersampir di gantungan paku.“Aku belum siap meninggalkan ibuku! Pasti ibuku juga tidak menyetujui ku pergi besok,” tolak Mutia beralasan, “Bukankah katamu pernikahan ini hanya kontrak? Lalu buat apa kamu mengajakku ke Belgia?”Firheith tidak mungkin menjelaskan tujuannya pergi ke Belgia demi meminta hak waris dari kedua orang tuanya.Selain hubungannya memang kurang baik, lantaran Firheith tak sepaham dengan sikap ibunya yang diktator. Firheith lalu memilih keluar dan bekerja pada Richard.Tetapi karena hubungannya dengan Richard juga kurang baik belakangan ini, gara-gara kesalahannya meniduri Mutia. Firheith berubah haluan, ingin menagih warisan yang dijanjikan ibunya jika ia sudah menikah.“Jangan banyak alasan. Sedangkan ibumu saja tidak masalah!”Kelopak mata Mutia terbuka penuh, terbangun seraya menatap Firheith dengan tatapan terkejut.“Sok tahu!”“Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dan ibumu di dapur.”Rahang Mutia terbuka cukup lebar, lidahnya kelu tak bisa membantah Firheith. Ternyata pria itu suka menguping pembicaraan orang?“Dua tiket ke Belgia sudah dipesan untuk besok. Tanpamu atau tidak, aku akan tetap berangkat!” putus Firheith seraya berjalan ke arah pintu. “Tapi jelaskan pada ibumu, kenapa kamu menolak ikut denganku? Dan ya, tanggung sendiri akibatnya, jika terjadi sesuatu!”“Fir!”Pintu tertutup, Firheith telah keluar dari kamar itu. Meninggalkan Mutia yang kesal, dalam kebimbangan sendiri. Ida pasti sedih jika ia tidak ikut Firheith ke Belgia.“Aaaaaah!” Mutia pusing, mengerang lalu menelungkupkan wajahnya ke bantal. “Tuhan, aku tidak mau meninggalkan ibu sendiri. Bagaimana ini?” Tak lama ia menangis, memeluk tubuhnya.***“Wah! Pengantin baru, kenapa malah ada di bar? Dan bukannya menghabiskan malam pertama dengan istrimu?” kekeh pria paruh baya itu yang merupakan tour guide sekaligus anak buah Richard.Firheith meliriknya sekilas lalu meminum wine nya lagi. “Pasti kamu tahu dari Rich.”“Ya, aku terkejut. Seorang Firheith Crousant Lander, me-ni-kah?” Chandra geleng-geleng tidak percaya. “Apakah kamu sudah tobat, Nak?”“Bisa siapkan kamar untukku sekarang, Pak Chandra?”Firheith menghentak gelas snifter nya yang kosong di atas meja. Ketika seorang wanita seksi mendekat lalu bergelayut manja di lehernya.Chandra membuang napas sebelum menyerahkan kunci dari balik jaketnya pada Firheith. Ia tahu kalau Firheith tidak akan bisa sehari absen bercinta dengan para wanita.“Kamar nomor sepuluh.”“Terima kasih, Pak Chandra.”Firheith lalu menoleh pada wanita seksi itu, menggandengnya ke kamar tujuan.“Aku akan memuaskanmu malam ini, Sayang,” kata wanita itu penuh damba menatap Firheith, seraya menurunkan resleting celananya.“Ssshh! Hisap lebih cepat, Yolanda!” erang Firheith menjambak rambut wanita itu.***“Ibu yakin, tidak apa-apa aku tinggal sendiri di rumah?”Mutia rasanya berat, berpisah dari Ida. Dipeluknya tubuh wanita tua itu dengan mengamati sudut rumah sederhana dari kayu ini.Rumah di mana ia dibesarkan penuh kasih sayang. Meskipun ia dan Ida hidup miskin tapi merasa cukup karena selalu bersama-sama.Bahkan demi mengikuti Firheith ke Belgia. Mutia telah mengajukan cuti dua Minggu pada kepala sekolah di mana ia mengajar.“Tidak apa-apa, Nak. Kamu jangan khawatir, Ibu bisa jaga diri,” kata Ida lalu mengalihkan kesedihannya dengan menanyakan Firheith. Sejatinya ia tahu, jika menantunya itu tak pulang dari semalam. “Apa Fir belum bangun?”“Maaf, semalam saya harus pergi dan tak sempat berpamitan pada ibu karena ada urusan mendadak.” Kemunculan Firheith membuat Mutia melepaskan pelukannya dari Ida.Sekilas Firheith melirik Mutia yang buang muka, lalu pada dua buah koper yang tersimpan di sebelahnya dengan satu buah kardus.Firheith tidak peduli isinya, yang penting Mutia setuju pergi dengannya ke Belgia hari ini.“Tidak apa, Fir. Oia, Mutia sudah mengemas kopermu dan kardus ini ... maaf, sekadar oleh-oleh khas Bali untuk keluargamu, tidak banyak.” Ida menjawab rasa penasaran menantu bulenya itu sebelum bertanya.Firheith tersenyum tipis lalu mendekatinya. “Terima kasih, Bu.”Ida juga tersenyum dan mengusap bahu kekar Firheith. “Titip salam ibu pada kedua orang tuamu, ya.”“Pasti, Bu,” Kemudian Firheith menarik dua koper itu. “Kami berangkat dulu, ayo Mutia!”Mutia beranjak dari duduk, setelah mencium tangan Ida. Mendekapnya begitu erat, dengan buliran bening yang tak sengaja turun.‘Bu, doakan aku tidak hamil. Supaya aku bisa segera bercerai dari Firheith,’ katanya dalam hati.Berkaca dari masalahnya, dan bagaimana perilaku Firheith sebelumnya. Mutia yang gampang terprovokasi oleh Jerome kini tak menggubris suaminya itu yang terus memanggil. "Lajukan mobilnya, Jer!" suruh Mutia bersikeras. Bukankah ini kemauannya? Lalu kenapa Jerome pura-pura bingung? "Tapi kan, kita akan ke kantor polisi Mutia?" "Lain kali saja, Jer!" jawab Mutia ketus sembari mengalihkan perhatiannya dari Firheith yang mengetuk kaca mobil sebelahnya duduk. Jerome menarik sudut bibirnya, merasa senang melihat Firheith mengemis-ngemis seperti itu dendamnya sedikit terbalaskan. ‘Kau pikir merebut kepunyaan orang lain akan membuatmu aman, Fir? Tidak! Sudah waktunya aku mengambil Mutia dan anak kalian di rahim Mutia? Sungguh, aku tak sudi! Aku akan mencari cara untuk melenyapkannya!’ batin Jerome berniat buruk. Sementara itu, Firheith tak pantang menyerah. Dia ingat tujuannya dan setelah tahu Gabriel tak bersalah, Firheith semakin percaya diri menemui istrinya itu. "Buka kaca jendelanya
Gabriel langsung keluar dari mobil pasca berhenti. Situasi jalanan yang ramai membuat Gabriel yang buru-buru harus berhati-hati menyebrang. "Pak, tunggu!" Gabriel memanggil seseorang yang dikenalinya dengan pakaian compang-camping. "Berhenti! Tolong berhenti sebentar saya ingin bicara!" Sayangnya orang itu sekalipun tak menggubris Gabriel. Sopir keheranan dengan yang dilakukan Gabriel lalu menahan senyum. "Dia pergi sejauh ini hanya ingin mencari orang gila? Pakai bahasa Inggris lagi? Mana dia mengerti? Ada-ada saja kelakuan bule zaman sekarang." Tanpa sopir itu tahu, sebenarnya orang yang dianggap tak waras itu mengerti perkataan Gabriel. Bahkan mengenalnya tapi berpura-pura sebaliknya. "Aku harus cepat pergi sebelum Gabriel menemuiku," kata orang itu berjalan dengan cepat saat Gabriel mengikutinya dari belakang. "Goddamn it! Dia memang Ekadanta, walau rambutnya menggimbal, wajah dan tubuhnya burik seperti pakaiannya itu? Ck, gila!" gumam Gabriel mengatainya, "Apa tujuan dia beg
Sejurus kemudian mobil telah sampai di rumah Mutia. Kedua jantung Ayah dan putranya itu berdebar kencang padahal hanya melihat depan rumah itu. "Kita turun, Fir!" suruh Gabriel duluan tanpa menunggu dibukakan sopir. Firheith menyusulnya. Gabriel berdiri di tepi jalan, mengatur napas dan nyalinya sebelum menemui istri dari mendiang temannya. Rumah itu tampak sepi dan pintunya tertutup rapat. Mungkinkah penghuninya keluar? Dan tak ada siapapun di dalam! "Pa."Gabriel menoleh pada Firheith. Seakan tahu arti tatapan putranya, Gabriel langsung menjawab, "Ketuklah pintunya."Firheith mengangguk. Hanya dengan sekali ketukan, seorang wanita paruh baya menggunakan kebaya putih membuka pintu. "Siapa?" tanya Ida sebelum pintunya terbuka dengan lebar. Firheith dan Gabriel sesaat bertukar pandangan. "Saya, Bu." "Fi-Fir??"Tubuh Ida tersentak dan membeku melihat Firheith di hadapannya tiba-tiba. "Maafkan saya, Bu." Gegas Firheith merendahkan diri dengan memegangi tangan Ida. "Saya tidak be
"Kau yakin dengan keputusanmu bercerai dari Fir, Muti?" tanya Ida pada putrinya yang beranjak ke ruang tamu menemui Jerome siang itu. Ida sengaja menemui Mutia di kamar dan membahas topik itu sebelum Mutia keluar. Tapi Mutia tetap kukuh bercerai, bahkan kedatangan Jerome bermaksud untuk menemani putrinya ke kantor polisi membuka kembali laporan kematian Ekadanta yang sudah ditutup sejak lama. "Keputusan Mutia sudah benar, Bu Ida." Jerome menyahut ketika Mutia terlihat berjalan ke arah ruang tamu. Pandangan Ida dan Mutia tersapu ke Jerome yang bangkit dari duduk. Menyapa Ida dengan anggukan dan senyuman. Tapi entah kenapa dari awal bertemu Jerome, Ida tak begitu menyukainya walau pria itu bersikap ramah? "Maaf Nak Jerome, ini urusan keluarga kami. Tolong jangan ikut campur," ucap Ida sopan.Tapi Mutia yang tak enak dengan Jerome, karena ibunya yang terlalu sarkas. Lalu membisikkan sesuatu pada ibunya, "Bu, jangan begitu. Jerome ke sini niatnya baik.""Iya, Bu. Tolong maafkan saya
Firheith teralihkan suara Celine yang begitu geger. Kini ia sendiri pun dapat melihat Glady berdiri tegak di depannya setelah lama lumpuh, sehingga pria itu refleks menjatuhkan ponselnya ke lantai. “Ma.”Sepasang mata Glady basah memandangi putranya, tangannya menggapai wajah Firheith yang bergeming sebelum ia peluk. “Tolong dengarkan mama kali ini, Sayang. Percaya mama, kalau papamu tidak membunuh ayahnya Mutia? Tolong jangan salah paham, ya?” bisik Glady coba membujuk. Sontak Firheith melepas tangan Glady dari tubuhnya. Dan tanpa berkata apapun Firheith sedikit menjauhi ibunya itu, hingga Glady merasa cemas karena ia melihat ketidak percayaan Firheith dari tatapannya yang lesu. “Jika papa terbukti membunuh Tuan Ekadanta, silakan kau bunuh papa,” ucap Gabriel tiba-tiba mengejutkan keluarganya.Celine syok dan hampir terhuyung lalu Adam merangkulnya. “Kau baik-baik saja, Celine?” tanya Adam khawatir. Hubungan keduanya kini membaik lantaran Celine berhasil memenangkan hati duda
Sebelumnya….“Mutia, tolong dengarkan aku sebentar?”Wanita itu tampak menghela napas, mulanya dia tak ingin mengangkat ponselnya yang terus berdering jika bukan Ida—ibunya. Sayangnya yang malah dia dengar pertama kali adalah suara Jerome, pria yang masih kerabatnya dan menyukai Mutia namun dia tolak. “Kenapa kau masih menggangguku Jer? Sudah kukatakan, lupakan aku karena aku sudah menikah.”Takut Mutia memutus telepon, Jerome yang berstatus pengacara itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Mutia syok. “Aku tahu siapa yang membunuh Paman Ekadanta.”Hening, Mutia coba mengatur napasnya dan jantungnya yang berubah cepat.“Siapa?”Dengan suara lirih Jerome mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Pembunuh ayahmu adalah Tuan Gabriel!”Kedua bola mata Mutia Aurora terbelalak, tubuhnya bahkan sedikit terdorong ke dinding mendengar itu. Lalu dengan logikanya Mutia berusaha mencerna ketegangan yang menguasainya, dia tersenyum kaku sambil menggeleng.“Tidak mungkin, Papa Gabriel itu orang
Firheith mendorong tubuh tak berbusana Mutia di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya tak luput menjadi sasaran pria itu memanjakan lidahnya. "Ough, Fir. Hati-hati di bagian perut!" Mutia menahan dada bidang suaminya ketika Firheith tampak agresif. "Sayang, anggap ini babymoon kita? Ayolah, aku sudah tidak tahan! Berdekatan denganmu selalu membuat pusat diriku tegang." Firheith menggoda Mutia dengan meraba bagian dalam wanita itu. Mutia menggeliat resah dan menggigit bibir, kenikmatan akibat Firheit membuatnya basah. "Kau suka, humm?" "Ahh, iya...," sahut Mutia dengan wajah yang sayu. Firheith memang ahli meningkatkan gairahnya. Melihat ketergantungan Mutia. Suaminya mengulum senyum, perut buncit Mutia lalu diusapnya. Namun bukan dengan tangan melainkan kecupannya yang hangat. "Baby imut, biarkan kedua orang tuamu bersenang-senang ya. Tolong pengertian dan kerjasamanya?" bisik Firheith dengan lembut di perut Mutia, karena jambang Firheith romantisme itu
“Kita sudah sampai, Baby.” Firheith berujar setelah menggandeng tangan Mutia keluar dari mobil hingga ke tempat tujuan. Sebelumnya Firheith juga mengatakan, jika mereka telah tiba. Namun untuk sampai, butuh menaiki mobil terlebih dulu. “Tapi penutup mataku—”Perkataan Mutia terhenti, saat perlahan-lahan Mutia dapat merasakan kain penutup matanya ditarik oleh Firheith dan terlepas. Bibir Mutia membuncahkan senyum, Firheith pun mendekatkan bibirnya ke daun telinga Mutia. “Coba buka matamu sekarang, Baby.”Mutia mengangguk, kelopak matanya dibuka hati-hati. Agak buram karena terlalu lama tertutup. Akan tetapi saat matanya terbuka sepenuhnya. Mimiknya yang masam berubah ceria. “Kremlin Moskow?” “Yeap.” Firheith yang berdiri di belakang Mutia, lalu melingkatkan kedua tangan di perut istrinya tersebut. “Apa kau suka?”Tak disangka, Mutia menoleh dan menghadiahi Firheith sebuah ciuman yang menggetarkan. “Oh, Honey. Ternyata… Ini kejutan yang kau rahasiakan dariku sejak di Brussel. A
Setelah sarapan bersama di restoran Hotel Crousant pagi itu dengan mesra saling menyuapi dan bersenda gurau, Firheith berniat memberi kejutan untuk Mutia yang baru diangkatnya ke atas pangkuan."Kejutan apa honey?" tanya Mutia menatap Firheith, kali ini suaminya tampak segar dan seksi. Dalam balutan kemeja hitam, membentuk tubuhnya yang proporsional dengan dua kancing terbuka—memperlihatkan dada bidangnya.“Tapi kau harus menutup matamu dengan kain ini.” Firheith mengeluarkan kain warna hitam yang baru saja dimintanya dari Toni.Mutia terperangah. “A-aku harus menutup mataku?” ulangnya lagi dengan nada tak percaya, “Kejutan seperti apa yang akan kau berikan? Wow! Ini pasti sangat menakjubkan.”Firheith tak menjawabnya namun tersenyum. Menunjukkan kain hitam panjang yang berada di telapak tangannya itu, sebagai isyarat permohonan dan Mutia pun mengangguk pertanda setuju.“Baiklah…” Firheith lalu memasangkan kain itu menutupi mata istrinya dan menali nya di belakang kepala, “Selesai.”K