Dua jam lebih Mutia menangis seorang diri di kamar, menumpahkan segala rasa sakit yang ia rasakan atas hinaan dari ibu mertuanya yang bermulut tajam dan suami brengseknya itu.
“Aku tak menyangka Firheith sangat licik! Setuju menikahiku demi mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya, dengan menumbalkanku!” Mutia meremas dadanya kuat-kuat seraya merutuki pria itu dengan kasar. “Aku benar-benar bodoh!”Teringat Alda, biasanya ia mencurahkan isi hatinya kepada sahabatnya itu. Jari Mutia hampir menekan nomornya untuk menelepon, tapi urung dilakukan karena sebelum pegi ia tak berpamitan padanya. Gara-gara Firheith yang beralibi tergesa ke bandara. Takut terlambat dan waktunya mepet.“Jangan! Alda pasti marah padaku.” Mutia menggeleng ragu, lalu meletakkan ponselnya lagi ke sisinya berjongkok dengan bersandar lesu di punggung pintu.Sementara Firheith meninggalkannya sendiri dan pergi setelah itu seperti pengecut. Tapi kemudian, Mutia tergesa menghapus air matanya ketika mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar.“Siapa?”“Ini saya Espen, Nona. Anda ditunggu Tuan Gabriel dan yang lainnya untuk makan malam sekarang!" teriak pelayan itu supaya Mutia di dalam mendengar.Kreekk.Espen lega, akhirnya Nona muda ini membuka pintunya. Tapi ia tiba-tiba kasihan melihat kedua netra Mutia yang sembab. Tak ingin menyinggung, Espen pura-pura tak tahu.“Aku akan ke meja makan sebentar lagi Espen,” kata Mutia dengan lengkungan senyum tipis.“Baik Nona Mutia, kalau butuh apapun. Jangan ragu memanggil saya,” balas Espen seraya menyerahkan dua kantong belanja yang berukuran besar ke tangan Mutia.“Apa ini yang kamu berikan padaku, Espen?” Mutia mengernyitkan kening, dengan sedikit kewalahan menenteng.“Tuan Gabriel membelikan baju untuk Anda. Ia berpesan supaya Anda memakai salah satu gaun itu untuk makan malam kali ini," jelas Espen dengan ramah.Aroma baju mahal langsung tercium, ketika Mutia memperhatikan logo keemasan di luar kantong belanja. Setidaknya, pemberian Gabriel ini membuktikan satu orang di keluarga Lander menganggapnya ada.“Terima kasih, aku akan memakainya,” ujar Mutia lalu menutup pintu kamarnya sepeninggal Espen.Mutia harus cepat bersiap. Tak ingin memberi kesan buruknya sebagai menantu di sana. Lalu ia memilih dress polos warna baby pink untuk dikenakan dan memberi riasan tipis di wajahnya agar tak terlihat pucat.“Selamat malam, Papa, Mama,” sapa Mutia begitu sampai di meja makan.Firheith ternyata lebih dulu di sana, menoleh datar padanya bersamaan dengan Gabriel yang tersenyum hangat. Sementara Glady dan Celine, adik Firheith itu langsung menunjukkan ketidaksukaannya pada Mutia.“Upik abu tetaplah Upik abu, meski dengan pakaian berharga ribuan euro!” lontar Celine dengan keras.Mutia tersenyum kecut, berusaha sabar mendengar ejekan itu. Rupanya, selama tinggal di sini. Ia harus kebal dan pura-pura tuli supaya mentalnya aman.“Duduklah dan makan malam bersama kami, Mutia,” suruh Gabriel dengan lembut.“Terima kasih, Papa.”Espen menggeser kursi untuk Mutia duduk di sebelah Firheith. Ia berterima kasih lalu melirik Firheith yang sibuk dengan ponselnya, masih belum memulai makan.“Fir, kamu mau makan apa? Biar aku ambilkan,” tawar Mutia dengan manis.Namun, Firheith justru menolaknya mentah-mentah sehingga Gabriel mengelus dada. Tidak Glady yang terlihat senang melihat tingkah putranya itu.“Biarkan Espen yang mengambilkan untukku. Kamu tidak usah mengurusiku, makanlah sendiri!” tukas Firheith tanpa melihat Mutia.Mutia membuang napas berat. Ia berusaha tenang dan kembali menarik tangannya, setelah meletakkan centong sayur ke mangkuk. Walau terdengar jelas tawa cemooh dari Celine, senyum smirk dari Glady dan ratapan iba dari Gabriel padanya.“Kasihan... Haha! Memang enak dicuekin?” tambah Celine mengejeknya lagi.“Jangan berisik di meja makan, Celine! Hargai kakak iparmu!” tegur Gabriel membuat putri bungsunya merengut, terlebih perhatian Gabriel condong pada Mutia."Iya, Pa!" sahut Celine patuh, meski nadanya ketus.Meja makan berangsur kondusif, semua makan dengan tenang walau Mutia tak nyaman mendapat tatapan intimidasi dari Glady dan Celine. Ia merasa semua makanan yang dikunyah nya sulit ia telan dan tercekat di tenggorokan.“Fir.""Ada apa Pa?" Firheith menyahuti panggilan Gabriel, seraya menatap pria tua itu yang terlihat meminum jus jeruk."Besok Pengacara keluarga kita akan datang ke rumah mengurus perpindahan hotel crousant atas namamu,” ujar Gabriel membuat Firheith menunda sendok yang akan meluncur ke dalam mulut.Wajah murung pria itu seketika berseri-seri menatap sang papa. Seperti halnya atensi Mutia, Glady yang membolakan mata dan Celine yang masih menyimak seraya makan, seolah tak terpengaruh dengan hal itu.“Papa serius?” Ini kabar yang sangat baik. Firheith terlihat begitu senang, menunggu dengan tak sabar jawaban Gabriel selanjutnya yang sedang menyeka mulutnya dengan napkin.Glady yang rupanya kurang setuju lalu memprotes, “Ya ampun Gabriel! Aku sudah mengatakan padamu, bukan? Kalau kita sepakat—”“Keputusanku tidak bisa diganggu gugat, Glady. Dulu kamu sendiri yang bersikukuh menjanjikan ini pada Firheith, lantas kenapa sekarang kamu yang berubah pikiran?” potong Gabriel membalik situasi.Glady mendengkus kesal. “Aku tidak akan berubah pikiran, kalau istri Firheith dari kalangan wanita terhormat dan bukan dari kalangan orang miskin tidak jelas sepertinya!”Kepala Gabriel pusing mendengar istrinya yang tak pernah sepaham dengannya, dari dulu terlalu tinggi mematok standar istri untuk putra mereka. Sementara itu, Mutia yang jelas-jelas dihina pun tertunduk lesu meremas jarinya dengan kuat. Ingin rasanya ia berteriak dan membalas mulut lantam ibu mertuanya, jika ia memiliki keberanian.Tiiing!Dentingan sendok yang dibanting Firheith, membuat semua atensi keluarganya tertuju pada pria itu yang terlihat marah.“Cukup! Aku bosan kalian selalu ribut jika aku berada di rumah ini! Tidak bisakah kalian membedakan mana ruang makan dan ruang adu mulut, huh?" teriak Firheith jengah, bangkit dari duduk.“Tetap di sini, Fir. Aku belum selesai bicara!” sergah Gabriel begitu melihat Firheith yang akan pergi meninggalkan meja makan."Tapi Pa?""Duduklah jika kamu ingin warisanmu diberikan! Atau aku menarik kembali semua perkataanku tadi!"Firheith menghela napas kasar. Akhirnya ia patuh dan setuju untuk kembali duduk, demi menunggu kepastian Gabriel soal warisannya itu. Ia tahu papanya hanya menggertak, karena selama ini papanya tak pernah ingkar janji. Berbeda dengan sang mama yang tak konsisten jika tak sesuai keinginannya.“Kamu setuju atau tidak, Glad. Firheith tetap akan mendapat bagian warisannya. Itu sudah menjadi haknya. Begitupun dengan Celine kelak, jika menikah,” ujar Gabriel membuat Celine sumringah.Glady membisu dengan napas memburu, Firheith tersenyum lepas mendengar keputusan final itu yang sangat menguntungkannya.“Jangan senang dulu, Fir! Aku memang akan memberikan hotel crousant padamu tapi dengan syarat!”“Syarat apa Pa?” tanya Firheith dengan jantung berdebar-debar.Hening seketika menyapa suasana meja makan, saat semua pasang mata mengikuti tatapan Gabriel yang mengarah pada Mutia.“Jika kamu sampai menceraikan Mutia, maka hotel crousant akan berbalik menjadi milik Mutia!”Berkaca dari masalahnya, dan bagaimana perilaku Firheith sebelumnya. Mutia yang gampang terprovokasi oleh Jerome kini tak menggubris suaminya itu yang terus memanggil. "Lajukan mobilnya, Jer!" suruh Mutia bersikeras. Bukankah ini kemauannya? Lalu kenapa Jerome pura-pura bingung? "Tapi kan, kita akan ke kantor polisi Mutia?" "Lain kali saja, Jer!" jawab Mutia ketus sembari mengalihkan perhatiannya dari Firheith yang mengetuk kaca mobil sebelahnya duduk. Jerome menarik sudut bibirnya, merasa senang melihat Firheith mengemis-ngemis seperti itu dendamnya sedikit terbalaskan. ‘Kau pikir merebut kepunyaan orang lain akan membuatmu aman, Fir? Tidak! Sudah waktunya aku mengambil Mutia dan anak kalian di rahim Mutia? Sungguh, aku tak sudi! Aku akan mencari cara untuk melenyapkannya!’ batin Jerome berniat buruk. Sementara itu, Firheith tak pantang menyerah. Dia ingat tujuannya dan setelah tahu Gabriel tak bersalah, Firheith semakin percaya diri menemui istrinya itu. "Buka kaca jendelanya
Gabriel langsung keluar dari mobil pasca berhenti. Situasi jalanan yang ramai membuat Gabriel yang buru-buru harus berhati-hati menyebrang. "Pak, tunggu!" Gabriel memanggil seseorang yang dikenalinya dengan pakaian compang-camping. "Berhenti! Tolong berhenti sebentar saya ingin bicara!" Sayangnya orang itu sekalipun tak menggubris Gabriel. Sopir keheranan dengan yang dilakukan Gabriel lalu menahan senyum. "Dia pergi sejauh ini hanya ingin mencari orang gila? Pakai bahasa Inggris lagi? Mana dia mengerti? Ada-ada saja kelakuan bule zaman sekarang." Tanpa sopir itu tahu, sebenarnya orang yang dianggap tak waras itu mengerti perkataan Gabriel. Bahkan mengenalnya tapi berpura-pura sebaliknya. "Aku harus cepat pergi sebelum Gabriel menemuiku," kata orang itu berjalan dengan cepat saat Gabriel mengikutinya dari belakang. "Goddamn it! Dia memang Ekadanta, walau rambutnya menggimbal, wajah dan tubuhnya burik seperti pakaiannya itu? Ck, gila!" gumam Gabriel mengatainya, "Apa tujuan dia beg
Sejurus kemudian mobil telah sampai di rumah Mutia. Kedua jantung Ayah dan putranya itu berdebar kencang padahal hanya melihat depan rumah itu. "Kita turun, Fir!" suruh Gabriel duluan tanpa menunggu dibukakan sopir. Firheith menyusulnya. Gabriel berdiri di tepi jalan, mengatur napas dan nyalinya sebelum menemui istri dari mendiang temannya. Rumah itu tampak sepi dan pintunya tertutup rapat. Mungkinkah penghuninya keluar? Dan tak ada siapapun di dalam! "Pa."Gabriel menoleh pada Firheith. Seakan tahu arti tatapan putranya, Gabriel langsung menjawab, "Ketuklah pintunya."Firheith mengangguk. Hanya dengan sekali ketukan, seorang wanita paruh baya menggunakan kebaya putih membuka pintu. "Siapa?" tanya Ida sebelum pintunya terbuka dengan lebar. Firheith dan Gabriel sesaat bertukar pandangan. "Saya, Bu." "Fi-Fir??"Tubuh Ida tersentak dan membeku melihat Firheith di hadapannya tiba-tiba. "Maafkan saya, Bu." Gegas Firheith merendahkan diri dengan memegangi tangan Ida. "Saya tidak be
"Kau yakin dengan keputusanmu bercerai dari Fir, Muti?" tanya Ida pada putrinya yang beranjak ke ruang tamu menemui Jerome siang itu. Ida sengaja menemui Mutia di kamar dan membahas topik itu sebelum Mutia keluar. Tapi Mutia tetap kukuh bercerai, bahkan kedatangan Jerome bermaksud untuk menemani putrinya ke kantor polisi membuka kembali laporan kematian Ekadanta yang sudah ditutup sejak lama. "Keputusan Mutia sudah benar, Bu Ida." Jerome menyahut ketika Mutia terlihat berjalan ke arah ruang tamu. Pandangan Ida dan Mutia tersapu ke Jerome yang bangkit dari duduk. Menyapa Ida dengan anggukan dan senyuman. Tapi entah kenapa dari awal bertemu Jerome, Ida tak begitu menyukainya walau pria itu bersikap ramah? "Maaf Nak Jerome, ini urusan keluarga kami. Tolong jangan ikut campur," ucap Ida sopan.Tapi Mutia yang tak enak dengan Jerome, karena ibunya yang terlalu sarkas. Lalu membisikkan sesuatu pada ibunya, "Bu, jangan begitu. Jerome ke sini niatnya baik.""Iya, Bu. Tolong maafkan saya
Firheith teralihkan suara Celine yang begitu geger. Kini ia sendiri pun dapat melihat Glady berdiri tegak di depannya setelah lama lumpuh, sehingga pria itu refleks menjatuhkan ponselnya ke lantai. “Ma.”Sepasang mata Glady basah memandangi putranya, tangannya menggapai wajah Firheith yang bergeming sebelum ia peluk. “Tolong dengarkan mama kali ini, Sayang. Percaya mama, kalau papamu tidak membunuh ayahnya Mutia? Tolong jangan salah paham, ya?” bisik Glady coba membujuk. Sontak Firheith melepas tangan Glady dari tubuhnya. Dan tanpa berkata apapun Firheith sedikit menjauhi ibunya itu, hingga Glady merasa cemas karena ia melihat ketidak percayaan Firheith dari tatapannya yang lesu. “Jika papa terbukti membunuh Tuan Ekadanta, silakan kau bunuh papa,” ucap Gabriel tiba-tiba mengejutkan keluarganya.Celine syok dan hampir terhuyung lalu Adam merangkulnya. “Kau baik-baik saja, Celine?” tanya Adam khawatir. Hubungan keduanya kini membaik lantaran Celine berhasil memenangkan hati duda
Sebelumnya….“Mutia, tolong dengarkan aku sebentar?”Wanita itu tampak menghela napas, mulanya dia tak ingin mengangkat ponselnya yang terus berdering jika bukan Ida—ibunya. Sayangnya yang malah dia dengar pertama kali adalah suara Jerome, pria yang masih kerabatnya dan menyukai Mutia namun dia tolak. “Kenapa kau masih menggangguku Jer? Sudah kukatakan, lupakan aku karena aku sudah menikah.”Takut Mutia memutus telepon, Jerome yang berstatus pengacara itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Mutia syok. “Aku tahu siapa yang membunuh Paman Ekadanta.”Hening, Mutia coba mengatur napasnya dan jantungnya yang berubah cepat.“Siapa?”Dengan suara lirih Jerome mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Pembunuh ayahmu adalah Tuan Gabriel!”Kedua bola mata Mutia Aurora terbelalak, tubuhnya bahkan sedikit terdorong ke dinding mendengar itu. Lalu dengan logikanya Mutia berusaha mencerna ketegangan yang menguasainya, dia tersenyum kaku sambil menggeleng.“Tidak mungkin, Papa Gabriel itu orang
Firheith mendorong tubuh tak berbusana Mutia di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya tak luput menjadi sasaran pria itu memanjakan lidahnya. "Ough, Fir. Hati-hati di bagian perut!" Mutia menahan dada bidang suaminya ketika Firheith tampak agresif. "Sayang, anggap ini babymoon kita? Ayolah, aku sudah tidak tahan! Berdekatan denganmu selalu membuat pusat diriku tegang." Firheith menggoda Mutia dengan meraba bagian dalam wanita itu. Mutia menggeliat resah dan menggigit bibir, kenikmatan akibat Firheit membuatnya basah. "Kau suka, humm?" "Ahh, iya...," sahut Mutia dengan wajah yang sayu. Firheith memang ahli meningkatkan gairahnya. Melihat ketergantungan Mutia. Suaminya mengulum senyum, perut buncit Mutia lalu diusapnya. Namun bukan dengan tangan melainkan kecupannya yang hangat. "Baby imut, biarkan kedua orang tuamu bersenang-senang ya. Tolong pengertian dan kerjasamanya?" bisik Firheith dengan lembut di perut Mutia, karena jambang Firheith romantisme itu
“Kita sudah sampai, Baby.” Firheith berujar setelah menggandeng tangan Mutia keluar dari mobil hingga ke tempat tujuan. Sebelumnya Firheith juga mengatakan, jika mereka telah tiba. Namun untuk sampai, butuh menaiki mobil terlebih dulu. “Tapi penutup mataku—”Perkataan Mutia terhenti, saat perlahan-lahan Mutia dapat merasakan kain penutup matanya ditarik oleh Firheith dan terlepas. Bibir Mutia membuncahkan senyum, Firheith pun mendekatkan bibirnya ke daun telinga Mutia. “Coba buka matamu sekarang, Baby.”Mutia mengangguk, kelopak matanya dibuka hati-hati. Agak buram karena terlalu lama tertutup. Akan tetapi saat matanya terbuka sepenuhnya. Mimiknya yang masam berubah ceria. “Kremlin Moskow?” “Yeap.” Firheith yang berdiri di belakang Mutia, lalu melingkatkan kedua tangan di perut istrinya tersebut. “Apa kau suka?”Tak disangka, Mutia menoleh dan menghadiahi Firheith sebuah ciuman yang menggetarkan. “Oh, Honey. Ternyata… Ini kejutan yang kau rahasiakan dariku sejak di Brussel. A
Setelah sarapan bersama di restoran Hotel Crousant pagi itu dengan mesra saling menyuapi dan bersenda gurau, Firheith berniat memberi kejutan untuk Mutia yang baru diangkatnya ke atas pangkuan."Kejutan apa honey?" tanya Mutia menatap Firheith, kali ini suaminya tampak segar dan seksi. Dalam balutan kemeja hitam, membentuk tubuhnya yang proporsional dengan dua kancing terbuka—memperlihatkan dada bidangnya.“Tapi kau harus menutup matamu dengan kain ini.” Firheith mengeluarkan kain warna hitam yang baru saja dimintanya dari Toni.Mutia terperangah. “A-aku harus menutup mataku?” ulangnya lagi dengan nada tak percaya, “Kejutan seperti apa yang akan kau berikan? Wow! Ini pasti sangat menakjubkan.”Firheith tak menjawabnya namun tersenyum. Menunjukkan kain hitam panjang yang berada di telapak tangannya itu, sebagai isyarat permohonan dan Mutia pun mengangguk pertanda setuju.“Baiklah…” Firheith lalu memasangkan kain itu menutupi mata istrinya dan menali nya di belakang kepala, “Selesai.”K