"Halo, assalamu'alaikum, Syamil. Hari ini kamu gak ke kampus, kenapa?""Halo, wa'alaykumussalam, Hanum. Iya, nih, saya ijin hari ini lagi sakit. Tadi udah WA ke Mustofa ketua kelas.""Oh, gitu, perlu bantuan gak?" "Nggak, Num, udah enakan cuma masih mual sedikit. Makasih atas tawarannya.""Ya sudah, nanti aku mampir ke kosan kamu sama teman-teman yang lain, siapa tahu kamu butuh bantuan. Cepet sembuh ya, Sya. Assalamu'alaikum.""Makasih, Hanum, wa'alaykumussalam." Syamil menaruh kembali ponselnya di lantai. Selimut yang sempat melorot ia tarik kembali untuk meredakan rasa dingin di tubuhnya. Pemuda itu memejamkan matanya hendak melanjutkan tidur. Gara-gara tanpa sengaja mencium pipi Hani, Syamil menjadi syok dan kepikiran. Bibirku tidak perawan dan aku sudah melakukan zina bibir. Hal itu terus yang berputar di kepalanya hingga saat subuh tadi ia demam. Tok! Tok! "Assalamu'alaikum, Syamil, ini Hani. Boleh masuk gak?""Wa'alaykumussalam, ja.... "CklekPercuma juga bilang jangan dan
Kabar meninggalnya Syamil membuat gempar pesantren. Abah Haji, Bu Umi, Laila semua menangis histeris karena terkejut dengan kabar itu. Apalagi pihak kampus yang memberitahu, pastilah bukan isapan jempol belaka. Didin berusaha menenangkan Laila, tetapi tidak bisa. Istrinya itu terus saja menangis dengan keras. "Halo, Yudi, kamu hari ini bawa bus ke mana? Ke Bandung?""Iya, Bos, hari ini ke Bandung, ini sudah di jalan dan sudah sampai Bandung, tapi belum masuk ke terminal. Kenapa, Bos?""Nah, kebetulan, lu tolong ke kosan yang nanti gue share alamatnya dan pastikan bahwa adik ipar gue di sana bagaimana keadaannya. Menurut kabar, adik ipar gue meninggal, tapi belum pasti karena apa. Segera kabari kalau lu udah sampai sana ya. Cepat ya Yud!""Innalillahi, oh, baik, Bos, begitu turun, saya langsung ke alamat yang Bos kirim.""Makasih, Yud." Didin meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Laila masih membenamkan wajahnya di bantal karena sedih. Tok! Tok! "Din, buka dulu!" Suara ayah
"Mbak Hani, saya masih hidup! Kenapa sih selalu bikin rusuh? Saya masih hidup, saya hanya lagi sakit dan gak mau diganggu siapapun. Bukan berarti saya mati! Udah deh, pergi sana! Semua jadi kacau gara-gara Mbak Hani!" Syamil mengusir Hani. Tangannya menarik tubuh Hani keluar dari kamar kos hingga Hani tanpa sengaja tersandung kakinya sendiri. Blam! Syamil membanting pintu kamarnya dengan kuat. "Maafin aku Syamil." Hani menahan tangisnya saat ia menyadari ia adalah orang yang paling bersalah atas kekacauan ini. Bendera kuning yang sempat dipasang di tiang listrik depan kosan, sudah dicabut oleh aparat lingkungan setempat. Hani pulang ke rumah dengan hati sedih. Ia menyesali kenapa otaknya lama sekali bisa memahami yang terjadi di sekitarnya. Apakah ini karena ia sedang hamil? "Mbak Hani sudah minta maaf dengan Syamil?" tegur Bu Retno yang kebetulan berdiri di depan rumahnya dan memang sedang memperhatikan Hani yang baru keluar dari kosan Syamil. "Sudah, Bu, saya mau minta maaf jug
Dua hari kemudian, Syamil pun sembuh dan sudah memulai aktivitas seperti biasa. Berangkat jam tujuh tiga puluh pagi dan pulang bisa sore, bahkan setelah magrib. Hani pun selama dua hari tidak menampakkan barang hidungnya di depan pemuda itu karena ia tahu, Syamil masih sangat marah padanya. "Mau salat, Sya," sapa Hani yang kebetulan baru kembali dari bidan dan berpapasan dengan Syamil yang akan keluar salat magrib. Wanita itu tersenyum pada Syamil, meskipun Syamil mengabaikannya. Hani tidak sedih, ia memaklumi Syamil. Wanita itu masuk ke dalam rumah karena sudah adzan magrib. Tumben pakai baju bener! Batin Syamil setelah ia berjalan semakin jauh dari rumah Hani. Ya, tadi Hani mengenakan celana kulot besar berwarna biru levis, dipadupadankan dengan baju kaus besar berwarna hitam. Biasanya, mau ke mana pun wanita itu selalu mengenakan celana pendek dan baju pendek yang kelihatan sedikit pusarnya. Selesai salat dan mendengarkan kajian hingga azan Isya, Syamil mampir ke pedagang ketopr
Hani dan Syamil memang sudah tidak bermusuhan, tetapi keduanya juga tidak kembali dekat. Syamil sibuk dengan tugas kuliahnya, sedangkan Hani sibuk melamun di rumah, sambil sesekali memperhatikan dari jendela rumahnya saat Syamil lewat. Wanita itu sudah tidak mau merepotkan Syamil dan ia sendiri memutuskan untuk menjaga jarak dengan Syamil yang masih sangat muda. Sebuah ojek online berhenti di depan rumahnya. Hani lekas membukakan pintu untuk melihat siapa tamunya. Betapa terkejutnya Hani saat mengetahui suaminya yang turun dari ojek online. Kepala Hani bergerak dengan kaki sedikit berjinjit. Bukannya jika ada Arif, maka ada Grace. Lalu di mana, Grace? "Hai, Hani," sapa Arif sambil tersenyum. Hani ikut tersenyum, lalu membukakan pintu untuk suaminya. Tepat disaat yang bersamaan, Syamil lewat. Pemuda itu ketinggalan flashdisk tugas kuliah di kamar, sehingga ia kembali ke kosan untuk mengambilnya. Disitulah Syamil melihat seorang pria tampan berkaca mata dan masih muda masuk ke rumah
"Kamu harus jaga kesehatan, Sya. Jangan suka telat makan, biar gak sakit. Emang sih, bagi anak kos, penyakit yang paling dekat itu ya lambung. Mm... apa kamu mau catering sama aku aja? Maksudnya aku bawain bekal untuk kamu makan di kosan." Syamil yang tengah fokus pada laptopnya, langsung menoleh pada Hanum yang menurut pendengarannya sangat menggiurkan. "Catering sama kamu? Eh, gak usah, Han. Eh, Num. Kadang aku ada kerjaan juga di luar, nongkrong sama teman. Biasanya makan di warteg aja. Makasih, Hanum atas tawarannya. Oh, iya, ini laptop kamu udah bisa kok. Kamu salah pencet aja." Syamil memberikan laptop Hanum yang sudah selesai ia betulkan. Gadis itu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. "Kamu pulang naik apa?" tanya Syamil. "Naik ojek online, soalnya aku gak bisa bawa motor." "Ya sudah, hati-hati ya. Aku balik dulu, assalamu'alaikum." Syamil pergi dari kantin tempat ia membantu membetulkan laptop temannya itu. Pemuda itu sempat mampir di sebuah warteg untuk membeli mak
Tindakan yang dilakukan dokter ternyata bisa menyelamatkan nyawa Hani dan juga bayinya, tetapi sebagai konsekuensi, Hani akan dirawat selama satu minggu di rumah sakit. Gadis muda itu harus bedrest total jika tidak ingin bayinya benar-benar tidak bisa dipertahankan lagi. Hani membuka matanya perlahan. Mengedarkan pandangan untuk memastikan di mana dirinya berada. Ruangan serba putih dengan tirai berwarna coklat susu, serta tangan yang tertancap jarum infus, cukup menjelaskan bahwa ia belum mati. "Alhamdulillah Mbak Hani sudah sadar," ucap Bu Retno tulus. Wanita setengah baya itu tersenyum pada Hani sambil mengusap rambut Hani dengan penuh rasa iba. "Bayi saya, Bu?" tanya Hani lirih. "Alhamdulillah, bayi kamu gak papa, tapi kamu harus bedrest di sini selama satu minggu. Allah masih menyelamatkan kalian dan itu adalah kuasaNya." Hani mengangguk pelan. "Assalamu'alaikum," suara Syamil di belakang tubuh Bu Retno membuat Hani menggeser sedikit kepalanya. Senyuman gadis itu amat leba
Jika ada suami siaga, maka Syamil adalah adik siaga. Itu yang dikatakan oleh Hani saat Syamil memutuskan menginap di rumah sakit menemani diri Hani. Perawat yang akan menjaga Hani belum bisa datang dan belum ada perawat lain yang bisa menggantikan. Jadilah Syamil yang menunggui Hani malam ini. "Mau ke mana, Sya?" tanya Apri, teman kos Syamil yang kamarnya berjarak tiga pintu saja. Apri sedang duduk di depan kamarnya saat Syamil melewati temannya itu. "Kakak sepupu gue yang tinggal di depan noh, lagi dirawat. Jadi gue mau tungguin," jawab Syamil berbohong. Sebenarnya ia tidak ingin bohong, tetapi jika ia mengatakan yang sebenarnya maka akan lebih repot lagi urusannya. "Oh, iya, ramai jadi omongan teman-teman. Katanya kakak sepupu lo kualat karena pakai baju seksi terus, jadinya diperkosa orang." Syamil tidak suka mendengar cara Apri bicara. Isi kalimat itu seolah-olah gembira atas kemalangan yang menimpa Hani. "Itu suaminya kali, jadi gak masalah mau diperkosa atau tidak. Lain kal