"Sudah sana berangkat ngampus! Aku gak papa." Hani mengangkat suaranya begitu ia sudah siuman dari pingsan.
"Udah terlambat. Mau masuk juga udah gak semangat." Syamil bangun dari duduknya, lalu mengambilkan minum untuk Hani. Pemuda itu mengulurkan ujung sedotan pada bibir Hani yang seksi. Dengan cepat Syamil menggelengkan kepala agar tidak terlalu fokus pada bibir Hani yang padat."Udah, Syamil, apa yang mau disedot, orang airnya udah habis!" Syamil menggaruk rambutnya yang tidak gatal, diikuti seringai lebar. Pemuda itu meletakkan kembali gelas yang telah kosong di atas nakas. Ia ingin pulang, tetapi ia tidak tega juga dengan Hani. Ingin bertanya lebih detail tentang suami atau keluarga wanita itu, tetapi rasanya sungkan."Sya, ini udah jam satu, kamu makan dulu sana! Aku gak papa kok. Kata dokter klinik juga aku cuma kecapean aja. Bayi aku juga sehat. Sore ini mungkin aku sudah boleh pulang juga. Jadi kamu jangan terlalu khawatir." Hani tersenyum penuh hangat. Jauh di dalam hatinya sangat bersyukur bertemu pemuda baik seperti Syamil. Jika tidak ada pemuda itu, tentulah tidak akan ada yang tahu ia pingsan seorang diri di dalam rumah."Nanti saja, belum lapar," jawab Syamil santai."Ish, aku mau buka selimut ini, ganti baju. Kamu mah tega, masa aku dipakein gamis. Ini lagian gamis siapa?" Hani menggaruk lehernya yang gatal. Gerah, sumuk, sehingga ia ingin mengganti pakaiannya."Makanya kalau mau pingsan itu bajunya yang sopan. Masa pakai tank top doang sama celana pendek. Bayinya nanti kalau masuk angin gimana? Ya udah, saya pinjam gamis ibu samping rumah Mbak Hani aja.""Ya kali gue mau pingsan siap-siap dandan, ganti baju pakai gaun pesta, make up, pake parfum, pingsan ya pingsan aja!" Balas Hani dengan memberengut. Syamil tertawa sambil mengunyah permen karet. Rasanya seru juga dicereweti perempuan, karena dua wanita di rumahnya yaitu ummi dan tetehnya gak ada yang cerewet. Semua kalem dan cerewet hanya pada saat tertentu saja."Sya, kamu punya uang gak?""Nggaklah, ada sih buat makan doang, kenapa?""Mau minta tolong belikan rujak jambu air. Uangnya aku ada di rumah." Hani setengah memohon. Wanita itu menelan air liurnya karena tiba-tiba ingin makan rujak jambu."Nanti sore, pas aku pulang, aku gantiin." Syamil mengangguk setuju. Pemuda itu pun pergi mencari buah jambu sesuai keinginan Hani.Sudah cukup jauh ia berjalan, tetapi pedagan rujak buah keliling belum juga ia temui. Alhasil, Syamil memutuskan untuk mampir di warung makan untuk makan siang. Setelah perutnya kenyang, Syamil melanjutkan perjalanan mencari buah untuk Hani. Karena sudah cukup lama berkeliling dan tidak menemukan apa yang diinginkan, maka Syamil membelikan Hani buah jeruk Medan yang ternyata sedang murah."Syamil, kamu Syamil'kan?" tegur seorang remaja wanita seumuran dengannya. Pemuda itu memicingkan mata, mencoba mengingat wajah manis wanita berkerudung lebar dan juga berkacamata ini."Iya, saya Syamil, Mbak siapa ya?""Saya Zulaikha Hanum. Biasa dipanggil Hanum. Saya yang kemarin bareng kamu ospek, tapi kamu gak masuk dua hari ya?""Oh, iya, kalau gitu kita seumuran. Aku panggil Hanum aja ya?" Syamil tersenyum manis. Ia terpesona dengan sosok remaja yang menutup auratnya dengan baik. Kerudung besar itu berkibar ditiup angin, sehingga menamba kesan elegan wanita muslimah. Hanum mengangguk, membalas senyuman Syamil dengan tak kalah sumringah."Sekarang kamu sudah sehat? Kenapa tadi gak masuk? Waktu perkuliahan besok dimulai loh.""Oh, iya, Hanum, kakak saudara saya sakit, jadi saya gantian yang urus beliau. Ini saya disuruh belikan buah."Syamil dan Hanum terus berbincang seru tentang dunia kampus. Pemuda itu lupa, ada Hani yang tengah menunggunya sampai berlinangan air mata. Ia sangat ingin makan buah jambu, tetapi Syamil tidak kunjung kembali."Ini obatnya diminum rutin ya, Mbak Hani. Kalau bisa jangan memikirkan hal berat dulu. Usahakan jangan pingsan lagi ya." Hani mengangguk paham. Obat yang dimasukkan ke dalam plastik itu ia bawa pulang setelah semua administrasi ia bayarkan. Untunglah ponselnya ada M-banking sehingga ia bisa membayar perawatannya sendiri tanpa perlu menyusahkan orang lain.Dengan ojek online, Hani pulang tanpa menunggu Syamil. Ini sudah jam empat sore, sehingga tidak mungkin Syamil pergi meninggalkannya sangat lama. Bisa saja pemuda itu memang sedang ada urusan.Saat duduk di boncengan, tanpa sengaja ia melihat Syamil dan seorang wanita berkerudung besar yang wajahnya sama belianya dengan pemuda itu. Pantas saja Syamil tidak balik-balik ke klinik. Kenapa tidak dipanggil? Tidak, ia tidak akan mau mengganggu keseruan Syamil dengan teman wanita yang setipe dengan dirinya.Begitu sampai di rumah, Hani pun mengunci pintu. Ia memutuskan mandi air hangat agar tubuhnya kembali segar.Kring! Kring!"Halo.""Halo, Mbak Hani, aduh maaf, saya sampai lupa kalau Mbak Hani menunggu saya di rumah sakit. Ini tapi kata suster Mbak Hani sudah pulang naik ojek.""Iya, gak papa. Jambunya dapat gak?""Nggak, Mbak, adanya jeruk.""Ya udah kalau gitu gak jadi. Makasih kamu udah mau aku repotin ya. Aku mau mandi dulu."Hani memutus panggilannya. Ia memaklumi Syamil yang masih muda dan tentu saja berbeda dunianya dengan dunia kelam yang saat ini ia jalani. Ia tidak boleh selalu mengharapkan Syamil ataupun mengandalkan remaja itu, karena memang dunia mereka berbeda.Ibu dipenjara, ayah sudah lama tidak ada. Kakak hidup serba kekurangan, lalu dirinya malah menjadi istri kedua yang dibuang. Tidak ada yang mau bernasib menyedihkan seperti dirinya, tetapi ini sudah takdir dan ia harus menjalani dengan lapang dada.Pukul delapan malam, Hani keluar untuk mencari jambu air. Rasa penasaran dan ngidamnya begitu kuat, sehingga ia merasa sedih jika tidak bisa menikmati rujak buah jambu itu dengan segera. Tujuannya adalah minimarket super berwarna merah yang isi tokonya lumayan lengkap. Ada banyak buah potong di sana, mulai dari nanas, semangka merah, semangka kuning, buah naga, mangga, jeruk, pir, dan masih banyak lagi yang lainnya. Untunglah apa yang ia inginkah tersedia juga di etalase buah. Lekas Hani mengambil secukupnya untuk ia bawa pulang.Srek!Brak!"Aw! S-siapa kalian? Apa yang... mmmppp!" Dua pria bertubuh besar menarik Hani ke balik tembok besar. Buah jambu terlepas dari tangannya, begitu juga dengan sebelah sandal karena ia memberontak.Syamil tengah berjalan di trotoar sambil menenteng nasi bungkus. Awalnya ia ingin makan di tempat, karena sudah tidak kebagian bangku duduk, Syamil memutuskan pulang saja. Perutnya masih tidak nyaman kalau memaksakan makan mie instan lagi. Waktu ia sakit, untunglah Hani memberikan makanan sehat untuknya sehingga ia lekas pulih. "Eh, bungkusan apa itu?" Syamil berjalan lebih cepat untuk melihat bungkus makanan yang terjatuh, rupanya berisi buah jambu potongan. Kepalanya menoleh ke kanan dam ke kiri untuk mencari pemilik buah yang mungkin tanpa sadar sudah menjatuhkan bungkusan tersebut. Syamil mengangkat bungkusan itu dan seketika itu juga ia melihat sandal yang sangat ia kenali. Sandal Hani. Ditambah dengan bungkusan buah jambu, Syamil yakin pemilik buah ini adalah Hani. "Mbak Hani! Mbak Hani!" Syamil berlarian ke sana-kemari mencari keberadaan Hani, tetapi ia tidak menemukan wanita hamil itu. Syamil semakin panik, ia mencoba menghubungi Joko, tetapi tidak diangkat. Suara berisik
Pria yang bernama Didin sudah tiba di Bandung. Hari ini ia memang sedang ingin membawa bus tujuan Bandung untuk menemui Syamil, sekaligus melihat dari kejauhan sosok Hani. Hani adalah anak dari wanita yang hampir membunuh putranya. Ia tidak dendam dengan gadis itu, justru ia iba dengan Hani. Dalam satu keluarga, hanya Hani yang benar, tetapi ia terjebak dengan pernikahan kontrak bersama dosennya. Untuk itu ia meminta Syamil untuk mengawasi Hani memastikan gadis itu baik-baik saja, meskipun di dalam hati dan pikiran gadis itu terluka. "Om!" Teriakan Syamil membuat Didin menoleh. Syamil melambaikan tangan, lalu berlari menghampiri Didin dengan senyuman. Pemusat itu mencium punggung tangan calon kakak ipar yang sampai saat ini belum bisa ia panggil dengan sebutan Mas' , tetapi 'Om. Mereka berada cafe yang letaknya tidak jauh dari kampus Syamil. Didin memang sengaja yang menjumpai Syamil agar ia bisa melihat juga keadaan Hani. "Gimana, Hani?" tanya Didin pada Syamil. "Masih begitu, O
"Abah sudah telepon Syamil lagi? Firasat Ummi gak enak, Bah. Ummi khawatir kalau Syamil memang dekat sama wanita di sana." Bu Umi mengadu pada suaminya, setelah mereka baru saja selesai makan malam. Abah Haji hanya tersenyum samar. "Belum, anak bujang jangan terlalu sering ditelepon. Pasti dia bisa jaga diri, Mi. Lagian yang kemarin itu cuma tetangga yang kebetulan ada di sana pas Syamil sakit. Udah ibu-ibu juga, Mi.""Tuh, apa lagi ibu-ibu, Bah. Justru ibu-ibu itu yang perlu diwaspadai. Soalnya Abah dulu juga pernah dekat ibu-ibu kan? Untung Ummi langsung nyamber, kalau nggak, ya Abah nikahnya sama ibu-ibu itu. Tetangga Abah yang suaminya gak pulang-pulang itu." Bu Umi mengoceh dengan wajahnya yang masam. Wanita itu tidak mau kejadian masa muda suaminya, malah diwariskan pada Syamil. "Jangan suudzon, Mi, nanti malah kejadian, he he he .... " Laila; teteh dari Syamil ikut menghampiri abah dan umminya yang sedang berada di ruang makan. Bu Umi semakin cemberut. Di dalam hatinya mengup
Syamil tidak bisa berhenti tertawa, bahkan setelah ia masuk ke dalam kamar kosnya. Pemuda itu berhenti sejenak saat mengucapkan salam, setelah itu kembali terbahak. Ya ampun, habis ketemu bini orang, Syamil jadi gak waras. Batin Didin yang memperhatikan pemuda itu tanpa berkedip. "Ada apa, Sya? Pulang-pulang malah ngakak. Istighfar, Sya. Kamu kenapa?" tanya Didin saat Syamil tak kunjung berhenti tertawa saat ia sudah duduk di kasur. "Sya!" Didin semakin panik dengan mengguncang tubuh Syamil yang tidak beraksi saat ia tegur. "Audzubillahi minassyaitonirrojiim. Bismillahirrahmanirrahim. Cuih! Cuih!""Jiah, kenapa disembur, Om? Ih, jijay!" Syamil mengambil dua lembar tisu untuk membasuh wajahnya yang terkena air liur Didin yang muncrat. Merasa tidak puas dan sangat mengerikan dengan baunya, Syamil berlari keluar kamar untuk mencuci muka. Kali ini Didin yang tertawa terpingkal-pingkal. Ia sudah salah sangka dengan mengira Syamil kerasukan jin istri tetangga, rupanya bukan. Syamil ma
"Oh, jadi kamu mau pulang ke Jakarta?" tanya Hani pada Syamil yang tengah sibuk di depan laptopnya. Pemuda itu mengangguk, tanpa melepas pandangan dari layar laptop. Sore ini Hani membuat kolak pisang dan ia mengantarkan ke kamar kos Syamil. Pintu kamar terbuka dan Hani duduk di depan sambil menemani Syamil mengerjakan tugas. "Lama gak?" tanya Hani lagi. "Nggak, saya kan kuliah, Mbak. Paling hari senin pagi saya pulang. Besok dari kampus saya langsung ke terminal, gak balik ke kosan lagi," jawab Syamil sambil tersenyum. "Wah, berarti aku gak bisa lihat kamu pergi dong! Apa mau aku antar?" Syamil tidak langsung menjawab, melainkan tawa yang menggelegar membuat teman kos yang kebetulan lewat di depan kamarnya ikut menoleh. "Makasih, Mbak, Hani, tapi saya udah besar, bukan anak TK lagi, jadi gak usah diantar. Lagian Mbak Hani lagi hamil, gak boleh pergi jauh-jauh." Hani diam sejenak, kemudian wajahnya berubah cemberut. "Tapi aku mau antar," kata Hani sedih. Syamil menggelengkan kep
Syamil tiba di Jakarta sebelum azan magrib. Pemuda itu sempat melaksanakan salat berjamaah di masjid besar yang ada di lingkungan pesantren milik orang tuanya. Tentu saja abahnya yang mengimami. Saudara dari kampung juga nampak di masjid, melaksanakan salat bersama. "Bah," sapa Syamil pada abahnya setelah pria dewasa itu selesai memimpin zikir dan doa. Syamil mencium punggung tangan Abah Haji Sulaiman dengan penuh takjub. "Kamu sendirian?" tanya Abah Haji pada putranya. "Nggak, Bah, rame gini gimana dibilang sendiri? Ini saya sama Abah." Syamil mendadak bingung, sembari menunjuk jamaah yang lain, sedangkan Abah Haji malah tertawa. Sejak kapan anaknya bisa kocak seperti sekarang? "Maksudnya kamu dari Bandung sendirian?" tanya Abah Haji lagi saat mereka berdua hendak keluar masjid. "Ya kalau sendirian, sopirnya gak mau bawa Syamil, Bah. Pasti ada penumpang lain di bus. Jadi saya rame-rame dari Bandung." Jawaban Syamil membuat Abah Haji tidak kuasa untuk tidak terbahak. Bahkan pria
"Wajah adik Teteh ceria sekali. Sepertinya jauh dari ummi, tapi dekat sama ibu-ibu jadi segar ya?" goda Laila yang sudah mendengar kabar dari Didin. Syamil mendatanginya saat wanita itu sedang dipakaikan hyna di punggung tangannya. "Ibu-ibu siapa?" tanya Syamil belum menyadari arah pembicaraan Laila."Tetangga sebelah yang seksi itu.""Oh, Mbak Hani, dah itu mah bukan ibu-ibu normal, tapi up normal. Teteh mah kalau ketemu dia, pasti bisa masuk rumah sakit jiwa. Untung saja Syamil anak baik dan tahan baday, kalau tidak, Syamil bisa ke IGD mulu setiap hari. Kadang capek, Teh, istighfar mulu kalau lihat Mbak Hani, ya ampun, gitu deh. Udah ah, jangan gibahin dia, nanti dia malah batuk-batuk di sana." Laila tertawa. Sekarang ia yakin betul, adiknya hanya sekedar teman saja dengan gadis muda bernama Hani yah tengah hamil enam bulan itu. Aura wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan rona merah orang sedang jatuh cinta, tetapi raut wajah orang kesal. "Tapi kamu jangan galak-galak juga sam
Saya terima nikah dan kawinnya Laila binti Sulaiman dengan mas kawin logam mulia seberat dua puluh lima gram dibayar tunai. "Bagaimana saksi? Sah?""Sah." Semua orang yang hadir di dalam masjid besar pesantren turut mengucap syukur dengan wajah bahagia. Apalagi kedua orang tua Laila yang sampai meneteskan air mata haru karena akhirnya penantian jodoh putri mereka sampai juga pada seorang Didin. Laila diantar oleh Syamil menuju kursi akad yang sudah disiapkan. Wajah Laila pun semringah, meskipun matanya tetap berkaca-kaca. Ini pernikahannya yang kedua kali bersama orang yang sama. Jika awal menikah karena terpaksa, maka yang kedua ini ia sangat ikhlas menerima Didin yang berusia empat puluh enam tahun sebagai suaminya. "MasyaAllah, ini toh istrinya? Wah, selamat Pak Didin mendapatkan istri cantik yang masih muda. Awas encok ya. Ingat umur." Ledekan pembawa acara mengundang gelak-tawa keluarga dan tamu undangan yang ada di sana. Didin tersenyum begitu manisnya saat Laila pun kini m