"Mbak Hani, saya masih hidup! Kenapa sih selalu bikin rusuh? Saya masih hidup, saya hanya lagi sakit dan gak mau diganggu siapapun. Bukan berarti saya mati! Udah deh, pergi sana! Semua jadi kacau gara-gara Mbak Hani!" Syamil mengusir Hani. Tangannya menarik tubuh Hani keluar dari kamar kos hingga Hani tanpa sengaja tersandung kakinya sendiri. Blam! Syamil membanting pintu kamarnya dengan kuat. "Maafin aku Syamil." Hani menahan tangisnya saat ia menyadari ia adalah orang yang paling bersalah atas kekacauan ini. Bendera kuning yang sempat dipasang di tiang listrik depan kosan, sudah dicabut oleh aparat lingkungan setempat. Hani pulang ke rumah dengan hati sedih. Ia menyesali kenapa otaknya lama sekali bisa memahami yang terjadi di sekitarnya. Apakah ini karena ia sedang hamil? "Mbak Hani sudah minta maaf dengan Syamil?" tegur Bu Retno yang kebetulan berdiri di depan rumahnya dan memang sedang memperhatikan Hani yang baru keluar dari kosan Syamil. "Sudah, Bu, saya mau minta maaf jug
Dua hari kemudian, Syamil pun sembuh dan sudah memulai aktivitas seperti biasa. Berangkat jam tujuh tiga puluh pagi dan pulang bisa sore, bahkan setelah magrib. Hani pun selama dua hari tidak menampakkan barang hidungnya di depan pemuda itu karena ia tahu, Syamil masih sangat marah padanya. "Mau salat, Sya," sapa Hani yang kebetulan baru kembali dari bidan dan berpapasan dengan Syamil yang akan keluar salat magrib. Wanita itu tersenyum pada Syamil, meskipun Syamil mengabaikannya. Hani tidak sedih, ia memaklumi Syamil. Wanita itu masuk ke dalam rumah karena sudah adzan magrib. Tumben pakai baju bener! Batin Syamil setelah ia berjalan semakin jauh dari rumah Hani. Ya, tadi Hani mengenakan celana kulot besar berwarna biru levis, dipadupadankan dengan baju kaus besar berwarna hitam. Biasanya, mau ke mana pun wanita itu selalu mengenakan celana pendek dan baju pendek yang kelihatan sedikit pusarnya. Selesai salat dan mendengarkan kajian hingga azan Isya, Syamil mampir ke pedagang ketopr
Hani dan Syamil memang sudah tidak bermusuhan, tetapi keduanya juga tidak kembali dekat. Syamil sibuk dengan tugas kuliahnya, sedangkan Hani sibuk melamun di rumah, sambil sesekali memperhatikan dari jendela rumahnya saat Syamil lewat. Wanita itu sudah tidak mau merepotkan Syamil dan ia sendiri memutuskan untuk menjaga jarak dengan Syamil yang masih sangat muda. Sebuah ojek online berhenti di depan rumahnya. Hani lekas membukakan pintu untuk melihat siapa tamunya. Betapa terkejutnya Hani saat mengetahui suaminya yang turun dari ojek online. Kepala Hani bergerak dengan kaki sedikit berjinjit. Bukannya jika ada Arif, maka ada Grace. Lalu di mana, Grace? "Hai, Hani," sapa Arif sambil tersenyum. Hani ikut tersenyum, lalu membukakan pintu untuk suaminya. Tepat disaat yang bersamaan, Syamil lewat. Pemuda itu ketinggalan flashdisk tugas kuliah di kamar, sehingga ia kembali ke kosan untuk mengambilnya. Disitulah Syamil melihat seorang pria tampan berkaca mata dan masih muda masuk ke rumah
"Kamu harus jaga kesehatan, Sya. Jangan suka telat makan, biar gak sakit. Emang sih, bagi anak kos, penyakit yang paling dekat itu ya lambung. Mm... apa kamu mau catering sama aku aja? Maksudnya aku bawain bekal untuk kamu makan di kosan." Syamil yang tengah fokus pada laptopnya, langsung menoleh pada Hanum yang menurut pendengarannya sangat menggiurkan. "Catering sama kamu? Eh, gak usah, Han. Eh, Num. Kadang aku ada kerjaan juga di luar, nongkrong sama teman. Biasanya makan di warteg aja. Makasih, Hanum atas tawarannya. Oh, iya, ini laptop kamu udah bisa kok. Kamu salah pencet aja." Syamil memberikan laptop Hanum yang sudah selesai ia betulkan. Gadis itu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. "Kamu pulang naik apa?" tanya Syamil. "Naik ojek online, soalnya aku gak bisa bawa motor." "Ya sudah, hati-hati ya. Aku balik dulu, assalamu'alaikum." Syamil pergi dari kantin tempat ia membantu membetulkan laptop temannya itu. Pemuda itu sempat mampir di sebuah warteg untuk membeli mak
Tindakan yang dilakukan dokter ternyata bisa menyelamatkan nyawa Hani dan juga bayinya, tetapi sebagai konsekuensi, Hani akan dirawat selama satu minggu di rumah sakit. Gadis muda itu harus bedrest total jika tidak ingin bayinya benar-benar tidak bisa dipertahankan lagi. Hani membuka matanya perlahan. Mengedarkan pandangan untuk memastikan di mana dirinya berada. Ruangan serba putih dengan tirai berwarna coklat susu, serta tangan yang tertancap jarum infus, cukup menjelaskan bahwa ia belum mati. "Alhamdulillah Mbak Hani sudah sadar," ucap Bu Retno tulus. Wanita setengah baya itu tersenyum pada Hani sambil mengusap rambut Hani dengan penuh rasa iba. "Bayi saya, Bu?" tanya Hani lirih. "Alhamdulillah, bayi kamu gak papa, tapi kamu harus bedrest di sini selama satu minggu. Allah masih menyelamatkan kalian dan itu adalah kuasaNya." Hani mengangguk pelan. "Assalamu'alaikum," suara Syamil di belakang tubuh Bu Retno membuat Hani menggeser sedikit kepalanya. Senyuman gadis itu amat leba
Jika ada suami siaga, maka Syamil adalah adik siaga. Itu yang dikatakan oleh Hani saat Syamil memutuskan menginap di rumah sakit menemani diri Hani. Perawat yang akan menjaga Hani belum bisa datang dan belum ada perawat lain yang bisa menggantikan. Jadilah Syamil yang menunggui Hani malam ini. "Mau ke mana, Sya?" tanya Apri, teman kos Syamil yang kamarnya berjarak tiga pintu saja. Apri sedang duduk di depan kamarnya saat Syamil melewati temannya itu. "Kakak sepupu gue yang tinggal di depan noh, lagi dirawat. Jadi gue mau tungguin," jawab Syamil berbohong. Sebenarnya ia tidak ingin bohong, tetapi jika ia mengatakan yang sebenarnya maka akan lebih repot lagi urusannya. "Oh, iya, ramai jadi omongan teman-teman. Katanya kakak sepupu lo kualat karena pakai baju seksi terus, jadinya diperkosa orang." Syamil tidak suka mendengar cara Apri bicara. Isi kalimat itu seolah-olah gembira atas kemalangan yang menimpa Hani. "Itu suaminya kali, jadi gak masalah mau diperkosa atau tidak. Lain kal
"Syamil, bangun, aku mau pipis," bisik Hani sambil menarik lengan baju kaus Syamil. Pemuda itu tidur sangat lelap dengan pose kepala berada di atas kedua tangan yang bertumpu di ranjang. Karena pemuda itu tidak juga bergerak, maka Hai kembali membangunkan Syamil, kali ini suaranya lebih keras, bersamaan dengan sedikit cubitan di lengan pria itu. "Aduh, kenapa, Mbak?" tanya Syamil kaget. Ia mengucek kedua mata sembaru menutup mulut karena menguap amat lebar."Mau pipis, Sya." "Ya udah pipis aja. Mbak Hani gak boleh turun dari kasur. Lagian itu pakai kateter biar Mbak Hani gak bolak balik turun. Selama seminggu pokoknya gak boleh turun." Syamil kembali meletakkan kepalanya di pinggir kaki Hani. Pemuda itu tentu sangat mengantuk karena sejak pagi belum beristirahat sama sekali. "Oh, jadi aku pipis aja? Kalau mau buang air besar gimana? Buang aja gitu langsung.""Lah, jangan, Mbak! Bisa dilemparin suster dari lantai tiga kalau Mbak buang air di kasur. Kalau mau buang air, Mbak harus d
"Aku tunggu kamu pulang lama banget, Mas. Nafsu aku jadi hilang." Grace cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada. Tubuhnya yang polos hanya berbalut selimut saja. Sebenarnya ia sudah bersiap untuk bercinta dengan suaminya, tetapi karena suaminya terlambat pulang, ia jadi ketiduran dan kesal. Ditambah lagi perutnya yang semakin buncit memasuki usia kehamilan enam bulan, sehingga keinginan disentuhnya semakin tinggi dan bila belum terpenuhi, maka wanita itu akan uring-uringan. "Sayang, tadi aku kan udah bilang, udah kirim foto juga soal ban mobil yang kempes. Masa udah seakurat itu informasinya kamu masih marah sih. Jangan marah dong, Sayang." Arif membelai wajah Grace, tetapi wanita itu mencoba menghindar. "Aku mandi dulu ya. Bau oli, bau keringet. Nanti kita tempur ya." Arif pun masuk ke kamar mandi, memberikan waktu pada Grace untuk menguasai kesalnya. Jika terus-terusan membujuk, wanita itu akan semakin kesal dan semakin merajuk. Lebih baik diabaikan saja sampai merajukny