"Bagaimana keadaan cucuku, Dokter?" tanya Karina semakin penasaran. Sebenarnya, setelah dokter keluar dari ruangan untuk memeriksa Elea, dokter sudah mengatakan bahwa tidak ada luka apapun pada tubuh Elea. Namun, karena Karina masih mengelak dan juga tidak mempercayainya, mau tidak mau dokter menyarankan untuk menunggu saja hasil CT scan dan juga rontgen keluar. Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya hasil pemeriksaan sudah keluar. Dokter memberikannya langsung kepada Karina sembari menjelaskan kepada karirnya secara mendetail. "Tidak ada tulang yang patah atau retak, tidak ada luka dalam apapun, luka luar juga tidak ada. Keadaan cucu anda benar-benar dalam keadaan baik-baik saja," ucap dokter dengan ekspresi wajahnya yang terlihat bersungguh-sungguh. Melihat hasil rontgen dan juga CT scan yang diberikan secara langsung dari dokter yang memeriksa Elea, Karina terdiam karena tidak ada pilihan lain selain mempercayai ucapan dokter tersebut. Lagi pula, yang paling penting adalah cuc
Edward menggendong Elea, berjalan menuju pintu keluar rumah sakit bersama dengan Alenta. Karina berjalan di belakang mereka, menatap Alenta dengan kesal entah apa alasannya. Herin, menatap Alenta dan Edward serta Elea yang berada di dalam gendongan Edward. Melihat hal itu, entah mengapa rasanya sakit sekali hatinya. Mereka bertiga seperti sebuah keluarga lengkap, dan itu mengganggu. "Edward," panggil Herin. "Kau tidak melihat istrimu dulu sebentar?" tanyanya mengingatkan. Rumah sakit yang saat ini mereka berada adalah rumah sakit di mana Julia juga sedang mendapatkan perawatan. Hanya saja, lantainya saja yang tidak sama. Edward terdiam, begitu Ibunya memanggil namanya. Tentulah dia menghentikan langkah dan membalik tubuhnya menghadap sang Ibu mertua. "Aku harus mengantarkan Elea dan juga Alenta. Sopir rumah biarkan mengantar Ibu, jadi tidak perlu membuat sopir rumah mondar mandir."Herin memaksakan senyumnya, dia sungguh tidak menyukai jawaban dari menantunya itu. Herin tindak i
"Kenapa kakak ipar kesini?" tanya Alenta yang merasa penasaran. Edward yang semula berdiri di ambang pintu, kini masuk ke dalam gambar dan menutup pintu kamar tersebut. "Aku terbiasa tidur dengan wanita di sebelah ku, rasanya terlalu kosong makanya terpaksa aku datang ke sini," jawabnya cepat. Alenta menghela nafasnya, dia sungguh terlalu malas untuk berpura-pura saat itu. Edward mengambil posisi berbaring miring, menghadap Alenta berada. "Mau sampai kapan kau duduk di sana? Ini sudah malam, apa kau tidak pegal sejak tadi duduk?" Alenta menatap Edward, dia benar-benar merasa bingung dengan kakak iparnya yang akhir-akhir ini terlalu tidak biasa. Dulu, Edward jarang sekali berbicara, tapi sekarang justru jadi banyak berbicara. Edward merasa Alenta sedang membatin sesuatu dari sorot mata Alenta yang terarahkan kepada dirinya. "Apa yang sedang kau pikirkan dengan menatapku seperti itu?"Alenta menggelengkan kepalanya, tentu saja dia tidak berani mengatakan hal yang macam-macam, apa
Edward mencium bibir Alenta, dia sadar itu Alenta tapi dia tidak bisa menahan diri. Lagi pula, mereka bahkan sudah pernah melakukan hubungan intim beberapa kali. Ciuman bibir itu bisa terjadi karena, Edward yang tidak sengaja melihat wajah Alenta, begitu juga sebaliknya. Mereka saling menatap satu sama lain untuk beberapa detik, pada akhirnya Edward terbawa suasana begitu juga dengan Alenta. Terlalu mudah luluh, mungkin itu kata yang pantas diberikan kepada Alenta. Kebaikan Edward dengan merawat lukanya, menggantikan perban adalah hal yang tidak pernah dilakukan oleh orang lain kepada Alenta sebelumnya. Alenta menggigit bibir bawahnya saat Edward mulai menjalankan ciuman bibirnya menuju ke bagian lehernya. Suasananya yang sepi di ruangan itu benar-benar mendukung mereka berdua. Tidak perlu khawatir soal luka Alenta, Edward sudah menyelesaikan semua itu. Tangan Edward sudah menjalar, menyentuh salah satu bagian dada Alenta dan memberikan tekanan serta gerakan pada jemarinya. Al
"Apa kau sedang menempatkan dirimu sebagai istriku?" tanya Edward, "apa yang terjadi padaku memangnya kau ikut andil di dalamnya?"Michael memaksakan senyumnya, tentu saja dia tahu benar bahwa sejak dulu sampai dengan sekarang Edward memang tidak pernah berubah. Paling tidak suka ada orang lain yang mencoba mencari tahu tentang kehidupan pribadinya, dan menanyakan sesuatu yang seharusnya tidak ditanyakan. "Baiklah, intinya aku benar-benar turut berduka karena situasi istrimu saat ini benar-benar sangat memprihatinkan," ucap Michael terlihat tulus. Edward menganggukkan saja kepalanya. "Ngomong-ngomong, kau terlihat santai sekali seperti tidak terjadi sesuatu dengan istrimu. Atau jangan-jangan kau tidak menyayangi istrimu sama sekali ya? Seharusnya, kau berada di rumah sakit setiap hari untuk menemani istrimu, kan?" tanya Michael penasaran lagi. Edward menghela nafasnya. "Aku memang tidak setiap hari berada di sisinya. Bagaimanapun, kehidupan juga harus terus berjalan sesedih apapun
Alenta kebingungan sendiri melihat pelayan rumah Edward mondar-mandir, membawa barang-barangnya dan juga barang Edward untuk dimasukkan ke dalam kamar yang kemarin sempat di tempati untuk tidur. Melihat Edward berjalan ke arahnya sembari melihat ponsel, Alenta memutuskan untuk langsung bertanya kepadanya. "Kak," Edward menoleh ke arahnya. "Kenapa mereka memindahkan barang-barang ku, dan sebagian pakaian kakak ipar kesana juga?" tanya Alenta tak dapat menahan rasa penasarannya lagi. Edward terdiam sebentar sebelum pada akhirnya dia memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Edward menatap Alenta namun tak ada ekspresi khusus yang ditunjukkan di wajahnya. "Bukanya akan lebih baik kalau kita memiliki kamar tidur sendiri?" Alenta benar-benar terdiam karena dia tidak tahu harus bagaimana menanggapi jawaban dari Edward barusan. "Kau membutuhkan barang lain?" tanya Edward, "kalau masih ada yang kurang, kau minta pelayan rumah untuk membelinya."Alenta menggeleng. "Tidak, aku tidak k
"Kak?" panggil Alenta. Edward sontak menatap ke arah sumber suara di mana Alenta saat itu berdiri, menatapnya dengan tatapan yang tak terbaca sama sekali. Edward menelan salivanya sendiri. Apa Alenta mendengar ucapannya barusan?Sofia mengerutkan dahinya bingung, Kenapa penampilan Alenta tidak seperti biasanya saat dulu dia datang ke rumah itu. Alenta menatap Edward dan juga Sofia secara bergantian, sebenarnya tidak nyaman untuk dia berada di sana saat itu. Tapi, ada hal yang cukup mendesak yang harus dia sampaikan kepada Edward. Alenta tidak mendengar apapun sebelumnya. "Ada apa, Alenta?" tanya Edward. "Ibuku ingin bicara dengan kakak ipar," jawabnya jujur. Alenta berjalan mendekat kepada Edward, lalu menyerahkan ponselnya yang masih terhubung dengan telepon dari ibunya. Edward menerima ponsel Alenta, mendekatkan pada telinganya. "Ada apa, Ibu mertua?" tanya Edward. "Edward, barusan Julia menggerakkan jari telunjuknya!" jawab Herin dari seberang telepon. Edward terdiam se
Begitu sampai di rumah sakit, Alenta dan juga Edward bergegas menuju ke ruangan di mana Julia berada bersama dengan Herin dan juga Ayahnya Alenta. "Edwar?" Herin tersenyum saat mendapati Edward tiba, namun senyum itu memudar saat dia melihat putri keduanya juga ikut. "Alenta, kenapa kau datang ke sini?" tanyanya tak senang. Alenta terdiam saat melihat ekspresi wajah ibunya yang terlihat kecewa, ingin menjawab tadinya tapi tiba-tiba saja dia memutuskan untuk diam saja. Padahal, dia hanya ingin melihat keadaan kakaknya secara langsung tetapi kenapa ibunya berekspresi seperti itu seolah-olah Alenta tidak memiliki hak untuk mengetahui keadaan Kakaknya sendiri. "Alenta juga ingin melihat keadaan kakaknya, itu bukan sesuatu yang salah, kan?" ujar Edward berharap tak ada perdebatan apapun. Ayahnya Alenta yang bernama Wilhem itu hanya bisa menghela nafas. Herin mengatakan kepada dirinya, sengaja melarang Alenta datang karena takut kecerobohan Alenta dapat membuat kondisi Julia semakin b