"Panggil aku dengan sebutan yang lain!" perintah Edward dengan tegas. "Jangan memanggilku kakak ipar, tidak mau juga Kak Edward, apalagi tuan muda dan juga Ayahnya Elea."
Edward semakin menajamkan matanya, dia ingin memperingatkan kepada Alenta agar tak menganggap ucapannya barusan adalah hal yang bisa dia bantah dan elak.Alenta termenung dalam pemikirannya sendiri, lantas bagaimana dia akan menyebut Edward mulai dari sekarang?Sungguh, apakah perlu memanggil Edward dengan sebutan kakanda? Atau mungkin, yang mulia? batinnya bingung."Kenapa Kau hanya diam saja seperti itu, Alenta?" tanya lagi Edward karena dia benar-benar menunggu tanggapan dari Alenta.Dipaksakan senyum untuk timbul di wajah Alenta, dia terus bergumam di dalam hatinya karena dia sama sekali tidak tahu panggilan apa yang kira-kira cocok untuk Edward. Namun, Alenta juga tahu benar bahwa kalau dia terus diam dalam kebingungan tidak akan menyelesaikan masalah itu.Alenta keluar dari ruangan kerja Edward. Pinggangnya sakit, pegal sampai ingin berjalan normal saja sepertinya membutuhkan waktu beberapa saat lagi. Di dalam tadi, Edward benar-benar mengerjainya habis-habisan. Entah memang benar cara memanggilnya yang masih salah, atau memang Edward sengaja melakukan itu untuk mengambil keuntungan darinya. Mencoba untuk tetap berjalan, Alenta pada akhirnya sampai di depan tangga. “Sejak kapan tangga jadi sepanjang ini, ya?” gumam Alenta sembari menatap tangga rumah Edward yang panjangnya seperti berkali lipat dari biasanya. Alenta merengut sedih, Sepertinya dia tidak bisa turun dari tangga dengan keadaan kakinya yang gemetar hebat ditambah pinggangnya yang seperti berdenyut-denyut tertusuk ribuan jarum. Memejamkan matanya sebentar sembari membuang nafas, berpegangan pada pegangan tangga erat-erat dan akhirnya Alenta memaksakan dirinya untuk menuruni tiap anak tangga. “Bibi... Bibi...” pang
“Ayah, mau itut!” Pinta Elea saat Edward akan berangkat bekerja. Sudah menjadi kebiasaan baru bagi Elea, setiap Edward akan berangkat bekerja setiap pagi. Sekitar satu Minggu ini, Elea mulai dekat dengan Ayahnya. Selama beberapa waktu terakhir ini, Edward memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan Elea, sementara malam dia gunakan benar-benar dengan Alenta. Pria brengsek itu benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, hampir tidak pernah Alenta nyenyak tidur kecuali saat dia sedang datang bulan. “Masalahnya, Ayah tidak bisa membawamu karena Ayah harus rapat siang nanti,” ujar Edward mencoba memberikan pengertian kepada Elea. Elea yang berada di dalam gendongan Alenta mencoba untuk terus menyodorkan tangannya, namun dengan berat hati Edward tak bisa mengajak Elea. Alenta tersenyum senang, pada akhirnya dia bisa melihat Edward dan Elea dekat layaknya anak dan Ayah pada umumnya. “Maaf ya, Elea? Beso
“Berhentilah untuk terus menyalahkan dan merendahkan Alenta, ibu. Jangan melakukan itu lagi, ibu benar-benar keterlaluan!” Edward menatap ibunya marah, memperingati ibunya agar tak terus menerus melakukan kesalahan yang sama. Karina membuang tatapannya, dia benar-benar malas melihat ekspresi wajah Edward saat itu. Alenta sudah pergi ke kamarnya, Elea pun juga ikut karena Edward tahu benar akan menjadi sekeras apa nada bicaranya nanti. Edward kembali menatap Ibunya, dia yang kesal sebenarnya ingin berbicara dengan lebih keras lagi agar Ibunya tak mengelak. Namun, mengingat siapa ibunya, tentu saja Edward cukup sadar diri bahwa membentak ibunya adalah hal yang salah. Karina kembali menatap Edward. Tatapan matanya yang selalu saja curiga itu terarahkan kepada Edward. “Kenapa kau membelanya terus, Edward?” tanya Karina yang merasa begitu penasaran. Edward membuang nafasnya, pertanyaan Ibunya barusan benar-benar membuat Edward
“Ada apa?” tanya Alenta yang penasaran karena melihat ekspresi wajah Edward berubah begitu menerima panggilan telepon. Dia takut, sungguh dia takut terjadi sesuatu dengan kakaknya. Edward mengakhiri sambungan telepon, menatap Alenta sejenak dengan segala pemikirannya. “Julia sudah bangun, aku akan ke rumah sakit sekarang!”Alenta tersenyum senang, matanya mulai ingin menangis karena bahagia mendengar kabar itu. “Aku ikut, boleh?” Pinta Alenta terlihat begitu berharap. Edward terdiam sebentar. “Tinggallah di rumah, aku akan mengabarkan padamu kondisinya, oke?”Alenta memaksakan senyumnya, dia kecewa tapi tidak boleh memprotes hal itu. Pada akhirnya, Alenta hanya bisa menganggukkan kepalanya saja. Edward bangkit, turun dari tempat tidur untuk berjalan menuju lemari. Dia mengeluarkan satu setel pakaian rumahan yang akan dia gunakan untuk pergi ke rumah sakit. Edward berjalan kembali mendekati Alenta
“Maksud Ibu mertua, ke tempat yang seharusnya untuk Alenta itu di mana?” tanya Edward. Herin agak ragu, tapi pada akhirnya dia mengatakan maksudnya. “Dia akan kembali menjadi adik ipar seperti sebelumnya,” jawabnya. Edward tersenyum, tapi dia tengah menahan kesal. “Aku tidak akan membiarkan siapapun mengatur hidupku. Anda sendiri yang menyodorkan Alenta kepadaku, dia menjadi bagian hidupku. Sesuatu yang aku anggap milikku, tidak akan bisa di ambil siapapun!”***“Kenapa kau datang kesini?” tanya Julia sinis saat melihat Alenta datang bersama dengan Elea. Alenta terdiam menelan kesedihannya seorang diri, dia jelas tidak berani mengatakan apapun karena sadar benar kemarahan dari kakaknya adalah hal yang wajar untuk dia dapatkan. “Elea sudah lama tidak bertemu denganmu, apa kau tidak rindu?” tanya Edward mencoba mengalihkan pembahasan tentang Alenta. Julia menatap Elea yang tidak terlihat merindukan dirinya sama sekali
“Jangan begitu, Ibu. Bibi juga tidak memiliki niat tersembunyi datang ke rumah sakit ini, Bibi hanya sedang mengambil surat kematian suaminya,” jawab Alenta mewakili Lien yang terlihat tidak ingin menggapai Herin. Herin nampak acuh, melengos tak perduli bahwa adik tirinya baru saja mengalami musibah duka. “Kau memang yang paling pintar membuat Ibu kesal, Alenta! Seharusnya, kau merenungi kesalahanmu bukannya mengobrol dengan asik seperti itu!” Kecamnya serius. Lien menghela nafas, dia sungguh tidak menyangka bahwa sampai dengan hari itu, kakak tirinya masih saja belum berubah sama sekali. Alenta terdiam, matanya memerah menahan tangis yang dapat dilihat dengan jelas oleh Lien. Lien menyentuh lengan Alenta, mengusapnya dengan lembut sebagai bentuk dukungan agar Alenta bisa lebih bersabar lagi. “Alenta, sudahlah tidak usah dijelaskan. Bibi pulang dulu ya? Ada banyak pekerjaan yang harus bibi selesaikan,” ujar Lien berharap be
Melihat pesan yang dikirimkan Edward padanya, Alenta sebenarnya bingung tapi dia juga perlu membicarakan apa yang harus dilakukan bersama dengan Edward dan keluarga besarnya tanpa harus melibatkan Julia. Alenta harus menjaga perasaan Julia, dia juga tidak ingin dituduh sebagai perebut atau apapun itu. Begitu sampai di rumah, Alenta memutuskan untuk membersihkan kamar Julia dan Edward karena dia juga harus memastikan benar tidak ada benda atau sesuatu lainnya yang akan membuat Julia curiga. Setelah kamar Julia dan Edward beres, barulah Alenta beralih untuk membersihkan kamar yang beberapa waktu terakhir ini dia gunakan bersama dengan Edward. Alenta memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper, dia harus berjaga-jaga. Setelah itu, dia memasukkan pakaian Edward, dia masukkan kedalam boks besar yang disediakan di sana. Setelah semuanya selesai, Alenta baru bisa duduk dengan sedikit lega. Dia mengeluarkan ponselnya, ada empat pang
Edward sampai di rumah, Elea masih tidur di gendongannya. Karena masih ada kesempatan untuk Elea bangun nanti, pastilah Alenta akan menyiapkan makan malam untuk Elea. Perlahan Edward meletakkan tubuh Elea di dalam tempat tidurnya, dengan hati-hati dia melakukannya. Setelah itu, Edward keluar dari kamar untuk mencari keberadaan Alenta. Edward terdiam di ambang pintu kamar yang beberapa waktu terakhir ini dia gunakan bersama dengan Alenta. Dari sana, dia bisa melihat wajah lelah Alenta yang saat ini sedang tertidur lelap, sampai-sampai dia yang mencoba untuk menghubungi Alenta Sejak akan berangkat untuk pulang ke rumah tak mendapatkan jawaban dari Alenta. “Aku pikir, kau sudah kabur!” Gumam Edward. Edward tersenyum tipis, kakinya mulai berjalan perlahan mendekat kepada Alenta. “Cih! selalu saja dia terlihat sangat manis saat tidur,” batin Edward saat dia semakin bisa melihat dengan jelas wajah Alenta. Menggerakkan s