“Mungkin bagi Presdir Reiner dan kalian, Violet itu cuma seorang asisten sekretaris saja. Tapi, bagiku dia benar-benar berbeda,” Abigail tesenyum, matanya penuh kekaguman saat membicarakan tentang Violet.
Reiner mengepalkan tangannya yang tersembunyi di bawah meja makan. Ada rasa kesal yang dirasakan Reiner melihat ekspresi wajah Abigail saat ini. Althea memutar bola matanya, jengah dengan Abigail yang gila hanya karena seorang Violet. “Bicara apa kau ini, Abigail?” ujar Samuel keheranan dengan tingkah putranya itu. Abigail tersenyum, sorot matanya menerawang seolah tengah mengingat sesuatu yang penting. “Dulu, saat pertama kali aku bertemu Violet, dia benar-benar terlihat sangat polos, dan juga naif.” Abigail terkekeh. “Waktu itu aku mabuk parah, tapi dia mengira aku sedang demam, lalu mengantarkan aku ke rumah sakit.” Mendengar itu, Reiner semakin menahan diri, rahangnya mengeras. SamuelJam maka siang, Violet menggunakan sedikit waktunya itu untuk menemui Althea sebagai bentuk bahwa dia adalah orang yang tepat waktu, dan tidak suka mangkir. Duduk berhadapan, berseberangan meja, Althea dan Violet saat ini. “Aku sangat terkejut sekali saat Reiner mengatakan bahwa kalian menikah, bukankah itu lucu, Violet?” Althea tersenyum, namun sorot matanya yang menghina itu dapat diartikan dengan jelas oleh Violet sendiri. “Mungkin, memang benar itu sangat lucu dan tidak masuk akal,” Violet mencoba untuk tersenyum sebaik mungkin, tidak ingin menunjukkan perasaan yang sebenarnya saat ini. Althea kembali tersenyum, hanya sebentar, setelahnya dia menatap Violet dengan tatapan tajam. “Itu pasti sangat membebani mu, kan? Bagaimanapun, orang yang mengetahui tentang pernikahannya Reiner, pastilah akan menanyakan tentang seberapa pantas pasangannya. Namun, itu p
“Tunggu di luar, atau jangan kerja lagi denganku!” ancam Ron tidak main-main. Melihat ekspresi wajah Ron saat berbicara barusan, Lukas pun hanya bisa menghela nafasnya pasrah. “Ck! Dasar pelit!” Sebalnya. Tidak menanggapi ucapan Lukas, berdebat Ron menutup pintu rumahnya. Menatap Aruna yang kini tengah membersihkan sofa dan mengelap meja, Ron merasa kesal sendiri. “Apa kau sengaja keluar saat Lukas datang supaya kau bisa tebar pesona?” Mendengar ucapan Ron yang tidak masuk akal tentangnya, Aruna pun hanya bisa tersenyum kesal. “Kalau kau ingin mencari perhatian seorang pria, kok bisa katakan saja padaku! Aku akan dengan murah hati menyewakan beberapa pria untukmu,” Ron menatap Aruna dengan sinis. Menahan kesal rasanya Aruna juga mulai lelah, dia pun sedang tidak ada energi untuk terus memaklumi segala perbuatan Ron padanya.
“Sepertinya menyenangkan sekali mencurahkan isi hatimu, ya.” ujar Ron setelah merebut ponsel dan memutuskan sambungan teleponnya. Aruna menelan salivanya sendiri, tidak menyadari keberadaan Ron yang entah sejak kapan, dan seberapa banyak yang sudah dia dengar. Ron meletakkan ponsel di atas tempat tidurnya Aruna, lalu menatap Aruna dengan tatapan yang tajam. “Bagaimana bisa kau memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaan mu dengan begitu gamblang, Aruna?” Glek! Aruna menelan salivanya sendiri. Tatapan matanya dia arahkan ke lain sisi, sekejap saja melihat sudah jelas Aruna bisa merasakan kemarahan yang dirasakan oleh Ron. “Memprovokasi adikmu untuk lari, menghakimi kami dengan mengatakan bahwa kami picik, apakah kau merasa sudah menjadi orang yang paling benar, Aruna?” Ron mencengkram dagu Aruna, menyalurkan kemarahannya.
“Siapa yang memintamu untuk meminum pil penunda kehamilan, Violet?” tanya Reiner, matanya menyalak marah. Violet terdiam, tidak menyangka kalau Reiner akan melihat isi tasnya. Reiner adalah pria yang sangat tidak suka ikut campur, itulah kenapa Violet merasa tidak perlu menyembunyikan keberadaan pil penunda kehamilan itu. “Apa kau sengaja melakukan ini untuk memancing emosiku, Violet?” Reiner semakin terlihat kesal. Tidak tahu harus bagaimana menanggapinya, Violet hanya semakin menundukkan kepalanya. Melihat Violet tidak memiliki niat untuk menjawab pertanyaan darinya, Reiner pun semakin tidak bisa menahan diri. Tangannya meraih lengan Violet, mencengkram erat hingga Violet nampak meringis menahan sakit. “Jangan bertindak di luar izinku, Violet. Asal kau tahu, Beberapa waktu belakangan ini, kau benar-benar melakukan banyak tindakan
“Siapa yang memberimu izin keluar dari kantor, bahkan sampai berjam-jam, Violet?!” Reiner melotot marah, jelas dia sangat kesal sekarang. Violet tidak memilki keinginan untuk menjawab, dia tahu apapun yang dia katakan hanya akan berakhir memicu kekesalan Reiner saja. “Mau sampai kapan kau diam, Violet? Kau pikir, diam akan menyelesaikan masalah, menjawab pertanyaan ku?!” Reiner mulai bangkit dari duduknya untuk mendekati Violet yang masih diam. “Katakan, dari mana saja kau ini, Violet!” Violet menyadari, apapun keputusannya jelas Reiner hanya akan marah. Diam salah, bicara juga salah. Hanya bisa menghela nafas dan menjawab saja pertanyaan itu, Violet tidak mampu lagi berpikir dengan tenang sekarang. “Pergi untuk menemui Kak Aruna, Presdir Reiner. Maaf k
Reiner datang ke kantor dengan perasaan kesal. Tidak ada violet di belakangnya seperti biasanya, itu menjadikan suasananya sangat berbeda. Mengacuhkan para pegawai yang menyapa dengan sopan dan hormat, Reiner sampai di ruangan tanpa mendapati Violet di sana. Menoleh ke kanan dan ke kiri, memang benar tidak ada! Reiner mencoba menghubungi Violet, tapi tidak mendapat jawaban apapun. “Kemana sih betina itu pergi?” tanya Reiner kesal. Sudah bersiap mengeluarkan ponselnya, Reiner baru menyadari jika ada sebuah amplop yang tergeletak di meja kerjanya. Bergegas melihat amplop tersebut, nyatanya adalah yang bertuliskan surat permohonan untuk mengundurkan diri. Reiner d
“Violet cuma asisten sekretaris, mungkin Itu alasanmu meremehkannya. Marah, seharusnya kau tidak melakukan itu padanya, ia bukan Aruna.” Alenta menatap Reiner dengan tatapan yang tajam, melanjutkan apa yang ingin diucapkan. “Ibu mengalami benar bagaimana perlakuan buruk dari Ayahmu saat awal menikah, itu benar-benar sangat menyesakkan. Apa kau lupa bagaimana Ibu berpesan padamu, Reiner? Jangan sakiti perempuan. Jauhi dia kalau kau tidak suka, pertahankan, dan perlakukan dengan baik saat kau menyukai wanita itu.” Reiner tertunduk lesu, paham jika saat ini perasaan ibunya tengah kecewa berat. Tidak bisa menahan diri, ada perasaan campur aduk mendorong Reiner melakukan hal-hal tidak masuk akal terhadap Violet. “Violet tidak bisa kau salahkan, seharusnya kau tahu itu sejak awal kan, Reiner? Biarkan dia bebas, pantas juga dia memiliki kehidupan seperti ya
“Aruna akan kembali ke rumah orang tuanya, kau tidak boleh mempermainkan dia lagi. Tapi, jika terjadi sesuatu dengan Aruna, apalagi kalau sampai di hamil, tanggung jawab sepenuhnya ada padamu. Namun, jika Aruna menolak untuk menikah denganmu, kebutuhan Aruna dan anak itu akan kau tanggung seumur hidup mu!” Ucapan Alenta barusan membuat Ron seperti tercekik sangat erat. Alenta sudah tahu sebanyak itu, Ron curiga Aruna lah yang telah mengungkapkannya. Ron mengeraskan rahangnya, menatap sejenak kepada Aruna, ingin menyalurkan kekesalannya. Berbeda dengan Aruna, gadis itu memilih menunduk karena tidak mampu menatap Ron maupun Alenta. Perasaan sesak, gugup, dan takut terlalu membungkus tanpa celah. “Ibu, tentang ini bisakah Ibu tidak memberikan komentar?” Ron menatap Ibunya dengan tatapan memohon, meski nada bicaranya terdengar sedikit tegas. Mendengar ucapan Ron barusan, senyum kesal seketika muncul di bibir Alenta. Matanya menelisik dalam, mencoba mengartikan makna di balik k